“Oke, saya berangkat sekarang, Mbak. Oh ya, saya bisa minta nomor ponsel Maxim?”
Rossa mengangguk cepat sambil menuliskan sederet angka di atas secarik kertas. “Semoga makan siangnya berjalan lancar. Kemarin Maxim bilang ada restoran yang enak di sekitar kantornya. Mudah-mudahan dia tidak bohong,” cetus Rossa, setengah berkelakar.
Senyum Kendra langsung lenyap begitu dia membalikkan tubuh untuk meninggalkan ruangan Rossa. Sebenarnya dia ingin sekali berteriak di depan perempuan itu agar tidak memintanya menggantikan siapa pun untuk makan siang. Apalagi dengan kondisi seperti saat ini, terlambat. Karena itu artinya, Kendra akan menghadapi kesulitan. Meski dia tak tahu seberapa besarnya.
Kendra tahu bahwa Rossa sedang sibuk, tapi dia tidak bisa membayangkan ada yang melupakan janji makan siang dengan cara seperti itu. Rossa bahkan tidak menunjukkan isyarat penyesalan karena harus menunda pertemuan. Bahkan boleh dibilang jika Rossa tidak ambil pusing apakah laki-laki bernama Maxim ini akan marah karenanya.
Kendra hanya melambai ketika Neala menanyakan sesuatu. Telinganya sedang enggan bekerja sama. Menolak untuk mendengarkan kata-kata di sekitarnya. Karena sedang berkonsentrasi pada monolog di benaknya sendiri yang riuh rendah.
Gadis itu tidak bisa melukiskan perasaannya yang kacau balau. Dia punya firasat bahwa dirinya akan berhadapan dengan kesulitan besar. Rasa pengar mendadak meninju kepala Kendra. Gadis itu hanya mampu melakukan satu hal di saat genting seperti itu, berdoa.
“Ya Tuhan, beri aku pertolonganMu agar hari ini tak terlalu mengerikan.”
Lalu, dia menghabiskan beberapa saat dengan mengajukan permohonan lain pada Tuhan. Berdoa supaya orang bernama Maxim itu adalah tipe lelaki super baik yang tidak keberatan dengan kehadiran Kendra yang menggantikan Rossa. Berdoa semoga Maxim tergolong penyuka jam karet yang selalu terlambat datang ke sebuah acara. Berdoa semoga Maxim mengajaknya makan di tempat yang menyediakan makanan lezat dan tidak langsung mengusirnya.
Sebelum menstarter mobil, Kendra memanfaatkan ponselnya untuk mencari data tentang pria bernama Maxim ini. Dalam sekejap internet menyajikan beragam informasi. Lelaki berkulit putih yang wajahnya mengingatkan Kendra pada Criss Angel tanpa aksesori itu, terlihat ramah. Setidaknya, itulah yang ditunjukkan oleh foto. Apalagi profesinya sebagai kepala departemen penjualan sekaligus salah satu perancang sepatu prewalker untuk Buana Bayi.
Nama Buana Bayi bukanlah nama yang asing untuk Kendra meski dia belum memiliki anak. Mendapati fakta kalau dia akan berhadapan dengan perancang sepatu bayi, rasanya jauh lebih melegakan. Dibanding jika harus menemui atlet atau bintang sinetron terkenal.
“Semoga si perancang sepatu ini punya hati yang lembut. Kalau tidak, mana mungkin tertarik dengan dunia bayi, kan?” Kendra menghibur diri sendiri seraya menyalakan mesin mobilnya. Pemikiran yang sangat aneh, tapi Kendra tidak sempat mengoreksinya.
Gadis itu merasa tegang sepanjang perjalanan. Untungnya kondisi jalan raya cukup bersahabat, tidak membuat dirinya kian panik. Hanya saja Kendra gerah dan berkeringat karena cuaca yang panas dan pendingin mobilnya yang tidak bekerja entah sejak kapan.
Kendra akhirnya agak lega saat menerima W******p dari Rossa yang memberitahukan bahwa Maxim sudah setuju akan menunda makan siang mereka hingga pukul satu. Juga nama restoran yang sudah dipilih lelaki itu. Ketika akhirnya Kendra memasuki halaman parkir gedung perkantoran yang dituju, rasa leganya sangat luar biasa.
Kendra berusaha menerapkan prinsip Rossa yang ingin serba cepat itu hingga cukup menyesatkan dan membuat lelah. Seperti biasa, segala yang serba cepat justru tidak sesuai dengan dirinya. Kendra seorang yang ceroboh. Dia terpaksa kembali ke tempat parkir karena ponselnya tertinggal di mobil.
Benda berukuran kecil tapi terbukti sangat vital untuk segala aktivitasnya itu sangat sering tertinggal. Dalam waktu setahun terakhir ini, Kendra bahkan sudah mengganti ponsel hingga tiga kali. Gadis yang sedang terburu-buru itu kembali panik saat menyadari bahwa dia bahkan belum melihat penampilan teranyarnya.
Dengan udara yang panas, keringat yang menyerbu, dan sudah berjam-jam silam dia menyapukan bedak di wajah, Kendra sudah bisa menebak performanya. Tidak ingin kembali ke mobilnya yang sudah ditinggalkan cukup jauh, Kendra mendekat ke sebuah mobil double cab yang terparkir tidak jauh dari pintu masuk.
Sesaat, perempuan itu terperangah saat menyadari bahwa mobil itu adalah favoritnya, Chevrolet Colorado yang gagah. Mobil impian yang sangat ingin dimilikinya untuk menggantikan sedan butut yang umurnya tak akan panjang itu.
“Semoga suatu hari aku mendapat rezeki nomplok yang memungkinkan untuk memiliki mobil ini,” gumam Kendra dengan suara lirih.
Setelah melihat ke segala penjuru dan memastikan tidak ada yang memperhatikan tingkahnya, Kendra membungkuk. Dia baru saja hendak merapikan rambutnya dengan bantuan kaca jendela si Colorado yang gelap itu. Tiba-tiba, kaca jendela itu malah bergerak turun, membuat Kendra melompat mundur saking kagetnya. Astaga, mobil itu ternyata berpenumpang!
“Apa kamu tidak bisa masuk ke toilet dan berdandan di sana?” tegur orang yang berada di dalam mobil. Lelaki itu hanya menurunkan kaca jendelanya beberapa sentimeter hingga Kendra tak bisa melihat wajahnya. Itu adalah keputusan yang luar biasa bijak bagi gadis itu.
Kendra belum pernah merasa malu separah itu. Dia buru-buru menunduk, menggumamkan kata maaf yang tidak jelas, sambil buru-buru kabur dari tempat itu. Gadis itu setengah berlari menuju pintu masuk. Sesuai saran pemilik Chevrolet Colorado tadi, Kendra menuju toilet. Mencuci muka dan merapikan rambutnya di sana mungkin bisa meluruhkan rasa malunya juga.
Setelah merasa penampilannya tidak terlalu mengerikan, Kendra akhirnya ke luar dari toilet. Gadis itu sekali lagi membaca alamat restoran yang diberikan Rossa. Restoran yang menyediakan makanan Indonesia itu berada di lantai lima. Kendra pun bergegas menuju lift.
Saat melewati pintu masuk restoran, Kendra menjadi bingung karena ada beberapa orang pria sedang duduk sendirian. Meski dia sudah melihat sekilas wajah Maxim di internet, tapi Kendra tidak berani memastikan seperti apa tampilan asli pria itu. Tidak punya jalan lain, Kendra hanya bisa menelepon.
“Halo, selamat siang. Saya Kendra, dari The Matchmaker. Saya....”
“Saya ada di meja nomor dua puluh dua,” balas sebuah suara datar. Setelahnya hubungan telepon diputus begitu saja tanpa basa-basi. Kendra melongo dan cuma mampu menatapi layar ponselnya untuk sesaat. Memastikan bahwa pria bernama Maxim itu memang sudah mematikan telepon dengan tidak sopan.
Kendra menghela napas, terpenggal antara kesal dan tidak berdaya. Namun dia memantapkan hati, menyadari ini sudah menjadi tugasnya. Pramusaji mengantar Kendra ke meja yang dimaksud. Seorang pria jangkung segera berdiri di depannya sambil mengulurkan tangan. Kendra menyambutnya seraya memperkenalkan diri.
“Silakan duduk!” kata Maxim dengan suara yang sama sekali tidak ramah. Mendadak, Kendra meyakini itu menjadi semacam firasat buruk. Sepertinya tidak ada sosok pria ramah yang menjadi perancang sepatu prewalker yang ada di benaknya tadi. Maxim yang asli adalah pria jutek yang jauh dari sikap menyenangkan.
“Kamu terlambat tujuh menit. Tapi saya berusaha maklum. Karena sepertinya kamu benar-benar ke toilet untuk berdandan.”
Kata-kata Maxim membuat benak Kendra kosong untuk sesaat. Dan ketika akhirnya memorinya kembali, Kendra sangat ingin ada gempa bumi dahsyat yang membuatnya punya alasan untuk meninggalkan pria itu. Dan segera berlari menuju pintu darurat.
Maxim bisa menangkap kekagetan di mata gadis itu. Kendra, begitu nama yang tadi didengarnya, nyaris tidak bernapas selama beberapa detik. Matanya terbelalak memandang ke arah lelaki itu. Tentu saja ucapan Maxim tadi sudah mengejutkan gadis ini.“Bapak ... yang tadi berada di dalam mobil keren itu? Eh ... maksud saya di Chevrolet Colorado?” Meski agak tersendat, gadis itu berhasil juga menuntaskan kalimatnya.Maxim mengangguk. “Ya, itu saya.” Lalu dia menambahkan, “Jangan panggil saya ‘Bapak’! Cukup nama saja.”“Baik,” kata Kendra sembari mengangguk.Lelaki itu tidak berniat menjelaskan bahwa dia baru saja hendak membuka pintu dan keluar dari kendaraannya ketika mendadak ada seorang gadis yang memilih untuk berkaca di jendela mobilnya. Maxim tadi meninggalkan Buana Bayi untuk bertemu sebentar dengan ibunya yang sedang berada di rumah sakit, tidak jauh dari kantornya. Tentunya setelah Rossa m
Kendra yang malang itu pun mengerjap. “Tapi....”Maxim menggeleng tanpa ragu. “Dua hari yang lalu, kakak saya memang berhasil membujuk sehingga saya bersedia mengikuti acara ini. Setelahnya, saya bicara dengan Rossa di telepon. Bosmu itu sudah memastikan kalau hari ini kami akan bertemu untuk membahas soal itu sekaligus makan siang. Tapi apa yang terjadi kemudian?” tanya Maxim dengan gaya dramatis. “Kita sama-sama tahu, kan?”Kendra tidak terlihat benar-benar terintimidasi. Setidaknya, gadis itu masih mampu memberi balasan. “Saya tadi sudah menjelaskan situasinya. Di kantor...”“Itu bukan alasan!” suara Maxim agak meninggi. “Saya adalah orang yang sangat menghargai janji dan waktu. Tapi sepertinya Rossa tidak melakukan hal yang sama. Dia seenaknya memundurkan janji hanya beberapa menit sebelum pukul dua belas siang. Selain itu, dia malah mengutus orang lain. Nah, kalau dia saja tidak menganggap pe
Ibunya memang tergolong orang yang sangat menjaga kesehatan. Secara rutin, Cecil Arsjad mengunjungi dokter langganannya yang berpraktik di sebuah rumah sakit top, tidak terlalu jauh dari gedung perkantoran tempat Buana Bayi berada. Dan biasanya, Maxim berusaha menemani ibunya meski mendapat protes dari berbagai pihak. Termasuk dari Cecil sendiri. Akan tetapi, tidak ada yang mampu membuat Maxim berhenti melakukan itu.“Max, Mama bisa ke dokter sendiri. Toh ada Rita yang menemani ke mana-mana. Mending kamu fokus bekerja,” ucap Cecil berulang kali.“Tidak apa-apa, Ma. Aku tetap bisa fokus bekerja, kok! Aku kan cuma mengantar Mama ke dokter sesekali, bukan setiap hari,” Maxim beralasan. “Tolong, jangan larang aku.”Maxim memasuki ruangan yang menjadi tempatnya bekerja selama beberapa tahun terakhir ini. Dia sama sekali tidak pernah menduga jika bisa begitu menyukai pekerjaannya saat ini.Sebenarnya, keluarga besar ayahnya s
Kendra memandangi teleponnya dengan bibir terbuka. Seakan ada makhluk ajaib yang siap melompat dari dalam benda itu. Gadis itu masih sulit percaya jika teleponnya baru saja ditutup dengan tidak sopan oleh Maxim. Lagi. Apakah lelaki itu memang terbiasa mengakhiri perbincangan via telepon dengan kasar?Sepanjang ingatannya, Kendra belum pernah bersua dengan makluk angkuh seperti Maxim. Lelaki itu sepertinya cuma bisa marah dan melontarkan kata-kata yang sama sekali tak enak didengar. Bagaimana bisa ada orang segalak itu?Jika menuruti kata hati dan harga dirinya yang terluka, Kendra sangat ingin merontokkan gigi Maxim. Supaya lelaki itu tidak bisa lagi memamerkan gigi rapinya. Atau sekalian saja memotong lidahnya agar takkan mengeluarkan kata-kata yang menyakiti hati orang lain. Akan tetapi, risikonya terlalu besar. Kendra tak mau mempertaruhkan masa depannya karena lelaki itu. Dia tak sudi jika harus menghabiskan hidupnya yang berharga itu di dalam hotel prodeo.
“Oh ya? Kenapa?” Neala tampak lebih dari sekadar tertarik untuk membicarakan masalah itu.“Laki-laki bernama Maxim itu marah karena Mbak Rossa memundurkan janji. Apalagi karena dia baru dihubungi hanya beberapa menit sebelum jam dua belas, janji makan siang mereka berdua. Lalu, masih ditambah karena Mbak Rossa malah memintaku yang menggantikannya untuk bertemu Maxim. Alhasil, Maxim menolak untuk terlibat dalam acara Dating with Celebrity. Sementara di lain pihak, aku menjadi orang yang tersudutkan. Aku dianggap sebagai orang yang tidak bisa melakukan tugas sederhana seperti itu,” keluhnya.“Dan aku sudah bisa menebak kelanjutannya.” Neala bersimpati. “Kamu harus membujuk Maxim supaya dia berubah pikiran, kan?”Kendra mengangguk sambil kembali membaca kertas-kertas di depannya. “Aku sudah beralasan kalau pekerjaanku bertumpuk. Tapi....” gadis itu mengedikkan bahu tanpa daya. “Kamu lebih me
Minimnya waktu luang itulah yang membuat Kendra terpaksa meminta bantuan seseorang untuk membersihkan rumah dan mengurus pakaiannya. Beruntung dia mengenal banyak tetangga yang selalu siap memberi pertolongan.Kendra pun akhirnya menyerahkan salah satu kunci rumahnya kepada Suci, tetangga di sebelah rumahnya. Dia sudah mengenal Suci sejak kecil. Dan perempuan itu tidak keberatan meminjamkan pembantunya untuk memastikan rumah Kendra tetap bersih. Suci juga yang memastikan semua pakaian Kendra dicuci dan disetrika.Sebelum tidur, seperti biasa Kendra ke dapur dan memeriksa kompor. Meski dia tahu tidak akan menemukan api yang menyala di sana. Namun itu sudah menjadi kebiasaan yang melekat seperti kulit kedua. Kemungkinan besar, takkan bisa hilang.Malam itu, Kendra bermimpi dia membuat Maxim meminta maaf sambil berlutut. Saat membuka mata paginya dan teringat mimpinya, Kendra tergelak sendiri. Bahkan Tuhan pun berusaha menghiburnya dengan memberikan mimpi yang mele
Maxim terbelalak mendengar kalimat yang diucapkan Kendra dengan suara tenang itu. Belum lagi bantingan pintu yang menyusul kemudian. Gadis lancang itu baru saja menudingnya sebagai seorang pencinta sesama jenis. Meski kesal, tapi Maxim lega karena Kendra akhirnya meninggalkan ruangannya. Setelah lebih tenang, dia meminta Padma untuk masuk ke dalam ruangannya.“Kenapa kamu membiarkan gadis itu menunggu saya?” tanyanya tanpa basa-basi.“Dia yang bersikeras, Pak,” Padma membela diri. “Saya sudah berusaha memintanya pergi secara halus. Saya bilang, belum tahu kapan Bapak akan balik ke kantor. Tapi dia tak peduli dan tetap menunggu.”Maxim tahu dia sudah berlaku tidak adil jika menimpakan semua rasa frustrasinya kepada Padma. Nyatanya, utusan Rossa itu pun tergolong keras kepala. Dan mungkin tidak punya rasa malu juga. Makanya gadis itu tetap nekat untuk datang ke Buana Bayi meski Maxim jelas-jelas tak tertarik untuk menemui Kendra
Maureen mengangkat bahu. “Mana kutahu? Lagi pula, itu bukan urusanku. Dia tidak membuatku cemas untuk urusan pasangan. Kalaupun ada yang harus kukhawatirkan soal jodoh, Declan berada di urutan terakhir. Darien menjadi prioritas. Mengkhawatirkan melihat adikku yang keren dan populer itu tidak pernah memperkenalkan pacarnya selama beberapa tahun ini. Sementara gosip di luar sana begitu kencang, menghubungkan Darien dan entah siapa saja. Lalu masih ada kamu, yang tidak juga mau berkencan dengan serius. Acara perjodohan yang....”Maxim memotong dengan kesal, “Tolonglah Mbak, kita tadi sedang membicarakan Declan. Jangan malah melebar ke mana-mana.”Maureen terlihat menahan tawa. Seakan menikmati ketidaknyamanan Maxim. “Oh ya, Declan bilang kalau dia mengalami kecelakaan, terserempet motor. Tapi katanya tidak parah. Hanya saja dia tidak mau Mama sampai tahu,” lanjut Maureen.“Kalau dia tak mau Mama cemas karena ana