Share

Bab 5

“Kenapa Bapak ada di sini?” Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir Elia.

Wirasena mengernyit tidak suka mendengar sapaan yang digunakan padanya. “Bapak?! Siapa yang kamu panggil bapak?”

Elia mengerjap panik karena sikap sinis pemilik rumah. ‘Prof. Wira? Kok bisa? Astaga … mimpi apa gue semalem?’ batin Elia bingung.

“Bisu?!” kesal Wira karena sikap diam Elia.

“E-eh, maaf, Prof. Sepertinya saya salah alamat. Permisi.” Elia buru-buru mengangguk sopan, kemudian berbalik. ‘Kalau dia negur, artinya ini alamat yang benar. Tapi kalau nggak, artinya gue salah alamat. Mampus!’ umpat Elia dalam hati.

Langkah Elia sengaja diperlambat untuk berjaga-jaga pria dingin itu memanggilnya. Lima langkah berlalu, tapi tidak ada teguran. Jadi, Elia putuskan mempercepat langkahnya. Di luar gerbang, Elia segera membuka kertas yang sudah lusuh dan dalam genggamannya.

“Sedap malam, nomer sembilan belas,” gumamnya sambil celingukan. Matanya melebar manakala melihat papan kayu cokelat tua yang menempel di tembok sebelah kanan. Ia sedikit berjinjit untuk membaca tulisan yang tertera.

“Sedap malam sembilan belas. Lhah, bener kok?!” Elia menarik napas dan mengembuskannya perlahan dengan mata terpejam untuk menenangkan diri. “Harus banget kerja di rumah ini?” desah Elia.

Elia mondar-mandir di depan pagar besi untuk menata kalimat dan menebalkan mukanya sampai sebuah tangan menepuk bahunya dan membuatnya berjingkat.

“Neng!”

“Astaga!” teriak Elia kaget.

Keterkejutan Elia menular pada pria di belakangnya. “Astaga, Neng! Kaget saya.”

“M-maaf, Pak. Ada apa, ya?” gagap Elia sambil tersenyum kaku.

“Ini, Neng. Dipanggil sama Bapak, disuruh masuk.” Pria itu menunjuk ke arah rumah menggunakan jempol kanannya, membuat Elia semakin merasa sungkan.

“Oh, iya. Makasih, Pak.” Elia mengangguk seraya mendahului pria itu masuk melintasi pagar.

“Ditunggu di ruang tamu, Neng,” imbuh pria itu dari balik punggu Elia.

Di ruang tamu, Wirasena duduk di salah satu sofa dengan satu kaki menumpang di atas kaki lainnya. Punggungnya terlalu tegak hingga terkesan pria itu sudah lama menunggu Elia dan nyaris kehilangan kesabarannya.

“Prof,” sapa Elia lirih disertai anggukan samar.

“Duduk.”

‘Astaga, bisa gak ramah dikit aja?’ gerutu Elia dalam hati.

Elia meletakkan pantatnya di atas sofa dengan hati-hati, seolah sofa itu terbuat dari kulit telur yang mudah pecah. Beberapa saat lamanya Elia menunggu Wirasena bicara, tapi tak kunjung ada suara. Keheningan masih terus berlanjut hingga Elia merasakan tulang ekornya kebas.

Drtt … drtt ….

“Maaf, Prof. Saya permisi angkat telfon dulu.” Elia mengangkat pantatnya sambil mengacungkan ponsel yang sedang menyala layarnya agar Wirasena melihat.

“Tolak.”

“Ehh?” bingung Elia. “Tolak?”

“Tolak, kita bicara. Atau kamu terima, dan silakan keluar.” Wirasena menurunkan kakinya dan menjauhkan punggungnya dari sandaran sofa. Matanya lurus menatap Elia, menunggu jawaban gadis itu.

Tut.

Elia menolak panggilan masuk yang kebetulan berasal dari Barata. ‘Maafkan Elia, Prof. Manusia di depan Elia ini lebih menakutkan dibanding lainnya,’ batin Elia seraya menurunkan kembali pantatnya.

“Saya butuh perawat untuk ibu mertua saya. Kamu bisa langsung mulai bekerja.”

Dalam kebingungan dan rasa bersalahnya, Elia tidak mendengar ucapan Wirasena dengan jelas. Gerakan bibir pria itu membuatnya merasa perlu meminta pengulangan kalimat. Mahasiswa lulusan terbaik di angkatannya dengan predikat summa cumlaude itu, tanpa sadar berkata, “Hahh?”

Batas kesabaran Wirasena sudah terlampui, terbukti dengan gerakannya mencondongkan tubuh dan menumpukan sikunya pada lutut diiringi embusan napas kasar.

“Oke. Selamat siang.”

Spontan, Elia mundur menempel pada sandaran sofa manakala Wirasena berdiri dengan tiba-tiba. Tanpa menunggu reaksi gadis muda di hadapannya, Wirasena melangkah pergi.

“Pak! M-maksud saya, Prof.” Elia menyusul.

Mata tajam yang seolah tidak pernah kehabisan baterai untuk menyorot terang itu, menatap Elia tanpa berkedip.

“Saya bersedia. Terima kasih.”

Begitulah, sepanjang siang hingga petang, Elia menemani—Oma Tatik—begitu wanita berusia delapan puluh tahun itu disapa. Lansia berwajah sinis dengan bibir yang selalu terkatup lancip itu tidak jauh berbeda dengan menantunya. Elia berusaha memompa kesabarannya hingga jam kerjanya usai.

Satu bulan berlalu, tidak ada kemajuan berarti dalam hubungan pasien dan perawat tersebut. Pun begitu, komunikasi Elia dengan Wirasena tidak berjalan lancar. Mereka hanya berpapasan tiga kali sejak pertama Elia bekerja. Sampai akhirnya, seorang wanita seksi dengan riasan tebal, datang berkunjung ditemani seorang bocah perempuan.

“Oma!” sapa bocah itu riang.

Senyum Tatik mengembang seketika. “Mika …,” sambut Tatik sembari merentangkan kedua lengannya lebar. “Lama sekali, oma kangen.” Dipeluk dan diciumnya pipi gembul Mika dengan lembut.

“Mika juga kangen, tapi mami banyak kerjaan. Jadi, Mika gak bisa ketemu Oma sama Papi.” Mika membalas pelukan Tatik sambil beringsut naik ke pangkuan.

“Sayang, turun dulu, ya. Omanya kasihan kalau ….”

“Siapa perempuan ini, Mam?” tanya wanita berias tebal yang sejak tadi sibuk memainkan layar ponselnya.

“Perawat yang dipekerjakan Wira untuk merawat mama,” sahut Tatik tanpa melepaskan pelukannya.

“Mas Wira mana? Kok belum keliatan?”

“Entah.”

Elia melirik sekilas mendengar nada datar yang Tatik gunakan menjawab wanita itu. Namun, sejurus kemudian, senyum ramah terbit di bibirnya setelah sepasang mata bulat jernih mengerling padanya.

“Sini,” undang Elia lirih dibarengi lambaian tangan.

“Bawa dia main, Sus.” Tangan wanita itu menarik Mika sedikit kasar hingga bocah kecil itu kembali memasang wajah murung. “Aku akan tinggal di sini,” ujarnya seraya menduduki sofa. “Sebulan ke depan, banyak kerjaan ke luar kota. Kebetulan di sini sudah ada suster yang bisa bantu jaga Mika.”

“Taruh kamar bapak, Mad!” titahnya saat dua koper besar masuk diantarkan Somad—tukang kebun Wirasena, yang seketika tercengang, begitu juga Elia.

‘Bukannya kata Mbak Marni, Prof. Wira duda, ya?’ tanya Elia dalam hati.

“Jangan keterlaluan, Susan! Jangan membuat keributan!” tegur Tatik kurang suka.

“Keterlaluan bagaimana?! Toh, pada akhirnya aku akan jadi istrinya. Tidur dengannya lebih awal, bukan hal besar, ‘kan?” Menggunakan dagunya, Susan menyuruh Somad melanjutkan langkahnya.

‘Lihat saja. Malam ini, Wira akan menjadi milikku seutuhnya.’ Seringaian Susan membuat Elia bergidik, teringat wanita lain dengan seringai yang mirip. ‘Aku harap, ucapan Marni bisa dipercaya.’

***

Kumpulan angka-angka yang menempel di dinding ruang utama menunjukkan pukul satu dini hari ketika Wirasena membuka pintu. Kondisi rumah sudah sepi dan gelap. Tanpa menimbulkan suara yang mengganggu penghuni rumah lain, Wirasena menuju lemari pendingin. Ia mengambil gelas dari rak dan mengeluarkan sekotak besar jus apel kesukaannya untuk menghapus dahaga. Dituangnya segelas penuh jus apel dan diteguknya tanpa curiga.

“Astaga! Apa ini?!” panik Wirasena setelah dua tegukan besar menghapus dahaganya. Ia endus cairan kecokelatan yang menyisakan rasa terbakar di tenggorokannya. “Wiski? Siapa yang iseng melakukan ini?!”

“Ah, sial!” umpat Wirasena saat kepalanya mulai berdenyut. Kakinya limbung. Ia bergegas menuju kamarnya, tapi segera berbalik saat menyadari ada yang menghuni ranjangnya.

“Kamar tamu,” gumamnya sambil berjalan terhuyung.

Ranjang besar dengan penyangga kayu dan kelambu putih yang masih terikat rapi di keempat sisi itu, tampak kosong. Sekilas, Wirasena melihat seberkas cahaya lampu menerobos dari pintu kamar mandi.

“Anita?” gumamnya diiring senyum lega. “Aku rindu sekali aroma sampo ini,” imbuhnya seraya menyusup masuk ke dalam selimut. “Hmm … hangat,” sambungnya sebelum jatuh tertidur.

Di dalam kamar mandi, Elia mencuci rambutnya sambil menggerutu. Pasalnya, Mika menuangkan hampir sebotol penuh minyak gosok Tatik ke atas kepalanya saat ia menemani bocah itu tidur.

“Mika gak bisa tidur, Sus,” jawab bocah itu sambil memelas, saat Elia marah padanya. “Maaf ….”

Amarah Elia lenyap seketika berganti iba manakala mata bulat Mika berkaca-kaca. Puncaknya, bocah kecil itu menangis dan muntah ke tubuh Elia. Di sinilah ia sekarang, berkutat dengan bau minyak gosok dan amis susu.

“Hufth … sabar, El. Ini jauh lebih baik dibanding dengan bertemu Wirasenewen,” ujar Elia diikuti tawa geli. “Wirasenewen,” ulangnya lagi sambil menggeleng, tidak habis pikir dengan nama gubahannya yang begitu cocok dengan pria itu.

Elia keluar setengah jam kemudian dengan tubuh terbungkus jubah mandi dan rambut yang setengah kering. Ia berjalan keluar kamar, tujuannya satu, meneguk segelas susu agar tidurnya semakin nyenyak. Sesampainya di dapur, ia menemukan meja masih berantakan.

“Astaga, Mbak Marni pasti lupa beresin.” Elia meraih gelas bersih dan membuka kulkas. “Lho, susunya habis, ya?” desahnya kecewa. “Gak ada susu, jus apel pun jadi.”

Diangkatnya kotak jus hendak dituang ke dalam gelas. “Astaga, apes banget gue. Tinggal dikit. Glek langsung aja kali, ya.” Dengan kesal, Elia mendekatkan lubang kotak ke bibirnya dan mengangkatnya tinggi seketika karena isi yang tidak seberapa.

Uhukk … uhuuk ….

Elia terbatuk saat cairan itu tertelan habis dalam satu tegukan besar. “Akhh … hoek … minuman apa ini?! Pait banget!” pekik Elia seraya menuju wastafel mencuci mulutnya dan berkumur.

“Gilak! Orang gila mana yang nyimpen miras dalam kotak jus?! Gimana kalau Oma atau Mika yang minum?!” gerutu Elia. “Apes … apes. Kalau gini, bisa nyenyak banget tidur gue,” gumam Elia seraya kembali ke kamarnya.

***

Sinar mentari masuk melalui tirai jendela yang terbuka. Sepasang bola mata terbungkus bulu lentik mengerjap karena terang yang menggempurnya beberapa saat. Elia menggosok kelopak matanya yang terasa berat dan mencoba duduk agar kantuknya hilang.

“Ishh ….” Desahan berat keluar dari bibir akibat sakit kepala yang tiba-tiba menyerang. Elia menggelengkan kepala dan mendapatinya semakin meringis kesakitan. Masih dengan mata terpejam malas, Elia menyibak selimutnya.

“Ahh …!” pekik Elia manakala tangan kirinya menyentuh kepala seseorang.

Sontak, Elia berpaling ke kiri. Matanya terbeliak, sakit kepalanya lenyap saat maniknya menangkap sosok Wirasena tidur pulas tanpa kain pembungkus badan.

“AAA …!”

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status