Alma menarik napas panjang. “Gue pengen nanya: salah gue di mana? Tapi kayaknya itu bukan pertanyaan yang bisa dijawab. Karena kadang lo gak salah, lo cuma gak cocok buat struktur yang udah mereka pilih.”“Gue tau jawabannya,” kata Wina.Alma menoleh.“Salah lo cuma satu: lo gak takut. Dan itu bahaya buat orang yang kebiasa ngontrol orang lewat ketakutan.”Mereka diam. Kantin makin sepi. Yang tersisa hanya suara kulkas yang bekerja terlalu keras, dan langkah seorang OB yang menyapu remah-remah dari lantai.Wina lalu menyandarkan punggung. “Lo punya dua pilihan sekarang, Ma. Diam dan ‘ikut’ biar gak makin dikucilkan. Atau lo tetap lantang dan siap dibikin kelihatan rusak. Karena percaya deh, abis ini bakal ada rumor aneh.”“Kayak?”“Lo susah diajak kerja sama. Lo emosional. Lo gak bisa adaptasi. Lo terlalu keras kepala. Gampang.”Alma tertawa. Tawa yang lebih mirip kelelahan. “Bisa ditebak ya.”“Reina gak frontal. Tapi dia punya lidah buat merambat ke telinga siapa pun yang dia butuh.
Gio meletakkan air di meja. Duduk di seberangnya. Mereka diam. Beberapa menit hanya berlalu dengan napas dan bunyi detik jam dinding tua.“Kenapa nggak bilang?” tanya Alma akhirnya. “Kalau lo tahu lo nggak bisa nolak Reina, kenapa nggak kasih tahu dan tari lebih keras gue lebih awal?”Gio membuka amplopnya. Di dalamnya, print-out struktur tim dan dua lembar draft rencana revisi. Ia tidak langsung menjawab. Hanya mengamati dokumen itu, lalu melipatnya kembali dengan rapi.“Karena gue pikir bisa cegah ini semua. Gue pikir bisa tahan Reina sampai revisi lo dilolosin dulu.”“Tapi lo nggak tahan.”Gio menatapnya. Matanya merah, tapi bukan karena menangis—lebih seperti kurang tidur. Atau terlalu banyak menahan.“Reina bukan orang yang bisa lo lawan langsung. Dia nggak marah. Dia nggak teriak. Tapi dia main sistem. Dia bikin keputusan terasa seperti pilihan, padahal lo udah nggak punya kuasa.”“Dan lo biarin,” Alma melipat tangan di dada. “Semuanya berubah, tapi gak bilang. Biar gue tahu dar
Langit Jakarta sore itu mendung, tapi kantor tetap panas. Bukan karena AC rusak, tapi karena aura Reina masih tertinggal di setiap sudut ruang rapat. Hari ini bukan lagi soal “Reina mulai datang" tapi mulai meninggalkan jejak kekuasaan pada sistem.Bau kopi yang basi bercampur dengan parfum mewah yang entah siapa pemiliknya. Semua terasa sama dinginnya dengan cara Reina menatap tadi pagi—seperti orang yang sudah tahu siapa yang akan disingkirkan bahkan sebelum pertarungan dimulaiJam digital di ruang rapat menunjukkan pukul 09.03. Udara AC begitu dingin, menusuk, tapi tidak cukup menenangkan gemuruh dalam dada Alma. Ia datang lebih awal hari ini—sebagian karena profesionalisme, sebagian lagi karena gelisah yang tidak bisa ditenangkan dengan duduk di meja sendiri.Satu persatu kursi mulai terisi. Wajah-wajah yang dikenalnya terlihat lelah tapi berusaha netral. Wina masuk dengan langkah cepat dan duduk satu kursi darinya. Mereka hanya saling mengangguk, tanpa kata. Lalu Gio datang, memb
Sore itu, Alma kirim email. Bukan ke HR. Bukan ke tim atas. Tapi ke dirinya sendiri-dengan subject:To: Alma_Raisa@paperpixel.co.idSubject: Bukti KeberadaanHari ini aku tidak melawan dengan teriakan. Tapi aku meninggalkan sidik jari.Di file. Di kata. Di keberanian untuk tetap hadir.Karena tidak semua yang diam itu selesai.Kadang, diam adalah jeda sebelum langkah paling penting.Langit mulai menggelap ketika Alma beranjak dari kursinya. Lampu-lampu kantor belum dinyalakan sepenuhnya, menyisakan cahaya senja yang menembus jendela, membentuk siluet kota yang tak pernah benar-benar tidur.Ia berjalan pelan menuju ruang print. Di tangannya, ia genggam satu lembar: versi asli dari proposal Warm Balance, dengan tanda tangan digitalnya dan waktu pengiriman otomatis ke drive kantor-tercapai tiga hari sebelum draft "tim baru" itu muncul.Satu bukti kecil. Tapi cukup untuk membuat siapa pun yang cermat... bertanya.Di dekat lift, ia bertemu Anya. Keduanya saling pandang sebentar sebelum Any
Malam itu, Alma pulang lebih larut dari biasanya. Menatap layar kosong, dan merasakan sepi yang lain — sepi dari pengakuan, dari keberpihakan, dari keadilan.Tapi ia tidak merasa sendirian.Di meja, pin kecil pemberian Gio masih tertempel di balik cover laptopnya. Tak terlihat siapa pun, tapi terasa. Seperti janji sunyi yang tidak diucapkan, tapi terus bergema.Di kamar, Alma membuka laptop catatan digital yang kini sudah lebih sering terisi.Ia mulai menulis:Hari ini aku berbicara.Bukan karena suara itu akan langsung didengar,tapi karena kalau aku diam, aku takut akan lupa seperti apa rasanya percaya. Aku tidak ingin menjadi dinding yang memantulkan perintah.Aku tidak ingin menjadi nama yang hanya dicetak di laporan kehadiran.Aku ingin jadi orang yang bisa menatap diri sendiri, dan bilang,"Kamu tidak tunduk. Kamu tidak menyerah."Ia berhenti sebentar, lalu menambahkan:Mungkin aku akan gagal.Mungkin aku akan dituduh terlalu keras, terlalu cerewet, terlalu sulit.Tapi setidakn
Alma menatap wajahnya. Ada garis letih di bawah mata, tapi ada juga sesuatu yang lain. Sorot yang lebih keras, lebih diam, lebih sadar.Tangannya bergerak membuka dokumen baru.Judul: Yang Tidak Bisa Mereka HapusJari-jarinya mulai mengetik. Kalimat pertama keluar perlahan. “Kejujuran bukan kesalahan, tapi sistem mengajarkan kita untuk menyesalinya.”Dia berhenti sejenak. Lalu mengetik lagi.“Gue pernah diem. Tapi hari ini, enggak lagi.”Sambil terus menulis, Alma membuka laci meja dan menempelkan pin kecil pemberian Gio di balik cover laptopnya, tersembunyi tapi ada. Seperti suara yang mungkin tidak terdengar, tapi tetap tinggal.Langit di luar jendela mulai cerah. Tapi di dalam ruangan, Alma tahu: ini belum pagi. Ini baru awal.Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia menulis bukan karena diminta. Tapi karena memilih.Langit belum benar-benar biru saat Alma sampai di kantor pagi itu. Udara di luar masih berbau lembab semalam, dan kaca jendela gedung tinggi tempatnya beke