Hari sudah menunjukkan pukul sebelas malam, namun Bella masih belum bisa memejamkan matanya. Sejak tadi gadis berusia empat belas tahun itu berdiri di ambang pintu menunggu kedatangan seseorang. Di dalam sana mamanya terbaring dengan mata terbuka. Kakinya lumpuh sejak melahirkan Bella sembilan tahun yang lalu.
“Jangan-jangan ayah tidak pulang lagi hari ini,” ucap Bella dalam hati, tangannya meremas ujung baju yang berlubang dimana-mana.
Gadis itu menggosok-gosok lengannya kedinginan. Lengan putih pucat yang penuh dengan lebam membiru di beberapa titik.
“Sudah malam, lebih baik kamu segera tidur,” ucap Elena.
Bella menoleh lesu, apa yang dikatakan mamanya ada benarnya. Gadis pengidap kelainan albino itu berjalan masuk mendekati mamanya sembari mendorong kursi roda butut yang penuh karat.
“Apa ayah tidak pulang lagi hari ini?” tanya gadis itu sambil membantu Elena naik ke atas kursi roda.
“Untuk apa juga kau menunggunya, seperti tidak tahu kebiasaan ayahmu saja,” jawab wanita itu seolah sudah sangat muak dengan suaminya.
Bella mendorong kursi roda ke sebuah kamar yang hanya ditutup tirai kain tanpa daun pintu. Rodanya yang sudah penuh dengan karat berderit menyakiti telinga.
Tepat saat ia ingin membantu mamanya pindah ke tempat tidur, terdengar suara pria tertawa keras di luar sana. Tidak lama kemudian pintu dibuka dengan kasar dan langkah kaki mendekat. Jantung Bella berdegup kencang. Bahkan mendengar langkah kakinya saja sudah membuat bulu kuduknya merinding.
“Ambilkan aku air!” Suara teriakan garang membuat Bella terlonjak dari tempatnya.
Gadis itu bergegas keluar sebelum ayahnya mengamuk karena dia terlalu lamban. Namun saat membuka tirai, Bella dikejutkan dengan seorang wanita yang sedang bersandar manja di pundak ayahnya. Ia tidak mengenal siapa wanita itu dan mengapa dia bisa dengan santainya bermanja-manja pada ayahnya.
“Siapa dia?” tanya Bella, matanya hampir tidak berkedip sama sekali menatap tajam wanita itu.
Dua orang itu seketika berhenti tersenyum lalu menatap Bella tajam. Kaki gadis itu gemetar saat ayahnya berjalan mendekat.
“Aku menyuruhmu apa tadi?” ucap seorang laki-laki berkumis tebal dan rambut gondrong di depannya.
Bella menelan ludah gemetar lalu berbalik menuju dapur untuk mengambil air. Bella selalu menantikan ayahnya pulang, namun saat pria itu pulang, yang dia dapatkan hanya bentakan dan siksaan.
Bella membawa nampan berisi dua gelas dan satu teko kaca keluar dari dapur. Lagi-lagi Bella dikejutkan dengan wanita berambut merah terang dengan pakaian kurang bahan sedang berusaha mencium ayahnya. Gadis kecil itu berlari dan menyiramkan air yang ada di gelas tepat di wajah wanita itu.
“Berani-beraninya kau!” teriak Bella marah.
Dadanya bergerak naik turun penuh emosi. Tangan mungilnya mengepal erat bersiap melayangkan tinju.
“Anak kurang ajar!” Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Bella.
“Ayah yang kurang ajar! Bagaimana bisa seseorang yang sudah berkeluarga membawa gadis ke rumahnya! Apa Ayah sudah kehilangan akal? Ayah sama sekali tidak memikirkan Mama?!”
Bella tidak tahu sejak kapan matanya basah karena air mata. Ini bukan perih karena tamparan ayahnya, tapi sakit karena melihat tingkah kelakuan kurang ajar ayahnya.
Tangan kekar pria itu mendorong Bella kasar membuat gadis itu jatuh tersungkur. Tidak cukup sampai di situ, kakinya menendangi punggung putrinya tanpa ampun.
“Anak tidak tahu diri! Berani-beraninya kamu berbicara seperti itu pada orang yang lebih tua! Di mana rasa hormatmu, hah?!” teriak Rendra sambil terus menendangi punggung putrinya.
Bella meringkuk menahan nyeri di punggungnya.
“Heh anak tidak tahu diri! Tugasmu hanya mengurus mayat hidup itu saja, tidak perlu ikut campur urusanku!” Kali ini kepalanya yang menjadi sasaran.
“Mengerti?!” Rendra menjambak rambut Bella dan memaksa gadis kecil itu untuk menatapnya.
Bella bisa mencium bau alkohol dari mulut pria itu. Bella menyipitkan matanya kesakitan, beberapa helai rambut putihnya terputus dari akarnya.
“Cukup!” teriak seorang wanita dari arah belakang.
Elena bergerak susah payah dengan kursi roda buluknya. Suara berderit memenuhi ruangan kecil itu. Rendra menghentikan pukulannya kepada Bella dan beralih menatap Elena tajam.
“Wah dia masih hidup rupanya, bagaimana bisa kau bertahan dengan wanita seperti dia. Belum lagi anakmu ini, menyedihkan sekali, apa kau yakin dia anakmu?” ucap seorang wanita yang tadi bermesraan dengan Rendra.
Plak! Bella menampar wajah wanita itu dengan sisa tenaga yang ia punya. Tidak peduli ayahnya akan memukulinya lagi, Bella sangat geram kepadanya. Wanita tidak tahu diri yang berani-beraninya mendekati pria berkeluarga.
“Astaga! Kau baru saja menamparku?!” teriak wanita itu ambil memegangi pipinya yang memerah.
“Kurang ajar!” Rendra kembali menjambak rambut Bella dan mendorongnya hingga tersungkur.
Bella merasakan pening ketika bagian belakang kepalanya membentur ujung meja. Cairan hangat keluar bersamaan dengan sakit kepala yang semakin menjadi. Sayup-sayup ia bisa mendengar mamanya menjerit melihat apa yang baru saja terjadi.
Belum habis sampai di situ saja, tubuhnya kembali mendapatkan serangan dari kaki ayahnya. Bella sudah tidak bisa lagi membalas, ia lemas dan hanya bisa meringkuk di samping meja. Membiarkan ayahnya puas menendanginya.
“Dasar iblis! Kau layak mati!” teriak Ellena lalu refleks mengayunkan teko kaca berisi air putih ke ujung meja membuatnya pecah berkeping-keping.
Entah kekuatan dari mana Elena berdiri dan menusukkan pecahan teko itu ke dada suaminya. Tangan lembutnya gemetar berlumuran darah segar Rendra.
Wanita yang tadi dibawa pulang oleh Rendra menjerit sambil menutup mulutnya. Pria itu ambruk menghantam ujung sofa buluk dengan tangan memegangi dadanya yang terkoyak. Matanya membulat seolah bola matanya akan melompat keluar dari kelopaknya.
“Pembunuh!” teriak wanita selingkuhan Rendra lalu berjalan mundur perlahan.
Elena beranjak berdiri dan berjalan tertatih mendekati wanita itu. Tangannya masih gemetar memegangi pecahan kaca yang penuh dengan darah.
“Aaaa!!” teriak wanita itu ketika pecahan kaca di tangan Elena berhasil mengoyak wajahnya.
Darah mengalir membasahi wajah mulusnya. Elena tertawa lepas melihat wanita itu menangis memegangi wajahnya. Sampai kapan pun wajah itu tidak akan bisa kembali seperti semula.
“Pergi atau kau akan menyusul kekasihmu ini! Dasar wanita tidak tahu diri!”
Kata-kata kasar terus menerus keluar dari mulut Elena. Bella bisa menyaksikan semua itu di tengah pusing di kepalanya.
Elena jatuh terduduk dengan tatapan kosong. Matanya melirik pecahan kaca di tangannya lalu melemparnya. Wanita itu menatap tangannya yang penuh dengan darah. Air matanya jatuh begitu saja saat menyadari apa yang baru saja dia lakukan.
“Hahahaha ....” Elena tiba-tiba tertawa terbahak-bahak memandangi telapak tangannya yang masih gemetar.
“Harusnya kulakukan ini sejak dulu! Bodohnya aku membiarkan putriku menderita terlalu lama!” teriak Elena seperti orang yang kehilangan kewarasannya.
Bella berusaha bangkit dan mendekati jasad ayahnya yang sudah tidak bernyawa. Gadis kecil itu mengguncang-guncang tubuh yang penuh dengan darah segar. Ia berusaha membangunkannya, namun pria itu tetap tidak bangun.
“Ayah bangun ....”
Gadis itu memegangi dada ayahnya yang masih terus mengeluarkan darah. Ia berusaha menghentikan pendarahan yang terjadi, namun ia justru disadarkan ketika ia tidak merasakan lagi detak jantung pria itu.
“Tidak mungkin!” teriak gadis itu, dadanya sesak dan pikirannya kacau.
Bella mundur selangkah setelah mengetahui jasad di hadapannya sudah sama sekali tidak bernyawa. Bella menoleh ke arah mamanya yang masih terus tertawa keras. Seluruh tubuh Bella mati rasa, gemetar melihat ayahnya ditikam tepat di depan matanya oleh mamanya sendiri.
Victorian City, 2 Maret 2021Bella terbangun dengan detak jantung seperti orang baru saja melakukan lari maraton. Wajahnya yang sudah pucat semakin pucat karena ketakutan. Tangannya gemetar meraih sebuah botol berisi beberapa pil penenang yang sudah tinggal sedikit.Lagi-lagi mimpi itu yang membuatnya terbangun. Sudah sebelas tahun lamanya sejak kejadian itu, namun ia masih terus memimpikannya setiap malam. Aroma anyir darahnya bahkan masih melekat di hidungnya hingga saat ini.Gadis berkulit putih pucat itu menepuk-nepuk kedua pundaknya berusaha menenangkan diri.
Dark White chapter 03Sunyi memenuhi ruangan berukuran tiga kali empat yang cukup rapi untuk ukuran kamar laki-laki. Yang terdengar hanya suara papan tombol laptop yang diketik dengan tempo cepat. Hari sudah hampir larut, namun seorang pria masih sibuk dengan tumpukan berkas di dekatnya. Matanya yang sudah minus, memerah karena terlalu lama menatap layar laptop.“Kau habiskan minumanku?” tanya pria bertubuh tinggi dan rambut keriting yang kini berdiri di depan pintu kamar.“Anggap saja itu upahku,” jawab Allen tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop.“Kau tidak boleh minum itu.”Allen mengabaikannya, tangannya bergerak membuka sebuah map tipis yang berisi hasil wawancaranya dengan Bella. Ingatan tentang bagaimana David memperlakukan gadis itu membuatnya ngeri. Diamatinya terus kertas berwarna putih itu penuh tanya. Ada banyak pertanyaan yang dilewati begitu saja oleh gadis pengidap kelainan unik itu. Ala
Bella dibangunkan dengan suara nyaring yang berasal dari ponselnya. Itu bukan notifikasi pesan atau panggilan melainkan suara alarm. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Bella bangun ketika alarm berbunyi.Ini pertama kalinya Bella bisa tertidur lelap tanpa mimpi buruk. Gadis itu mengerjap-ngerjapkan matanya. Diperhatikannya pakaian yang ia kenakan. Ia tidak memakai baju tidur seperti biasanya, pakaiannya masih sama persis dengan yang ia pakai tadi malam.“Iuhh!” Kepalanya spontan bergerak mundur ketika mencium bau bir dari lengan bajunya. Matanya kini tertuju pada kupluk rajut yang tergeletak di lantai kamar.“Astaga! Apa yang baru saja terjadi?” Matanya membulat sempurna.Bella mengacak rambutnya frustrasi. Bayang-bayang wajah bingung Allen masih tergambar jelas di ingatannya. Biasanya gadis itu tidak akan ingat dengan apa yang dia lakukan saat mabuk, tapi sialnya kali ini ia mengingat semuanya.“
Hari sudah beranjak gelap saat mereka dalam perjalanan kembali ke Victorian City. Bella menyandarkan punggungnya di kursi mobil. Pandangannya menerawang keluar jendela, mengamati matahari yang mulai tenggelam. Suasana hatinya semakin tidak baik setelah kejadian di sekolah tadi.Di sampingnya, Allen masih sibuk dengan laptopnya. Entah apa yang sedang dia kerjakan Bella tidak peduli. Ia masih sangat kesal karena tadi Arin bisa lepas dengan sangat mudah.Suara notifikasi berbunyi dari ponsel gadis itu. Bella mengalihkan pandangannya menuju benda persegi empat itu. Sebuah pesan masuk dari nomor tidak dikenal.Matanya membulat seolah bola matanya akan keluar dari kelopaknya. Tangan pucat itu terasa sangat dingin dan jantungnya berdetak tiga kali lebih cepat. Ia tidak berteriak, namun perubahan reaksinya berhasil ditangkap oleh mata Allen.“Ada apa?” tanya pria itu khawatir saat melihat perubahan tingkah Bella.Gadis itu hanya menggeleng kaku
Dua minggu berlalu setelah kunjungan di Monterio, Bella dinyatakan bersih dan tidak pernah melakukan perundungan. Sebelumnya para penggemar masih sangat mencurigainya hingga akhirnya sebuah unggahan menggemparkan media sosial. Seseorang yang tidak diketahui siapa mengunggah foto surat tulisan tangan yang berisi tentang pembelaan terhadap Bella.Pria bertubuh tinggi dan kulit putih itu sibuk dengan ponselnya. Ia membuka sosial media Bella untuk memastikan tidak banyak lagi yang menghujatnya. Kasus itu sudah selesai dan ia harap gadis itu bisa hidup dengan lebih tenang meski itu tidak mungkin. Ada banyak hal yang disembunyikan gadis itu, hal itu membuatnya tidak yakin dia bisa hidup dengan tenang.“Kulihat kasusnya sudah selesai,” ucap seseorang dengan rambut keriting yang tidak lain adalah Hendry.Pria itu duduk di samping Allen sambil melirik isi ponselnya. Tangan kanannya memegangi sekaleng minuman bersoda. Entah sudah berapa kaleng minuman yang dia
Pukul 14.00 Bella masih berada di depan cermin kamarnya. Hatinya terasa was-was, ia seperti belum siap kembali tampil di depan penggemar. Skandalnya baru saja selesai beberapa hari lalu, bukankah ini terlalu cepat untuk kembali ke depan umum?“Jangan kecewakan mereka hanya karena beberapa orang tidak menyukaimu.” Kata-kata Allen terus berputar di ingatannya saat ini.Gadis itu merapikan poni tipis dari rambut palsunya. Ia tidak pernah mau menggunakan penata rambut perusahaan untuk menata rambutnya. Demi keamanan rahasianya, ia memilih menata rambutnya sendiri dan hasilnya tidak pernah buruk.“Ping!” suara notifikasi ponsel mengalihkan perhatiannya.Sebuah pesan masuk dari nomor yang tidak dikenal. Jantungnya berdegup kencang seketika. Ini nomor yang sama dengan yang mengiriminya foto boneka berdarah beberapa waktu lalu. Rasa-rasanya ia sudah memblokir nomor itu, tapi kenapa ia masih bisa menerima pesan darinya?“Sudah
Tiga puluh menit yang lalu, Karina pergi dari rumah Bella. Hari sudah beranjak malam dan gadis itu sendirian di rumah. Ia tidak membuka media sosialnya, tidak ingin membaca ocehan para pengguna internet yang selalu merasa paling benar. Itu hanya akan menambah beban pikirannya.Gadis itu mengganti bajunya dengan sweater tebal dan celana olah raga. Rambutnya tertutup kupluk berwarna hitam. Ia juga menggunakan masker hitam dan kacamata bulat yang sering ia gunakan saat pergi. Ia berdiri di depan cermin kamarnya, memandangi dirinya yang dibalut pakaian serba hitam.Mamanya dulu pernah berkata, fisik lelah bisa membantu meringankan beban otaknya. Gadis itu memasang earphone di telinganya, sebuah lagu dengan volume tinggi dan tempo cepat memenuhi pendengarannya.“Mereka tidak akan menyadariku bukan?” tanyanya pada diri sendiri.Gadis itu keluar dari rumahnya dan mulai berlari. Ia tidak memiliki tujuan yang pasti, ia hanya mengikuti ke mana kakinya a
Dark White Chapter 09Suara hujan deras mengguyur di luar sana. Sementara dalam sebuah ruangan berukuaran 7×8 meter, seorang pria masih sibuk mengganti kain kompres. Masih tergambar dengan jelas bagaimana Bella bercerita sambil menangis tadi. Gadis itu sedang terluka, bukan fisiknya tapi batin dan mentalnya.Saat ini semua orang seolah menodongkan senjata ke arahnya. Artikel dan unggahan di media sosial penuh dengan berita tentang kejadian tadi sore. Mereka yang sebelumnya tidak peduli, kini bersikap seolah mereka menjadi pihak yang paling dirugikan. Tidak sedikit pula berita yang sengaja dilebih-lebihkan untuk membuat nama gadis itu semakin buruk.Allen meletakkan baskom kecil berisi air dingin di nakas. Matanya terhenti pada obat-obatan yang berjajar rapi di atas lemari kecil itu. Ia melirik Bella sebentar lalu memutuskan untuk memeriksa obat apakah itu.“Ini gila ...” gumamnya sambil mengamati dua obat yang hanya tinggal beberapa buti