****Emosiku mengacaukan akal sehatku. Aku akan meremas mulut perempuan sial itu. Namun, langkahku terhenti demi melihat seorang ibu guru yang langsung bertindak melindungi Bima. Wanita cantik bersahaja, Bu Guru Asya.“Cukup, Bu! Ibu menyakiti dia!” katanya memeluk Bima seraya melepas tangan Ninda dari telinga anakku. Bu Guru Asya mengusap usap kepala Bima dengan penuh kasih sayang. “Eee … eeh! Kamu! Kamu dipecat! Berani kamu melawan saya, ya! Kamu adalah guru pertama yang akan dipecat! Sebentar, aku akan telpon suamiku agar dia lapor sama atasannya, pemilik sekolah ini! Awas kau! Detik ini juga kau akan kehilangan pekerjaanmu!” ancam Ninda seraya mengeluarkan ponsel dari tasnya.“Tolong tenang, dulu, Bu Ninda! Jangan emosi. Kita bicarakan ini baik-baik! Orang tua anak ini juga sudah dalam perjalanan ke sini! Tolong Ibu bersabar, ya! Toh, Steven sudah kita tangani. Darahnya hanya sedikit, kok. Dia baik-baik saja.” Seorang guru laki-laki berusaha menenangkan Ninda.“Bapak juga kep
*** “Pak Dirut? Bapak ke sini? Pasti Bapak ke sini karena sudah mendengar berita kelalaian para guru dan kepala sekolah ini, kan, Pak?” Ninda menghampiri Pak Alatas. “Saya ke sini karena pria ini, Bu Ninda. Saya punya urusan dengannya yang belum selesai,” jawab Pria berdasi itu menoleh ke arahku. Jantungku berdegup tak karuan. Kini aku tahu, ternyata sekolah elit ini milik Pak Alatas. Matilah aku. Pria ini sepertinya akan memaki dan menuduhku mencuri dokumen itu di sini. Di hadapan Ninda. Ya, Tuhan … jangan sampai itu terjadi. Aku akan sangat malu, harga diriku akan hancur lebur. “Oh, iya, Pak Dir. Gelandangan ini telah melakukan kesalahan besar. Dia mengajari anaknya bertindak kriminal di sekolah ini. Anaknya itu sudah menganiaya anak saya. Dia membuat hidung dan bibir anak saya berdarah, Pak,” adu Ninda menunjuk aku dan Bima. Aku terperangah. Terbuat dari apa hati perempuan ini? Bagaimana bisa dia tak luluh, padahal sudah tahu kalau Bima adalah anak kandungnya. “Sebetulnya
**** “Hem,” sahut Reno mengalihkan tatapan dari wajah Bima ke wajahku. Tatapan kamu bertemu. “Kamu? Bukannya kamu Bara? Hey, Sayang! Ini mantan suami kamu, kan? Bukannya dia di dalam penjara?” cecarnya. Kedua matanya membulat sempurna. Semua yang ada di ruangan itu ikut terkejut. Bu Asya menatapku tak percaya. “Iya, Mas! Dia udah mendekam di penjara selama ini. Tapi di enggak kapok juga. Kita beri pelajaran aja lagi. Kirim lagi aja dia ke penjara, sekalian sak anaknya itu, Mas! Stev akan terancam kalau mereka masih berkeliaran. Sepertinya dia dendam sama aku, Mas! Belum move on, jadi anak kita dia jadikan sasaran.” tutur Ninda malah semakin memantapkan hasutan. “Kalian semua lalai menjaga anakku! Dan gelandangan ini! Mantan narapidana ini! Kenapa kalian bisa menerima anaknya untuk bersekolah di sini, hah? Kalian semua akan aku pecat!” Reno mengancam. Suaranya terdengar kencang dan mengelegar. “Gak bisa, Mas. Pak Alatas tadi udah ke sini. Dia malah mengangkat Bang Bara menjadi
**** “Karena pilihan saya adalah kamu! Semoga saya tidak salah pilih.” “Pi – pilihan untuk apa?” “Tak perlu kamu tahu itu! Yang jelas, aku mau kau dampingi aku, pelajari cara memimpin perusahaan ini!” “A-apa?” “Kamu masih muda? Meskipun kamu duda, tak masalah bagiku. Maaf, sejujurnya, anak buahku sudah menyelidiki siapa kau sebenarnya. Aku memerintahkan orangku untuk mencari tahu siapa kau sebenarnya. Dalam tempo setengah jam aku dapat semua info itu hingga yang sekecil-kecilnya. Dan, jujur, kau memenuhi standart yang aku inginkan. Tolong jangan tolak permintaanku!” “Sa-saya belum paham!” “Ya, tak perlu kau paham smeuanya sekarang!” “Oh.” “Kamu pulang, istirahatlah! Besok pagi, jam setengah delapan kita bertemu di sini!” “Ta-tapi?” “Pekerjaanku masih sangat banyak! Kita bertemu besok!” Aku tercekat. Kalimat terakhir sang Dirut adalah perintah agar aku segera keluar. ** “Abang, ada perempuan di luar nyarii Abang! Bangun!” Aku tersentak. Asri masuk ke dalam bilik kar
**** “Bang!” Perempuan itu terperangah. Mungkin dia tak menduga kalimat-kalimat yang keluar dari bibirku. Begitu datar, dingin, namun menikam. “Begitu menderitakah anak kita? Aku sedih mendengarnya. Andai saja aku tak meninggalkannya bersama Abang.” “Tidak ada hubungannya denganmu!” “Abang yang salah!” Perempuan itu tiba-tiba menyergah. Spontan kutoleh aku menatap tepat di manik matanya. Bahkan setelah semua kejadian ini dia masih menganggap aku yang bersalah. Dia benar-benar tak punya otk untuk berfikir. “Kenapa Abang menukar dia dengan perpisahan kita, coba?” ucapnya dengan ekspresi penuh penyesalan. “Apa maksudmu?” tanyaku menatapnya mkin tajam. “Iya, waktu itu Abang, kan yang menukar Bima dengan perpisahan kita? Abang mau talak aku asal aku meninggalkan dia bersama Abang! Padahal Abang tak mampu merawatnya! Abang malah meninggalkannya dengan orang lain selama Abang di penjara. Aku bahkan bisa menunutut Abang karena menelantarkan anak aku!” cicitnya semakin memojokkanku.
***** “Tante, Stev udah sembuh?” Suara putraku kembali terdengar. “Maafkan Bima, ya, Tante, Bima gak sengaja bikin Stev berdarah. Stev tadi ludahin bekal siang Bima, katanya itu makanan gong-gong. Bima, kan, lapar. Makanya Bima pukul dia, kena hidungnya. Stev gak mau minta maaf, dia malah pukul Bima lagi. Makanya Bima pukul lagi. Maaf, ya, Tante,” tuturnya sambil menunduk di depan perempuan itu. Hatiku terasa perih. Bima kembali menceritakan peristiwa tadi siang di sekolahnya. Sudut mataku menghangat. Tak bisa kubayangkan seperti apa sakitnya hati anakku saat temannya mengatakan kalau bekal makan siangnya adalah makanan anjing. Aku bahkan tak bisa memberi dia bekal yang lebih layak. Aku salah. Papa berjanji Bima, esok pagi akan papa berikan kau bekal makan siang yang lebih layak, Nak. Aku membatin, pikirnku berkecamuk. Suasana hening, bahkan Ninda tak berkata apa-apa. Mungkin hatinya juga terenyuh mendengar penuturan darah dagingnya. “Jangan marahin papa juga, ya, Tante! P
**** “Kalau begitu, bersiaplah untuk kehilangan anakmu! Juga kehilangan pekerjaan barumu di kantor! Aku tak akan pernah membiarkan kau hidup tenang. Tidak level sama sekali bagiku, jika harus sekantor dengan seorang mantan nara pidana sepertimu. Bekas suami pertama istriku lagi. Aku akan mengeluarkanmu dari kantor besar itu dengan caraku, hem?” ancamnya disertai kekeh kecil. “Begitu?” sergahku dengan tak kalah sinis. Sebuah garis tak kalah angkuh kutarik dari salah satu sudut bibir. Senyum sinis penuh kengkuhan. “Bukankah hal itu juga berlaku padaku? Aku juga bisa mengeluarkanmu dari kantor besar itu dengan caraku, hem?” sergahku mengembalikan tantangannya. Tentu saja kalimatku sangat mengagetkannya. “Kau?” Sepasang suami istri mesum itu saling tatap, lalu mereka tertawa sumbang. Sepertinya Ninda sudah lupa rasa sakit dan perih di sleutuh wajah dan tubuhnya. “Kenapa? Kau tak menyangka?” sinisku tersenyum kecut, kembali menatap Reno. “Tidak, aku hanya tak bisa pikir, bagaima
**** “Lho, Mbak Viona enggak lihat apa gimana penampilan dia! Liat juga dengan seksama rumah kumuh yang dia sewa ini, Mbak! Lantai tanah, kamar dari bilik kardus, letaknya juga di areal rawa-rawa gini, kan? Ini lumayan, karena enggak ada hujan, Mbak! Kalau hujan dikit aja, tempat ini terendam air. Bayangin deh, gimana mereka tidur di atas genangan air! Trus, liat deh, penampilan dia, Mbak! Dekil, kotor, jorok, kumis dan jambang tak terawat, bauk lagi. Persis kayak pemulung di kolong jembatan. Mbak Viona enggak malu jalan bareng dia ke pusat perbelanjaan?” Viona mengeryitkan dahi, kedua alisnya saling menaut. Aku hanya mampu menghela nafas panjang. Hinaan Ninda sudah kelewatan. Rasanya aku sudah tak sabar. Ingin kuremas saja mulut lemasnya itu. Tetapi, aku tak mau mencari perkara. Jika itu kulakukan, maka dia dan suaminya bisa saja mengirim aku kembali ke penjara seperti waktu itu. Sudahlah, aku harus memaksa diri untuk tetap bersabar. “Saran saya, sih, Mbak Vi, Mbak usul aja s