Share

6. My Joy

"Amel ..."

Aku berusaha tidur sekarang. Saat kakiku melangkah ke tempat tidur penjaga pasien, aku seolah tak bisa bergerak.

Oh Shit! Ada apa ini?

"Amel ..."

Lagi dan lagi, aku mendengar suara kecil memanggil namaku. Suara itu tak asing di telingaku. Suara yang pernah aku dengar sebelumnya. Aku masih terus berusaha sampai akhirnya aku pasrah. Beberapa detik kemudian aku merasa embusan angin yang sangat dingin. Tubuhku merinding. Pupil mataku membesar, aku terkejut dan juga sedikit takut. Sosok Joy muncul di hadapanku dengan senyumnya.

"J-Joy," ucapku sedikit terbata.

Joy mengangguk tanda menjawab. Aku masih tidak bisa bergerak. Kulihat Joy perlahan mendekatiku. Jantungku berdegup kencang. Mau bagaimana lagi? Sosok Joy yang dihadapanku bukanlah lagi makhluk yang sama denganku. Lidahku berat untuk mengeluarkan sepatah kata pun. Jangan tanyakan bagaimana kondisiku. Rasanya aku ingin berteriak sekencang-kencangnya namun tak bisa. Jari jemari Joy perlahan menyentuhku, ia menyentuh rambutku dengan pelan lalu mulai berbisik.

"Terima kasih."

Setelah itu sosok Joy hilang dari pandanganku. Bersamaan dengan perginya sosok Joy, tubuhku kembali bergerak dengan leluasa.

"Nak Amel, Nak Amel."

"Hah?"

"Nak Amel baik-baik saja?" Sebuah pertanyaan keluar dari mulut wanita itu. Aku masih belum menoleh ke kanan ataupun ke kiri untuk memastika suara milik siapa itu.

"Ha?" Sekali lagi aku mengeluarkan pertanyaan yang sama.

"Apa Nak Amel bermimpi buruk?" tanyanya lagi.

"Mimpi? Apa itu mimpi?" tanyaku dalam hati.

"Nak Amel ...."

"Bibi, maafkan aku. Apa aku baru bangun tadi?" tanyaku disertai rasa lega. Suara itu milik Bibinya Joy dan bukanlah- kalian tahu siapa yang aku maksud.

"Bibi lihat kamu berkeringat saat tidur dan terbangun dengan wajah pucat."

Aku segera menarik napas panjang. Lega, itu satu kata yang pantas aku keluarkan. Setidaknya pertemuanku dengan 'arwah' Joy hanya mimpi.

"Aku baik-baik saja, Bi. Maafkan aku. Aku pasti mengganggu tidur Bibi."

"Bibi sudah bangun dari tadi. Lagian, ini sudah pagi. Lihat, matahari sudah menyapa kita dengan indahnya." Bibi membalas perkataanku sambil menatap matahari lewat jendela. "Nak Amel boleh pulang, Bibi akan mengurus di sini."

"Ha? Tidak, tidak," cegatku. "Bibi masih sakit, ijinkan aku membantu, Bi."

"Kalau Nak Amel mau membantu, pulanglah sebentar. Nak Amel bisa kembali lagi nanti. Hari ini akan diadakan upacara pemakaman. Apa Nak Amel berencana datang dengan penampilan seperti ini?" Bibi memandangiku dari atas hingga bawah. Aku sedikit tersinggung. Ya, aku pasti terlihat seperti gembel saat ini.

"Hm m, baiklah." Aku langsung mengirimkan pesan untuk Muti dan memintanya menjemputku di rumah sakit.

Penerima : Muti Sastra

Muti yang baik hati dan tidak sombong, selamat pagi. Bisakah aku meminta bantuan padamu sepagi ini?

Pesan telah terkirim, aku hanya perlu menunggu Muti membaca dan membalasnya. Aku harap 'putri tidur' itu sudah bangun.

***

Seorang perawat masuk ke dalam ruang inap Bibi untuk melakukan beberapa pengecekkan tanda vital seperti tekanan darah dan sekaligus mengganti perban luka dengan yang baru.

"Bagaimana keadaan Ibu, apa merasa baikan?" tanyanya dengan ramah.

"Iya, Sus."

Setelah selesai melakukan tugasnya, perawat itu kembali ke ruangannya.

Ting! Notifikasi pesan di ponselku berbunyi.

Ah, itu pasti balasan Muti.

Pengirim : Muti Sastra

Selamat pagi wahai temanku yang baik hati. Tentu aku bisa (syarat dan ketentuan berlaku)

Aku terkekeh membaca balasan temanku itu. Tidak menunggu lama, aku langsung saja meneleponnya dan mengatakan maksud tujuanku. Muti terdengar sedikit kesal. Sepagi ini ia harus menjemputku. Aku tahu betul tentang Muti. Dia bukan orang yang suka keluar rumah dengan terpaksa.

"Ayolah ... sekali ini saja," pintaku dengan sedikit nada manja.

"Hm mmmmm ...." Muti membalasnya dengan malas. Bisa aku bayangkan wajahnya sangat kesal. Suaranya yang masih terdengar sedikit berat dari biasanya sangat menggambarkan keadaannya- ia baru saja bangkit dari mimpi indahnya.

"Baiklah, aku tunggu setengah jam lagi," kataku terburu-buru lalu mematikan panggilan secara sepihak.

Aku lalu membantu Bibi untuk menyendok sarapannya. Awalnya, Bibi menolak. Setelah ia mencobanya sendiri, tangannya bergetar dan juga tangan satunya lagi ada selang infus yang sedikit mengganggu. Tawaranku diterima dan tentu saja aku menyuapi Bibi dengan senang.

"Kalau aku pergi tadi, memangnya siapa yang membantu Bibi makan, hayoooo ...." godaku.

"Bibi terlihat sangat tidak berdaya sekarang, sekali lagi terima kasih Nak Amel. Semoga Tuhan memberkatimu."

"Amin."

Aku lalu menyuapi Bibi perlahan. Senang rasanya menjadi orang yang berguna. Ini memang hal kecil. Tapi bukankah dari hal yang dianggap sepele ini bisa bermakna bagi orang lain, bukan? Selesai sarapan, Bibi lalu meminum obatnya. Setelah semua selesai, aku bisa duduk dengan tenang.

"Harusnya Nak Amel juga sarapan."

"Aku akan sarapan di rumah Muti."

Teng tereng teng teng

"Halo Mut, udah di mana?" tanyaku dengan segera. Aku yakin gadis itu sudah tiba.

"Eh ini serius aku datang ke rumah sakit enggak mandi dulu. Kamu tuh ya, lain kali permintaannya jangan pagi-pagi donk," protesnya. "Aku tunggu di parkiran UGD ya. Cepat ke sini!" tambahnya lagi.

Aku segera menutup telepon begitu setelah mengiyakannya, lalu berpamitan dengan Bibi. Lalu, aku segera melangkahkan kakiku menuju parkiran. Sifat Muti yang tidak sabaran mengganggu pikiranku, aku harus berjalan cepat.

Tit tit!  Suara klakson seakan memberitahuku keberadaan mobil milik gadis itu.

"Lama ya nunggunya?" tanyaku sekedar basa-basi saat membuka pintu mobilnya.

"Enggak sih, baru tiga jam," balasnya dengan candaan.

"Hahaha!" Aku tertawa lepas begitu melihat keadaan Muti.

"Berhenti melihatku seperti itu. Iya, iya aku tahu, aku belum mandi. Puas?"

Muti mulai menginjak pedal gas dan melajukan mobil meninggalkan rumah sakit.

"Jadi, bagaimana sekarang?"

"Apanya yang bagaimana?"

"Penguburan Joy."

"Bibi akan mengurusnya selama aku pulang sebentar."

"Syukurlah. Joy ... sampai sekarang aku masih tidak habis pikir. Bisa-bisanya ia menyukai Bima. Apa yang ia lihat dari lelaki itu?"

"Bima tampan. Ayo akui saja."

"He? Apa ini? Apa kau sedang membicarakan lelaki itu? Apanya yang tampan?"

"Aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Mari kita coba melihat dari sudu pandang Joy. Mungkin ada hal lain yang dilihat olehnya."

"Persetan dengan itu. Satu hal yang aku tahu, lelaki itu adalah orang paling jahat yang memanfaatkan kepolosan Joy. Aku tidak mengenal Joy sedalam dirimu karena aku bukan temannya. Tapi ... entah mengapa aku merasa gadis itu sangat mudah ditipu."

"Joy itu ..." Aku menggantungkan kalimatku.

"Bagaimana sifatya? Apa kalian sangat dekat?"

aku menggelengkan kepala.

"Lalu?"

"Aku hanya tahu dia anak manis dan kesayangan semua guru. Dulu saat SD seingatku ia selalu menjadi peringkat pertama. Joy yang manis dan pintar selalu membuatku menjadi bahan perbandingan. Tidak bisa kupungkiri kenyataan pahit itu. Itu dulu ...."

"Hahaha, aku tahu, kebiasaan orang tua. Aneh ya, seolah anaknya tidak bisa lebih baik di mata mereka. Lanjutkan ceritamu. Lama kelamaan aku semakin penasaran dengan sosok Joy." Muti tiba-tiba mengijak rem mendadak.

"Aish! Muti, apa kau berencana pulang dalam keadaan tak bernyawa?!"

"Maaf ... aku ra-sa tadi aku me-melihat sesuatu."

"Apa kita berdosa karena membicarakan orang yang sudah meninggal?" tanyaku pada Muti dengan suara pelan.

"Hey! berhenti membuatku semakin takut."

Apa itu kamu Joy? Apa kamu tersinggung dengan perkataan kami? Maaf ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status