Share

Kegaduhan dan Wanita Jahat

Mentari terbangun dengan ringisan kecil keluar dari bibirnya. Hasna yang saat itu sedang meletakkan nampan di atas nakas seketika menoleh dan membantu Mentari untuk duduk bersandar di kepala ranjang.

"Pusing?" tanyanya.

Mentari perlahan membuka mata dan dahinya berkerut memperhatikan sekeliling. "Iya. Aku kenapa, Bu?"

Hasna menghela napas. Wanita tua itu duduk di tepian kasur, lalu meraih nampan dan memberikan segelas air putih kepada Mentari.

"Kamu pingsan, Nak, semalaman," jawab Hasna.

Mentari terdiam. Jadi, dia tak sadarkan diri semalaman? Dan, bagaimana dengan acara makan malam untuk perayaan ulang tahun Hasna? Lalu, bagaimana dengan Bian? Apa pria itu tahu dirinya pingsan? Atau, pria itu tidak ada di sini lagi karena dia tidak peduli?

Mentari menunduk menatap gelas yang dipegangnya. "Bu, maaf," gumamnya pelan.

Hasna mengusap pipi Mentari, "Ibu yang harusnya minta maaf. " Hasna merasa dia gagal mendidik Bian menjadi pria bertanggungjawab seperti Genta.

"Sekarang sarapan, ya, ini Senja yang bikin loh. Katanya kamu kangen masakan Senja, kan?"

Mentari menatap piring berisi nasi goreng yang memang dangat disukainya. Apalagi itu buatan tangan kembarannya, kesukaan Mentari sekali.

"Dia lagi hamil gede, masih aja aktif," keluh Mentari.

Hasna tertawa pelan, "itulah alasan kenapa Genta suka sakit kepala mendadak. Istrinya bandel padahal udah dilarang," sahutnya.

Mentari tersenyum. Kenapa nasibnya tidak seberuntung kembarannya? Kenapa Mentari tidak bisa bahagia dengan pria yang dicintainya seperti Senja? Kenapa dia berbeda?

"Aaa, buka mulutnya," Hasna menyodorkan satu sendok nasi goreng dan Mentari menerimanya setelah meminum setengah dari isi gelas di tangannya.

"Hm, rasanya gak pernah berubah. Astaga," Mentari sampai memejamkan mata meresapi kenikmatan masakan kembarannya.

"Masakan kamu juga enak loh. Ibu sama Senja udah belajar bareng, tapi tetap aja rasanya gak sama."

Mentari membuka mata dan menatap Hasna. "Resepnya udah aku tulis di note dan aku tempel di kulkas kok, Bu," katanya.

Hasna tahu, makanya dia mengangguk membenarkan. "Udah. Persis kayak apa yang kamu tulis itu. Tetap aja, enakan masakan dari tangan kamu langsung," keluh Hasna.

"Selamat pagi," Senja masuk dan bergabung bersama keduanya sambil menggendong Yessi. Istri Genta itu memilih duduk di sisi lainnya di sebelah Mentari.

"Ini kenapa mukanya cemberut, Nak?" Mentari menatap Yessi dan mencubit pipi gembul anak Senja itu.

"Biasalah, tiada pagi yang indah tanpa cek-cok sama kakaknya," jawab Senja.

Mentari terkekeh, "siapa yang menang, Dek?" tanyanya pada Yessi. Bocah 2 tahun itu menunjuk dadanya dengan bangga.

"Terus kenapa nangis?" tanya Mentari lagi menahan senyuman geli. Hasna sudah geleng-geleng kepala dibuatnya.

Yessi menatap Senja meminta bantuan untuk menjelaskan. Mata polosnya membuat Senja tertawa geli. Putrinya ini benar-benar nakal dan menggemaskan di waktu yang bersamaan.

"Iya, Adek menang lawan Kakak. Tapi tetap diomelin Ayah," kekehnya.

Yessi langsung memberengut dan melipat kedua lengannya di dada. "Ayah cebel!" serunya dengan kesal.

Hasna dan Mentari tertawa melihat ekspresi anak Senja dan Genta itu.

"Mi mam pa?" tanyanya pada Mentari sambil menatap piring di tangan Hasna.

"Nasi goreng," jawab Mentari.

"Kok cuap?"

Senja memeluk gemas putrinya. "Mami lagi pusing, makanya disuap. Dan Adek sama Kakak gak boleh berisik. Nanti Mami tambah pusing," katanya pada Yessi.

"Iya, Nek?"

Hasna mengangguk membenarkan. Yessi pun langsung manggut-manggut paham. Namun, tak lama kemudian, pintu kamar Mentari kembali terbuka.

"Luka, Bunda! Kakak gak mau, bales pokoknya!" seru Yosi dengan wajah kesal luar biasa menatap kepada sang adik yang duduk di atas pangkuan Senja.

"Apacih? Belicik!"

***

"Bu, ada paket buat Bu Hasna."

Senja yang baru saja keluar dari kamar Mentari seketika mengernyit bingung. Dengan langkah pelan wanita itu mendekati ruang tamu di mana ART-nya meletakkan paket tersebut.

"Dari siapa?" tanya Senja.

"Pak Bian, Bu," jawabnya.

Bian? Paket apa ini?

"Yaudah, kamu taruh ke kamar Ibu aja. Paling kado ulang tahun kali, ya," ujar Senja meyakinkan diri.

"Baik, Bu," ART berlalu membawa paket untuk Hasna menuju kamar mertua Senja itu. Sementara Senja beranjak dan memasuki kamarnya.

"Udah mau berangkat?" tanyanya pada Genta yang tampak bersiap mau keluar kamar.

Genta mendekati Senja dan mengecup kening istrinya. Sebelah telapak tangannya mendarat di perut buncit Senja. "Hm, kamu di rumah aja jangan ke mana-mana dan jangan banyak tingkah, paham?"

Senja mencebikkan bibir. Genta suka sekali bawel dan cerewet semenjak dia hamil anak ketiga mereka ini. "Iya. Nanti Mas pulang jam berapa?"

Senja mengelus dada bidang suaminya dan merapihkan dasi yang Genta kenakan. Memang tadi Senja yang memakaikannya, tapi karena buru-buru saat mendengar teriakan Yosi, wanita itu tidak terlalu memperhatikan kerapian penampilan suaminya.

"Siang udah pulang kok. Karena Bian udah balik ke Jakarta, gimana nanti malam kita makan malam di luar? Sebagai ganti acara semalam, sih," usul Genta.

"Mas Bian udah balik Jakarta? Kenapa gak bilang? Biasanya juga pamit dulu ke sini, kan? Kok mendadak?"

Genta mengangkat bahu acuh. Dia juga tidak tahu alasan adiknya pergi tiba-tiba. Biasanya pria itu malah akan betah berlama-lama di Bali ini. Mengingat semua anggota keluarga juga di sini.

"Apa menghindari Mentari, ya, Mas?"

Genta merangkum wajah Senja yang memang tembam semenjak hamil ketiga ini. "Seharusnya Mentari yang menghindari bajingan itu, bukan sebaliknya."

"Mas," tegur Senja. Dia tidak suka penyebutan Genta untuk diri Bian. Bagaimana pun, Bian adik iparnya. Walaupun Mentari tersakiti karena Bian, tapi Senja yakin, keduanya pasti punya perasaan yang tidak mereka mengerti.

Di Jakarta, Bian memasuki apartemennya dan berdecak kesal karena bayangan Mentari kembali menari-nari di benaknya. Apartemen inilah saksi bisu malam panas setahun yang lalu.

"Lama-lama gue gila beneran ini," kesalnya.

Bel apartemen berbunyi membuat Bian semakin berdecak. Siapa pula yang bertamu pagi-pagi begini?

Dengan langkah lebar, Bian mendekati pintu dan membukanya. Pria itu langsung terdiam saat tahu siapa yang berani mengganggunya sepagi ini.

"Bian, akhirnya kamu kembali," gumam wanita di depan Bian.

"Kania, plis, aku sedang buru-buru. Kalau kamu cuma mau bahas tentang kehamilan kamu itu, nanti aja," tolak Bian saat Kania hendak melangkah masuk.

"Tapi, Bi, kita harus bahas ini secepatnya. Aku gak mau orang-orang semakin curiga. Apalagi perut aku udah sebesar ini," Kania menyentuh perutnya sehingga tatapan Bian ikut mengarah ke sana.

"Berapa bulan?" tanya Bian.

"Masuk tiga bulan. Minggu depan aku ada kontrol sama dokter, aku mau kamu yang nemenin aku."

Bian mengacak kesal rambutnya. "Oke, sekarang kamu bisa pergi. Dan jangan hubungi aku terus-terusan, Kania. Kamu mengganggu sekali," decak Bian.

Kania mengangguk dengan senyum di bibirnya. Dengan langkah riang wanita itu berbalik meninggalkan unit apartemen Bian. Kakinya memasuki lift dan tangannya merogoh ponsel di dalam tas mewah miliknya. Kania mengirimkan pesan ke seseorang dengan senyum miring di bibirnya.

"Berhasil!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status