Share

Dark White Chapter 02

Victorian City, 2 Maret 2021

Bella terbangun dengan detak jantung seperti orang baru saja melakukan lari maraton.  Wajahnya yang sudah pucat semakin pucat karena ketakutan. Tangannya gemetar meraih sebuah botol berisi beberapa pil penenang yang sudah tinggal sedikit.

Lagi-lagi mimpi itu yang membuatnya terbangun. Sudah sebelas tahun lamanya sejak kejadian itu, namun ia masih terus memimpikannya setiap malam. Aroma anyir darahnya bahkan masih melekat di hidungnya hingga saat ini.

Gadis berkulit putih pucat itu menepuk-nepuk kedua pundaknya berusaha menenangkan diri. Saat ini masih pukul tiga pagi dan suasana sangat dingin. Tubuhnya bergetar bukan karena kedinginan, tapi sebuah ketakutan luar biasa yang membuatnya menggigil.

“Sampai kapan mereka akan terus mengikutiku?” Bella menundukkan kepalanya.

Air matanya mengalir bercampur dengan keringat yang bercucuran. Selama sebelas tahun gadis itu hidup dalam ketakutan. Kejadian mengerikan itu kembali terbayang setiap kali matanya terpejam.

“Aaahhh!” Bella menyapu obat-obatan yang ada di nakas dengan kedua tangannya.

Botol kaca itu pecah dan mengeluarkan beberapa butir pil penenang. Sampai saat ini ia hanya bisa mengandalkan obat penenang. Meski akhir-akhir ini butiran-butiran obat itu sudah tidak lagi mempan mengatasi masalahnya. Sebanyak apa pun Bella menambah dosisnya, semuanya tetap sama.

Gadis berusia dua puluh lima tahun itu mengacak rambutnya frustrasi. Menjambaknya seolah dengan begitu semua ketakutannya akan menghilang. Beberapa helai rambut berwarna putih terlepas dari akarnya. Pedihnya bahkan sampai tidak lagi terasa.

Dua jam berlalu Bella habiskan untuk menenangkan diri. Pukul lima pagi ia beranjak dari kasur. Dinginnya lantai kamar merambat melalui telapak kaki mulusnya. Gadis itu berjalan menuju kamar mandi, kakinya bergetar setiap kali ia melangkah.

Usai membersihkan diri, Bella duduk di depan sebuah cermin besar. Di hadapannya sudah tertata rapi alat make up yang sering ia gunakan. Seluruh tubuhnya sama sekali tidak ada warna lain selain warna putih. Rambutnya, alisnya, bulu matanya, semuanya berwarna putih pucat. Akan sangat mengerikan jika tidak ditutupi dengan riasan.

“Lihat betapa menyedihkannya dirimu,” gumam gadis itu sambil menatap pantulan wajahnya di cermin rias.

Bella mengidap kelainan albinisme yang membuatnya tampak sangat mengerikan. Ia tidak ingin menyembunyikannya, namun dunia terlalu kejam sehingga memaksanya untuk diam dan berpura-pura.

Dunia ini krisis toleransi untuk orang-orang sepertinya. Membuat dirinya seperti butiran kerikil di antara biji gandum. Orang-orang seperti Bella harus berjuang keras supaya bisa dihargai.

“Pengecut!”

Bella lelah berpura-pura menjadi gadis sempurna. Tapi ia juga terlalu pengecut untuk menghadapi pandangan orang. Rasa iri kerap kali menghampirinya ketika melihat mereka yang sama sekali tidak merasa minder dengan kekurangannya. Dengan mereka yang bisa menutupi kekurangannya dengan prestasi.

Sementara dirinya? Sampai kapan ia akan menggunakan topeng seperti ini. Sampai kapan ia menyiksa diri dengan terus berpura-pura?

Bella memasang rambut palsu berwarna hitam di kepalanya. Orang-orang melihatnya sebagai gadis yang sangat anggun ketika sedang memainkan biolanya. Orang-orang mengaguminya ketika sedang bermain drama. Namun, bagaimana reaksi mereka jika mengetahu kenyataan tentang dirinya?

“Ping! Ping! Ping! ....” Suara notifikasi memberondong ponselnya.

Bibir manisnya berdecak sebal, siapa orang yang mengirim pesan sebanyak itu. Suara notifikasi itu tidak berhenti sampai akhirnya dia mengubah setelan notifikasinya menjadi diam. Sebagian besar berasal dari media sosialnya, ada begitu banyak yang mendadak mengomentari postingannya. Ia juga ditandai di beberapa postigan.

“Astaga! Omong kosong macam apa ini?!” tanyanya kesal saat membuka sebuah artikel yang mendadak trending.

Mata birunya membelalak menelusuri rentetan kalimat yang ada dalam artikel tersebut. Sontak sosial media dengan cepat dipenuhi dengan postingan tentang kasusnya itu. Tagar tentang dirinya melonjak menduduki peringkat teratas.

Sebuah panggilan masuk dari manajernya. Sudah bisa ditebak ini pasti ada hubungannya dengan kasus barusan. Cepat-cepat jarinya menggeser tombol hijau yang ada di layar ponsel.

“Aku yakin kau sudah paham maksudku menelepon, sekarang cepat bersiap dan datang menemui pak David.” Suara cempreng Karina keluar melalui speaker ponsel.

“Aku mengirim Rangga untuk menjemputmu, kondisi saat ini tidak mungkin kau menyetir sendiri.”

Karina benar, Bella sendiri juga takut terjadi hal-hal buruk jika ia menyetir sendiri. Tanpa menjawab apa-apa, gadis itu lantas menyambar tas selempangnya dan bergegas keluar. Masker dan kacamata hitam terpasang rapi di wajahnya, sehingga tidak memungkinkan orang untuk mengenalinya.

Sebuah mobil hitam berhenti tepat di depan rumahnya. Itu pasti mobil Rangga, tanpa pikir panjang Bella langsung masuk. Mobil melaju dengan kecepatan sedikit lebih cepat dari biasanya. Jalanan yang masih lengang memudahkan mereka untuk sampai di perusahaan dengan waktu singkat.

Selama di dalam mobil, yang ia lakukan hanya diam. Bella tidak ingin tambah marah dengan membuka komentar-komentar buruk di media sosialnya. Sepuluh menit mereka sampai di sebuah bangunan tiga puluh lantai yang berasa di pusat kota.

Gadis itu berdiri di depan salah satu ruangan yang biasa digunakan untuk rapat dengan kepala agensi. Dilepasnya masker yang menutupi wajahnya lalu mengetuk pintu. Tangan pucat itu bergerak membuka daun pintu.

Di sana sudah ada tiga orang yang menunggunya. Mereka adalah David selaku kepala agensi, Karina dan satu orang lagi yang tidak Bella kenal. Suasananya sangat dingin dan menegangkan. Semua mata tertuju padanya, terutama mata David yang menatapnya penuh amarah.

“Maaf saya terlambat,” ucapnya.

Pria bertubuh gempal dengan topi baret berwarna hitam itu beranjak dari duduknya. Bella masih berada di posisinya, berdiri tegak tanpa menundukkan kepala. Pria itu berjalan mendekat, gadis itu masih tidak bergerak.

“Plak!!” Satu tamparan kasar menyapa pipi mulusnya. David selaku kepala agensi sangat tidak suka jika ada aktrisnya yang tersangkut kasus seperti ini. Apalagi itu Bella yang merupakan aset perusahaannya. Bella memiliki banyak penggemar dan kasus ini pasti akan mempengaruhi popularitasnya.

“Sekarang apa yang akan kamu lakukan?!”

“Aku yakin itu hanya rumor buatan para antifan saja! Itu semua tidak benar!” tegas Bella berusaha membela diri karena memang ia tidak pernah melakukan perundungan.

“Apa kau tidak pernah belajar dengan aktris-aktris seniormu?! Mereka pandai menutup diri! Kau ini publik figur!”

“Aku benci industri ini ....” Bella berkata lirih sambil melirik tajam pria di depannya itu.

Tangan David lantas bergerak cepat menarik rambut gadis di hadapannya yang dibiarkan terurai. Namun saat pria itu menarik rambutnya, ia terkejut ketika rambut itu terlepas dengan sangat mudah. Mata bulatnya melebar begitu juga dengan dua orang yang ada di ruangan itu. Pria yang tadi sangat tidak tertarik dengan pertengkaran ini, kini turut menatapnya aneh.

Bella tersenyum miring, akhirnya penyamarannya terbongkar juga. Lucu sekali melihat reaksi orang-orang ini. Tangannya bergerak melepas karet yang mengikat rambut aslinya yang berwarna putih pucat. Saat ini Juga ia ingin meninju pria di hadapannya ini seperti saat memukul selingkuhan ayahnya dulu.

“Apa-apaan ini?!”

David membanting rambut palsu berwarna hitam itu ke lantai ruangan. Ia tidak pernah menyangka selama ini Bella menggunakan rambut palsu.

“Lihat ... aku bahkan jauh lebih pandai menutup diri.” Bella tersenyum miring.

“Jadi ....”

“Ya ... Arrabella mengidap kelainan albino. Apa perlu kuhapus riasanku juga?” tanyanya sambil mengangkat sebuah tisu basah.

“Berani-beraninya kau!” Sebuah tamparan keras kembali mendarat di wajah mulusnya.

“Kau sendiri yang menyuruhku menutup diri! Dan sekarang kau marah karena aku menutupi semua ini?”

Sejujurnya Bella sudah lelah bekerja di industri ini. Ia dituntut sempurna, ada masalah kecil saja membuatnya seolah menjadi seorang kriminal. Hidupnya benar-benar terkekang. Ia populer, semua orang mengenalnya dan mengaguminya, tapi ia tetap merasa kesepian.

“Kenapa tidak mengatakannya sejak awal?” Lemak wajahnya bergetar setiap kali ia bicara.

“Karena aku tahu kau pasti akan menyuruhku melakukan hal yang sama dengan yang kulakukan sekarang!” tegas Bella.

Benar sekali, agensi ini sangat besar tapi juga sangat minim toleransi. Mereka pasti akan memintanya melakukan hal yang sama dengan apa yang ia lakukan selama ini. Bella menatap tajam mata David, pria itu tidak akan mengeluarkannya karena masalah ini. Sebab bagaimanapun juga Bella merupakan aset perusahaan ini.

“Maaf jika drama ini masih berlanjut, saya punya banyak urusan.”

Seorang pria yang sejak tadi hanya menonton pertunjukan, kini ikut bersuara. Ia menyandarkan punggungnya di sandaran kursi sambil menatap Bella santai. Gadis itu memutar bola matanya malas, ini pasti pengacara yang disewa oleh agensinya untuk mengurus kasus ini.

“Benar ... lebih baik kita segera selesaikan maslah ini. Kita lupakan sebentar masalah rambut itu,” tambah seorang wanita di sampingnya.

Karina tampak tidak tega melihat Bella terus diperlakukan kasar seperti ini. David menghela nafas berat, pria itu sudah sangat frustrasi dengan aktrisnya yang satu ini. Tangan kekar itu bergerak melepas topi baretnya. David merasa kepalanya mendidih saat ini.

“Selesaikan semua ini dengan cepat,” perintahnya sambil menatap Bella tajam.

“Kau, ikut aku.”

Pria itu keluar dari ruangan diikuti dengan Karina yang mengekor di belakangnya. Karina menepuk pundak Bella pelan sambil berlalu. Tangan pucatnya menarik salah satu kursi lalu duduk di hadapan pengacaranya. Jemarinya sibuk merapikan rambutnya yang berantakan. Tapi ujur bahkan dengan rambut seperti itu tidak membuatnya terlihat buruk.

“Sekarang kau bisa mengunggahnya ke media sosial, ‘Arrabella Mengidap Kelainan Mengerikan,’ sepertinya akan menjadi berita yang heboh,” ucap Bella pada pria yang sejak tadi menyaksikan pertarungannya dengan David.

Pria itu meliriknya sekilas lalu kembali menatap lembaran kertas di atas meja. Siapa pun pasti akan bereaksi yang sama dengan orang yang barusan pergi jika tahu Bella yang sesungguhnya.

“Apa kau merasa dirimu sepopuler itu?” tanyanya tanpa beralih dari lembaran kertas yang entah berisi tentang apa.

“Eentahlah, semua orang merasa mengenalku, tapi tidak tahu apa-apa tentangku.” Bella memandangi pantulan wajahnya di meja kaca yang ada di hadapannya.

Allen mengerti maksud kalimat itu, hampir semua selebriti seperti itu. Mereka menunjukkan pada dunia sisi positifnya saja. Tidak peduli seberapa rapuh mereka, tetap harus terlihat sempurna. Tak heran jika banyak aktris yang memilih mengakhiri hidupnya.

“Mengapa kau mengambil kasus ini?” 

Bella ingat bahwa di hadapannya ini adalah seorang pengacara terkenal yang tidak pernah mau mengambil kasus seputar selebriti. Sangat mengejutkan melihatnya menangani kasus ini.

“Siapa bilang aku mengambilnya?” Pria itu mengangkat wajahnya, kedua pasang mata itu beradu. “Aku hanya menggantikan Hendry untuk saat ini saja, dia sedang ada urusan.”

Bella mengangguk pelan, ia tahu siapa yang dimaksud. Dia adalah pengacara yang sering dipanggil untuk menangani kasus aktris. Sangat berbanding terbalik dengan pria yang ada di hadapannya ini. Dan masalahnya adalah, ia sangat tidak suka dengan Hendry.

“Apa kau sama sekali tidak tertarik menangani kasus ini?” Bella mengangkat sebelah alisnya.

“Tidak.”

“Kenapa?”

“Apa kau selalu berbicara sebanyak ini?” Pria itu kembali mengangkat wajahnya dari lembaran kertas yang ada di hadapannya.

“Oh ya, bukankah kasusku ini mudah, cukup mengunggah surat pernyataan menentang dan semuanya selesai. Kenapa harus pakai pengacara? Merepotkan.”

“Tidak semudah itu, kau butuh bukti untuk menyangkal tuduhan itu. Kau pikir mereka akan percaya jika tanpa bukti? Paling tidak pernyataan yang membenarkan bahwa kau tidak bersalah dari pihak yang tahu benar tentang dirimu. Astaga ....” Allen menghela nafas berat.

“Aku hanya akan mewawancaraimu sedikit saja, selebihnya akan diurus pak Hendry,” ucap Allen lalu menyiapkan selembar kertas dan pena bersiap mencatat setiap pernyataan Bella.

“Apa ada pihak keluargamu yang bisa membantu?”

Bella dikejutkan dengan pertanyaan pertama yang ditanyakan Allen. Raut wajahnya yang tadi cukup santai kini berubah menegang. Pandangan matanya tajam dan dingin. Ia benci jika ada yang menanyakan tentang keluarganya.

“Apa itu perlu?” tanyanya sinis.

“Tentu saja.”

“Tidak ada. Mereka semua sudah pergi,” tegas Bella.

“Lalu, bagaimana dengan teman SMA? Mereka bisa membantumu menyangkal tuduhanmu.”

“Aku tidak punya teman.”

“Bagaimana bisa --” ucapan Allen terputus. “Oke, aku lihat kau bersekolah di SMA yang cukup jauh dari kota ini. Pasti ada guru yang bisa kita mintai keterangan.”

Bella mengangguk meski ia tidak yakin dengan itu. Semua guru SMA nya tidak terlalu memperhatikan muridnya. Ia tidak yakin akan mendapat jawaban dari mereka. Apalagi ia sudah lulus cukup lama.

Lima belas menit berlalu akhirnya mereka selesai melakukan wawancara. Bella beranjak dari duduknya lalu berjalan hendak keluar dari ruangan itu.

“Tunggu!”

Suara itu menghentikan langkahnya. Bella berbalik menatap orang yang memanggilnya. Pria itu bangkit dari kursinya lalu meraih rambut palsu yang tergeletak di lantai. Allen menepuk-nepuknya untuk menghilangkan debu yang menempel. Pria itu mendekat dan memasangkan wig ke kepala gadis itu.

“Lanjutkan penyamaranmu,” ucap Allen lalu tersenyum miring.

“Kau mengejekku?” Bella melepas rambut palsunya kembali.

“Kompres dengan air dingin agar tidak bengkak.” Allen menunjuk pipi Bella yang masih memerah.

Spontan ia memegang pipinya yang masih terasa ngilu. Matanya menyipit ketika jemarinya menempel di kulit. Sepertinya David menggunakan tenaga dalam saat menampar Bella. Bisa-bisanya ia main tangan dengan seorang gadis. Tidak bisa dibayangkan seperti apa istrinya di rumah.

“Oh ya, jangan bertahan jika terlalu sulit, semua orang punya hak untuk menentukan jalan hidup masing-masing.”

Pria itu berlalu keluar meninggalkannya sendiri. Beruntung ruangan itu tidak dilengkapi dengan CCTV, sehingga tidak banyak orang yang melihatnya. Bella memasang rambut palsunya kembali serapi mungkin agar tidak mengundang kecurigaan.

Sebuah notifikasi masuk mengalihkan fokusnya. Kali ini bukan dari sosial media, karena ia sudah mematikan pemberitahuan dari semua akun media sosialnya.

Bella mematung melihat pesan yang masuk. Sebuah pesan dari nomor tidak dikenal, mengirimkan gambar boneka yang sudah dipotong-potong dan diberi noda merah darah. Tangannya bergetar melihat pesan itu, hampir saja ponselnya terlempar dari tangannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status