"A-ah gak, gak gitu. Kenal kok, aku kenal dia."
Mereka terlihat bingung. Daripada harus menjelaskan banyak hal yang memalukan, aku memutuskan untuk berpamitan pada mereka dan menghampiri kak Hikaru dengan cepat. POV AUTHOR.. Mari kita mundur ke beberapa jam sebelumnya sebentar.. Empat orang makan dengan keheningan yang menjalar kesetiap sudut ruang. Hanya suara sumpit yang mengiringi, menyentuh mangkok dengan halusnya. Aimi berdecak, "Bisa berhenti gak diem-diemannya! Apaan sih kalian, tanya tinggal tanya," ia menunjuk Hikaru kemudian, "kamu juga! Kalo ada apa-apa tuh ngomong jangan sok kalem gitu!" Dengan polosnya Hikaru meminta maaf, ia hanya bercerita tentang kejadian kemarin sore. Tiga orang temannya menganga penuh heran. "Kamu lupa dia masih anak SMA?" "Maksudnya?" “Kamu tu tinggal bareng dua cewek, Ru. Aku sih gak masalah, karena kiita udah bareng dari kecil. Yuuki itu orang baru loh di hidup kita, apalagi dia masih anak-anak.” Terang Aimi dengan bijaknya, mendengar itu Hikaru menutup mulutnya, “jangan-jangan dia..” "Ya iyalah gila kamu." Hikaru menegapkan duduknya kemudian. "Oke deh, nanti aku bakal minta maaf." Shin dan Usa yang menahan tawanya sejak tadi memberi Hikaru semangat dengan kedua tangannya yang mengepal sambil berkata “fighting!" Mulai merasa bersalah, Hikaru jadi tak fokus bekerja. Dia dan teman-temannya dikontrak sebuah perusahaan musik untuk dijadikan band yang matang. Namun karena belum memenuhi kriteria, mereka terkadang membantu idol grup sebagai backup dancer dan sebagainya. "Hikaru." Panggil Aimi. Hikaru pun menghampiri Aimi yang ada di ujung ruangan. Ia diberitahu sahabatnya tentang Yuuki yang mengikuti ekstra mulai hari ini. Di sore harinya, Hikaru memutuskan pergi ke sekolah Yuuki dengan maksud menjemputnya sekalian minta maaf. Orang berjas itu berdiri di depan gerbang, terkadang bolak-balik memeriksa barangkali Yuuki keluar. Beberapa kali ia dilirik oleh siswi-siswi yang hendak pulang, sepertinya ini karena tampang keren dan kedewasaannya itu. Sampai akhirnya setelah ia melihat sosok Yuuki, "Cowok semua? Ikut ekstra apa dia isinya cowok semua begitu? Emang gak bahaya cewek sendirian gitu?" Saat salah satu cowok menyolek bahu Yuuki, Hikaru mengerutkan dahinya, tapi ia tetap mengontrol ekspresi wajahnya saat Yuuki sudah melihat ke arahnya. Draaappp.... draaappp.. Yuuki terburu lari, ia raih tangan Hikaru mengajaknya untuk segera pergi dari sekolah. "Hosshhh.. hoshhh hossshhh.." Terburu, Yuuki terengah-engah tak mengatur nafasnya dengan baik. Hikaru memanggil nama Yuuki berulang kali tapi tak dipedulikan. Langkahnya terhenti saat Hikaru memanggil namanya lagi dan lagi. Akhirnya dua orang ini duduk di sebuah kursi yang ada di taman. Hening, Hikaru mengawalinya. Setelah meminta maaf, mereka mengobrol cukup lama sampai langit mulai petang. "Kami pulang." Seru Hikaru saat dirinya dan Yuuki mengganti sepatu mereka dengan sandal rumah. Usa menyambut keduanya dengan hangat sambil mengetik di atas sofa. "Kak Aimi sama kak Shin kemana kak?" "Oh ini, mereka lagi aku suruh beli makanan sekalian. Aku pulang lebih dulu karena ada yang perlu aku urus." Jawabnya ramah, Yuuki mengangguk mengerti dan pergi ke kamar untuk bersiap mandi. Setelah makan malam selesai, Aimi mengajak Yuuki untuk mengobrol di kamarnya sebelum tidur. Mengobrol yang dimaksud malah penuh dengan pertanyaan. Seperti wawancara, ia basa-basi menanyakan kegiatan ekstra Yuuki. Lama-lama arah pembahasannya menuju ke Hikaru. Rupanya, ia penasaran bagaimana cara Hikaru meminta maaf pada Yuuki. . . . Libur musim panas tiba. Yuuki yang belum punya rencana apapun, ia hanya berguling-guling di atas tempat tidurnya sejak tadi. Heningnya suasana kos, membuatnya bebas tapi ia seperti orang yang kebingungan. Remaja bertubuh kecil itu bangkit dari rebahannya, “karna aku payah dalam memasak, aku akan pergi mencari bento di minimarket saja.” Sudah keluar rumah, langkahnya terhenti. Dia merogoh sakunya yang masih tipis. “Dompet! Ya ampun!!” Setelah memilih makanan yang diinginkan, ia pergi ke kasir dan keluar dengan wajah suram. “Ahhh, uang makin nipis..” tuturnya. Setelah berpisah dengan kedua orang tuanya, ia terus mengandalkan tabungannya sejak kecil. Papa dan mamanya hanya membiayai uang sekolahnya saja karena marah akan Yuuki yang memutuskan pergi dari rumah. Untuk manusia yang uangnya hampir habis, Yuuki bersantai di taman sambil makan es krim. Menatap ayunan diatas pasir dengan fokus jarang berkedip. "Hmm??" Kepalanya miring, ia melihat selebaran kertas yang terselip di tempat duduk. Diambilnya dan ia baca kertas itu. Menyeringai, matanya terlihat bersinar. “Ini dia! Sekarang aku punya jalannya, tunggu saja dompetku kamu akan aku isi kembali sampai gemuk!” Bersambung..“Yuu~” panggil Shima dengan sangat lantang. Dia berdiri, tangannya terpaku memegang tepian pintu. Kepala itu melongok ke dalam kelas, tepat lurus guna memandangku.Huft! Ini anak satu emang aneh!!Beberapa murid di kelasku, memang sudah mengerti kalau aku siswi yang sering bersama Shima. Namun, tetap saja mereka masih terheran saking lekatnya jarak di antara kami berdua. Padahal, dulu aku dan Kyohei tak sedekat ini di sekolah ini. Memang, semua tergantung orangnya bukan?“Hei, Yuuki. Bukannya itu, sahabat dekatmu? Samperin gih, keburu berisik!” tegas Hiromi sembarangan sambil cekikikan. Aku meliriknya sinis, kurang tepat candaan itu dilontarkan dengan nada bicara yang tak tanggung-tanggung.Karena sudah dibilang begitu dan memang aku tak ingin bising lebih lanjut, kuhampiri Shima daripada ia yang masuk melesat ke meja. Dia dan Souta kan seperti air dan minyak!“Apa, gimana, kenapa?” tanyaku sangat gemas. Lihat lihat, dia meringis kegirangan kini. Kalau saja dia ini anak kecil, sudah k
"Kamu ngomong sama aku?"Souta mengangguk dengan pasti sebagai jawaban atas pertanyaanku. Dia menarik kursi tempat ia duduk di kelas ini, dan menaruh tasnya pada gantungan di samping meja.Karena aku cukup bingung atas ucapannya tiba-tiba, kulirik Takumi sambil berharap ia memberiku kunci jawaban atas sikap Souta, dia kan datang bersama Souta, harusnya ngerti dong..Namun, salah ternyata aku berharap.Takumi hanya mengedikkan bahunya sambil meringis. Seakan ia tahu, tetapi pura-pura tak tahu.Kocak ini anak, pikirku saat itu.Aku jadi terus penasaran apa yang sebenarnya Souta maksud, tetapi dia tak mau menjawab dan akhirnya kulupakan begitu guru yang menjadi wali kelas kami masuk.Bu Yukino, beliau yang akan jadi wali kelas duaku di sekolah ini. Beliau adalah guru yang jarang sekali kulihat semenjak aku masuk sekolah. Pernah kami berpapasan, dan hanya sekedar tegur sapa saja. Bahkan kala itu, aku belum mengerti namanya. Sedikit tak sopan, tetapi terlalu banyak guru yang ada. Daya ing
“Sampahnya, udah semua kan? Gak ada yang ketinggalan?” tanya Kak Masao memastikan lagi. Puas sudah menikmati piknik bersama ini, akhirnya kami memutuskan untuk pulang. Tadinya.Ya, tadinya. Niat untuk pulang jadi tertunda saat Kak Kenta melihat ada kedai yang menjual teh sakura. Teh sakura ini, dibuat oleh kelopak bunga sakura yang diseduh dengan air panas. “Wah, enak ya. Manis!” kataku terlalu bersemangat. Sayangnya, yang merasakan minuman itu manis hanya aku dan Souta saja. Karena yang lain lumayan suka manis ternyata. Jadi, bagi mereka teh ini belum terasa manis.Tak lupa juga, kami membeli beberapa permen dan camilan bertema sakura untuk dibawa pulang. “Selamat datang,” ucap Kak Aimi menyambutku dengan senyuman hangat. Aku berikan oleh-oleh yang kubawa dari taman untuk semua orang di kos. Berbicara tentang kos, lagi-lagi keuanganku makin menipis. Aku harus mengumpulkan uang lagi untuk membayar kos. Sepertinya, aku butuh part time demi mengisi dompet unguku yang sudah tipis ini
“Selamat tinggal bukanlah sebuah kata yang menyedihkan Ia menghubungkan kita dengan mimpi kita masing-masing” Menggema, suara Shima disusul Kak Masao mengisi penuh aula ini. Semua siswa kelas tiga terharu mendengar lagu Ikimono Gakari yang berjudul Yell. Bahkan beberapa dari mereka meneteskan air matanya sampai mengalir ke lantai licin itu. Suasana semakin haru, aku semakin membayangkan bagaimana jadinya jika aku di posisi mereka. Perpisahan bisa menjadi hal yang menakutkan, bisa juga jadi hal indah. Semua tergantung bagaimana kita mengatur mindset kita, ya kan? Namun, bagaimana aku di masa nanti saat datangnya perpisahan itu? Apa aku mampu untuk berpikir positif? Atau …. Entahlah, biar diriku di tahun-tahun berikutnya yang menjalaninya. Aku percayakan saja, padanya. Usai acara perpisahan, semua siswa berfoto dengan teman dan keluarga mereka. Beberapa masih sibuk menyatakan perasaannya. Lihat, bahkan baru saja kami melewati salah satu kakak kelas yang sedang menyatakan perasaann
“Sini, duduk.” Aku ditawari mama, ingin dibuatkan teh atau kopi untuk kuminum. Tanpa sungkan, kukatakan saja apa yang kumau. Itu bukan permintaan yang sulit, kan? “Jadi, ada apa Mama memanggilku?” tanyaku terus terang. Aku pikir, Mama hanya merindukanku setelah dirinya dan Papa telah resmi bercerai.Aku kira, Mama akan kesepian dan merindukan anak satu-satunya ini dengan tulus dan penuh rasa haru. Tetapi aku salah. Tujuannya memanggilku kesini hanya untuk dijadikan tong sampah atas segala unek-uneknya akan Papa. Seakan melepas beban, Mama terus bercerita tentang bagaimana ia tersakiti oleh mantan suaminya. Padahal, aku sudah mengetahui cerita-cerita itu. Entah Mama yang lupa, atau segala ingatan menyakitkan itu yang terlalu membekas padanya. Aku hanya diam, duduk, mendengarkan semua keluhnya. Sampai-sampai, aku seperti kurang darah dibuatnya. Kepala ini mulai berputar, dan aku ingin pergi dari sini. Srakk! Suara dari seragamku berpadu dengan tempat yang sejak tadi aku duduki be
Michio muncul dari belakang, ia bertanya sedang apa aku duduk sendirian di sini. Katanya, dia baru saja pulang dari rumah temannya. Kami mengobrol banyak hal setelahnya.Michio bercerita tentang temannya yang sedang sakit karena cedera saat bermain bola voli. Dia benar-benar menggambarkan bagaimana perasaan sedihnya akan temannya itu, seolah-olah dia sendiri yang merasakan.Karena terus menangapi ceritanya, Michio dengan sengaja mengganti topik pada pembahasan mengenai band sekolah kami. Dia khawatir, bagaimana perasaan setiap anggota setelah dicurangi oleh keadaan. Aku tersenyum pahit mendengar pertanyaannya. “Bisa ditebak mungkin, gimana suasana band saat ini,” jawabku lirih.Michio menyemangatiku dan terus membuatku yakin bahwa semua ini akan berlalu, “Kalian pasti akan kembali bangkit dan bahagia seperti semula,” katanya. Dia tak memberi banyak motivasi atau solusi, tetapi setiap ucapan yang ia beri itu membuatku lebih tenang di pikiran. Michio benar-benar fokus pada apa yang seda