Entah berapa lama Kendra menunggu dengan perasaan bosan dan membuatnya mulai menguap, hingga akhirnya Maxim mematikan laptop dan beranjak dari kursinya.
“Kita makan siang dulu,” beri tahunya. Perintah.
“Lho, katamu tidak mau mengajakku makan siang?” cetus Kendra usil. Namun saat mengingat bahwa Maxim mungkin salah satu makhluk langka yang tidak memiliki selera humor, gadis itu buru-buru menambahkan. “Aku ke sini untuk membahas tentang kriteria gadis yang kamu inginkan. Dan seharusnya tidak akan memakan waktu panjang kalau....”
“Aku lapar,” Maxim malah berjalan menuju pintu.
Kendra terpaksa mengikuti lelaki itu. Gadis itu tidak siap dengan risiko jika ternyata Maxim meninggalkannya sendirian dan tidak kembali lagi. Kendra kesulitan menebak apa yang diinginkan pria itu. Komentar ketus dan wajah masamnya itu cukup mengganggu. Namun anehnya Kendra mulai terbiasa. Dan gadis itu memilih untuk mengabaikan reaksi Ma
Kendra sudah tidak peduli andai Rossa benar-benar marah dan memecatnya. Dia sungguh tak sanggup lagi berperan sebagai manusia sabar yang bodoh. Mendiamkan saja saat Maxim mengkritiknya nyaris tanpa henti. Batas toleransinya sudah membunyikan tanda peringatan yang meraung luar biasa keras. Code red.Kendra selalu membenci hari Senin karena memutus semua kesenangan yang bisa dinikmatinya di hari Sabtu dan Minggu. Khusus kali ini, semangatnya benar-benar lumpuh. Kebenciannya meningkat hingga tiga kali lipat. Andai saja dia menemukan alasan genius untuk absen datang ke kantor hari ini, niscaya Kendra akan melakukannya tanpa berpikir dua kali.Kemalangan tampaknya gemar mengakrabkan diri padanya. Ponselnya kembali hilang. Kendra hampir yakin kalau benda itu tertinggal di kantor Maxim. Namun Kendra memilih lebih baik kehilangan ponsel ketimbang menghubungi Maxim dan bertanya tentang benda itu. Dia tak sudi lagi bertemu muka dengan pria sombong yang memiliki ego sebe
Seingat Kendra, ini kali pertama dia harus melewati proses memilih kriteria calon pasangan yang begitu bertele-tele. Para pesohor yang lain umumnya sudah menyiapkan daftar lengkap yang akan dikirim via surat elektronik. Kalaupun ada yang harus bertemu muka dengan Kendra seperti Maxim sekarang, biasanya tak butuh waktu lama bagi gadis itu untuk mencatat poin-poinnya. Maxim memang selalu antimainstream.“Ini kali pertama aku terlibat dalam hal menentukan kriteria pasangan yang diinginkan. Bukan bermaksud mengkritikmu, tapi menurutku kamu itu terlalu perfeksionis. Semua salah.” Kendra memindahkan pulpennya ke tangan kanan seraya menggerak-gerakkan jari-jari kirinya. Menunjukkan bahwa tangannya lumayan pegal karena menulis.“Kamu memang mengkritikku,” timpal Maxim. “Aku kan sudah bilang, aku tidak punya kriteria tertentu sebelum memilih pasangan. Prinsipku, kalau suka pada seseorang, ya sudah. Tidak ada poin khusus yang harus dipatuhi
“Seharusnya, aku yang mengajukan pertanyaan itu padamu,” balas Kendra. “Omong-omong, kenapa kamu mudah sekali menyatakan persetujuan? Ini bukan perangkap, kan? Tapi, kenapa aku punya firasat akan menyesali semua ini?”“Aku bukan pelaku kriminal. Lagi pula, untuk apa memerangkap atau menjebakmu? Seolah ada untungnya saja.” Maxim tampak tersinggung. Namun entah kenapa Kendra merasa pria itu hanya berpura-pura.“Oh, oke. Kamu memang bukan pelaku kriminal. Cuma seorang laki-laki menyebalkan yang tidak tahu caranya tersenyum.”oOoMaxim meninggalkan kantor The Matchmaker dengan perasaan aneh yang menggumpal di dadanya. Dia tidak pernah mengira akan ada suatu pagi saat dia bukannya buru-buru berangkat ke kantor. Melainkan mendatangi kantor lain untuk menyetujui acara kencan bodoh yang ditayangkan televisi.Selama ini Maxim menilai dirinya adalah orang yang tidak nyaman berada di
Niat Kendra untuk mengunjungi ibunya di akhir pekan ini pun terpaksa ditunda lagi. Dua minggu lalu, dia harus datang ke kantor Maxim. Sabtu selanjutnya, Kendra masih disibukkan dengan urusan pekerjaan. Kali ini, karena ikut mengurusi syuting pra kencan yang melibatkan sepuluh peserta terpilih dengan si selebritas. Yang harus menjalani syuting adalah seorang model majalah pria dewasa, Tessa Marris.Bagaimana dengan hari Sabtu ini? Tidak ada pekerjaan yang membuatnya sibuk. Akan tetapi, Kendra meringkuk di kasur karena radang tenggorokan yang cukup mencemaskan dan membuatnya tak leluasa makan dan minum.Sejak Jumat siang, gadis itu sudah merasakan tanda-tanda ketidaknyamanan di tenggorokannya. Namun hal itu terabaikan karena dia harus fokus pada pekerjaan. Begitu tiba di rumah sekitar pukul setengah tujuh malam, barulah Kendra yakin bahwa dia akan kesulitan menyetir ke Bandung jika tak segera meminum obat.“Kamu agak pucat lho, Ken. Sakit, ya?” t
Kendra menggeleng sambil menggumamkan terima kasih. Suci punya keluarga yang harus diprioritaskan. Namun perempuan itu selalu menyempatkan diri untuk ikut mengurus Kendra. Gadis itu tahu, dia berutang terlalu banyak pada Suci.“Nanti Tante buatkan bubur untukmu ya, Ken. Harus dimakan sampai habis,” ucap Suci sebelum meninggalkan rumah Kendra.“Terima kasih ya, Tan. Aku selalu saja membuat Tante repot,” balas Kendra.“Hush! Siapa yang repot? Tante tidak merasa begitu, kok!”Kendra sempat khawatir jika dia terpaksa tidak masuk kantor karena radang tenggorokannya. Terutama karena ini akan menjadi minggu yang sibuk. Rossa sudah mengisyaratkan agar syuting pra kencan untuk Maxim harus sudah dimulai minggu depan. Hari Senin ini dijadwalkan untuk seleksi peserta secara langsung. Kendra tidak ingin penyakitnya malah membuat pekerjaannya ikut tertunda.Entah keinginannya untuk sembuh atau obat manjur yang diberikan oleh d
Di mata Kendra, lelaki itu sangat kekanakan karena menampik sepuluh perempuan menawan dengan alasan yang dirasa tidak masuk akal. Ketertarikan seperti apa yang dimaksudnya? Kendra curiga, jangan-jangan dugaan yang dilemparkannya asal-asalan pada Maxim, memang benar adanya. Bahwa pria ini adalah penyuka sesama jenis. Namun, tentu saja dia tak boleh mengulangi tudingan semacam itu di depan Maxim.“Kamu sengaja mau membuatku kesal, ya?” Kendra tidak tahan lagi. Tangan kanannya diletakkan di pinggang. Senyum Kendra runtuh sudah. Wajahnya berubah kaku, dengan warna merah yang mulai menyebar. Marah dan kesal menjadi satu. Dia merasa Maxim sedang mempermainkan dan sengaja menyulitkan.“Aku mau kamu melakukan seleksi ulang karena tidak sesuai dengan harapanku. Apa untungnya kalau aku cuma mau membuatmu kesal? Kamu kira aku suka situasi ini? Aku akan menjalani kencan dengan salah satu di antara sepuluh orang itu. Dan tidak ada satu pun yang menarik buatku!&rdq
“Kamu benar-benar gila kalau mengira aku akan menerima tawaranmu. Semakin aku jauh darimu, semakin tenang hidupku,” geram Kendra dengan nada tajam. Gadis itu menjaga suaranya agar tak didengar orang lain kecuali Maxim. “Kalau bisa, aku tak ingin lagi berurusan denganmu. Aku sangat menantikan segala hal yang melibatkanmu, berakhir. Supaya aku bisa hidup bahagia seperti dulu lagi.”Membiarkan Maxim mengantarnya ke Bandung adalah hal terakhir yang akan dilakukan gadis itu dalam hidupnya. Setelah bicara seperti itu, Kendra pun segera mengabaikan Maxim. Dia sibuk membereskan berkas-berkas di mejanya. Setelahnya, Kendra bersiap untuk meninggalkan kantor.“Ken, Bandung itu jauh, lho!” Entah mengapa, secara ajaib, Maxim masih bertahan di sebelah Kendra. Lelaki itu menunggunya merapikan meja dengan sabar. Diam-diam gadis itu bertanya dalam hati, apakah Maxim memiliki kepribadian ganda? Belum sampai lima belas menit silam mereka bersitegang.
“Untuk apa kamu membawa baju ganti? Kamu kan bisa langsung pulang setelah mengantarku,” kata Kendra curiga. Dia menatap tas bepergian berukuran sedang yang diletakkan Maxim di jok belakang.“Cuma untuk berjaga-jaga,” Maxim beralasan.“Aku cuma merasa kalau kamu ini sedang ... merencanakan sesuatu. Berpura-pura baik untuk membuatku marah. Karena tadinya aku mengira kita sudah tidak ada masalah lagi sejak kamu datang ke kantorku pagi itu. Tapi,” Kendra mengernyit, “nyatanya tadi kamu masih tetap saja orang menyebalkan yang sama. Maaf ya kalau kamu tidak suka mendengar kata-kataku. Tapi aku memang sudah tidak bisa menoleransi sikapmu,” aku gadis itu lagi.Maxim tampak tidak siap dihujani kritik seperti itu. Tangannya yang sedang bersiap menyalakan mesin mobil, berhenti bergerak. Selama tiga detik yang terasa panjang bagi Kendra, mereka saling menantang mata.“Kenapa? Belum pernah ada yang mengucapkan kata