“A-apa? Menikah?” Ayah sampai gugup mendengar ucapan konyol Adip.
Semua orang terperangah mendengar ucapan Adip, apa anak itu sudah gila? Dirinya saja masih hidup menumpang orang tuanya, omong kosong macam apa ini?
“Maksud kamu apa, Dip? Jangan bercanda kamu! Kamu menghamili anak orang? Ha?!” timpal ibunya. Adip memejamkan matanya frustasi, nafasnya masih terengah-engah di bawah kaki ayahnya.
“Adip, bicara yang benar!” desis sang ayah.
“Aku … aku mau menikah, sama Lila karena—”
“Apa?! Kamu menghamili pacar temenmu sendiri! Memang anak kurang ajar kamu!”
Bugh
Ayah menendang perut Adip sebelum cowok itu menyelesaikan ucapannya hingga Adip terkulai lemah ke lantai.
Memang selalu seperti itu, mereka tidak mau mendengarkan penjelasan Adip terlebih dahulu. Memukul adalah cara ayah mendidik anak sejak kecil. Lebih tepatnya mendidik Adip karena kakak Adip adalah sosok anak yang penurut.
“Sebagai hukumannya, kamu dilarang ke luar rumah sampai besok!” ucap ayah dengan nafas memburu, ia beralih menatap istrinya, “bu, ambilkan tongkat golf ayah, biar ayah kasih pelajaran anak berandalan ini.”
Istrinya mengangguk lalu pergi ke arah kamar untuk mengambilkan tongkat golf itu.
Para maid yang menyaksikan dari balik tembok merasa tidak tega dengan perlakuan ayah kepada Adip. Sebagian mereka bahkan menangis menengok keadaan Adip yang sudah babak belur.
“Kasian den Adip, padahal dulu dia anak yang penurut, maaf den, kamu tidak bisa berbuat apa-apa,” ucap salah satu maid menangisi keadaan Adip.
“Duduk kamu! Duduk!” perintah ayah dengan mata melotot tajam. Namun Adip tidak peduli, ia mencoba berdiri sambil memegangi perutnya yang terasa mual.
Adip mendecih, ia mengusap darah yang kembali mengalir dari sudut bibirnya, menatap sang ayah yang masih berapi-api dan berkata, “Kenapa ayah nggak pernah tanya alasannya, kenapa selalu membuat asumsi sendiri?”
“Karena ayah sudah tidak percaya dengan kata-kata kamu! Berapa kali kamu mempermalukan ayah, ha?! Berapa kali?” Ayah mencengkram kerah baju Adip dengan tangan bergetar, “Anak siapa kamu sebenarnya? Aku tidak punya gen pembangkang seperti kamu!”
Bugh
Ayah menghempaskan tubuh Adip hingga membentur tembok. Lagi-lagi orang tua itu mengucapkan kata-kata menyakitkan dari mulutnya.
Ibu menghela nafas panjang melihat terpental hingga ke tembok. Sebenarnya ibu tidak tega melihat Adip terus-terusan dipukuli oleh ayahnya, tetapi jika tidak seperti ini, maka Adik tidak akan jera membuat malu keluarga.
“Ini, Yah,” ucap ibu memberikan tongkat golf yang ayah minta.
Adip terkekeh miris, dengan tertatih ia mencoba bangun. Ia tidak mau dianggap lemah oleh orang tuanya sendiri. “Anda saja ragu saya anak anda, apalagi saya? Saya menyesal lahir dari orang tua macam kalian!”
“Kurang ajar kamu!”
Para maid sudah memejamkan mata dengan tangan menutupi telinga. Mereka tidak sanggup menyaksikan tongkat golf itu melayang ke tubuh Adip. Tidak terkecuali ibu, ia memalingkan wajah kala ayah mengangkat tongkat golf untuk memukul Adip.
Namun, sebelum tongkat itu mendarat di kepalanya, Adip menahan tongkat itu dengan tangan bergetar.
“Cukup, aku capek! Aku capek dipukuli…” Adip menurunkan tongkat golf itu, air matanya pun menetes melewati sudut mata yang lebam, “biarkan aku menentukan hidupku sendiri, jangan ikut campur!”
“Aarrgghh,” teriak Adip merebut tongkat golf ayah lalu melemparnya hingga mengenai guci besar yang berada di dekat tangga. Ayah, ibu serta para maid terdiam menyaksikan amarah Adip.
Setelah mengatakan itu, Adip berlari menaiki tangga menuju ke kamarnya. Mengharukan teriakan-teriakan ayahnya yang meminta untuk tetap berada di sana.
“Adip! Kembali kamu anak pembawa sial! Adip! Jangan harap ayah akan membelamu kalau ada yang datang meminta tanggung jawab! Adip!”
“Ayah, sudah. Nanti darah tinggi ayah kumat,” Ibu mengusap punggung ayah untuk sekedar menenangkan, tetapi matanya sesekali melihat Adip yang berlari cepat, “Adip pasti merenungi kesalahannya, nanti ibu tanya baik-baik, gadis mana yang dihamili Adip.”
“Dasar anak tidak tau diuntung! Anak siapa sih dia sebenarnya, Bu? Apa benar dia anak kita?” Ayah tampak berapi-api, wajahnya tegang sampai urat-urat di wajahnya menonjol.
“Sudah, ayo kita duduk, biar nanti ibu yang bicara sama dia.”
Brak
“Anak sialan! Awas kamu Adip—”
“Ayah, sudah,” ucap ibu memegangi tangan ayah yang akan menaiki tangga.
Suara pintu dibanting dari kamar Adip mengejutkan semua orang yang berada di sana, para maid akhirnya bubar, ibu pun menuntun ayah untuk kembali duduk dengan tenang di ruang tamu. Ibu takut jika darah tinggi ayah kumat lagi setelah menghajar Adip.
Sementara itu di dalam kamar, Adip langsung menuju kamar mandi. Adip berdiri tegak di depan cermin, tangannya mencengkram pinggiran wastafel, bibirnya bergetar memandang wajahnya yang pernah luka lebam.
“Gue nggak suka dibanding-bandingin,” Adip meringis menyentuh luka sobek di sudut bibirnya, “hidup gue kayak bayangan sodara-sodara gue aja, nggak pernah sekalipun mereka liat gue sebagai anak.”
Meskipun Adip seorang cowok berandal, saat ia mendengar kata-kata yang menyakitkan keluar dari mulut orang yang ia sayang, pastilah hatinya tetap hancur.
Adip membuka kemeja seragamnya lalu melemparkan ke keranjang kotor. Ia berniat mandi dan mengistirahatkan tubuhnya sesegera mungkin.
Cowok itu menghadapkan punggungnya ke cermin, tak jauh berbeda dengan wajahnya, tubuh Adip pun di penuhi luka lebam. Bahkan ada beberapa bekas luka sayatan yang terlihat jelas. Adip mendapatkan luka itu dari ayahnya waktu dulu ia tertangkap polisi karena ikut tawuran.
Namun, Adip semuak apapun dengan orang tuanya, Adip tetap menaruh hormat. Meski terkadang ia ingin membalas, tetapi Adip tidak pernah melakukannya.
Malam semakin larut dan sekarang Adip sudah berada di depan kamar kost Lila yang terletak tak jauh dari rumahnya. Tanpa sadar ada tiga orang bapak-bapak sedang ronda melihatnya curiga.
Adip menoleh ke kanan-kiri memastikan jika tidak ada yang melihatnya. Setelah dirasa aman, Adip memasukkan kunci duplikat yang ia bikin beberapa waktu lalu ke pintu kamar kost Lila.
Ceklek
“Yes.” Adip bersorak gembira. Namun, suaranya seperti berbisik.
Mengapa Adip menduplikat kunci kamar kost Lila? Ya tentu untuk mempermudah dirinya keluar masuk kost Lila. Sebab terkadang Lila tidak mau membukakan pintu untuknya masuk.
Dari pintu tampak Lila yang tidur lelap menghadap tembok. Gadis itu bergelung di dalam selimut hingga menyisakan kepalanya saja.
Adip melangkah dengan sangat pelan dan hati-hati, ia langsung naik ke atas kasur dan berbaring di belakang Lila. Wangi shampoo aroma strawberry dari rambut Lila pun langsung menyapa indera penciumannya.
“Maaf, ya, La. Aku nggak bisa tidur, jadi mampir ke sini,” bisik Adip lalu menyibak selimut dan melingkarkan tangannya ke perut Lila dan memejamkan mata. Adip merasa dirinya akan baik-baik saja ketika sudah memeluk Lila.
Sementara itu, Lila terperanjat kala merasakan berat menimpa perutnya. Kemudian gadis itu mendesah panjang kala mengingat seseorang yang selama ini memang suka menyelinap masuk ke dalam kamar kostnya.
“Pasti kamu, ya, Dip?” gumamnya dengan suara serak khas bangun tidur, nada bicaranya pun ketus.
Adip terkekeh, lalu lebih mengeratkan lagi pelukannya, Adip berkata, “Maaf aku bikin kamu kebangun.”
Lila sudah akan mengomel, tetapi setelah merasakan hembusan nafas Adip yang panas, dia berbalik menghadap Adip dan menaruh punggung tangannya di dahi Adip.
“Kamu demam? Lebam kamu juga tambah banyak, kamu dipukuli ayah kamu lagi, ya?” tanya Lila tampak khawatir. Lila tahu sebab Adip selalu mengadu padanya setelah dipukuli ayahnya.
Adip terkekeh, “Sedikit kok, tapi langsung sembuh karena udah meluk kamu.”
“Maaf, ya, pasti gara-gara luka kamu dipukuli Galang, ayah kamu jadi marah.” Lila mengusap lebam di wajah Adip yang sudah membiru.
“Ngapain kamu minta maaf, bukan—
Brak brak brak
“Mbak, tolong buka pintunya!” teriak seorang laki-laki dari luar.
Mereka berdua saling berpandangan dengan perasaan campur aduk. Siapa yang mengetuk pintu tengah malam begini? Lagi pula, kenapa di luar terdengar sangat ribut?
Adip terduduk di bangku tunggu rumah sakit. Wajahnya pucat pasi, napasnya memburu, keringat dingin mengalir dari pelipis. Di dalam sana, Lila sedang berjuang melawan maut. Dan ia? Ia harus berjuang melawan waktu dan kenyataan.“Harus ada biaya untuk operasi,” suara dokter tadi terus terngiang-ngiang di telinganya.Jumlahnya tak sedikit. Adip tahu, bahkan seandainya ia menjual motornya pun, tetap tak akan cukup.“Gue cari di mana duit sebanyak itu?” Tanpa pikir panjang, Adip menghubungi semua temannya. Ia mengirim pesan ke grup, satu per satu nama ia telepon untuk meminta, memohon, bahkan mengemis. Tapi jawabannya sama … “Sorry, Dip, gue lagi nggak ada.” Ya, kebanyakan sedang tak ada uang. Beberapa hanya bisa memberi seratus, atau dua ratus ribu. Tak cukup bahkan untuk biaya pendaftaran operasi.Ia mencoba ke rumah Galang, sahabat atau mantan pacar Lila yang dulu pernah ia tikung. Tapi Galang hanya menggeleng di ujung telepon. “Gue nggak bisa bantu, Dip. Maaf banget.”“Lang, tolong,
Motor itu meluncur ke tepi jalan dan menghantam semak-semak sebelum akhirnya terguling dengan keras. Suara benturan terdengar nyaring, membuat beberapa warga yang kebetulan berada di sekitar area itu segera berlari ke lokasi kejadian. Lila terkapar tak bergerak di tanah, tubuhnya penuh luka dan darah mengalir dari pelipisnya. Napasnya lemah, hampir tak terdengar. Dia pun tak bisa melihat langit dengan jelas sebab pandangannya kabur.Sementara Salma terbaring beberapa meter darinya, hanya dengan beberapa luka gores di lengan dan kakinya. Ia meringis kesakitan, tapi kesadarannya tetap penuh. “Cepat, angkat mereka ke mobil! Kita bawa ke rumah sakit!” teriak seorang pria paruh baya yang segera mengkoordinasi warga untuk membantu. Dalam waktu singkat, Lila dan Salma dibawa ke rumah sakit terdekat. Sirene ambulans meraung di udara, menyuarakan urgensi situasi. Salma duduk diam di atas tandu, tangannya yang terluka diikat perban seadanya. Sesekali, matanya melirik ke arah Lila yang t
Adip diikuti Lila sama-sama menoleh ke arah suara itu. Galang berdiri beberapa meter dari mereka dengan tatapan membara, napasnya memburu seperti baru saja berlari dikejar anjing.“Galang?” ucap kedua remaja itu bersamaan.“Lo nggak paham bahasa manusia, ya, Dip? Gue bilang jauhin Lila!” bentak Galang, langkahnya semakin mendekat.“Lo juga, La! Jadi cewek murahan banget. Bisa-bisanya Lo mau di ewe gratisan! Najis!”“Jaga, ya, mulut Lo!” Gertak Lila. Namun Galang hanya mendengus sinis, menatap Lila dengan pandangan jijik.“Sahabat macam apa Lo, Dip? Lo nusuk gue dari belakang tau nggak!”Adip yang dari tadi masih diam, mulai bangkit dari tempat duduknya, menatap Galang dengan senyum miring penuh ejekan. “Kenapa? Kalian mantan, jadi nggak ada alasan buat gue deketin Lila.”“Lo pikir ini lucu, hah? Video mesum kalian kesebar, lo bikin hidup Lila berantakan. Nggak tau malu emang ya lo?” Galang tak menunggu jawaban. Dia langsung melayangkan tinjunya ke wajah Adip.Adip terhuyung ke belakan
Hari berikutnya, Lila berusaha menjalani rutinitas seperti biasa meski hatinya masih berat. Galang? Tentu saja cowok itu masih mengejarnya, tapi Lila mengabaikan segala perkataan Galang yang terus meminta dirinya untuk kembali.Dengan wajah yang sengaja ditampilkan setenang mungkin, dia melangkah masuk ke sekolah. Namun, begitu melewati gerbang, bisik-bisik dan tatapan aneh langsung menyergapnya. “Eh, itu Lila kan?” “Iya, yang ada di video itu, kan?” "Iyyuuuh, jijik banget nggak sih? anak bikin anak!"“Parah banget sih... pantes Adip sama Galang tengkar, ternyata ini toh penyebabnya? Di rumah pohon lagi.” Lila menghentikan langkahnya, bingung dengan gumaman murid-murid yang semakin jelas mengarah padanya. Tatapan mereka membuat tubuhnya terasa kaku, jantungnya berdegup kencang. Apa yang sebenarnya terjadi? pikirnya panik. Dia mencoba mengabaikan semua itu dan terus berjalan ke kelas. Tapi suasana yang lebih buruk menantinya di sana. Begitu masuk, semua mata tertuju padanya.
“A-apa?” Galang perlahan melonggarkan cekalan tangannya, lalu mengalihkan tubuhnya untuk duduk di tepi ranjang. Matanya menghindari tatapan Lila yang kini juga telah beranjak duduk tepat di hadapannya. Senyap menyelimuti ruangan, hanya suara napas mereka yang terdengar. Lila menatap Galang dengan sorot mata yang sulit ditebak. Penasaran, kepastian dan sesuatu yang lain yang tak terdefinisi. “Galang...” Lila menggenggam lembut tangan Galang. “Apa benar... kamu pernah suka sama Adip—bukan... bukan suka sebagai sahabat. Tapi... dalam arti yang lain.” Kata-kata itu menggantung di udara, mulut Lila seakan tak mau mengatakan hal keji tersebut. Galang menaikkan sebelah alisnya, cowok itu malah terkekeh sinis, membuat Lila bingung dibuatnya. Namun dalam hati dia berkata, “Sialan Adip. Ternyata dia ngadu sama Lila.” “Kamu percaya aku kek gitu?” tanya Galang, cowok itu menatap Lila dengan intens. Lila menunduk dengan bibir terkatup rapat. Sebetulnya Lila ingin tak percaya, tapi
Pagi harinya saat mentari belum terlalu tinggi Adip mengerjap. Dia mengusap matanya, menghilangkan sisa kantuk yang melanda. Namun, saat matanya terbuka dia tidak menemukan Lila di mana pun.“Lila!” Tidak ada jawaban, bergegas Adip mencari keberadaan Lila di sekitar, tapi tetap tidak menemukan gadis itu.“Kemana dia?” gumamnya dengan suara serak khas bangun tidur.Sementara itu, di tempat lain, Lila yang sedang dicari-cari oleh Adip ternyata berada di rumah Galang. Ia sedang sibuk membereskan barang-barangnya yang tersisa di sana. Wajahnya terlihat datar, meskipun ada kilatan emosi yang sulit ditebak di matanya. Galang, yang berdiri di sudut ruangan, hanya mengamati tanpa berkata apa-apa. Suasana di antara mereka sangat canggung. Ada banyak hal yang ingin dikatakan, tetapi terhalang oleh sesuatu yang lebih besar dari kata-kata. “Lila.” Galang mendekat dan menahan gerakan tangan Lila yang sedang memasukkan baju-bajunya ke dalam tas. “Kita perlu bicara, jangan kayak gini.”Lila be