Share

Chapter 6

Dengan langkah tersaruk-saruk, Vanilla mengikuti langkah kaki orang yang menyelamatkannya. Vanilla sedikit heran karena penolongnya ini bersikap seolah-olah ia sudah sangat mengenal setiap sudut rumah Aliya. Buktinya ia tahu mengenai pintu samping bahkan jalan setapak menuju taman belakang rumah sahabatnya itu. Vanilla nyaris terjungkal saat kakinya secara tidak sengaja tersandung akar sebuah pohon besar yang luput dari perhatiannya. la juga agak kesusahan berjalan karena  bantalan di perutnya semakin lama semakin kendor saja ikatannya. Dengan tidak sabar ia mengangkat roknya dari bawah dan membuka ikatan bantalan hamil tujuh bulan itu dari perutnya. Vanilla mengerutkan dahinya saat penolongnya ini menyumpah-nyumpah melihatnya mengangkat rok tinggi-tinggi. 

"Kamu itu otaknya kenapa tidak dipasang dulu sebelum bertindak, hah? Ke mana rasa malu kamu saat menaikkan rok kamu tinggi-tinggi seperti itu padahal ada seorang laki-laki tepat berada di sampingmu, hah?" Suara bentakan penolongnya membuat kupingnya pengeng seketika. Ahelah ini orang galak amat ya?

"Eh Bapak, Abang, Aak atau pun Mas. Anda tahu tidak kalau lelarian sambil membawa-bawa buntelan segede gambreng ini ribet urusannya tahu? Lagian kalau Anda risih, ya sudah nggak usah dipandangin juga kali. Begitu aja repot!" Sembur Vanilla kesal.

"Kamu ini kalau di kasih tahu, menyahut terus. Kapan kamu bisa menghargai nasehat orang yang jauh lebih tua dari kamu?" Kali ini penolongnya yang gantian menyembur. Ia baru saja ingin kembali menyahuti kata-kata penolongnya, saat pandang matanya tertumbuk pada Pandan Wangi. Sahabatnya ia tampak sedang sibuk  membakar dahan dan daun-daun kering di belakang rumah Aliya. Astaga, ternyata teriakan kebakaran heboh yang membuat para tamu tunggang langgang tadi adalah ulah Pandan Wangi. Sahabatnya itu sengaja membakar sampah dan berupaya menciptakan kekacauan dengan asumsi kebakaran. Pandan Wangi ini memang panjang akal seperti ayahnya. Luar biasa!

"Eh Abang sudah berhasil menyelamatkan Illa? Terima kasih banyak ya, Bang Altan? Ternyata kepiawaian Abang yang tersohor sebagai spesialis penggagal pernikahan belum berkurang sedikit pun kedigjayaannya. Waktu dan usia bukan ternyata bukan halangan. Hebat! Sekarang tolong Abang bawa kabur si Illa dari sini sebelum Om Bumi dan orang-orang lainnya berhasil menemukan Illa. Illa pasti akan dijadikan campuran bahan perkedel jagung kalau ayah dan bundanya sampai tahu soal kejadian ini. Tolong banget ya, Bang? Oh iya, CCTV yang ada di taman belakang ini juga sudah di nonaktifkan oleh Aliya. Jadi Abang tidak usah khawatir. Tidak akan ada orang yang tahu kalau Abang telah membantu Illa kabur. Tolong jagain Illa sebentar sebelum saya jemput nanti di apartemen ya, Bang?" Lanjut Pandan lagi. 

Penolongnya tak lain dan tak bukan adalah si om setan ini ternyata! Astaga, hutang budi pada Aliya lunas, tapi nambah satu hutang budi lagi pada Altan. Sia-sia saja pengorbanannya kali ini. Hutangnya tetap ada. Hanya saja berganti orangnya.

Ia melihat Altan mengangguk cepat pada Pandan. Selanjutnya Altan menarik tangannya agar berjalan lebih cepat melintasi jalan setapak dan membuka pintu taman belakang. Mobil Altan telah terparkir manis di sana. 

"Cepat masuk sebelum ada orang lain yang menemukan kita." Tanpa perlu disuruh dua kali Vanilla segera masuk ke dalam mobil. Melalui ekor matanya ia melihat Altan membuka topi dan juga kaca mata hitamnya. Menyusul ia membuka jaket kulit hitamnya. Kini Altan hanya menyisakan kaus putih body fit yang mencetak lekuk liku dada dan lengan kekarnya.  

"Om... "

"Apa?"

"Kok nggak sekalian sih aja sih, Om?"

"Sekalian apa?"

"Sekalian buka kaus putihnya. Nanggung banget kalau cuma buka jaket doang. Mata saya sudah nggak sabar pengen ngeliat  kotak-kotak di perut dan dada, Om." Altan ternganga. Bocah ini mesum gila!

"Kamu ini memang perwujudan nyata dari bunda kamu setelah dua puluh dua tahun berjalan ya? Omes banget sih kamu! Kecil-kecil pikiran kamu itu ternyata udah mesum akut aja." Altan menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia speechless melihat keberanian Vanilla yang terang-terangan ingin melihat tubuh machonya. Kalau saja Om Heru tahu kelakuan putrinya yang mesumnya 11 12 dengan bundanya, bisa kena stroke mendadak si Om. 

"Ck! Saya kan cuma nanya. Kalau dikasih kesempatan ngeliat ataupun ngelus-ngelus dikit ya, terima kasih. Dan kalau pun tidak boleh, juga tidak apa-apa. Masih banyak roti sobek-roti sobek laki-laki lain yang bisa saya pan--" Illa menghentikan kata-katanya saat melihat Altan ternyata benar-benar membuka kaos putihnya. Ia melongo. Tantangannya dijawab langsung oleh si Om. Bagaimana ini? Ya sutralah. Lo jual gue beli. Lo buka, gue elus. Lo ngedesah, gue lari. Gampang kan? Sekalian ini adalah shock therapy untuk mencoba traumanya yang takut akan kedekatan dengan laki-laki. Siapa tahu kalau traumanya itu sudah sembuh sekarang?

"Nih, sudah saya buka? Habis saya buka kamu mau ngapain?" Tantang Altan  seraya menatap wajah imut ini dalam-dalam. Umur boleh baru awal dua puluhan. Tapi mesumnya itu yang tidak tahan. Sifat Vanilla ini memang seratus persen menuruni genetika bundanya. 

"Ya mau dielus-elus dong. Apalagi coba?" Saat mengatakan kalimat itu, Vanilla benar-benar mengelus-elus dada kekar Altan dengan santai. Ia membuat pola-pola abstrak di sana. Melingkar, naik turun dan menekan-nekan keliatan dan kekenyalan dada Altan dengan penuh rasa ingin tahu.

Eh traumanya benar-benar sudah sembuh ternyata. Dia sudah tidak takut lagi berdekatan dengan laki-laki! Hore!

"Shi*!" Altan memaki pelan. Apalagi saat Vanilla dengan tangan gemetar meraba-raba perut roti sobeknya. Altan seakan-akan merasa ribuan kupu-kupu menyerbu dan menggelitiki perutnya. Ada getaran lembut dan hangat yang berkumpul di sana. Altan baper! Baiklah lo jual gue beli. Lo elus, gue cium deh! Altan mendadak mencondongkan tubuhnya ke depan dan memeluk erat Vanilla. Ia mendekap erat tubuh Vanilla pada dada telanjangnya dan menyumpah-nyumpah dalam hati saat sesuatu terbangun dari tidur panjangnya. Ia bergairah setengah mati sodara-sodara. Pertanda apakah ini? Apakah ia horny dengan bocah nakal ini? 

Sementara Vanilla yang sebenarnya sangat trauma dengan kedekatan fisik yang pernah dipaksakan padanya bertahun-tahun lalu, kembali merasakan dejavu. Ia seakan-akan kembali terlembar ke masa lalu. Di gudang belakang sekolah yang sudah lama tidak terpakai. Ia masih berseragam putih biru kala itu. Seseorang menutup kedua matanya dari belakang serta memaksa menciumnya. Ia juga merasakan ada tangan-tangan yang meraba-raba bagian tubuhnya yang tidak pernah disentuh oleh orang lain. Ia yakin pelakunya itu pasti lebih dari satu orang. Sentuhan mereka semua menyakiti dan mempermalukannya. Deru napas mereka yang menyapu-nyapu wajahnya menakutinya. Bagaimana pun ia hanyalah seorang anak SMP yang tidak tahu apa-apa soal sentuhan fisik dan keintiman antara laki-laki dan perempuan. Satu hal yang pasti, ia tahu kalau dirinya sedang dalam bahaya. Dan sekarang, peristiwa itu seakan-akan terjadi lagi padanya. Dan sama seperti waktu itu, ia tidak berdaya. Ia ketakutan dan melawan sekuat tenaga. Tidak peduli caranya seperti apa. Yang penting ia tidak akan menyerah. Ia menjerit dan memukul sebisanya.

Teriakan histeris dan pukulan-pukulan sembarang Vanilla menyadarkan Altan. Dengan cepat ia melepaskan dekapannya. Vanilla kembali membuat gerakan khas apabila ia sedang ketakutan. Menenggelamkan kepala ke pangkuan seraya menutupi kepalanya dengan kedua lengan. Vanilla terus berteriak-teriak mengatakan pergi dan jangan berulang-ulang kali dalam posisi duduk di dalam mobil. Berupaya menyembunyikan wajah di antara kedua kakinya. Damn it! Peristiwa apa yang sebenarnya telah terjadi pada gadis ini. Bagaimana kedua orang tuanya bisa tidak mengetahuinya? Karena sepengetahuannya trauma seperti ini harus diterapi dan konseling berulang-ulang kali dengan para ahli sampai trauma itu bisa diatasi. Kalau tidak, ya akan seperti inilah akibatnya. Mimpi buruk yang akan selalu hadir tiba-tiba dan berulang setiap menemukan sedikit pemicu saja.

"Vanilla,"

"Pergi! Pergi !" Vanilla menjerit histeris seraya komat-kamit menceracau tidak jelas. Baru saja Altan ingin membujuknya, pandangannya tertumbuk pada SATPAM rumah Aliya dan beberapa orang lelaki bertubuh tegap yang keluar dari pintu belakang. Dengan segera ia melarikan mobilnya sekencang mungkin masih dalam keadaan bertelanjang dada. Dalam hati ia berdoa, semoga saja ia tidak terkena razia. Demi apa coba kalau ia ditangkap polisi dalam acara 86. Dalam keadaaan tidak berbusana lengkap pula. Bisa viral mendadak minimal seIndonesia raya bukan? Manusia paling tampan setata surya dan seruang angkasa dirazia dalam keadaan separuh naked, pasti akan menjadi tajuk utama di semua media massa. Bah! Bikin malu saja. Mau ditaruh di mana wajah tampan bersertifikat dan berSNInya ini bukan?

========================

"Kamu sebenarnya kenapa, La? Kamu pernah mengalami pelecehan? Ayo ceritakan sama saya. Siapa tahu saya bisa membantu." Tanya Altan hati-hati pada Vanilla yang hanya duduk diam di sofa. Sudah setengah jam Vanilla hanya duduk diam di sana. Hening lagi. Altan menarik napas panjang. Vanilla tidak mau menceritakan apapun padanya. Sepertinya ia harus sedikit memancingnya.

"Percayalah, bahwa segala sesuatu yang kamu hadapi ini bukanlah persoalan yang sebenarnya harus kamu hadapi sendirian. Jutaan orang di luar sana mungkin memiliki persoalan yang sama seperti kamu. Bedanya mungkin mereka terbuka pada keluarga atau konseling dengan para ahli yang kompeten di bidangnya." Altan melihat Vanilla masih tetap bungkam. Ia hanya menggesek-gesekkan kakinya di atas karpet lembut ruang tamu. Kedua tangannya saling terjalin di pangkuan. Ekspresi wajahnya terlihat seperti campuran antara sedih dan juga gelisah. Pandangannya tidak fokus lagi pada satu objek. Vanilla terlihat resah. Sungguh resah.

"Saya tidak apa-apa kok, Om. Saya tadi hanya--"

"Akting? Latihan drama? Basi banget alasan kamu, La. Tapi baiklah, saya juga sudah lama sekali tidak latihan drama. Terakhir saya ikut latihan drama ya saat saya SMA dan kamu SD ya waktu itu? Yang kamu berakting jadi keponakan saya saat acara Pentas Seni Siswa di sekolah dulu. Dan akhirnya sampai sekarang kamu malah keterusan memanggil saya Om, padahal usia kita hanya berjarak 8 tahun. Ayo kita latihan lagi. Kali ini kita berakting sebagai sepasang suami istri yang sedang kepingin main kuda-kudaan ya? Ayo sini, sayang? Rawrrrr..." Altan membuat gerakan seakan-akan ingin menerkam Vanilla." Vanilla kaget. Ia segera berlari  menjauhi Altan. Ia bahkan menabrak pajangan keramik di sudut ruangan saking terburu-burunya menghindar.

"See? Kamu trauma tapi kamu masih saja ngeles kanan kiri. Ayo, La. Katakan pada saya. Ada apa sebenarnya? Jangan takut. Kamu pasti sudah memendam masalah ini sekian lama. Sekarang saatnya bagi kamu untuk membagi separuh bebanmu ke punggung saya." Altan membantu Vanilla berdiri berdiri dan menatap dalam kedua matanya. Berusaha meyakinkan Vanilla akan kesungguhannya.

"Tidak bisa." Keluh Vanilla lesu dengan raut wajah putus asa.

"Kenapa tidak bisa?" Tanya Altan penasaran.

"Nanti Om akan jijik kepada sa--saya." Guman Vanilla dengan suara tertahan. Ekspresi wajahnya tampak tersiksa.

"Kamu belum lagi bercerita, tetapi mengapa kamu seakan-akan sudah tahu reaksi saya?"

"Karena saya sendiri juga begitu. Saya jijik setengah mati pada diri saya sendiri. Apalagi orang lain kan?" Bisik Vanilla lirih.

"Belum tentu. Kamu belum tahu saja siapa saya yang sebenarnya. Sebagai salam pembuka saya akan katakan, saya tidak peduli apakah seorang wanita itu masih perawan atau kah seorang janda beranak enam kalau saya sudah benar-benar menyukainya. Segala sesuatu yang berbentuk fisik adalah urutan nomor 18 dalam hidup saya. Karena bagi saya, ini." Altan menunjuk hatinya. "Dan ini," Altan menunjuk kepalanya. " Adalah di atas segala-galanya."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status