Share

Bab 6-1

“AAA …!”

Teriakan Elia membuat Wirasena terjaga dan menatap marah ke arah gadis itu. Namun, beberapa detik kemudian, pancaran amarah di matanya berganti tatapan bingung. Kulit putih mulus tanpa penutup sedang membanjiri indera penglihatnya.

“Apa yang kamu lakukan di sini?!” bentaknya setengah sadar.

Bentakan Wirasena dan tatapan aneh yang terarah padanya membuat Elia menunduk mengikuti arah pandangan itu.

“Aaa …!” Teriakan lain yang tak kalah nyaring menyusul keluar diikuti tarikan kasar pada selimut yang setengah tersingkap.

“Diam!” geram Wirasena berusaha menguasai diri. “Katakan. Apa yang kau lakukan di kamarku dalam kondisi begini?!” tunjuk Wirasena dengan dagunya.

Mata Elia terpejam. Denyutan di kepalanya kembali menyerang. Sekuat tenaga dicobanya mengingat apa yang terjadi semalam. Dahinya mengernyit antara mengingat dan menahan sakit di kepala dan bagian bawah tubuhnya.

‘Sudah terjadi. Ada nyeri dan perih di situ, ada kelelahan otot paha dan ada …,’ batin Elia mengulang kembali materi kuliah yang sudah dia dapat sambil membuka sebelah matanya melirik ke bagian bawah tubuhnya. ‘Haish …! Tenang, El. Tenang.’ Mulutnya bergumam tanpa suara menenangkan, tapi kepalanya berkhianat dan menggeleng panik.

“Hei! Kamu bisu?!” bentak Wirasena tak sabar.

Suara dingin itu melukai harga diri Elia. Dibukanya kedua matanya pelan, tapi pasti dan mengintimidasi. Ia ingin memastikan bahwa dirinya berada di ranjang yang benar sebelum membalas pria sombong yang menyusup masuk ke kamarnya dan berbuat tidak senonoh padanya.

‘Yes!’ pekiknya dalam hati. ‘Ini kamarku.’

“Koreksi. Ini kamar saya, Prof. Anda yang menyusup kemari dan berbuat asusila!” desis Elia dengan mata berkaca-kaca.

Mendengar ucapan Elia, Wirasena mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. ‘Sial! Ini memang bukan kamarku. Lalu, apa yang aku lakukan di sini?! Bangsat!’ kutuk Wirasena pada dirinya.

“Maaf. Aku akan pikirkan solusinya.” Wirasena beringsut turun dari ranjang dan membelakangi Elia seraya memasang kembali pakaiannya, tanpa kehilangan keangkuhan yang membuat Elia makin geram.

‘Apa? Maaf?! Gampang sekali kedengarannya. Bahkan dia merubah sapaannya dari ‘saya’ menjadi ‘aku’. Hellow … dia pikir, siapa dia?’

Tak mau kalah, Elia memakai jubah mandinya, sedikit terlalu erat mengikatnya hingga membentuk tubuhnya dengan sempurna. “Saya sudah punya solusinya. Lupakan, tidak perlu repot.”

Kemeja kusut yang hanya terkancing setengah jalan, rambut acak-acakan dan mata tajam mengarah pada Elia lengkap dengan dua tangan bertengger di pinggang, menjadi perpaduan berbahaya di mata Elia.

‘Sial!’ umpat Elia kesal. ‘Kenapa di saat seperti ini, dia terlihat mempesona?!’

Wirasena mengernyit mendengar ucapan Elia. “Nona, jangan berlagak sudah terbiasa mengalami hal seperti ini. Aku tahu ini pengalaman pertamamu, maka aku akan bertanggung jawab atas konsekuensinya.”

Setelah berkata demikian, Wirasena berjalan cepat keluar kamar, meninggalkan Elia dengan lutut lemas dan perasaan aneh melingkupinya. Beruntung, suasana rumah sedang sepi hingga Wirasena tidak perlu khawatir ada yang melihatnya keluar dari kamar Elia.

Ia kembali ke kamarnya, hendak mandi dan bersiap pergi ke rumah sakit. Hari ini, ada tiga pasien yang sudah ia jadwalkan menjalani operasi dengannya. Ketika Wirasena membuka pintu kamar, bertepatan dengan Susan yang keluar dari kamar mandi dengan tubuh terbalut handuk dan rambut basah.

“Mas Wira, baru bangun?”

“Keluar!” jawab Wirasena ketus.

Susan hanya tersenyum dan berjalan melintasi kamar. Dibukanya salah satu pintu lemari dan mengeluarkan sepasang pakaian dalam warna merah menyala. “Semalam tidur di mana? Susan tungguin sampai larut, belum juga pulang.”

“Keluar kataku!” bentak Wirasena sembari menarik lengan Susan menjauh dari lemarinya.

Raut wajah Susan tidak berubah, masih tetap menyungging senyuman. “Sabar, dong. Paling tidak, biarkan aku pakai baju.” Kedua tangannya menjimpit salah satu ujung pakaian dalamnya dan melepaskan ujung yang lain, membuat bra dan celana dalam itu terjuntai.

Wirasena melepas tangan Susan. Ia menarik sebuah kemeja dan celana dari lemari, lalu masuk ke kamar mandi diikuti suara pintu berdebum. Begitu Wirasena menghilang di balik pintu, Susan melempar tubuhnya ke ranjang.

“Sial! Tidur di mana dia semalam?!” Susan melirik tajam ke pintu kamar mandi. “Kenapa ada dua gelas kotor di dapur? Siapa yang minum wiski bersamanya?” gumam Susan penasaran.

Di kamar lain, Elia sudah memulai tugas pertamanya bersama Tatik ditemani Mika, meskipun dua jam lebih lambat dari biasanya.

“Oma, Oma gak bisa cuci rambut sendiri, ya?” tanya Mika dengan raut ingin tahu.

Melihat Tatik hanya diam tidak berniat merespon, Elia berinisiatif menjawab. “Sayang, karena sedang sakit, Oma perlu dibantu untuk mandi dan melakukan hal lain. Jadi, Kak El yang bantu Oma mencuci rambutnya.”

Mulut Mika membola tanpa suara. “Nanti, kalau Oma sudah selesai, gantian Mika, ya?” tanyanya seraya menatap penuh harap pada Elia.

“Memangnya, Mika sedang sakit?” tanya Elia sambil menyemprotkan air hangat ke atas kepala Tatik.

Mika menggeleng. “Mika mau dibantuin juga.”

Elia meraih handuk kecil yang tersampir di bahu kirinya dan membungkus rambut basah Tatik. “Hmm … gimana kalau Mika minta tolong Mama? Kalau nunggu Kak El, nanti Mika kesiangan berangkat sekolahnya. Oke?” Elia mengerling jenaka pada bocah itu.

Mika kembali menggeleng, kali ini dengan wajah cemberut. “Mama gak pernah mandiin Mika. Selalu suster. Lagian, Kak El juga telat.”

‘Upss! Salah bicara gue,’ sesal Elia dalam hati.

“Mika, minta mandi sama Marni, gih.” Tatik mengusap kepala Mika lembut. “Susternya mau bantu oma mandi.”

Kali ini, Mika mengangguk patuh dan berlari keluar.

“Lain kali, jangan ikut campur masalah Mika dan Susan. Susan tidak suka orang lain ikut campur urusannya,” ketus Tatik seraya membuka baju atasannya. “Meski dia anakku, dia berbeda dengan kakaknya, mendiang istri Wira.”

Elia terkejut mendapati nada sedih tersirat dalam ucapan Tatik. Selama Elia merawatnya, Tatik bukan tipe terbuka dan ramah, cenderung murung dan menyendiri.

“Iya, Oma. Maafkan saya.”

“Anita wanita yang hangat dan perhatian. Dulu, aku sempat tidak setuju saat dia meminta izin untuk menikahi Wira. Memang dia tampan, mapan dan pintar, tapi dingin dan kaku.”

Elia terkikik mendengar kebenaran yang Tatik ungkapkan. Sedikit berlebihan, hingga membuat Tatik menoleh padanya.

“Kenapa tertawa?!” tanya Tatik dengan sinis.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status