"Jadi, apa yang kalian bicarakan tadi?" tanya Muti segera saat aku masuk dalam mobilnya. Cintia juga ada di sana dan menatapku penasaran.
"Um ... ya bicara seadanya. Memangnya mau bicara, ngomong, talk sesuatu yang spesial?" tanyaku balik pada Muti.
"Males ngomong sama Amel ya gini ... pura-pura tidak mengerti apa yang aku maksud. Ya dah kalau enggak mau kasih tahu dengan jelas. Betewe kita ke toko Murah Bahagia yuk, beli beberapa makanan yang bisa dibawa besok," ajak Muti sambil melajukan mobilnya. Ia sedikit keasl mendapati jawaban yang menurutnya tidak memuaskan.
"Kalau aku sih ikut Muti saja, penumpang gratis." Cintia membalas sambil memainkan salah satu aplikasi dalam ponselnya sekarang.
"Ya dah, aku juga oke kalau begitu ... ayo belanja."
"Mel ...."
"Ya, ya, ya ... Joy meminta maaf padaku tadi. Clear ya."
"Nah, gitu kan enak ... tidak berbelit-belit kalau ditanya."
"Iya Ibu Muti ...."
11 Agsutus ....Dari : Muti SastraAmel yuhu ... selamat pagi, ayo bangun! Aku yakin kamu bahkan belum siap-siap. Ingat, sebentar sore kita sudah harus berkumpul di kampus. Aku sudah tidak sabar berpetualang di lokasi tempat kita mengabdi.Begitulah isi pesan yang kirimkan Muti. Akhir-akhir ini menurutku ia semakin cerewet dan suka menyuruh ini itu. Entah apapun alasannya, bagiku terlihat berlebihan. Aku tetap berterima kasih tentang berkasku yang selesai karena campur tangannya, sih.Dengan malas aku membalas pesan dengan sebuah kata, ok.Sesuai dugaanku, tidak berselang lama Muti menelepon. Aku bahkan sudah tahu apa yang mau ia sampaikan."Apa-apaan? Hanya sebuah kata dan cuma 'ok'? Tolong ya Amel bersikap lebih peduli!" protesnya melalui telepon.Aku tertawa kecil. Ia benar-benar tidak seperti Muti yang aku kenal saat pertama kali kami bertemu. Apa Muti dan aku sudah bertukar ji
Selesai dengan kegiatan mandiku, aku segera menganti pakaian yang juga sudah kubawa ke dalam kamar mandi. Sesudahnya, aku memakai skincare.Muti masih seperti tadi yang masih terus mengeluarkan rasa kesalnya dalam bentuk omelan."Duh, siapa sih menelepon terus? Amel ponselmu sedari tadi berdering.""Biarkan saja. Palingan orang tuaku yang mau menanyakan kabar. Nanti akan aku kabari bila keadaan sudah memungkinkan," balasku sambil mulai mengeringkan rambut. "Mut, perlu bantuan?"Muti menunjukkan mata elangnya sekarang. Sebuah tatapan penuh intimidasi."Apa aku terlihat butuh bantuan? Tentu ....""Huahaha, aku akan membantumu.""Membantuku? Ngaca dong, saat ini akulah yang sedang memabntumu, Mel.""Iya, iya ... terima kasih Muti yang cantik, baik, rajin cari uang dan juga menghabiskannya ....""Yang terakhir tolong dihapus saja."Ponselku terus berdering."Jadi penasaran kenapa berder
Setelah suara riang itu, muncullah sosok yang sudah bisa aku tebak. Cintia muncul dengan senyum manis. Gigi ginsul miliknya juga tak kalah eksis tatkala ia melebarkan senyumnya."Lha? Perasaan tadi lagi menelpon sekarang sudah ada di sini." Langsung saja sebuah pertanyaan terlontar dari bibirku."Kan aku sambil menelepon sambil jalan. Aku mau kasih ini," balas Cintia."Wa ... tumben amat bawa makanan.""Firasatku sih si tukang tidur ini belum makan dari pagi. Aku tuh kayak orang gila dari tadi ye menelepon tapi tidak ada respons. Mau lihat berapa jumlah panggilan tak tgerjawab yang aku berikan?""Hm ... nih. Segini, kan?"Cintia menepuk dahinya. "Untung kamu jomblo ya, kalau tidak sudah dituduh macam-macam sama pacarmu itu ... bisa-bisanya enggak angkat panggilan hingga segitu banyaknya.""Iya, untungnya aku jomblo.""Ehm ... bukannya aku mau protes atau gimana nih ya ... tapi bagaimana caranya aku
Singkat cerita ... aku sudah selesai dengan segala keperluan yang semestinya aku bawa. Muti juga sudah berpulang ke kediamannya, begitu pula Cintia. Kami masih memiliki kurang lebih tiga jam untuk mempersiapkan atau hanya sekedar melakukan pengecekkan terakhir. Kata orang, sesuatu yang terburu-buru itu tidak baik. Ya, aku percaya itu. Aku mulai melihat detail kecil di kamar kosan. Memeriksa dan sekali lagi semua benda-benda yang akan kutinggal selama dua bulan itu akan baik-baik saja nantinya. Kalau seperti ini, apa baiknya kalau aku mengirim barang-barangku ke rumah saja? Ah, sudah terlambat rasanya. Sayang sekali bukan, bila harus membayar uang sewa selama dua bulan full namun tidak ditempati. Aku mengecek kembali ponselku lalu menghubungi Ibuku. Rasanya sedikit aneh, hari ini Ibu bahkan tidak menghubungiku. Sekali, dua kali ... hingga panggilan ke tiga. Aku mulai gelisah. Ada apa gerangan? Tidak menyerah, aku putuskan untuk menghubungi Ayah. Sa
Bus kami berangkat begitu seluruh mahasiswa dan mahasiswi memenuhinya. Perlahan, kami meninggalkan kota ini. Setengah jam sudah perjalanan ini berlalu, Joy masih dalam tidurnya yang nyaman. Bahkan saat tidur pun, ia masih sangat cantik. Jiwa iriku meningkat bila terus-terusan berada di sampingnya. Joy membuka matanya perlahan, aku lihat ia seperti sedang kehausan. "Uhuk!" "Mau minum?" tawarku sambil berusaha meraih sebotol air mineral dalam ranselku. "Ini." Aku lalu memberikan padanya. "Terima kasih." Ia menegak minuman itu dan di akhiri dengan kata 'ah' sebagai pelengkap. "Kalau masih mengantuk tidur lagi aja." Aku hanya sekadar basa-basi. Kenyataannya ialah aku hanya malas bila harus bercerita dengannya. Joy tiba-tiba meregangkan badannya. "Sudah cukup. Aku sudah bisa bangun sekarang." Kalau begitu aku saja yang tidur. "Amel bagaimana? Apa Amel juga tidur tadi?"
Enam jam telah berlalu. Perjalanan menuju lokasi KKN memang tidak main-main. Sebuah pengabdian sebagai salah satu tridarma perguruan tinggi yang harus dilaksanakan. Masih dalam posisi yang sama, aku duduk diam di kursi yang tidak telalu empuk untuk ukuran perjalanan jauh. Ingin rasanya aku bertanya mengapa tidak memilih bus dengan pelayanan ekstra seperti tempat tidur atau sejenisnya. Setelah dipikirkan lagi, kami tidak membayar untuk akomodasi jadi sangat wajar dengan fasititas seperti ini. "Nanti kita istirahat singgah sekitar empat puluh menit ya. Jadi yang mau buang air atau singgah untuk makan boleh meninggalkan bus untuk sementara. Tapi ingat, jangan pergi sendirian dan juga saling mengingatkan satu sama lain, oke?" Setidaknya pengumuman dari supervisor itu membuatku sedikit senang. Aku menanti saat-saat bus diberhentikan. Aku tahu, sang supir juga perlu beristirahat setelah perjalanan enam jam. Bayangkan saja, bila dipaksakan terus-menerus bisa saj
"Bagaimana? Enak, kan?" tanya Joy yang terus memerhatikan ekspresi wajahku saat makan dengan lahapnya."Hm m ... apalagi gratis.""Ini air minum, anggap saja aku ganti air minum punyamu." Joy lalu memberikanku sebotol air bermerek Kristalain.Aku memandanginya sebentar. Air minum kemasan ini sedikit mahal dari yang lain. Masalah pH atau apalah itu yang digadang-gadang sebagai keunggulan."Air mineralmu harus yang merek ini ya, Joy?""Kenapa?""Ini kan mahal ....""Aku sensitif terhadap air."Gila! Bahkan air pun harus yang mewah. Aku sekarang bagai itik buruk rupa yang sedang bersama seekor angsa."Lalu sekarang apa perutmu baik-baik saja? Tadi aku memberimu air, aku jadi sedikit khawatir sekarang.""Sampai sekarang aku masih baik saja. Artinya aku masih cocok dengan merek yang kamu berikan.""Jadi Joy itu sedikit melelahkan ya? Harus serba cocok, kalau tidak men
"Mut-" Ucapanku terhenti."Tidak mungkin ini milik Joy." Muti lalu melanjutkan rasa penasarannya dengan menuju ke bagian paling depan. "Hm ... bus ini memang sedikit lebih luas, tapi fasilitasnya ... bagaimana ya mengatakannya?"Aku berjalan mendekati Muti dan melintasi tempat duduk Joy.Syukurlah ... Joy sedang tidak ada di sana. Tapi tunggu, ke mana gadis itu sekarang?"Masih penasaran dengan tempat ini?" tanyaku pada Muti. Sejujurnya, aku hanya sekadar basa-basi."Enggak. Sini sini! Giliran kamu yang ke bus kami." Muti dengan mudahnya sudah memegang tanganku dan mengajakku keluar dari bus."Eh? Sudah mau pergi? cegat Cintia yang baru saja mau masuk ke dalam bus."Kamu jalannya terlalu lambat.""Ayo kita ke bus!""Ha?""Ajak Amel tour singkat."Tak berselang lama, banyak penumpang lainnya berdatangan."Loh, loh, loh ... kok jad