Kehidupan Abigail Anderson hancur tatkala seorang wanita datang pada ayahnya, James Anderson dan mengaku mengandung bayi pria itu. Sejak saat itu masalah demi masalah datang silih berganti hingga ibunya yang kala itu sedang mengandung, mengalami depresi dan harus dirawat di rumah sakit jiwa dan ayahnya mengalami kelumpuhan otak. Abigail yang menjadi anak yatim piatu kemudian dirawat oleh adik dari ayahnya, Alex Anderson dan istrinya Alona Anderson dengan penuh cinta. Mereka merubah identitas asli Abby dan menjadikannya seperti anak kandung mereka. Waktu terus berlalu, Abby remaja tumbuh menjadi wanita sukses dan memiliki pengaruh juga cerdas. Dengan misi balas dendam, ia kembali ke kehidupan lamanya dan mulai menjalankan rencana, mencari adik kandungnya sekaligus mencari tahu identitas orang yang telah menghancurkan kebahagiaan keluarganya. Bertemu dengan pria yang merupakan rival bisnisnya, Zachary, perlahan Abby mengetahui hubungan pria tersebut dengan orang yang telah menghancurkan kebahagiaan keluarganya. Ketika dihadapkan pada cinta dan dendam, manakah yang akan menang pada akhirnya?
더 보기Ia kini sedang menenangkan dua jiwa yang sakit. Jiwa Zachary—suaminya, juga jiwanya sendiri. Ia sakit, sejak lama. Ia sadari itu. Bahkan dulu ia tak mampu mengendalikan kemarahan dan dendam yang telah disimpannya sejak dulu. Namun, kini semuanya telah berubah. Ia bahkan tak menyadari kapan perasaan itu hilang dan berganti perasaan baru yang telah ia janjikan untuk ia pupuk agar tetap bersemi. Perasaan yang mulai tumbuh, cinta untuk Zachary—yang sebelumnya hanyalah kepalsuan demi tercapai tujuannya. Zachary menghentakkan tubuh dan menepis tangan Abigail hingga wanita itu tersungkur. Ia memekik dan memegangi perutnya yang sesaat terasa nyeri. "Zac ... kumohon ...." Ia masih meratap dan memohon. Namun, pria itu bergeming, hanya mengusap wajahnya dengan kasar lalu menghempaskan kertas yang sedari tadi berada dalam genggamannya hingga berserakan di lantai. "Apa yang ingin kau jelaskan tentang itu, Abby? Jawab aku!!!" Abigail berusaha bangkit meski perutnya masih terasa nyeri. "Karena itu, ayo kita bicara, Zac. Aku mencintaimu, tak mungkin menyakitimu." "Oh, benarkah?!" tanya pria itu, mendekat pada istrinya, menatap wajah cantik yang semakin memancarkan pesonanya. Ia selamanya yang tercantik bagi Zachary. Wanita teristimewa dalam hidupnya. Ia bahkan rela menukar apa pun demi kebahagiaan wanita itu. Namun, apa yang ia ketahui beberapa jam lalu membuatnya teramat sakit dan patah hati. "BENARKAH?!" bentaknya. Abigail mulai tak sanggup menahan gejolak hebat dalam dadanya. Ia ingin sekali memeluk tubuh pria itu dan menenangkannya, tetapi menatap matanya saja Zachary sudah enggan.
Pria itu jelas sudah sangat membencinya.
"Benar, sayang. Aku tidak pernah mengkhianatimu. A-aku mencintaimu. Aku mencintaimu." Tubuh Abigail bergetar hebat. Berusaha memeluk Zachary yang pada mulanya meronta dan mencoba melepaskan dekapan wanita yang sangat ia cintai itu.
Bahkan dengan kemarahan yang sebesar gunung, perasaan cinta itu tetap ada. Ia marah, karena mengetahui cintanya yang itu hanyalah permainan bagi Abigail. "Aku mohon, Zac," pintanya, berbisik lirih di telinga pria itu. Tubuh mereka sama-sama bergetar. Zachary dengan kemarahannya pada Abigail, sementara Abigail dengan kemarahan pada dirinya sendiri. Tangan Zachary merogoh meja dan laci kerjanya. Ia membiarkan Abigail tetap membungkus tubuh pria itu dengan rengkuhan hangatnya. Zachary menemukan apa yang ia cari. Benda yang selama ini ia simpan dan ia bawa kemana pun. Ia kini menggenggam benda itu erat-erat. "Kau bilang ... kau mencintaiku?' tanya pria itu dingin. Abigail mengangguk. "Aku sangat mencintaimu, Zac. Tak pernahkah aku mengatakannya?" tanya Abigail, perlahan tangannya mulai membelai punggung suaminya. "Bahkan ... ada sesuatu yang ingin sekali kusampaikan padamu." Deru nafas Zachary masih tak beraturan, tetapi ia berusaha menahan semua emosi dan melepaskannya di saat yang tepat. Ia ingin melakukan ini, ingin mengakhiri segalanya. Jika perlu antara mereka berdua tak 'kan ada satu pun yang merasa kehilangan. "Jika kau mencintaiku mengapa kau lakukan semua ini Abby? Mengapa kau melakukannya selama ini?" keluh Zachary tergugu. Abigail tak mampu menahan lagi. Air matanya berderai. Setelah sekian lama, ia akhirnya menangis. Bukan karena tertangkap basah telah melakukan perbuatan yang kejam pada Zachary, melainkan karena ia merasakan sakit yang dirasakan suaminya itu. "Maafkan aku, Zac ... sungguh maafkan aku. Itu semua terjadi jauh sebelum hari ini. Jauh sebelum pernikahan kita. Jauh sebelum ...." Kalimatnya terhenti. Siapkah ia mengatakannya saat ini, saat situasi sedang sepanas ini? "Sebelum apa?" tanya Zachary. Abigail hanya terdiam. Berusaha mencari jawaban yang tepat untuk menenangkan singa yang tak henti mengamuk. "Katakan, sebelum apa?" desaknya kemudian berbalik dan menatap ke dalam mata wanita cantik itu. Bulu mata lentiknya basah terkena air mata. Namun, Zachary kini tak tahu apakah itu air mata yang sesungguhnya ataukah lagi-lagi air mata palsu demi menjeratnya. "Katakan, Abby ...," ucapnya lagi lebih lembut, tetapi wanita itu justru menunduk menyembunyikan wajahnya. Raut wajah Zachary kini terliha tak sabar. Ia merasa Abigail sedang mempermainkannya. Darahnya mendidih, ia sudah cukup menahan sejak tadi. "Katakan, Abby!!!" "Aku sudah mengatakannya, Zac! Aku sudah mengatakan aku mencintaimu. Aku ingin kita seperti dulu. Aku ingin cintamu tetap sama seperti dulu. Aku, kau, dan anak kita. Kau mau, kan?!" pinta wanita itu. Namun, Zachary seolah tak mendengar apa yang diucapkan wanita itu. "Jika kau mencintaiku, ikutlah denganku," ajak Zachary. Matanya menatap ke arah wanita itu dengan tatapan kosong. "Ke mana?" tanya Abigail. Perlahan Zachary mengangkat tangan yang sejak tadi ia sembunyikan di balik punggung. Menggengam sebuah pistol yang siap untuk melesatkan timah panas kapan pun pelatuknya ia tarik. Siap untuk mengambil nyawa wanita itu kapan saja. Abigail terbelalak, sorot matanya menyiratkan ketakutan. Ia tak pernah takut akan kematian. Bahkan hingga hari ini. Ia hanya takut salah satu dari mereka akan menyesali hari ini selamnya. "Z-Zac ... a-apa yang kau lakukan? T-tolong turunkan senjata itu." Pria itu mendengkus. "Jadi kau takut mati? Kau bilang mencintaiku tapi tak ingin ikut denganku ke neraka?" racaunya. Abigail bergerak perlahan. Ia tak mungkin bisa menghindar andai pria itu nekat menarik pelatuknya. Namun, ia mungkin bisa mencegah itu terjadi. Hanya, ia tak tahu bagaiamana caranya. "S-sayang, kumohon ...." Tangis Abigail mulai pecah. Ada hal yang harus ia katakan pada pria itu. Bahkan andai tak 'kan ada lagi waktu untuknya setidaknya ia sudah menyampaikan apa yang seharusnya diketahui pria itu. "Zac ...." Sebuah gedoran di pintu ruang kerja Zachary memecah ketegangan antar mereka berdua. Seseorang sepertinya tak sabar telah diabaikan oleh keduanya. Dengan sekali tendang, pintu yang terbuat dari kayu pohon oak itu terbuka. Menampakkan pemandangan yang tak ingin dilihat oleh siapa pun. Gin berdiri terpaku menatap dua orang yang mematung di tempat. Abigail dengan tangan kosong berdiri tak jauh dari hadapan Zachary yang memegang sebuah pistol. Tangannya terlihat bersiap untuk menarik pelatuk. Tanpa banyak bicara Gin menerjang kakak iparnya itu dan berusaha merebut pistol dari tangannya. Pergulatan sengit terjadi antara kedanya. Berbagai kemungkinan bisa saja terjadi. Salah satu dari mereka bisa saja menjadi korban timah panas itu. Gin masih berusaha merebut benda dalam genggaman Zachary. "Kumohon hentikan, kalian berdua. HENTIKAN!" pekik Abigail berusaha menghentikan pergumulan antara adik dan suaminya. Tak ada satu pun di antara mereka yang berniat untuk berhenti. DORR! DORR! Entah apa yang menggerakkan jemari Zachary hingga pelatuk itu benar-benar menembakkan timah panas secara tak beraturan. Di antara mereka tak ada yang menyadari di mana benda itu bersarang. Hingga salah satu dari mereka limbung dan terjatuh di lantai.***
Belum pukul lima bahkan, tetapi Zachary sudah berada di ruangan Abigail sekarang. Duduk dengan manis memerhatikan gadis yang akan segera menjadi kekasihnya itu kini tengah bergulat dengan setumpuk berkas. Belum lagi beberapa map yang dibawa oleh Zachary sore ini.“Seriously, you gonna be killing me, Zac! Berkas ini … file bulan lalu, kan? Mengapa baru diserahkan hari ini?” tanya Abigail, sembari menatap pria di hadapannya dengan sorot tajam.“Sidney yang menyimpannya. Kupikir ia telah menyerahkan padamu. Sepertinya ia memang tak ingin jika aku bertemu denganmu, karena itu ia menyembunyikan file itu,” terang pria itu, berharap mendapat pemakluman dari gadis di hadapannya“Hmm … gadis itu cukup berbahaya, rupanya. Aku jadi takut.”Zachary bangkit dari tempatnya, menuju ke tempat di mana Abigail duduk, ia kemudian berjongkok dan meraih jemari gadis itu untuk diremasnya lembut.“Sekarang ia tak akan ada di sekeliling kita lagi, Abby. Sekarang hanya ada aku dan kau.”“Ke mana lainnya?” tan
Abigail duduk di depan meja kerjanya, menghadap pada tumpukan berkas dan laptop yang masih menyala. Kemarin ia tak langsung datang pada Zachary meski demi mengabarkan tentang berakhirnya hubungan dirinya dan Ashton. Seperti yang selalu ia katakan, ia hanya ingin melampiaskan dendnya pada keluarga Emerson, jadi apa pun yang terjadi pada Zachary, tak akan pernah penting bagi gadis itu. Satu pria yang dicintai Abigail, hanyalah Ashton. Ia tak pernah memikirkan pria lain. Meski terkadang ada desir aneh muncul di hatinya setiap memikirkan Zachary, dengan cepat ia singkirkan semua itu. Zachary hanyalah sarana. Meski mungkinnia tak bersalah, tetapi tetap saja salah ketika ia terlahir dari keluarga Emerson. Terlebih ia merupakan putra dari Garry Emerson, pria yang telah menghancurkan keluarganya juga kebahagiaannya. Pria yang telah membuat dirinya dan Gin menjadi yatim piatu, memisahkan dirinya dan Gin sekian lama. Ia tak mungkin bisa memaafkan sikap pria itu dan apa yang telah ia lakuka
Abigail berlari sekuat yang ia mampu demi mengejar Ashton yang mungkin saja sudah naik ke pesawat. Ia masih berharap pria itu sedang menanti di lounge, menunggu kedatangannya setidaknya untuk sekedar ciuman selamat tinggal. Namun, ketika tiba di bandara, ia hanya mendulang kekecewaan lantaran tak menemukan Ashton di mana pun. Ia nyaris meninggalkan bandara saat kemudian peia itu berdiri tepat di hadapannya. "Abby-bear ... apa yang kau lakukan di sini?a apakah kau ingin ikut—" Abigail menggeleng cepat. "Uhm ... tidak. Ya, sebenarnya aku sangat ingin ikut bersamamu, Ash. Namun, kau tahu, kan kalau aku masih memiliki tanggung jawab atas apa yang telah kumulai?" "Kau benar." Ashton mengangguk sembari mengulas senyum pedih. Ini sungguh perpisahan terpahit yang pernah ia rasakan. Ia tak menyangka jika dirinya harus berakhir sendiri lagi, meninggalkan Abigail dengan mimpi yang tak pernah terwujud. Mimpinya untuk menikahi satu-satunya wanita yang ia cintai di dunia ini setelah ibunya. Ki
Abigail tengah menikmati sarapan bersama Gin, saat terdengar suara bel. Salah seorang asisten rumah tangga tergopoh membuka pintu dan disusul suara langkah kaki mendekat, serta kehadiran seorang pria berambut sewarna tembaga. Sorot matanya tampak cerah dan bersinar seketika tatkala menemukan gadis tercintanya yang tengah meneguk jus di tangannya. "Hey, Zac. Kemarilah, bergabung bersama kami." Abigail membuka piring di atas meja tepat di sampingnya, kemudian salah seorang pelayan menuangkan jus ke dalam gelasnya, lalu menyajikan sepiesi pancake. "Apa hang membawamu kemari sepagi ini?" tanya Abigail, setelah Zachary mulai menikmati sarapannya. "Oh, maaf ... habiskan dulu sarapanmu, kita bicara nanti." Abigail mengulas senyum, yang sesungguhnya tak ingin ia sunggingkan. Bagaimana tidak, dirinya tengah patah hati karena kepergian Ashton, dan sekarang harus beramah tamah dengan pria yang merupakan sasaran dari misinya, sungguh itu membuatnya hak bers
Ashton terenyak kala mendengar apa yang baru saja diucapkan kekasihnya. Ia beringsut bangkit dan duduk menghadap pada Abigail yang duduk bersandar pada tepian ranjang. "Kau tidak serius mengatakan itu, kan, Abby?" tanya pria itu lagi, berusaha meyakinkan diri bahwa Abigail saat ini mungkin tengah mengerjainya, seperti apa yang biasa dilakukan gadis itu. Namun, tak ada jawaban dari Abigail, ia tetap bergeming dengan ekspresi penuh kesedihan. "Maafkan aku, Ash. Aku tak ingin kita mengakhiri hubungan ini. Kau tahu, aku hanya ... maukah kau mendengarkanku dulu?" Abigail membenarkan selimut yang menutupi dadanya, kemudian meraih jemari kekasihnya, kemudian mengecupnya. "Masih ada beberapa hal yang harus kulakukan, Ash. Demi kedua orang tuaku dan adikku." Ashton mengerutkan dahinya kala mendengar perkataan Abigail. "Apa itu? Mungkin aku bisa membantumu, agar segalanya bisa lebih cepat selesai, dan kita bisa segera menikah." Gadis itu menggeleng.
Sidney membelalakkan maniknya kala mendengar kalimat yang dengan ringannya diloloskan oleh Zachary. Ia tak menyangka bahwa kisah cintanya harus berakhir begitu menyedihkan. Sbeelumnya, belum pernah ada yang mencampakkannya seperti ini. Ia termasuk wanita paling didambakan oleh beberapa pria di kampus bahkan di dunia bisnis. Mungkin. Sampai akhirnya Zachary, dan beberapa pria mengetahui kualitas Abigail yang jelas tak hanya mengandalkan kecantikan luar saja, melainkan juga kecerdasan yang berhasil membuat pria sekelas Zachary dan Ashton bisa begitu bertekuk lutut. Itu salah satunya yang membuat Sidney sangat tidak menyukai gadis itu. Ia hampir saja mengetahui banyak hal mengenai kisah hidup Abigail, jika tidak dihalangi oleh seorang pria dan wanita misterius yang ia tidak ketahui. Tepat saat dirinya datang berkunjung ke unit rehabilitasi kejiwaan di mana Selena dirawat. Salah seorang perawat bersedia memberi keterangan mengenai Abigail, tetapi seorang pria yang tidak ia kenali memin
Zachary tak mampu menahan reaksinya akan perkataan Abigail. Mengapa ia harus kaget? Bukankah sejak awal hal itu yang menjadi permasalahan antara dirinya dan Zachary? Bahwa Abigail merasa menjadi wanita murahan karena ia bersedia saja tidur dengan pria itu sementara pria itu jelas sudah memiliki kekasih. Zachary yang selalu datang pada Abigail dan berakhir dengan hubungan panas, pada akhirnya akan selalu kembali lagi pada Sidney dan mungkin akan mengulang apa yang dilakukannya dengan Abigail. Sungguh sangat tak adil bagi Abigail, bukan? Wajar, jika lantas ia meminta apa yang seharusnya menjadi haknya. Zachary mengangguk paham. Ia kemudian membiarkan salah satu jemarinya membelai lembut wajah mulus Abigail, yang berhasil membuat gadis itu kesulitan untuk bernapas. Karena hanya dengan seperti itu saja mampu menyentuh sisi hati yang terdalam dari gadis itu. "Bagaimana dengan calon tunanganmu? juga rencana pertunangan yang hanya tinggal menghitung waktu .
"Jadi begitu? Kau melupakanku dan tidak mengundangku?" tanya seorang gadis yang jelas kedatangannya selalu membuat suasana Abigail memburuk seketika. Untuk apa ia datang jika dirinya tidak diundang? Tentu saja, untuk menyusul kekasihnya. Abigail menghentikan apa yang sedang ia lakukan. "Sedang apa kau di sini, Sidney? Kau tidak diundang." Gadis itu berbalik demi menghadapi gadis cantik yang sejak tadi berada di balik punggungnya. "Oh, begitu, ya? Lalu, mengapa kau mengundang Zachary? Bukankah ia adalah rival bisnismu? Atau ... jangan-jangan kalian ada hubungan di balik puinggungku." "Mengapa pikiranmu selalu mengarah ke sana? Apakah kau punya bukti?" Sungguh, andai ia tidak sedang mengatur taktik lain, saat ini juga ia akan mengiyakan tudingan Sidney itu. Bukankah ia dan Zachary memang ada hubungan? Bahkan hubungan terlarang. Hmm ... bagaimana sebutan yang sesuai untuk hubungan mereka? Karena keduanya bahkan tidak berteman. "Aku akan buktikan it
"Aku menginginkan hatimu, Abby ... aku ingin tempat di sana, yang tidak terjamah oleh siapa pun, dan hanya untukku saja." Zachary mengulang kalimatnya yang tentu saja membuat Abigail terdiam sekarang. Apa yang harus ia katakan, jika apa yang diminta Zachary adalah hal yang jelas sulit untuk ia kabulkan. Menang. Ia menang, kan, sekarang? Ia sudah berhasil membuat Zachary begitu mendambakannya. Begitu menginginkannya, bahkan rela melakukan apa pun. Begitu yang pria itu katakan tadi, kan? Lalu apa lagi? Bukankah ini saatnya menjadikan Zachary hancur berkeping-keping untuk menghancurkan Emerson? Tidak. Bagi Abigail, ini belum saatnya. Membuat Zachary begitu gila, ternyata bukan akhir dari semuanya. Dendam ini membuat Abigail lebih gila lagi. Ia menginginkan lebih. Ia mau yang lain lagi. Ia ingin membuat luka lain yang lebih lebar menganga di hati Zachary, membuatnya gila, hancur, tak berdaya, agar ia lebih puas. Dendam ini membuat Abigail menggila. Membuatnya kecanduan ketika seg
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
댓글