TIGA TAHUN SEBELUMNYA (FLASHBACK)
Sebuah sedan berwarna silver berhenti tepat di sebuah bangunan yang terlihat lama tak ditinggali. Halaman depan dipenuhi daun kering yang berserakan. Pagarnya yang hanya sebatas lutut orang dewasa sudah berkarat dan tidak tegak lagi.Wanita bersetelan jas hitam turun dan berjalan memasuki pekarangan rumah dikawal dua orang dengan pakaian yang hampir serupa.
Salah satunya membuka pagar dan mempersilahkan wanita bertubuh jenjang itu untuk berjalan di depan. Sampai di ambang pintu, seorang wanita setengah baya tergopoh-gopoh menyambutnya.
"Silahkan masuk, Abby," ucap wanita itu.
Gadis itu mengangguk kemudian melangkah perlahan, sekilas mengedar pandangan pada seisi ruangan yang ia lewati. Masih sama seperti sebelumnya, delapan belas tahun yang lalu. Terasa kosong. Hanya tatapan dingin yang terpancar dari manik mata berhiaskan bulu lentik—makin mempercantik parasnya.
Di sudut ruangan itu teronggok piano kesayangan, hadiah ulang tahun dari ayahnya dulu. Mereka sering memainkannya bersama setiap sore hari. Tepat di jam yang sama seperti saat ini. Memori itu terus mengalun dalam ingatan gadis itu, seperti alunan musik yang selalu dimainkannya.
"Ada apa, Nona?" tanya salah seorang pria bertubuh gempal yang sejak tadi mengiring langkahnya. Gadis itu menggeleng."Rumah ini terasa begitu kosong dan hampa," jawabnya, lirih. Masih mengedar pandangan sembari mengumpulkan serpihan kenangan yang berceceran.
Tak ada komentar yang keluar dari mulut pengawalnya. Tak ada satu pun dari mereka yang mengetahui dengan jelas asal-usul bos wanitanya itu.
Gadis itu melanjutkan langkah hingga tiba di sebuah ruangan yang gelap. Hanya diterangi secercah sinar mentari yang menyeruak lewat celah tirai.
Seorang pria berbaring di atas ranjang dengan tatapan kosong ke langit-langit kamar. Wanita itu mendekat demi menyentuh lengan kokoh yang kini tinggal tulang.
"Aku pulang, Papa." Bibir merahnya berusaha menyunggingkan senyum. Namun, matanya tak mampu berbohong, ingin sekali menumpahkan jutaan bulir bening yang terkumpul di balik kelopak matanya, tetapi ditahannya sekuat tenaga.
Pria itu tetap bergeming, membuat gadis itu menelan salivanya. Menelan rasa sakit yang kini menjalari relung hati. Pria yang sangat ia cintai, cinta pertamanya, kini terbaring layaknya mayat hidup. Tak ada seorang pun yang mampu menolong.
Suara mesin yang terhubung dengan selang yang menyokong kehidupan pria itu tak henti berbunyi mengiringi kesunyian dan kebisuan dua orang yang sesungguhnya saling mencintai.
"Papa ...," panggilnya lagi, lirih. Hatinya perih bagai teriris sembilu melihat kondisi Ayah tercintanya. Ia berbalik dan bergegas pergi dari ruangan itu. Menutup pintu kamar perlahan kemudian menumpahkan tangis yang sejak tadi ditahan.
"Aku akan tepati janjiku, Papa. Mereka tak akan pernah kubiarkan hidup dengan tenang," ucapnya, bermonolog sebelum kemudian kembali melangkah, meninggalkan tempat yang pernah membawa jutaan kenangan dalam hidupnya. Kenangan yang tak akan pernah mati meski tanah membenamkan jasadnya suatu saat nanti.
Ia mengusap sisa air mata di pipinya. Yang ia inginkan hanya mencari keadilan untuk ayahnya yang kini sedang sekarat. Ia tak akan tinggal diam. Bagaimana pun caranya, ia akan membalas perbuatan orang yang memberi penderitaan bagi keluarganya.
***
Seorang wanita sudah duduk di kursi kebesarannya sejak pagi buta. Ia tak bisa memejamkan mata malam tadi. Berbagai pikiran berkecamuk mengganggunya. Ia masih berusaha mencari siapa pun yang menyebabkan seorang gadis kecil harus terpisah dari orang tuanya. Merenggut masa kecilnya yang terpaksa harus ia jalani tanpa kasih sayang orang tua.
Abigail hanya bisa mendesah pasrah setiap kali mengingat kehidupannya yang berubah jadi mimpi buruk sejak kedatangan wanita yang mengaku mengandung anak dari Ayahnya. Ia masih ingat potongan kejadian kala itu. Ia masih berusia 12 tahun, bahagia menanti kehadiran adik yang akan meramaikan rumahnya. Gembira karena akan memiliki teman bermain.
Namun, kebahagiaan itu seketika musnah ketika wanita yang mengaku kekasih gelap Ayahnya datang dengan membawa kabar mengejutkan.
Saat itu Ibunya menangis histeris, memukul dada Ayahnya yang berusaha menjelaskan dan menenangkan wanita itu. Suara benda jatuh, dan benda pecah berkeping-keping tak henti menjadi musik pengiring hari itu.
"Aku tidak menyangka kau tega mengkhianati pernikahan kita, James!" jerit Selena, yang sesekali sesenggukan sembari memegang perutnya.
James Anderson, Ayahnya tak menyerah untuk membuktikan bahwa perkataan wanita itu tidak benar.
"Aku berani untuk melakukan tes DNA jika itu bisa membuatmu percaya."
Abigail percaya pada Ayahnya. Ia masih terlalu kecil, tapi ia yakin akan perkataan pria itu. Ayahnya tak akan mungkin mengkhianati cinta yang telah mereka bangun selama ini. Ia tahu itu, karena Ayahnya sering bercerita, betapa ia bangga dan bahagia karena memiliki Abigail dan Selena. Terlebih calon adik dalam perut ibunya.
Pria berusia empat puluh tahun itu sangat antusias menghias kamar bayi, membeli segala pernak-pernik dan membawanya pulang, menjadi sebuah kejutan untuk Selena, istrinya. Dan kini hanya karena ucapan seorang wanita, segalanya porak-poranda.
"Apa konsekuensinya jika ternyata bayi itu adalah milikmu?"
"Apa pun. Bahkan kau boleh membunuhku jika itu bisa membuat amarahmu mereda." Perkataan itu bukan firasat, tapi yang terjadi berikutnya memanglah jauh lebih buruk dari itu. Hasil tes DNA membuktikan bayi itu milik James. Selena yang kala itu dalam kondisi tak menentu mulai menangis histeris, yang kemudian berubah menjadi tawa yang tak henti."Suamiku pembohong ... ha ha ha ha ha ... Suamiku seorang pembohong ...."
Dan Abigail hanya menyaksikan dari kejauhan ketika ibunya dibawa beberapa orang berseragam putih. James memeluk putrinya agar tak perlu menyaksikan apa yang sedang terjadi, tapi tak mampu menghindari pertanyaan kritis dari gadis yang menginjak remaja itu.
"Papa, mereka akan membawa Mama ke mana?" tanyanya, polos.
Ia menatap putrinya dengan wajah sendu, berusaha menjawab meski suaranya terdengar parau. Namun, tak mampu menahan sakit yang ia rasakan saat ini melihat Istrinya telah menjadi orang yang berbeda.
"Mereka akan menyembuhkan Mama yang sedang sakit. Sekarang kau tidurlah, besok kita akan menengoknya di sana." Gadis remaja itu mengangguk kemudian berlalu meninggalkan Ayahnya yang terpekur seorang diri.
***
Semenjak hari itu, James menghabiskan waktu dengan mabuk-mabukan dan meratapi kehidupannya yang berubah drastis. Kebahagiaan yang dibayangkannya, musnah sudah. Beberapa kali ia mengunjungi Selena di pusat rehabilitasi kejiwaan, berharap ada kemajuan pada kondisi istrinya, tapi yang terjadi justru sebaliknya.
Selena semakin tak mengenalinya. Ia terlihat tenang, tapi pandangan kosong dan tak merespon siapa pun. Hal itu membuat James semakin patah semangat. Beberapa kali ia berusaha mengakhiri hidupnya. Hingga suatu ketika wanita itu datang kembali bersama seorang pria.
Terjadi baku hantam antara James dan pria tersebut. Abigail tak tahu apa yang menyebabkan hal itu. Di depan matanya, pria itu menghajar ayahnya hingga tak sadarkan diri. Hanya seringai kemenangan yang kemudian ia berikan, lalu pergi bersama wanita itu. Tentunya tidak dengan tangan kosong.
Sejak saat itu, Ayahnya hanya mampu tergolek tak berdaya seperti mayat.
***
Suara ketukan di pintu membuyarkan lamunan Abigail. Ia memutar kursinya kembali menghadap meja, mempersilahkan tamunya untuk masuk.
"Nona Genovhia, ini berkas yang Anda minta. Dan saya sudah persiapkan jadwal untuk pertemuan besok dengan beberapa klien bisnis kita. Kebetulan Mr. Takeda bersedia untuk ikut bergabung dalam rapat."
"Baik, Tamara. Terima kasih atas bantuanmu."
Abigail membuka lembar demi lembar kertas di hadapannya. Tamara, Asistennya hendak berbalik untuk pergi tapi langsung dicegah oleh Abigail.
"Uhm, Tamara."
"Ya, Nona?"
"Tolong hubungi Tuan Thompson dan minta untuk menemuiku di L'Restaurante sore ini. Ada masalah yang harus aku bicarakan dengannya."
"Baik, Nona. Apakah ada lagi?" Wanita itu mencatat permintaan bosnya pada sebuah tablet yang selalu ia bawa ke mana pun.
"Tidak, itu saja. Terima kasih, Tamara. Kau boleh kembali ke ruanganmu."
Wanita itu mengangguk kemudian berbalik dan pergi setelah menutup pintu ruangan Abigail. Meninggalkan Abigail yang kembali tenggelam dalam pikirannya. Banyak hal yang harus ia selesaikan hari ini. Karena ini berhubungan dengan masa depannya, juga nyawa ayahnya.
Meski pria itu kini tak berdaya, tapi selama Abigail masih bernafas ia tak akan membiarkan orang yang sudah menghancurkan keluarganya untuk bebas berkeliaran bahkan hidup bahagia.
Ia tak tahu apa langkah yang harus dilakukannya. Selama ini, ia hanya mencari semua informasi tentang pria dan wanita itu. Meski hingga kini belum membawa hasil yang ia harapkan, tapi ia tak akan menyerah. Ini semua demi ayah dan ibunya. Juga adiknya yang kini entah dimana keberadaannya.
***
"Adelaide, apa yang terjadi pada Papa?" tanya Abigail pada asisten rumah tangga keluarga Anderson. Adelaide, wanita berusia empat puluh lima tahun itu, memeluk Abigail dengan erat seolah ingin melindungi gadis itu. Abigail menatap nanar pada tubuh ayahnya yang terbaring dengan berbagai peralatan penyokong. Ia masih terpejam, entah kapan akan terbangun. Gadis itu selalu memanjatkan doa untuk kesembuhan pria kesayangannya. Melihat apa yang dilalui pria itu, ia seolah ikut merasakan sakit yang ayahnya rasakan. "Dia akan baik-baik saja, sayang. Aku berjanji." Namun, janji itu tak dapat ia penuhi. Karena selanjutnya James tak pernah sama lagi. Ia menjadi sosok yang berbeda, tak lagi mampu melakukan segala yang dulu pernah dan sering dilakukannya. Ia hanya terbaring, kadang matanya terpejam. Di lain waktu ia membuka mat
Alex dan Alona mengemasi barang-barang penting yang mereka miliki termasuk milik Abigail. Dengan bergegas menata segala yang mereka butuhkan saja, agar tak perlu membawa barang terlalu banyak. Mereka saling bertatapan sebelum kemudian Alex mengangguk pada Alona sebagai tanda ia boleh membangunkan Abigail yang kini masih lelap. Wanita itu, dengan langkah perlahan menghampiri Abigail yang masih pulas. Wajahnya sungguh damai. Alona mengusap bulir yang tertahan di pelupuk matanya sebelum kemudian mendekat pada keponakannya itu. Abigail mengusap mata saat Alona tiba di kamarnya. Wanita itu duduk di sisi ranjang dan menyentuh tangan Abigail. "Abby ... bersiaplah, kita akan pergi dari sini," ucap wanita itu, setengah berbisik, tak ingin membuat keponakannya terkejut. Baru beberapa hari ia berada di rumah ini dan harus pe
Abigail sudah duduk di teras depan rumah, ketika paman dan bibinya mencari keberadaannya. Ia menikmati embusan angin yang lembab serta cahaya mentari pagi yang hangat. Perlahan Alex dan Alona duduk di dekat gadis yang sedang duduk di atas kursi ayunan yang bergoyang perlahan. Alona menyentuh jemari Abigail, membuat gadis itu tersadar akan kedatangan dua orang terkasihnya. Perlahan ia membuka mata demi manatap kedua orang tua barunya itu. "Abby sayang, Hari ini Paman akan menemui seorang pengacara yang telah ditunjuk oleh ayahmu untuk mengurus segala aset yang ia tinggalkan untukmu. Apakah kau siap untuk menemuinya hari ini? JIka kau ingin menggulur waktu, Paman akan sampaikan padanya," tutur Alex, dengan sangat hati-hati, khawatir jika sampai mengusik ketenangan gadis remaja itu. Bisa saja Abigail merasa terusik karena ingin hidup tenang tanpa gangguan apapun yang berhubungan dengan ayahnya. Namun, denga
Abigail tersadar dari lamunannya sesaat. Ingatannya sempat kembali pada masa dimana ia akhirnya menyandang namanya yang sekarang. Pada mulanya ia tidak terima melepaskan nama keluarganya, tetapi ia kemudian sadar bahwa itulah cara Alex untuk menjauhkan dirinya dari bahaya. Abigail meraih blazer merah dari balik pintu kemudian memakai sembari melangkah tergesa keluar dari kantornya. Ia sudah membuat janji dengan Mr.Thompson untuk membicarakan tentang misinya. Tidak, ia tidak mengatakan pada dektektif itu detail tujuannya mencari tahu identitas rival bisnis James, ayahnya. Ia hanya akan menyampaikan alasan yang berhubungan dengan bisnis. Saat mobilnya tiba di halaman parkir L'Restaurante, sudah terlihat dari kejauhan sosok Mr.Thompson yang duduk di sudut ruangan dekat dengan jendela besar. Mungkin agar mempermudah dirinya mengawasi sekitar. Tak mas
Abigail masih duduk menghadap layar laptop, mengawasi pergerakan indeks saham untuk beberapa anak perusahaannya. Ia berharap kali ini akan kembali memenangkan beberapa perusahaan incarannya. Ia ingin menanamkan aset di perusahaan pertambangan. Prospek yang cukup bagus dan potensial. Sesekali ia menghubungi Tamara, sekretarisnya untuk melakukan pemeriksaan secara manual dengan menghubungi perusahaan miliknya. Beberapa hari ini akan menjadi hari paling menegangkan baginya dan juga seluruh karyawan perusahaannya. Tak lama ponselnya berdering. Nama Alona tertera di sana. Panggilan rutin yang selalu dilakukan bibinya terlebih setiap kali perusahaan mereka ikut dalam trading besar seperti saat ini. “Halo, Bi,” sapa Abigail, tanpa mengalihkan mata elangnya dari layar. “Kau jangan hanya duduk di depan layar, jangan lupakan perutmu. Bibi tidak mau sampai asam lambungmu kambuh lagi. Siapa nanti yang akan mengurus jika kau sakit?” “Iya, Bi ... aku tahu. Kami sedang bersaing ketat dan ak
Abigail dan pria berkumis tebal dengan jas kulit berwarna coklat membungkus tubuhnya, kini tengah duduk di tempat yang sama seperti beberapa waktu sebelumnya. Mereka memutuskan untuk bertemu setiap dua minggu sekali untuk menyetorkan informasi yang ia dapatkan kepada Abigail. Terlebih setelah kekalahan Abigail dalam perang bisnis beberapa waktu lalu, Mr. Thompson kebetulan mengikuti juga perkembangan berita tersebut, membuatnya tak sabar untuk menyampaikan hasil investigasinya. Senyum terulas di sisi wajah Abigail. Lipstik merah menyala yang terpoles di bibirnya menambah kesan dominan dan mungkin antagonis bagi sebagian besar orang yang tidak mengetahui latar belakang gadis itu. Informasi yang ia dapat dari Mr. Thompson cukup sebagai penunjuk arah baginya. Hanya tinggal menyusun rencana untuk langkah selanjutnya. Sepeninggal Mr. Thompson, Abigail mengambil ponsel, kemudian menekan nomor pria itu dan menunggu jawaban dari seberang. Ia membenarkan duduk, melipat kaki dengan anggu
Setelah pertemuannya dengan Zachary beberapa kali, Abigail mulai menemukan ritme dan siasat untuk menaklukkan pria itu. Terakhir kali mereka bertemu, Abigail sudah bisa melihat ada ketertarikan di mata pria itu. Kali ini saatnya ia membalas kebaikan Zachary. Ia berencana mengundang pria itu untuk makan malam, ia yang akan menjamu sendiri tamu istimewanya, bahkan mempersiapkan segala bahan yang dibutuhkan. Untuk mendapatkan ikan paus, ia harus menyiapkan jala yang besar. Bahkan bila perlu, ia akan menggunakan peledak untuk menghancurkannya mangsanya. Apa pun akan ia lakukan demi lancarnya misi balas dendam ini. Abigail berjalan santai mendorong keranjang belanjaan dan memilih bahan yang ia butuhkan. Hingga tak sengaja ia berpapasan dengan seseorang. Seolah takdir memiliki kehendak yang sama, Zachary kini berdiri di hadapan Abigail nyaris tertabrak kereta belanja milik gadis itu. “Whoa ... lihat jalan–“ Zachary membulatkan mata saat melihat siapa yang berada di depannya sekaran
Mr. Thompson menyodorkan sebuah kartu nama pada Abigail. Dengan cepat gadis itu meraihnya dari meja dan membaca barisan huruf yang tertulis di sana. Alice Denver, merupakan detektif yang direkomendasikan oleh Mr. Thompson untuk menyelidiki dan mencari keberadaan adik Abigail. Beberapa saat Abigail terdiam, menimbang-nimbang keputusan darinya apakah akan menyewa Alice atau tetap menyerahkan semua pada Mr. Thompson. Sejauh ini ia tidak mengalami masalah dengan pria itu. Namun, justru pria itu sendiri yang menyarankan untuk memakai jasa lain agar kasus tidak tercampur. Terlebih, Abigail masih mampu membayar bahkan ratusan detektif sekali pun. Ia hanya mempertimbangkan, dengan adanya pihak lain yang ia gerakkan, itu berarti latar belakang keluarganya akan diketahui lebih banyak orang. Dan ia tak ingin itu terjadi. “Ia sangat kompeten dan bisa dipercaya, jika itu yang menjadi pertimbanganmu, Nona Genovhia.” Mr. Thompson berusaha meyakinkan Abigail untuk segera membuat keputusan. Gad