Share

Kesan Pertama yang Tak Menggoda [2]

“Selamat pagi, Ken. Apa kamu sudah sarapan? Mukamu pucat dan lingkaran hitam di bawah matamu itu cukup mencolok,” komentar Neala begitu melihatnya. Gadis itu mendekat ke arah Kendra sebelum kembali bicara dengan suara rendah. “Aku yakin, kamu pasti cuma tidur beberapa jam dan nyaris bangun kesiangan.”

Kendra mengangguk. “Kamu sih enak. Kemarin pulang tepat waktu. Sementara aku, baru tengah malam sampai di rumah. Dan ya, aku memang belum sempat sarapan. Aku bahkan lupa kalau manusia normal harus mengisi perutnya pagi-pagi sebelum berangkat ke kantor,” canda Kendra.

Neala buru-buru mendorong punggung gadis itu ke arah mejanya. “Kalau begitu, biar kuambilkan sarapan. Kamu duduk dulu dan menarik napas dengan santai. Jangan mirip ibu-ibu beranak tujuh yang tergopoh-gopo menyelesaikan semua pekerjaannya.”

“Terima kasih, La,” gumam Kendra tulus. Gadis itu menuruti saran Neala untuk segera duduk di kursinya.

Kendra pun mulai larut dengan kesibukannya. Gadis itu sibuk memindai puluhan foto yang tergeletak di mejanya. Segala jenis perempuan cantik ada di sana. Kemudian matanya membaca dengan detail persyaratan yang diinginkan si selebriti. Tinggi minimal 170 sentimeter, usia maksimal 25 tahun, kulit putih dan mulus, gigi rapi, wajah bebas jerawat, memiliki pekerjaan yang mapan, masih lajang, dan belum pernah menikah.

Kendra tersenyum miris saat menyadari hanya bagian usia serta masih lajang dan belum pernah menikah itu saja yang bisa dipenuhinya. Dia nyaris muntah membaca deretan persyaratan itu. Jelas terlihat betapa tinggi tuntutan si selebriti. Ketika melirik nama yang tertera di depan berkas itu, Kendra menelan ludah. Nigel Sukandar.

Pria itu adalah model top dengan tinggi lebih dari 190 sentimeter dan dikenal sangat suka bergonta-ganti pasangan. Nigel salah satu makhluk berhormon testosteron paling rupawan yang mungkin pernah dilihat Kendra seumur hidup. Meski dia belum pernah melihat Nigel secara langsung.

“Kamu lagi menyeleksi foto untuk siapa?” Neala mendekat sambil menyodorkan segelas susu dan selembar roti gandum polos. Menu sarapan yang sangat sering disantap Kendra. Dan Neala kadang berbaik hati mengambilkan untuk Kendra jika gadis itu datang dengan terburu-buru.

Satu lagi yang disukai Kendra dari pekerjaannya di The Matchmaker adalah pantri yang selalu dipenuhi makanan untuk sarapan. Mulai dari yang berlemak tinggi hingga yang rendah kalori. Sedangkan untuk makan siang, ada layanan katering yang melayani. Rossa berusaha keras menyediakan semua yang dibutuhkan karyawannya.

“Oh Neala, apa jadinya aku tanpa kamu di dunia ini?” desah Kendra seraya mengambil alih gelas dari tangan sahabatnya. Lalu setengah porsi susu pun berpindah ke perutnya.

“Cih, gombalanmu itu tidak akan menyentuh hatiku,” Neala membungkuk di belakang Kendra. “Siapa selebritinya?”

“Nigel.” Sorot penuh pemahaman bisa dilihat Kendra di mata temannya hanya dengan menyebut satu nama itu. “Dan aku merasa malang untuk semua peserta ini. Kali ini, kamu harus ada di pihakku. Silakan baca,” Kendra mengangsurkan lembaran persyaratan. Hanya dalam hitungan detik dia mendengar Neala menirukan suara geraman rendah.

“Makin lama, para selebriti itu merasa makin tinggi saja. Tiap kali membaca syarat teman kencannya, makin mengerikan. Lagi pula, untuk apa si Nigel ini ikutan? Sudah jelas kalau dia tidak tertarik berkomitmen,” omel Neala.

“Aku cuma memenuhi syarat untuk usia dan kelajangan. Poin yang bisa kamu penuhi malah lebih banyak, La. Tidak tertarik untuk ikut?”

Neala menegakkan tubuh sambil mencibir kesal. “Kurasa, andai di dunia ini dia menjadi laki-laki terakhir, aku memilih untuk tetap melajang seumur hidup. Aku tidak tahu, orang ini sedang mencari teman kencan atau boneka pajangan?”

Kendra tergelitik dan gagal mencegah tawanya pecah. Neala selalu bisa meringankan paginya yang dirasa tidak nyaman.

“Kurasa, Nigel ini sedang berencana untuk membuka agency model. Siapa tahu dia mau pensiun dan alih profesi.”

Kendra merasakan tepukan halus di bahunya. “Kurasa, orang senarsis dia tidak akan mundur dari dunia model secepat itu. Selamat bekerja, Ken. Tolonglah beri kesempatan kepada cewek-cewek itu.”

Kendra membalas ucapan Neala dengan lambaian tangan. Dia mulai memilah-milah foto yang sudah dilengkapi biodata itu. Membaca satu-persatu ciri fisik yang tertulis di sana. Dengan terpaksa, gadis itu harus menyingkirkan sepertiga pelamar hanya karena masalah tinggi badan. Beberapa karena usia, warna kulit, hingga pekerjaan.

“Semoga suatu saat nanti, laki-laki bernama Nigel ini kena batunya. Minimal punya pasangan yang tidak sesuai kriteria yang dia mau,” doanya sungguh-sungguh. “Mencari teman kencan saja syaratnya luar biasa. Mungkin seharusnya dia mencantumkan juga gaji minimal, makanan favorit, keterampilan khusus, atau skor IQ,” omel Kendra.

Gadis itu tenggelam dalam pekerjaannya hingga kemudian tersadarkan oleh punggung dan leher yang pegal. Ditambah lagi dengan perutnya yang terasa lapar. Sudah pukul setengah dua belas. Dan seingat Kendra, dalam waktu delapan belas jam terakhir hanya susu dan roti dari Neala yang masuk ke dalam perutnya. Gadis itu baru saja akan mengajak Neala makan siang saat Rossa meneriakkan namanya. Bos Kendra itu juga memberi isyarat agar gadis itu masuk ke ruangannya.

Sebagai efeknya, Kendra tergopoh-gopoh bangkit dari kursinya  hingga kakinya menghantam tepi meja dan membuatnya meringis kesakitan. Sembari menahan nyeri, Kendra  menyeberangi ruangan dengan agak terpincang-pincang.

Rossa adalah orang yang sepertinya terobsesi dengan segala yang serba cepat. Jika sudah menurunkan sebuah perintah, maka harus dikerjakan sesegera mungkin. Kalau yang terjadi sebaliknya, jangan heran andai mendengar suara perempuan itu meninggi.

“Ada apa, Mbak?” Kendra berdiri di depan pintu yang terbuka. Rossa sedang berbicara dengan seseorang di telepon dan memberi isyarat agar gadis itu menunggu. Setelah sekian detik yang seakan membengkak menjadi berjam-jam, Rossa akhirnya bicara dengan nada memerintah yang khas.

“Kamu harus segera bergegas menemui seseorang untuk makan siang. Kamu menggantikan saya untuk menjelaskan dengan detail tentang acara Dating with Celebrity.” Rossa menunjuk ke arah jam tangannya sambil menyebutkan alamat yang harus dituju Kendra. “Kamu harus tiba di sana kurang dari setengah jam. Sebenarnya saya janji akan bertemu orang itu pukul dua belas. Tapi sepertinya sudah tidak mungkin bisa tepat waktu. Nanti saya akan menelepon dia tentang keterlambatan ini.”

Kendra sangat ingin membuka mulut dan menjelaskan bahwa bagi sebagian besar manusia di luar sana, menepati janji itu sangat penting. Bukan seenaknya membatalkan atau menunda tanpa pemberitahuan yang pantas. Namun tentu saja dia menahan diri dengan maksimal karena tahu bahwa  Rossa tidak akan menyukai kritik.

“Siapa yang harus saya temui, Mbak?”

“Maxim Fordel Arsjad,” cetusnya.  Meski Kendra tidak punya ide tentang siapa pemilik nama itu, dia berusaha untuk tidak menunjukkannya dan hanya mengangguk.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status