Keesokan harinya Hasan kembali datang ke apartemen Mila bersama dengan atasan dan salah satu anggota timnya untuk penandatanganan kontrak kerja sama mereka. Mila dan Rini menyambut ketiganya dengan penuh sukacita. Rini lantas menjamu mereka dengan minuman dan kudapan setelah mempersilakan ketiganya duduk.“Kalian baca dulu isi perjanjiannya. Kalau ada yang tidak jelas, tanya saja. Kalau kalian sudah setuju, baru tanda tangan.” Hasan menyerahkan berkas yang berisi perjanjian pada Mila dan Rini.“Yang kamu kasih ke aku sama Rini beda ga isi perjanjiannya?” tanya Mila pada Hasan.“Sama, yang beda cuma nama dan identitas kalian,” jawab Hasan.“Jadi perjanjiannya sendiri-sendiri?” tanya Mila lagi.Pengacara muda itu mengangguk. “Iya.”“Tarif yang kemarin kita bicarakan itu untuk berdua ‘kan? Tidak sendiri-sendiri? Terus terang aku tidak mampu kalau harus membayar dua kali lipat.” Mila harus memastikan terlebih dahulu semuanya sebelum tanda tangan. Karena kalau harus membayar sendiri-sendir
Zyan dan Faisal sama-sama tersentak. Kedua pria itu lupa kalau ada Zahra di antara mereka. CEO dan asisten pribadinya itu berpandangan. Mereka seolah saling memberi kode lewat tatapan mata.“Yang dimaksud Pak Zyan adalah orang yang mengganggu pembangunan proyek kita, Bu.” Faisal yang akhirnya menjawab pertanyaan Zahra.“Memangnya proyek mana yang bermasalah? Kok aku ga tahu, Bang?” Zahra mencecar suaminya.“Di proyek yang baru dimulai pembangunannya, Bu. Memang Bu Zahra sengaja tidak diberi tahu agar tidak kepikiran.” Faisal lagi yang menjawab pertanyaan istri sang CEO. “Memangnya orang itu mau diberi pelajaran apa?” Zahra jadi semakin ingin tahu.“Akan dilaporkan ke polisi karena dia sudah memprovokasi warga agar menolak pembangunan proyek kita, Bu,” jelas Faisal. Asisten pribadi Zyan itu tidak mengarang cerita karena memang kejadian itu nyata adanya. Dia hanya berbohong tentang siapa sebenarnya yang dimaksud oleh Zyan.“Bukannya kita sudah dapat persetujuan warga sekitar sebelum me
“Tergantung hasil penyidikan besok. Kalau langsung ditetapkan sebagai tersangka bisa langsung ditahan. Tapi bisa dilakukan penangguhan penahanan kalau ada mengajukan dan yang menjamin,” terang salah satu polisi.Mila sontak memandang Rini. Kedua wanita itu tak bisa menunjukkan kekhawatirannya. “Apa pasti disetujui penangguhan penahanannya?” tanya wanita hamil itu.“Selama kooperatif saat penyidikan, tidak mengulangi tindakan pidana, tidak berniat melarikan diri dan menghilangkan barang bukti, dan ada yang menjamin biasanya disetujui,” jawab polisi tadi.“Siapa yang bisa mengajukan penangguhan penahanan?” Mila kembali bertanya.“Bisa keluarga atau pengacara,” jawab sang polisi.“Terus nanti jaminannya berupa uang?” tanya Mila lagi.“Bisa uang atau orang,” jelas polisi.Rini mengernyit. “Orang bisa untuk jaminan, Pak?” Dia merasa penasaran.Polisi itu mengangguk. “Iya. Asal orang itu bisa menjamin tersangka tidak melarikan diri. Biasanya pengacara atau orang yang punya nama yang menjami
Zyan lantas duduk tegak menghadap sang istri. Kedua tangannya meraih tangan Zahra lalu menggenggamnya erat.“Tadi Faisal telepon abang. Dia memberi tahu kalau Mila dan asisten pribadinya sudah mendapat panggilan dari polisi. Pasti setelah itu kita juga akan dipanggil untuk memberikan keterangan sebagai saksi. Kamu siap ‘kan?” Pria itu menatap lekat istrinya.Zahra mengangguk. “Insya Allah siap selama Abang ada di sampingku,” jawabnya dengan yakin.“Jangan khawatir, abang dan Bang Herman akan selalu mendampingimu saat kamu memberikan keterangan pada polisi,” lontar Zyan.“Bicara saja apa adanya saat ditanya polisi. Jangan terlihat gugup dan berikan jawaban yang konsisten. Jangan sampai jawabanmu berubah-ubah,” imbuh CEO itu.Ibu hamil itu kembali menyengguk. “Insya Allah. Oh ya, Bang, besok kita dipanggilnya bareng apa sendiri-sendiri?” tanyanya kemudian.“Semoga saja bersama. Besok aku hubungi Bang Herman untuk memastikan. Kenapa memangnya?” Zyan mengerutkan keningnya.“Pengen tahu aj
Dua hari sudah berlalu tapi Mila sama sekali belum mendapat kabar dari Gala. Entah ke mana pria itu? Dia bagai hilang ditelan bumi. Bahkan di televisi pun tak terdengar beritanya. Mila sudah mengirim pesan menanyakan kepastian pernikahan mereka, tapi pesannya tidak terkirim karena hanya centang satu. “Rin, kamu punya nomor manajernya Gala?” Mila bertanya pada asisten pribadinya. “Punya. Kenapa memangnya?” sahut Rini. “Tolong kamu hubungi dia. Tanyakan Gala ada di mana. Aku sudah coba hubungi Gala, tapi tidak bisa,” pinta Mila. “Oke. Aku selesaikan makan dulu ya,” timpal Rini yang sedang menikmati makan siangnya. “Kamu sedang makan apa? Aku lapar.” Mila menghampiri asisten pribadinya itu sambil mengelus perut. Dia tidak tahu kalau Rini memesan makanan karena baru keluar dari kamar. Wanita yang sedang hamil muda itu tadi tidur di kamar. Dia baru bangun dan langsung ingat kalau Gala belum menghubunginya. “Ayam bakar. Aku dah beliin kamu kok. Itu ada di dapur.” Rini menunjuk kotak ma
“Hai, Cantik. Apa kabar?” sapa Aswin begitu berdiri di samping Zahra.Wanita yang mengenakan hijab berwarna cokelat muda itu menoleh ke sisi kirinya. Dia terkejut kala mendapati Aswin yang menyapanya. “Apa yang Pak Aswin lakukan di sini? Seharusnya Bapak bergabung dengan pengusaha lainnya bukan dengan sekretaris,” cetus Zahra dengan ketus.“Kamu tahu tidak? Kamu jadi semakin cantik sekarang. Oh ya, aku dengar kamu sedang hamil. Aura wanita yang sedang hamil itu memang sangat memesona. Membuatku jadi susah untuk memalingkan mata.” Aswin malah merayu Zahra dan tak menggubris ucapan wanita berhijab itu.“Jangan mengatakan hal yang tidak pantas, Pak. Saya ini wanita bersuami,” tukas Zahra dengan sengit.“Suamimu saja menemui pacarnya setelah kalian menikah. Apa kamu yakin selama ini dia tidak menemui wanita lain?” Pria bermata sipit itu coba memprovokasi Zahra.“Pak Zyan selama 24 jam bersama saya, jadi beliau tidak akan menemui wanita lain tanpa sepengatahuan saya. Tolong jangan fitnah s
“Memangnya aku tahanan, kok mau dikurung, Bang,” seloroh Zahra agar obrolan mereka tidak terlalu serius. Walaupun wajah Zyan tidak setegang tadi, tapi Zahra tahu kalau suaminya sedang gundah. Jadi dia ingin sedikit mencairkan suasana.Zyan tersenyum tipis mendengar candaan istrinya. “Iya, kamu memang jadi tahanan di hati abang karena itu kamu tidak boleh berpaling pada pria lain,” timpalnya. “Aku juga ga akan ke mana-mana kok, Bang. Ingin terus sama Abang dan anak kita nantinya,” sahut Zahra yang cukup menenangkan hati Zyan. Meskipun terlihat dingin dan kaku, sejatinya hati Zyan jadi rapuh bila berhubungan dengan Zahra.Perhatian Zyan dan Zahra kemudian berpindah karena pihak pengundang mengumumkan kalau pertemuan hari itu akan segera dimulai. Pasangan itu pun mulai bersikap profesional. Zyan bertindak sebagai atasan, dan Zahra sebagai sekretarisnya. Pertemuan siang itu berjalan dengan lancar. Zyan masih belum memutuskan akan melakukan investasi atau bekerja sama dengan perusahan pe
Zahra berusaha mendorong dada suaminya begitu mendengar suara Faisal. Namun, Zyan bergeming. Dia sama sekali tidak melepaskan tautan bibir mereka meskipun sang asisten pribadi memergoki keduanya. Setelah mendengar pintu ditutup, Zyan baru menjauhkan diri.“Abang, ih. Aku ‘kan jadi malu sama Pak Faisal.” Zahra menepuk dada suaminya sebagai bentuk protes.“Kenapa malu? Kita ini suami istri, sudah halal mau ngapa-ngapain,” tukas Zyan sambil menatap lekat mata istrinya.“Tapi ga di depan orang juga, Bang,” lontar Zahra.“Kita ini di ruanganku loh. Tidak ada orang lain di sini selain kita berdua. Salah Faisal sendiri yang masuk ga ketuk pintu dulu.” Zyan membela diri.Namun memang benar apa yang dikatakan CEO itu. Biasanya Faisal mengetuk pintu terlebih dahulu, tapi tadi langsung masuk saja. Jadi memang salah asisten pribadi Zyan sendiri.Zahra diam, tak membalas atau menanggapi suaminya. Dia malah mendorong kursinya ke belakang agar tidak terlalu dekat dengan suaminya. Bukan maksud menola