แชร์

Hilang dan Sebuah Kebohongan

ผู้เขียน: PRINCESSA
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2021-05-19 13:09:34

Sore harinya di kediaman Senja dan Genta, sebuah mobil mewah berhenti di depan perkarang rumah tersebut. Setelah memperlihatkan identitas si pengemudi, barulah gerbang yang menjulang tinggi itu dibuka, lalu mobil dipersilakan masuk.

Mentari yang duduk di taman depan rumah menemani kedua keponakannya bermain seketika menoleh. Mentari tidak asing dengan mobil yang baru saja berhenti di depan rumah kembarannya.

"Kak, lihat Adek sebenyar, ya, Mami ke sana dulu," ujar Mentari kepada Yosi.

Tanpa menunggu jawaban dari gadis itu, Mentari beranjak dan mendekati mobil tersebut. Kening Mentari semakin berkerut saat yang keluar dari mobil bukan orang yang ia maksud, melainkan seorang sopir.

"Loh, Pak? Ada apa?" tanya Mentari.

Pria paruh baya itu menoleh dan mengangguk sopan. "Tuan besar menyuruh saya untuk menjemput Nona. Nyonya besar sedang sakit, Non," jawabnya.

Jantung Mentari berdetak dengan kencang. "Sakit? Sakit apa? Kenapa Papa gak bilang ke saya sejak kemarin?"

Sang sopir hanya menggeleng pelan. Lalu pria itu mengeluarkan ponselnya yang berdering. Ada sebuah panggilan masuk dari orang yang baru saja mereka bahas.

"Halo, Tuan, sudah. Saya sudah bertemu Nona Mentari."

Mentari mengulurkan tangan meminta ponsel sang sopir. Dia ingin berbicara pada ayahnya.

"Halo, Pa? Mama sakit apa?"

"Sakit mag-nya kambuh, dan Mama mau ketemu kamu. Katanya kangen,"

"Astaga, Mama kebiasaan deh. Iya, aku balik sekarang."

"Papa udah belikan tiket balik, nanti pas di bandara Jakarta, udah ada sopir yang nungguin,"

Setelah mengatakan iya, Mentari memberikan kembali ponsel sang sopir. "Sebentar, ya, Pak, saya ambil koper dulu," katanya yang diangguki sang sopir.

Di dalam rumah, Mentari berpapasan dengan Senja dan Hasna. Wanita itu langsung memberi tahu tentang kepulangannya ke Jakarta sore ini. Senja dan Hasna jelas kaget, mereka sudah membicarakan tentang usulan makan malam dari Genta, ternyata Mentari malah harus pergi secepat ini.

Sekitar sepuluh menit mengemas barang-barangnya, Mentari memeluk Senja dengan sayang, lalu beralih pada Hasna.

"Balik ke sini lagi, ya, aku mau pas lahiran ada kamu," ujar Senja sedih.

Mentari tersenyum dan mengangguk berulang kali. "Pasti. Kamu tinggal telpon aku. Jakarta-Bali gak sejauh itu, Senja," kekehnya.

Senja tetap saja cemberut. Kali ini giliran Hasna. Wanita tua itu menatap Mentari dengan tatapan lembutnya seorang ibu. Tangannya mengusap tangan Mentari.

"Jaga diri baik-baik, ya, jangan telat makan dan jangan kekurangan istirahat. Paham?"

Mentari mengangguk kembali dengan senyum lebar di bibirnya. "Ibu juga jaga kesehatan. Mau nambah cucu loh, harus sehat dan kuat," godanya membuat Hasna berdecak, sedangkan Senja terkekeh.

Mentari benar-benar meninggalkan kediaman Senja dan Genta. Bahkan Yosi dan Yessi sudah menangis untuk menahan kepergian wanita itu. Tapi Senja dan Hasna menenangkannya. Mentari memang harus kembali. Orangtua angkatnya membutuhkannya.

Di Bandar Udara Internasional Ngurah Rai, Mentari berjalan tergesa. Jadwal penerbangan yang mendadak seperti ini membuatnya sedikit menahan napas. Takut-takut ketinggalan pesawat.

Mentari tidak tahu, ada seorang pria yang baru saja ia lewati begitu cepat. Bian. Pria itu kembali, untuk menemui Mentari. Sayangnya, waktu tidak sedang mendukung mereka.

Keduanya berpapasan tapi tidak saling menyadari. Hingga Mentari menghilang jauh, Bian mengernyit bingung dan menoleh ke belakang. Jantung pria itu mendadak berdebar-debar.

"Feeling gue doang paling," gumamnya sambil kembali melangkah.

***

Bian menaiki taksi untuk tiba di kediaman Genta dan Senja. Pria itu langsung menuju sebuah kamar yang sebelumnya di tempati oleh Mentari. Membuka pintu dengan pelan, Bian mengintip sedikit. Keningnya berkerut samar saat melihat tidak ada si penghuni kamar tersebut.

"Loh? Mas Bian? Kapan sampai?" Nisa yang baru saja menuruni undakan tangga dengan Yessi di gendongannya bertanya bingung.

Bian menolah dan menggaruk pelipisnya. "Baru aja. Yang lain mana? Kok sepi?"

Nisa menunjuk halaman belakang dan Bian langsung paham kalau anggota keluarga yang lainnya pasti sedang berkumpul di sana. Dengan langkah lebar dan terasa sedikit ringan, Bian menuju halaman belakang meninggalkan Nisa yang menatap punggung pria itu dengan kebingungan.

"Bunaaa..."

Nisa terkekeh dan segera melangkah mengikuti jejak Bian menuju halaman belakang. Perempuan itu tadi mendengar suara tangisan Yessi dari kamarnya. Ternyata benar, bocah kecil itu bangun dari tidurnya dan menangis karena tidak menemukan siapa pun bersamanya.

"Adek masih ngantuk loh ini," ujar Nisa sambil menciumi pipi gembul Yessi.

Bocah itu hanya menggeleng dan mengucek matanya yang memang terlihat masih mengantuk. Belum sempat Nisa ikut bergabung dengan anggota keluarga yang lain, perempuan itu berpapasan dengan Bian yang tergesa meninggalkan halaman belakang.

"Mas Bian kenapa, Bu?" tanya Nisa pada Hasna yang duduk berselonjor di sebuah bangku panjang.

"Gak tahu, gila paling," jawab Hasna asal.

Senja mengusap lengan Hasna dan berkata dengan lembut untuk menenangkan ibu mertuanya. Hasna jelas masih sangat kesal kepada Bian tentang perbuatannya kepada Mentari. Wanita tua itu kecewa dan sedih secara bersamaan.

Dulu, Hasna sempat berharap kalau Bian bersatu dengan Mentari mengingat keduanya terlihat dekat. Namun, siapa sangka, Bian menolak perasaan Mentari. Hasna jelas tahu perkara itu, Senja yang menceritakannya karena keceplosan bicara.

Di depan rumah, Bian mengumpat berulang kali saat jadwal penerbangan ke Jakarta tidak ada lagi dalam waktu dekat. Bian jelas kesal dan panik. Dia ingin segera bertemu dengan Mentari dan menjelaskan apa yang memang seharusnya sejak awal dia jelaskan.

Bian ingin Mentari paham apa yang sebenarnya terjadi setelah malam itu sebelum wanita tersebut menghilang dengan janin di rahimnya.

"Sial."

Kalau saja Bian tahu Mentari akan kembali ke Jakarta lebih awal, mungkin dia tidak akan terbang ke sini. Bian sudah pasti akan menunggu saja di Jakarta sana.

Akhirnya dengan perasaan yang gundah-gulana, Bian memesan tiket untuk kembali ke Jakarta. Memang harusnya dia tidak gegabah. Bian harus menenangkan diri lebih dulu.

Besok, Bian akan menemui Mentari dan harus meluruskan apa yang bengkok sejak awal. Perlahan, Bian yakin, mereka pasti menemukan titik terang untuk kesalahpahaman ini.

Di Jakarta, Kania sedang tersenyum sambil menggeser-geser layar ponselnya. Rencananya berhasil. Kania akan segera mendapatkan Bian  dengan kehamilannya ini.

"Kamu serius mau cerai?" tanya seseorang yang sejak tadi memperhatikan wanita itu.

Kania mengangguk dengan santai, "buat apa bertahan sama pria cacat kayak dia? Udah mandul, perusahaannya juga mau bangkrut. Aku gak mau hidup susah," ujarnya sambil bergidik ngeri.

"Tapi kamu lagi hamil, Kania. Bayimu butuh sosok ayah untuk ke depannya," jelas lawan bicara Kania.

"Ya, aku tahu. Aku juga akan menikah dengan ayah bayiku. Tenang saja."

"Bian?"

Kania tersenyum lebar. "Hm, siapa lagi kalau bukan dia?"

"Kamu bisa dituntut kalau sampai Bian tahu kebohonganmu ini," tegur wanita yang berprofesi sebagai dokter kandungan dan rekan kerja Kania.

"Dan aku gak boleh ketahuan. Kamu harus tutup mulut. Saat aku dan Bian kontrol Minggu depan, kamu harus mengatakan usia janinnya sesuai dengan apa yang aku katakan, agar Bian tidak curiga," balas Kania.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Dark Secret 2 [Mentari]   Ketagihan - Bonus

    "Good morning,My Sunshine," Bian memberikan kecupan-kecupan ringan di pipi Mentari yang baru saja membuka mata. Mentari tersenyum secerah sinar matahari pagi ini. "Nyenyak banget," gumamnya dengan perasaan bahagia. Ini tidur pertama yang sangat Mentari nikmati setelah enam bulan menikah dengan Bian. Mentari merasa benar-benar menjadi wanita utuh kali ini. Bian sudah menanam sahamnya dan itu membuat Mentari bisa bernapas lega.

  • Dark Secret 2 [Mentari]   Program Masa Depan - Bonus

    "Bi," Bian menatap Mentari dengan pandangan bertanya. Pria itu mengusap pipi istrinya dengan lembut. Posisi mereka saat ini sama-sama berbaring menyamping. Menatap kebahagiaan dari wajah masing-masing. "Udah enam bulan. Aku udah sembuh. Kamu..." Bian tersenyum lembut dan mendekatkan wajahnya untuk bisa menyentuh ujung hidung Mentari dengan ujung

  • Dark Secret 2 [Mentari]   Rencana Berdua - Bonus

    Enam bulan berlalu. "Ya... Ya..." Mentari menunduk dan tersenyum. Seorang bayi gembul berusia 5 bulan sedang menatap pada seorang pria dengan mata bulatnya yang jernih. "Dadah Ayah..." Mentari melambaikan tangan si bocah pada pria di depan mereka.

  • Dark Secret 2 [Mentari]   Kedatangan - Bonus

    “Ay, maaf, ya. Aku belum bisa ajak kamu honeymoon atau ke mana pun dalam keadaan kayak gini,”bisik Bian dengan nada bersalah kepada wanita yang kini sudah resmi menjadi istrinya. “Gak apa-apa. Aku bareng sama kamu kayak gini aja udah senang, Bi, aku gak butuh yang lain untuk saat ini,”balas Mentari. Hari sudah malam. Acara akad diselenggarakan pada pagi menjelang siang tadi. Kini anggota keluarga yang lain sudah pergi dan meninggalkan Bian serta Mentari berduaan. “Siapa?” Pintu ruangan yang diketuk, lalu terbuka membuat Bian serta Mentari menoleh bersamaan. Saat Bian bertanya, tidak ada suara. Ternyata… “Mama,” Mentari mengurai pelukannya pada tubuh sang suami. Wanita itu menegakkan tubuhnya saat orang yang ia panggil ‘mama’itu mendekat. Raut wajahnya pias dan penuh penyesalan. “Ay, selamat,”ujarnya. Mentari berdiri dan menerima uluran tangan ibunya. Mentari menyayangi kedua orangtua angkatnya seperti orangtua kandung.

  • Dark Secret 2 [Mentari]   Akad Nikah - Bonus

    Hitungan jam menuju hari yang ditunggu oleh Mentari dan Bian. Meski keadaan Bian masih dalam tahap pemulihan, tapi hal tersebut tidak menyurutkan niat dan semangatnya untuk mempersunting wanita pujaannya. “Kenapa?”tanya Bian saat Mentari mendongak. Wanita itu tengah berbaring di sofa dengan paha Bian sebagai alasnya. “Aku… mau ikut konsultasi. Aku… mau sembuh, Bi.” Bian tahu ke mana arah pembicaraan mereka kali ini. Senyum lembut yang Bian berikan membuat Mentari sedikit tenang. Elusan telapak tangan Bian di rambutnya bisa Mentari rasakan penuh dengan perasaan sayang. “Apa pun keputusan kamu, aku akan selalu dukung. Apalagi itu untuk kebaikan kamu, Ay,”balas Bian. Mentari menarik napas sebelum membuangnya secara perlahan. Mentari berharap traumanya akan benar-benar sembuh total dan ia bisa hidup dengan tenang Bersama Bian tanpa dibayang-bayang masalalu menakutkan. “Kapan mau mulai konsultasi?”tanya Bian. Ibu jarinya mengusap kening Men

  • Dark Secret 2 [Mentari]   Happy Ending

    Kini urusan Kania dan Bian sudah selesai. Tidak ada yang perlu mereka khawatirkan lagi. Kania tidak menginginkan Bian lagi. Kania sadar, tidak ada hal baik yang akan terjadi jika ia memaksakan keinginan konyolnya.Kania berbalik dan melangkah menuju pintu di mana Mentari masih terdiam bisu. Kania berhenti sejenak dan tersenyum sambil mengangguk kecil pada Mentari sebelum benar-benar pergi dari sana."Sini,"

  • Dark Secret 2 [Mentari]   Kania

    Bian tengah menunggu Mentari yang katanya ingin membeli camilan di supermarket sebelah rumah sakit. Sementara Hasna, Genta dan Nisa sudah kembali ke Bali untuk menjemput Senja. Kembaran Mentari itu bersikeras ingin hadir di pernikahan Bian dan Mentari, padahal ia tengah hamil besar saat ini.Pintu kamar inap yang terbuka membuat senyum Bian mengembang. Namun, saat bukan Mentari yang masuk, senyumnya langsung hilang begitu saja. Apalagi sosok di depannya sana bukan lah orang yang ingin ia lihat.

  • Dark Secret 2 [Mentari]   Sebuah Akhir

    Hasna memeluk Mentari dengan erat. Tangisnya kembali pecah ketika wanita itu bertanya ke mana saja calon menantunya tersebut selama seminggu ini. Hasna tidak menyangka kalau orangtua Mentari menghukum Bian seperti ini.Menjauhkan Bian dari Mentari sama saja membunuh putranya itu secara perlahan dengan pasti."Maafin aku, Bu," bisik Mentari dengan suara parau.Hasna menggeleng. Keduanya mengurai pelukan dan jemari tua Hasna mengelus pipi basah Mentari."Jangan pergi lagi, ya, Nak. Jangan tinggalin Bian," mohonnya.Mentari semakin terisak. Kepalanya menggeleng dengan kuat. "Aku gak akan ninggalin Bian, Bu, aku gak mau kehilangan Bian lagi," balasnya.Hasna mengangguk, "kalian berhak bahagia. Ibu selalu mendoakan yang terbaik untuk kalian."Mentari mengusap punggung tangan Hasna dengan ibu jarinya. Pandangan wanita itu sedikit menunduk. Ada keinginan yang harus dia sampaikan. Tapi Mentari ragu, apakah ini waktu yang tepat atau tidak?

  • Dark Secret 2 [Mentari]   Terlambat?

    Mentari mengusap air matanya yang tidak mau berhenti sejak tadi. Tangannya dengan cepat memasukkan beberapa barang yang menurutnya cukup penting ke dalam tas kecil miliknya. Ponsel yang Ikhsan berikan juga ia bawa. Jaga-jaga kalau ia membutuhkan sesuatu dengan benda itu.Mentari menatap pintu kamar. Orangtuanya pasti sudah terlelap saat ini. Mentari akan pergi. Dia tidak bisa berdiam diri di sini. Mentari harus bertemu Bian. Rasa rindunya semakin menyiksa. Apalagi Mentari tidak tahu bagaimana Bian saat ini. Apakah pria itu mencarinya? Semua akses yang bisa Mentari gunakan untuk berkomunikasi dengan Bian

สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status