Beranda / Romansa / Dear, Pak Dokter / meet you (again)

Share

meet you (again)

Penulis: Riri riyanti
last update Terakhir Diperbarui: 2022-08-10 17:01:12

Rumah sakit itu sangat luas, didominasi warna putih pada setiap sudutnya. Reanna melangkahkan kakinya dengan perlahan menuju IGD yang berada di muka rumah sakit itu dengan kedua tangan yang masih meremas pelan perutnya, berharap sakit itu bisa sedikit mereda.

Setelah sedikit mengantre, akhirnya ia bertemu dengan seorang dokter yang berjaga di sana. Ia melakukan pemeriksaan awal; seperti mengukur berat badan serta tensi darah, dan pemeriksaan lainnya. Dan atas keluhan yang ia sebutkan, pada akhirnya ia direkomendasikan untuk menemui seorang dokter kandungan yang bertugas di rumah sakit tersebut—yang kebetulan sedang praktik hari ini.

Reanna mendesah sebal saat ia berjalan menuju poli kandungan. Apalagi saat ia melihat betapa panjangnya antrean untuk menemui dokter itu, membuat gadis itu menggerutu dalam hati.

Kenapa dokter tadi tidak langsung saja memberinya obat dan menyuruhnya pulang saja? Kenapa ia harus menemui dokter kandungan juga?

Reanna mendesah lelah, kemudian mendudukkan dirinya pada kursi tunggu terdekat. Ini akan memakan waktu yang lama, sebab ia adalah pasien terakhirnya. Gadis itu duduk dengan tidak nyaman, tangannya kembali meremas pusat rasa sakit di perutnya.

'Bisa-bisa aku pingsan lebih dulu sebelum menemui dokter itu!' batinnya.

Dan ... setelah waktu yang cukup lama bagi Reanna, akhirnya nama gadis itu dipanggil oleh seorang suster dengan sebuah map di tangannya.

"Pasien atas nama Reanna Anggoro."

Setelahnya, gadis itu bangkit dan mengekori langkah perawat berbaju putih itu.

***

"Selamat malam, Dok." Reanna menyapa seorang dokter yang sedang memeriksa sebuah map yang suster tadi berikan padanya.

"Malam. Atas nama Reanna Anggoro?"

Saat dokter itu mendongak, seketika Reanna terdiam menatapnya.

Sungguh, ini di luar ekspektasinya. Ia mengira jika dokter yang akan ditemuinya adalah dokter tua yang mengenakan kacamata tebal seperti dokter yang ia sempat temui tadi.

Tapi ini ... bahkan untuk beberapa saat ia melupakan ketampanan Kalandra.

"Keluhannya ... kram perut, benar?" dokter tampan berambut pirang itu kembali bertanya, memastikan.

"Benar, Dok."

Setelah itu, dokter yang ber-nametag Nathanael Adams itu kembali memeriksa hasil pemeriksaan awal milik Reanna; rekam medisnya.

"Di sini tertulis, Anda sudah telat datang bulan selama tiga hari." Kacamata yang dikenakan dokter itu sedikit berkilat ketika menatap Reanna. Namun, hal itu tidak menutupi iris mata biru yang ada di baliknya.

"Siklus haid saya memang sering kacau, Dok." Reanna menjawabnya. Entah kenapa setelah bertemu dr. Adams rasa sakit di perutnya sedikit mereda. Ia bersyukur akan hal itu.

Dokter itu terlihat meneliti raut wajah di depannya. Entah bagaimana ia merasa familier dengan gadis di depannya. Ia lantas melepas kacamatanya, menatap Reanna dengan serius.

"Apa ... kita pernah bertemu sebelumnya?"

Mendengarnya Reanna merasa terkejut.

"Bertemu? Sepertinya tidak, Dok." Mustahil ia pernah menemuinya. Reanna baru pertama kali ini menemui dokter kandungan selama hampir dua puluh tiga tahun usianya.

Dokter tampan itu hanya mengedikkan bahu mendengar jawaban Reanna. Ia kembali memakai kacamata bacanya. "Mungkin cuma perasaan saya saja. Saya merasa kita pernah bertemu di suatu tempat."

"Benarkah?" Reanna kembali bertanya. Kali ini ia tidak menutupi keterkejutannya. Apakah wajahnya sangat pasaran?

"Kita lanjut ke pemeriksaan saja." Namun, dokter itu segera mengalihkan pembicaraan. "Silakan ke toilet dan bawa sampel urine Anda ke sini." Lanjut dokter itu, yang seketika membuat mata cantik Reanna membola.

Untuk apa ia membawa sampel urine?

"Tunggu, apa maksudnya ini?" rasa kagum yang pada awalnya tumbuh, sekarang musnah seketika. Ia menatap dokter itu dengan alis menukik, marah. "Anda mengira saya hamil?! Saya ini masih gadis, Dokter. Saya belum menikah!"

Yah, perempuan yang sedang PMS memang emosinya gampang meledak.

Melihat respons tidak menyenangkan dari pasiennya, dokter itu jadi mengingat sesuatu tentang gadis yang ia temui di pub. Tingkah laku gadis di depannya ini sama bar-barnya.

"Ah, sekarang saya baru ingat," ucap dr. Adams tiba-tiba. Kemudian ia melirik perawat yang berdiri di samping kursinya. "Suster, tolong keluar sebentar, saya ada urusan pribadi dengan pasien ini."

Suster itu membungkukkan badannya sebelum pergi meninggalkan Reanna dan dokter yang terus menatap gadis itu dengan geram.

Setelah tubuh suster itu raib di balik pintu, dokter tampan itu kembali melepas kacamatanya. Kedua mata biru itu menatap sengit pada wajah memerah karena marah gadis di hadapannya.

"Kamu gadis gila yang semalam di pub itu 'kan?!" nada formalnya hilang seketika.

"Anda bilang saya apa?! Gadis gila?!" Reanna bangkit, lantas mendekatkan wajahnya dengan kening berkerut pada wajah tampan dokter di depannya. "Hey, jaga ucapan Anda ya, Dok! Tidak sepantasnya seorang dokter berkata seperti itu pada pasiennya!" Lanjutnya dengan nada bicaranya yang naik satu oktaf.

"Seharusnya kamu juga jaga kelakuanmu. Tidak baik bagi seorang gadis menempel-nempel pada pria dewasa seperti saya." Dokter itu menatap jengkel pada Reanna, kedua tangannya bersedekap sebelum melanjutkan kata-katanya. "Kamu bahkan mencoba mencium saya semalam."

Setelah mendengar pengakuan dokter itu, seketika amarah Reanna menghilang. Berganti dengan rasa terkejut serta malu yang begitu dalam. Wajahnya masih memerah, tetapi kali ini karena malu yang tak bisa ia sembunyikan.

"B-benarkah? J-jadi ... yang dikatakan Tisha benar? Anda orangnya?" tanya Reanna, seakan tidak percaya. Ia memundurkan dirinya dan menjatuhkan diri di kursi yang tadi ia duduki. Mata cantiknya menatap kosong pada mata biru di hadapannya.

"Ya." Dokter itu menjawab singkat. Tidak tahu kenapa, ia justru melebih-lebihkan kejadian semalam. Gadis itu memang menempel padanya seperti perangko, tetapi gadis itu sama sekali tidak berusaha menciumnya.

Ah, tapi biar saja, toh gadis itu tidak mengingatnya.

"Astaga ..." Reanna menutup mulutnya dengan telapak tangan kanannya. "Maafkan saya, Dok. Saya tidak tahu. Semalam benar-benar di luar kendali saya." Gadis terlihat benar-benar menyesal.

Namun, ternyata dokter itu masih begitu kesal padanya.

"Kamu lihat bekas merah ini?" dokter itu menunjuk bekas merah yang saat ini terlihat membiru di pipinya. "Ini perbuatanmu."

Melihat apa yang ditunjukkan sang dokter, membuat gadis itu menunduk malu sekaligus merasa bersalah di saat yang bersamaan.

"Saya benar-benar minta maaf, Dok. Maafkan saya." Reanna mendongak. "A-anda boleh melaporkan saya ke polisi jika Anda mau."

dr. Adams terlihat menghela napas panjang setelah melihat ketulusan sang gadis meminta maaf padanya. "Ya sudahlah ... tidak perlu. Berhubung kejadian itu bertepatan dengan ulang tahun saya, saya maafkan kamu."

Reanna mendongak dengan cepat setelah mendengarnya. Ia seakan menemukan oasis di tengah padang pasir yang tandus. "Sekali lagi terima kasih, Dokter. Dan ... selamat ulang tahun, meskipun sedikit telat."

"Thanks."

"Kalau boleh tahu, ulang tahun yang ke berapa, Dok?" Reanna memberanikan diri untuk beradu pandang pada dokter tampan itu.

"Tiga lima. Memangnya kenapa kamu bertanya?"

Reanna kembali dibuat terkejut mendengar jawaban dokter di hadapannya. "Wah, saya sama sekali tidak menyangka umur Anda segitu. Anda jauh terlihat lebih muda dari umur anda yang sebenarnya."

Yah, pada awalnya Reanna mengira jika dr. Adams ini sepantaran dengan mantan tunangannya, Kalandra yang saat ini berusia dua puluh tujuh tahun, hampir empat tahun jarak usia pria itu dengan dirinya.

"Berhenti basa-basinya. Setelah ini kamu harus ikut dengan saya."

Entah sudah ke berapa kali Reanna terkejut dengan ucapan dokter tampan nan awet muda di depannya ini.

"Huh? Ke mana?" Ia ... tidak akan diculik 'kan?

"Ke rumah saya. Kamu sedang mencari tasmu, bukan?"

Dan ... Reanna merasa disiram air dingin nan menyejukkan setelahnya. Tanpa dijelaskan pun ia mengerti jika dokter itulah yang menemukan tas—beserta isinya—miliknya.

"Iya, benar. Syukurlah ... saya kira sudah hilang."

"Semalam kamu meninggalkannya di meja bartender, dan tadi pagi saya lupa membawanya. Seharusnya malam ini saya berniat ke counter handphone untuk membuka kunci layar handphonenya, supaya saya bisa menghubungi nomor di dalamnya dan mengembalikan handphonemu. Tapi, syukurlah jika kita sudah bertemu," jelas dokter itu panjang lebar.

Seulas senyum lega terukir begitu saja pada bibir tipis Reanna.

"Terima kasih, Dok. Sekali lagi terima kasih ... ternyata Anda sangat baik. Maafkan saya yang tadi sempat menilai Anda buruk." Gadis itu berkali-kali membungkuk berterima kasih pada sang dokter.

"Makanya jangan sekali-sekali menilai orang hanya dari luarnya saja. Kita lanjutkan pemeriksaan?"

"Baiklah." Reanna mengangguk dan kembali menduduki kursinya dengan nyaman.

.

Bersambung...

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dear, Pak Dokter   extra - 4

    "Selamat, Dok. Bayi lelaki Anda lahir dengan sehat tanpa kurang suatu apa pun." Di belakang sosok perawat berseragam putih tersebut, terlihatlah sosok dokter kandungan wanita, seseorang yang bertanggung jawab melakukan proses persalinan operasi caesar Reanna. Sesosok bayi mungil berbalut kain putih terlihat dalam gendongan si dokter, tangisannya terdengar menggema.Tentu Nathan segera mendekat, meninggalkan dua sosok lain di belakang tubuhnya di ambang pintu, karena memang hanya sang dokter piranglah—yang notabenenya adalah suami pasien—yang boleh memasuki ruang pemulihan.Pria pirang itu menerima buntalan bayi merah tersebut dengan hati-hati, mengamati sejenak wajah mungil Sang putra. Jari telunjuk tangan kanannya yang bebas menyentuh pelan pipi tembam anaknya, dia ... benar-benar mirip dirinya dan juga Reanna.Namun, ia tak mampu lama-lama mengagumi anugerah Tuhan yang dititipkan padanya beserta istri tercinta. Hatinya masihlah khawatir sebelum melihat kondisi wanitanya. Ia mengalihk

  • Dear, Pak Dokter   extra - 3

    "Bagaimana hasilnya, dr. Karin?" Nathan menelan salivanya dengan sedikit gugup ketika seorang dokter obgyn wanita mengamati monitor hitam alat USG-nya, ia harap-harap cemas. Tentu ia berharap jika hasil pemeriksaan rekan sesama dokter kandungannya itu bisa sedikit berbeda dari hasil yang ia dapatkan ketika memeriksa kandungan Sang istri beberapa hari lalu. Sedangkan Reanna, wanita hamil yang terbaring di ranjang tinggi tempat praktik dr. Karin hanya diam mengamati pula mendengarkan pembicaraan kedua orang dokter kandungannya. Ia pun sejujurnya gugup, namun berusaha menormalkan detakan jantungnya. "Janin dalam keadaan sehat, ketuban cukup, plasenta tidak menghalangi jalan lahir dan belum terjadi pengapuran. Hanya saja bayi dalam posisi oksiput posterior atau terlentang di dalam kandungan, mungkin hal tersebut yang membuat janin belum masuk panggul hingga sekarang," jawab dr. Karin apa adanya, tanpa melepas atensi dari layar monitor yang menampilkan keadaan kandungan Sang pasien, istri

  • Dear, Pak Dokter   extra - 2

    "Tunggu sebentar, Sayang." Kedua tangan kekar itu melepaskan rengkuhannya dari tubuh Sang istri kemudian menarikkan sebuah kursi makan untuknya, menimbulkan suara decitan kecil akibat kaki tempat duduk yang bergesekan dengan lantai keramik di bawah kakinya. Sedangkan Reanna hanya tersenyum manis menanggapinya. Telapak tangan kanan dan kirinya tiada henti membelai permukaan perutnya yang terasa menegang, tentu diikuti gerakan janinnya yang semakin brutal dari dalam kandungan. Ah, bayi mereka memang super aktif."Pelan-pelan." Setelahnya, pria itu menuntun tubuh berisi Sang wanita untuk mendudukkan diri dengan hati-hati. Sungguh, Nathan sangat over protektif pada Sang istri akhir-akhir ini. Bahkan jika boleh, ia akan dengan senang hati menggendong tubuh Reanna tanpa mengizinkannya menapaki bumi.Reanna terkekeh sembari menggeleng singkat kala mendapatkan perlakuan suaminya yang begitu hangat, meskipun ia akui itu sedikit berlebihan. Namun, ia menerima segala perhatian itu dengan senang

  • Dear, Pak Dokter   extra - 1

    "Kamu yakin?" mata biru itu menatap menelisik raut jelita Sang istri di depan cermin riasnya. Hari masihlah pagi, namun wanitanya sudah terlihat begitu rapi. Tubuh dengan kandungan yang sudah sangat besar itu terbalut dengan manisnya dress hamil selutut berwarna lilac, sedangkan rambut kelam yang dahulu begitu panjang kini terpangkas sebatas bahu, dikuncir sebagian; meninggalkan separuhnya lagi tergerai di belakang. "Tentu." Wanita itu menjawab dengan pasti, tak lupa mengurva senyuman manis untuk Sang suami. Ia lantas meletakkan sebuah lipstik berwarna pink kembali ke tempat semula, tentu setelah ia selesai mengoleskan benda itu pada kedua belah bibir ranumnya."Tapi, perutmu sudah sangat besar, Sayang ... apa itu tidak apa-apa?" raut tampan Si dokter pirang masihlah terlihat cemas. Mengabaikan kemeja hitam yang belum terkancing sempurna—yang melekat di tubuhnya, pria yang akan kembali bergelar sebagai ayah itu memposisikan diri di belakang tubuh Sang istri. Kedua netra biru itu kem

  • Dear, Pak Dokter   bukan akhir cerita, tapi awal bahagia

    "Mama ... !!" teriakan keras nan memekakkan telinga dari Kia adalah hal yang menyambut Reanna dan Nathan saat mereka baru saja membuka pintu utama rumah Joana. Balita cantik nan menggemaskan itu berlari sambil merentangkan tangan, lalu masuk ke dalam dekapan ibu sambungnya ketika wanita yang tengah hamil muda itu merendahkan tubuh menyambutnya. Rasa hangat yang menjalari dada menuntun sudut-sudut bibir wanita itu menarik lengkungan senyuman."Merindukan Mama, hm?" tanyanya seraya membalas dekapan."Lindu~" pelukan balita itu semakin erat. Lengan-lengan mungilnya mengalungi leher Reanna, mencium wangi parfum yang biasa ibunya pakai penuh kerinduan. "Mama ke mana caja? Kenapa Kia tidak diajak?""Mama tidak ke mana-mana, Sayang. Hanya pergi sebentar untuk menenangkan diri." Reanna melepas pelukan demi menatap wajah imut Sang putri. Tangan-tangannya menangkup kedua pipi bak bapao Kia, lalu memberikan ciuman sayang di dahi.Dari arah ruang keluarga muncul sosok Joana, ia menebar senyum ba

  • Dear, Pak Dokter   perasaan yang terbalaskan

    "Apakah ... kamu sudah mencintaiku, Mas?" suara lembut nan pelan itu mengalun perlahan, menembus kesunyian. Sedangkan Nathan sejenak terdiam, sedikit terkejut dengan pertanyaan Sang istri yang di luar dugaan."Apakah aku harus menjawabnya?" pria itu menjawab pertanyaan Reanna dengan pertanyaan lainnya. Dan hal itu justru membuat raut wajah wanita itu mendung seketika. Spekulasi negatifnya kembali menyeruak dalam dada. Pria itu memang tidak memiliki rasa yang sama terhadapnya."Tidak perlu. Aku sudah tahu jawabannya." Reanna menunduk, menatap permukaan meja kaca di hadapannya dengan sendu. "Kamu tidak pernah mencintaiku," lanjutnya, semakin lirih di akhir kata."Tidak semua wanita bisa peka ternyata.""?" Reanna tersentak mendengar ucapan suaminya. Dengan spontan, ia menoleh cepat pada raut tampan Si dokter pirang."Tanpa kamu mengatakannya pun aku sudah tahu bagaimana perasaanmu padaku," ungkap Nathan, menatap tepat pada kedua mata indah istrinya penuh arti."Apa yang kamu tahu?" t

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status