"Adelaide, apa yang terjadi pada Papa?" tanya Abigail pada asisten rumah tangga keluarga Anderson. Adelaide, wanita berusia empat puluh lima tahun itu, memeluk Abigail dengan erat seolah ingin melindungi gadis itu.
Abigail menatap nanar pada tubuh ayahnya yang terbaring dengan berbagai peralatan penyokong. Ia masih terpejam, entah kapan akan terbangun.
Gadis itu selalu memanjatkan doa untuk kesembuhan pria kesayangannya. Melihat apa yang dilalui pria itu, ia seolah ikut merasakan sakit yang ayahnya rasakan.
"Dia akan baik-baik saja, sayang. Aku berjanji."
Namun, janji itu tak dapat ia penuhi. Karena selanjutnya James tak pernah sama lagi. Ia menjadi sosok yang berbeda, tak lagi mampu melakukan segala yang dulu pernah dan sering dilakukannya. Ia hanya terbaring, kadang matanya terpejam. Di lain waktu ia membuka mata, tapi tetap tak pernah mengucap sepatah kata pun.
Abigail selalu mengunjunginya di Rumah Sakit setiap akhir pekan. Berharap Ayahnya akan sadar dan memeluknya lagi. Atau setidaknya memanggilnya 'Abby Bear' seperti yang biasanya.
Namun, tidak. Ia tak pernah lagi melakukan itu. Bahkan untuk menggerakkan tangan atau berkedip sekalipun. Benar-benar seperti mayat hidup.
Tak ada lagi kemungkinan ia akan bertemu ayahnya dalam kondisi normal. Tak ada hal yang normal saat ini. Baginya segala sesuatu telah porak-poranda. Hancur berkeping-keping.
Terlebih ibunya. Ia bahkan sama sekali tak pernah tahu bagaimana kondisi wanita itu. Ia hanya mendengar kabar melalui Adelaide yang secara rutin menerima informasi melalui telepon dari pusat rehabilitasi tempat ibunya dirawat. Selebihnya tak ada lagi.
Pagi ini seperti biasa Adelaide akan mempersiapkan sarapan untuk Abigail. Namun, tentu saja tak akan sama seperti hari sebelumnya. Kini ia terpaksa menyantap sarapannya seorang diri.
Gadis itu menatap jajaran kursi yang kosong dengan tatapan sendu. Matanya berkaca, jutaan bulir air mata telah berkumpul dan bisa tumpah kapan saja.
Adelaide menyadari perubahan pada majikannya. Ia mendekat dan duduk di samping gadis itu. Menyiapkan piring dan makanan untuk dirinya sendiri.
"Kau tidak sendiri, Abby. Ada aku di sini." Adelaide tersenyum hangat. Gadis itu mengangguk kemudian melanjutkan santapannya. Adelaide benar, ia tidak seorang diri.
***
Abigail terbangun karena mendengar suara gaduh di lantai bawah. Ia masih trauma akan kejadian beberapa waktu lalu, karenanya kini ia hanya meringkuk di atas ranjang sembari memeluk lututnya.
"Adelaide ...!" serunya, memanggil pelayannya itu. "Adelaide ...!"
Ia tak henti memanggil wanita yang tak kunjung muncul. Air matanya tertumpah, tubuhnya gemetar. Ia tak tahu apa yang harus dilakukannya saat ini. Bagaimana jika itu penjahat yang menghajar Ayahnya tempo hari? Bagaimana jika kini gilirannya bertemu ajal?
Berbagai pikiran buruk mengganggunya.
"Adelaide, kau di mana ...?" isak gadis itu. Kemudian berusaha mengusap air mata dan perlahan beranjak dari ranjangnya.
Ia membuka pintu dan berjalan hati-hati. Nyaris tanpa suara. Bahkan untuk menghela nafas pun ia lakukan dengan pelan. Ia menuruni tangga seperti mengambang. Langkahnya ia atur benar agar jangan sampai terdengar oleh siapa pun yang kini sedang berada di bawah.
Tiba di tengah anak tangga, ia melongokkan kepala demi melihat lebih jelas siapa yang membuat keributan di tengah malam seperti ini. Antara terkejut dan lega, pamannya sedang berdiri di sana dengan pakaian yang tak biasa.
"Paman Alex?!" pekik gadis itu, tertahan. Alex yang menyadari kehadiran keponakannya, segera menghambur dan memeluk gadis itu. Ia menciumi pipi Abigail dan memeluknya erat.
"Apa yang Paman lakukan di sini?" tanya Abigail dengan polosnya. Alex memandang wajah gadis itu, memastikan ia baik-baik saja.
"Apakah kau baik-baik saja di sini, sayang? Apakah kau aman?" Abigail mengangguk. Alex kembali memeluknya.
"Kupikir mereka menyanderamu," lirih Alex, terdengar lega. Masih memeluk keponakan kesayangannya. Ia kemudian menjauhkan tubuh Abigail dari pelukannya.
"Abby, dengarkan paman. Kau masuklah ke kamar, bereskan barang-barangmu. Bawalah apa pun yang kau butuhkan. Kau mengerti?"
Abigail mengangguk.
Namun, sebelum bergerak ke kamar, ia berhenti dan bertanya, "apakah Paman akan membawaku pergi dari sini? Apakah Paman akan membuangku ke Panti Asuhan karena aku anak yatim piatu?"
Alex terisak. Hatinya merasakan nelangsa yang kini pasti tengah dirasakan gadis kecil kesayangannya itu. Ia kembali memeluk tubuh yang kini bergetar. Alex dapat merasakan ada takut yang menyergap hati keponakannya. Ia tak tega melihat ini semua.
"Abby, paman tidak akan membuangmu ke mana pun. Kau masih memiliki Paman dan Bibi Alona. Ia menantikanmu. Karenanya, segeralah berkemas, oke?!"
Abigail mengangguk lega. Wajahnya kini terlihat lebih ceria dibanding sebelumnya. Ia berlari menaiki anak tangga dan menghilang untuk beberapa saat. Ia terlihat berjalan turun dengan membawa sebuah koper dan pakaian rapi melekat di tubuhnya.
"Aku sudah siap, Paman." Abigail berdiri dengan barang bawaannya.
Alex tersenyum. Ia lalu menggandeng gadis kecil itu dan membawanya pergi di tengah malah yang sunyi. Alex telah bertekad akan mengasuh Abigail, dan akan menghubungi Adelaide nanti saat mereka sudah tiba di rumah. Yang terpenting sekarang adalah menyelamatkan Abigail.
***
Alona memeluk keponakannya dengan perasaan haru. Air matanya tumpah tak terbendung. Hatinya trenyuh melihat gadis remaja yang ceria itu kini terlihat berbeda. Lebih murung dan tak bersinar seperti sebelumnya. Ia mengusap kepala Abigail penuh kasih.
"Abby, sayang, kau aman di sini, oke?! Semua akan baik-baik saja. Kami akan melindungimu," ucap Alona, terisak.
Abigail mengusap air mata di pipi Bibinya.
"Bibi kumohon jangan menangis. Aku baik-baik saja. Tolong hubungi Adelaide, Bi. Kabarkan padanya bahwa aku baik-baik saja. Dan minta ia menjaga Papa untukku," pinta gadis itu yang segera dituruti oleh wanita cantik itu.
Ia segera mengambil ponsel kemudian menekan nomor rumah kediaman Abigail yang kini telah ia tinggalkan.
Alona menyampaikan permintaan Abigail yang tentu saja langsung disetujui oleh Adelaide. Ia bahkan berpesan agar Alona dan Alex menjaga Abigail. Ia mengucapkannya sembari terisak. Merasa kasihan pada gadis itu. Hidupnya yang bahagia berubah drastis dalam waktu semalam.
Meski sedih berpisah dari Abigail, Adelaide sangat percaya pada sepasang suami istri itu. Mereka sudah sejak lama selalu menyayangi Abigail. Dulu ia kerap membawa gadis itu berjalan-jalan jika James dan Selena sedang mengurus bisnis mereka.
Terlebih hingga kini mereka belum memiliki keturunan, mendapatkan Abigail seperti keberuntungan tak terhingga di samping kesedihan dan musibah yang mereka alami.
"Adelaide titip salam untukmu, Abby. Ia berpesan agar kau tetap tersenyum seperti biasanya. Senyummu akan menularkan kebahagiaan pada banyak orang."
Abigail tersenyum dan mengangguk. Ia kemudian memeluk Alona.
"Terima kasih, Bibi Alona ...," lirihnya, yang dibalas anggukan oleh wanita itu.
Sejak saat itu Abigail merasa seolah mendapat keluarga baru. Keluarga yang memberinya kasih sayang yang sama seperti yang diberikan kedua orang tua. Ia mulai menjalani kehidupannya seperti biasa.
Alex dan Alona pun sangat bahagia dengan kehadiran Abigail dalam hidupnya. Mereka menyayangi gadis itu seperti darah daging mereka sendiri. Mendidiknya dan membekali dengan banyak hal dan keterampilan. Alex dan Alona ingin Abigail menjadi gadis yang tangguh dalam segala ujian, tapi tetap lembut dan penuh cinta.
Mereka mengajarkan untuk memaafkan, meski dalam hati mereka tak mampu melupakan dan membiarkan perbuatan siapa pun yang telah menghancurkan kebahagiaan keluarganya. Dalam hati mereka berjanji akan membuat perhitungan atas apa yang terjadi.
Mereka akan mencari tahu siapa yang bertanggung jawab atas semua ini. Sebagai awal langkah, Alex meminta Adelaide untuk membawa James pulang. Ia membayar seorang perawat dan dokter pribadi untuk memantau kondisi James secara berkala.
James dipindahkan dari Rumah Sakit, dan dirawat secara intensif di rumah. Hal itu dilakukannya karena ia yakin bahwa musuh James masih berkeliaran dan akan menghancurkannya kapan saja.
Selain itu, Alex juga meminta izin sebelumnya pada Abigail untuk memindahkan Ayahnya. Abigail tentu saja setuju, ia tak akan sanggup melihat kondisi cinta pertamanya itu. Meski belum benar-benar mengerti tentang kehidupan, Abigail perlahan mulai memahami semua ini.
Ia mulai membentuk karakter dirinya, mengasah kemampuannya. Ia ingin suatu saat nanti bertemu Ayahnya dalam keadaan yang jauh lebih baik. Maka ia berjanji akan menjadi sosok yang terbaik, demi dirinya sendiri dan demi keluarganya.
***
Alex dan Alona mengemasi barang-barang penting yang mereka miliki termasuk milik Abigail. Dengan bergegas menata segala yang mereka butuhkan saja, agar tak perlu membawa barang terlalu banyak. Mereka saling bertatapan sebelum kemudian Alex mengangguk pada Alona sebagai tanda ia boleh membangunkan Abigail yang kini masih lelap. Wanita itu, dengan langkah perlahan menghampiri Abigail yang masih pulas. Wajahnya sungguh damai. Alona mengusap bulir yang tertahan di pelupuk matanya sebelum kemudian mendekat pada keponakannya itu. Abigail mengusap mata saat Alona tiba di kamarnya. Wanita itu duduk di sisi ranjang dan menyentuh tangan Abigail. "Abby ... bersiaplah, kita akan pergi dari sini," ucap wanita itu, setengah berbisik, tak ingin membuat keponakannya terkejut. Baru beberapa hari ia berada di rumah ini dan harus pe
Abigail sudah duduk di teras depan rumah, ketika paman dan bibinya mencari keberadaannya. Ia menikmati embusan angin yang lembab serta cahaya mentari pagi yang hangat. Perlahan Alex dan Alona duduk di dekat gadis yang sedang duduk di atas kursi ayunan yang bergoyang perlahan. Alona menyentuh jemari Abigail, membuat gadis itu tersadar akan kedatangan dua orang terkasihnya. Perlahan ia membuka mata demi manatap kedua orang tua barunya itu. "Abby sayang, Hari ini Paman akan menemui seorang pengacara yang telah ditunjuk oleh ayahmu untuk mengurus segala aset yang ia tinggalkan untukmu. Apakah kau siap untuk menemuinya hari ini? JIka kau ingin menggulur waktu, Paman akan sampaikan padanya," tutur Alex, dengan sangat hati-hati, khawatir jika sampai mengusik ketenangan gadis remaja itu. Bisa saja Abigail merasa terusik karena ingin hidup tenang tanpa gangguan apapun yang berhubungan dengan ayahnya. Namun, denga
Abigail tersadar dari lamunannya sesaat. Ingatannya sempat kembali pada masa dimana ia akhirnya menyandang namanya yang sekarang. Pada mulanya ia tidak terima melepaskan nama keluarganya, tetapi ia kemudian sadar bahwa itulah cara Alex untuk menjauhkan dirinya dari bahaya. Abigail meraih blazer merah dari balik pintu kemudian memakai sembari melangkah tergesa keluar dari kantornya. Ia sudah membuat janji dengan Mr.Thompson untuk membicarakan tentang misinya. Tidak, ia tidak mengatakan pada dektektif itu detail tujuannya mencari tahu identitas rival bisnis James, ayahnya. Ia hanya akan menyampaikan alasan yang berhubungan dengan bisnis. Saat mobilnya tiba di halaman parkir L'Restaurante, sudah terlihat dari kejauhan sosok Mr.Thompson yang duduk di sudut ruangan dekat dengan jendela besar. Mungkin agar mempermudah dirinya mengawasi sekitar. Tak mas
Abigail masih duduk menghadap layar laptop, mengawasi pergerakan indeks saham untuk beberapa anak perusahaannya. Ia berharap kali ini akan kembali memenangkan beberapa perusahaan incarannya. Ia ingin menanamkan aset di perusahaan pertambangan. Prospek yang cukup bagus dan potensial. Sesekali ia menghubungi Tamara, sekretarisnya untuk melakukan pemeriksaan secara manual dengan menghubungi perusahaan miliknya. Beberapa hari ini akan menjadi hari paling menegangkan baginya dan juga seluruh karyawan perusahaannya. Tak lama ponselnya berdering. Nama Alona tertera di sana. Panggilan rutin yang selalu dilakukan bibinya terlebih setiap kali perusahaan mereka ikut dalam trading besar seperti saat ini. “Halo, Bi,” sapa Abigail, tanpa mengalihkan mata elangnya dari layar. “Kau jangan hanya duduk di depan layar, jangan lupakan perutmu. Bibi tidak mau sampai asam lambungmu kambuh lagi. Siapa nanti yang akan mengurus jika kau sakit?” “Iya, Bi ... aku tahu. Kami sedang bersaing ketat dan ak
Abigail dan pria berkumis tebal dengan jas kulit berwarna coklat membungkus tubuhnya, kini tengah duduk di tempat yang sama seperti beberapa waktu sebelumnya. Mereka memutuskan untuk bertemu setiap dua minggu sekali untuk menyetorkan informasi yang ia dapatkan kepada Abigail. Terlebih setelah kekalahan Abigail dalam perang bisnis beberapa waktu lalu, Mr. Thompson kebetulan mengikuti juga perkembangan berita tersebut, membuatnya tak sabar untuk menyampaikan hasil investigasinya. Senyum terulas di sisi wajah Abigail. Lipstik merah menyala yang terpoles di bibirnya menambah kesan dominan dan mungkin antagonis bagi sebagian besar orang yang tidak mengetahui latar belakang gadis itu. Informasi yang ia dapat dari Mr. Thompson cukup sebagai penunjuk arah baginya. Hanya tinggal menyusun rencana untuk langkah selanjutnya. Sepeninggal Mr. Thompson, Abigail mengambil ponsel, kemudian menekan nomor pria itu dan menunggu jawaban dari seberang. Ia membenarkan duduk, melipat kaki dengan anggu
Setelah pertemuannya dengan Zachary beberapa kali, Abigail mulai menemukan ritme dan siasat untuk menaklukkan pria itu. Terakhir kali mereka bertemu, Abigail sudah bisa melihat ada ketertarikan di mata pria itu. Kali ini saatnya ia membalas kebaikan Zachary. Ia berencana mengundang pria itu untuk makan malam, ia yang akan menjamu sendiri tamu istimewanya, bahkan mempersiapkan segala bahan yang dibutuhkan. Untuk mendapatkan ikan paus, ia harus menyiapkan jala yang besar. Bahkan bila perlu, ia akan menggunakan peledak untuk menghancurkannya mangsanya. Apa pun akan ia lakukan demi lancarnya misi balas dendam ini. Abigail berjalan santai mendorong keranjang belanjaan dan memilih bahan yang ia butuhkan. Hingga tak sengaja ia berpapasan dengan seseorang. Seolah takdir memiliki kehendak yang sama, Zachary kini berdiri di hadapan Abigail nyaris tertabrak kereta belanja milik gadis itu. “Whoa ... lihat jalan–“ Zachary membulatkan mata saat melihat siapa yang berada di depannya sekaran
Mr. Thompson menyodorkan sebuah kartu nama pada Abigail. Dengan cepat gadis itu meraihnya dari meja dan membaca barisan huruf yang tertulis di sana. Alice Denver, merupakan detektif yang direkomendasikan oleh Mr. Thompson untuk menyelidiki dan mencari keberadaan adik Abigail. Beberapa saat Abigail terdiam, menimbang-nimbang keputusan darinya apakah akan menyewa Alice atau tetap menyerahkan semua pada Mr. Thompson. Sejauh ini ia tidak mengalami masalah dengan pria itu. Namun, justru pria itu sendiri yang menyarankan untuk memakai jasa lain agar kasus tidak tercampur. Terlebih, Abigail masih mampu membayar bahkan ratusan detektif sekali pun. Ia hanya mempertimbangkan, dengan adanya pihak lain yang ia gerakkan, itu berarti latar belakang keluarganya akan diketahui lebih banyak orang. Dan ia tak ingin itu terjadi. “Ia sangat kompeten dan bisa dipercaya, jika itu yang menjadi pertimbanganmu, Nona Genovhia.” Mr. Thompson berusaha meyakinkan Abigail untuk segera membuat keputusan. Gad
Hari Minggu terasa lambat berlalu bagi Abigail. Ia merasa bosan hanya berdiam di rumah tanpa kawan. Sejak dulu ia memang menghindari pertemanan dengan siapa pun. Ia tak ingin citra yang telah ia bentuk sejak awal akaan sirna, karena ada orang terdekat yang mengenali dirinya yang sesungguhnya. Itulah sebabnya Abigail lebih suka menghabiskan waktu di perpustakaan sekolah atau kampus. hanya sendiri dan tenggelam dalam bacaan di hadapannya. Dan itulah yang dikenal orang darinya, seorang kutu buku yang dingin dan tertutup. Namun, di usianya yang sudah menginjak kepala tiga, ia mulai merasa hidupnya membosankan. Ia teringat masa kecilnya, memiliki seorang teman pria, satu-satunya yang dapat ia percaya. Sayang, pertemanan mereka hanya sebentar karena berikutnya yang ia tahu, pria itu sudah tidak lagi berada di Estern Shore, kota asal mereka. Ia lalu