Alena sudah tertidur di kamar atas. Hana menatap wajah polos gadis kecil itu dengan mata sendu. Ia duduk di tepi ranjang, menepuk lembut dada Alena agar tidur lebih nyenyak. Abian berdiri di ambang pintu. “Dia mirip kamu kalau tersenyum,” katanya pelan, sambil mengelus pipi istrinya. Hana menoleh, dan sekilas tersenyum lalu mengutarakan isi hatinya. “Aku hanya takut... suatu hari dia diambil dariku.”Kemudian Abian duduk di samping Hana berusaha menenangkan gundahnya hati sang istri. “Aku tak akan membiarkan itu terjadi.Sementara di seberang sana lebih tepatnya di kediaman Mira. Perempuan yang tidak lagi muda itu duduk di kursi rodanya dengan selimut menutupi kaki. Sedangkan Felia duduk di hadapannya di depan sofa menunduk, wajahnya terlihat muram.“Ada apa denganmu, kenapa hanya diam? Mama tahu kamu sedih karena putriku direbut, tapi... kamu jangan seperti ini.”Felia menghela napasnya yang terasa sesak. “ Aku sedih Ma... Alena bilang ingin tinggal bersama Hana. Dia bilang... m
Sepuluh menit telah berlalu dan semua pihak kembali ke ruang sidang dengan ketegangan yang belum surut. Hakim kembali duduk di kursinya, lalu memberi isyarat pada staf pengadilan untuk memutar rekaman video dari Alena seperti yang telah disepakati sebelumnya oleh kedua belah pihak. Kemudian layar besar dinyalakan di ruang sidang.Alena, duduk di hadapan konselor dengan staf pengadilan anak. Ia mengenakan gaun kuning polos dengan rambut di kucir dua. “Halo, Alena. Apa kamu senang tinggal bersama Bunda Hana dan Papa Abian?” tanya suara lembut dari luar layar.Gadis cantik itu mengangguk, dan melambaikan senyum. “Iya... Mama Hana baik banget. Dia selalu temani aku makan, nyuapin kalau aku males makan, dan dia peluk aku setiap malam.”“Kamu suka tinggal di sana?”“Suka! Di sana aku punya kamar sendiri. Aku juga sekolah bareng teman-teman. Papa Abian selalu jemput aku... kadang kami beli es krim!”Suara konselor tertawa pelan. “Bagaimana dengan Mommy Felia?”Alena diam sejenak. Lalu,
"Saya mungkin bukan lelaki baik, tapi..." Rio menarik nafasnya sebelum akhirnya kembali berbicara, "Saya tidak ingin gagal sebagai Ayah, dari itu saya tidak ingin putri saya di ekploitasi untuk kepentingan pribadi ibunya." Mira yang jatuh sakit semenjak dijatuhi hukuman, dan sekarang lumpuh hanya bisa duduk di kursi roda mengepalkan tangannya, setelah melihat Rio ikut menyerang Felia, putrinya. "Tidak!" pekik Mira geram, "Kau telah gagal sebagai seorang lelaki, juga sebagai Ayah. Pria brengsek!" Felia mendekat pada ibunya, "Ma... jaga emosimu. Jangan biarkan semuanya meledak di sini. Ini masih di ruang sidang." Mira menetralkan emosinya setelah diperingatkan Felia.Hakim mengetuk palunya dua kali. “Tolong jaga ketertiban dalam ruang sidang. Jika tidak, saya tidak segan meminta petugas mengeluarkan siapa pun yang membuat keributan!”Suasana kembali hening, meski aura tegang menggantung kuat di udara. Rio menarik napas panjang, lalu melirik ke arah Hana yang duduk di belakang tim k
Abian menggenggam tangan istrinya, ia meyakinkan Hana kalau di pengadilan nanti hak asuh Alena pasti jatuh pada Hana. “Kita hadapi ini bersama-sama, kita lawan Felia... apa pun putusan pengadilan kita akan hadapi bersama.” Hana terpana dengan ucapan Abian yang menenangkan hatinya. Wajahnya nyaris terlihat tenang walau sebenarnya diliputi rasa gundah. “Terima kasih Abian... kau sudah mau perjuangkan Alena untuk kita,” lirih Hana, akhirnya mencebikan pipinya dengan kedua tangannya untuk menghapus air mata. “Mama...” Alena memanggil Hana, polos. “Mama kenapa?” Hana buru-buru memaksa bibirnya tersenyum. “Tidak apa-apa sayang,” Abian mengusap kepala Alena lembut, lalu menunduk menatap mata polos anak itu. "Alena, Papa dan Mama hanya sedang sedikit lelah. Tapi kami di sini untukmu, selalu," katanya pelan. Alena menatap kedua orang tuanya dengan bingung, seolah belum sepenuhnya memahami apa yang terjadi. Tapi ia lalu memeluk Hana dengan tangan kecilnya. "Aku nggak mau jauh dari Mama
Hening pasca pengakuan itu perlahan digantikan oleh desiran emosi yang tak bisa dibendung. Meskipun Alena memeluk Hana dengan polos, dunia orang dewasa di sekelilingnya masih menyimpan bara yang belum padam. Wanita paruh baya yang berdiri di balik kaca ruangan itu melipat tangannya di dada. Matanya yang tajam menyapu ruangan dengan penuh pertimbangan. Ia mengenakan mantel cokelat muda, dan rambut pendeknya tertata rapi seperti biasa. Di balik ketenangan itu, pikirannya bekerja cepat, menyusun langkah demi langkah untuk mengubah keadaan menjadi sesuai keinginannya. “Anak ini, Alena…” gumamnya lirih. “Dia kartu paling berharga yang pernah dimiliki Felia. Tapi sekarang, permainannya berantakan.” Sambil berbalik, ia berjalan pelan meninggalkan koridor kaca lantai atas gedung Adiyaksa Corp. Di tangannya, ia memegang sebuah map cokelat dengan segel kantor hukum terkenal. Ia membuka ponselnya dan menekan satu nama di daftar kontak. “Aku butuh pengacara keluarga... bukan untuk aku. Un
Tatapan Felia beralih pada seseorang yang baru saja memasuki ruangan itu, sorot matanya tajam . Bibirnya tercekat kaku... "Mau apa kau datang kemari?" Felia mengumpat. "Tentu saja untuk mengungkap siapa Alena, dan siapa ayahnya yang sebenarnya!" pria itu tersenyum lebar. "Alena bukan Anakmu!" tukas Felia geram, sebelum akhirnya amarahnya meledak. "Tapi, Alena anak kandung Abian..." Hening... Waktu terasa berhenti seolah dunianya runtuh saat pria itu berkata seperti itu. Felia menenggak ludahnya, nyaris tidak bisa berkata-kata. "Jadi sebenarnya Alena anak siapa, Fel?" Hana akhirnya angkat bicara. Tatapan Felia kini kembali beralih pada Abian dan Hana. "Dia anak Abian..." tegas Felia. "Kau yakin dia Anakku?" Abian kini berdiri di depan Hana. "Kau pikir aku bodoh? Sebelum kau menipuku, aku sudah lebih dulu melakukan tes DNA ulang dengan Alena... dia memang putriku, tapi dia bukan anak kandungku." Felia mengepalkan tangannya, rasanya ingin sekali menghardik Abian. "K