“Dip, tadi kamu masuk nggak ada yang lihat, kan?” tanya Lila mulai panik, suara orang-orang di depan semakin riuh meneriaki Lila untuk membuka pintu.
“Mbak kita tau di dalam ada laki-laki yang menginap!”
Brak brak brak
“Dip, gimana?”
“A-aku ngumpet di kamar mandi, kamu buka pintu, oke? Jangan panik, usahakan kamu bisa alihin perhatian mereka, hm.”
“Tapi aku takut kalau nanti—”
Adip menempelkan telunjuknya ke bibir Lila, “Jangan takut, kamu yang tenang, oke?”
Lila mengangguk paham, lalu Adip beranjak lalu berjalan tergesa-gesa ke arah kamar mandi.
Brak brak brak
“Iya sebentar!” teriak Lila memastikan Adip masuk ke dalam kamar mandi.
Setelah Adip tidak terlihat, giliran Lila yang berlari ke arah pintu masuk. Ia menggenggam erat pegangan pintu, mengambil nafas dalam-dalam lalu memutar kuncinya.
Ceklek
Baru saja pintu dibuka, empat orang dewasa dan ibu kost langsung nyelonong masuk ke dalam kamar Lila. Mencari-cari seseorang yang tadi membuat bapak-bapak yang sedang ronda curiga.
“Mana dia?!”
Lila gemetar, keringat dingin sudah membasahi wajahnya. Dengan wajah yang dibuat setenang mungkin, Lila menghampiri orang-orang itu, dan berkata, “M-maaf, Pak, Buk? A-ada apa ya, saya—”
“Tadi mereka bilang ada laki-laki yang masuk ke kamar kamu! Betul Lila?” tanya ibu kost menyela ucapan Lila.
“S-siapa, Bu? Lila sendirian di—”
“Nah ini orangnya,” ucap salah seorang bapak yang menarik Adip keluar dari kamar mandi, “saya kira maling, ehhh ternyata maling daleman!”
Lila menegang, nafasnya terasa berhenti sejenak menatap Adip yang kini dipegang oleh dua bapak-bapak seperti maling.
Raut wajah Adip pun sama tegangnya seperti dirinya, mungkin sama terkejutnya. Mata mereka bertemu sejenak, dan Lila bisa membaca rasa bersalah yang terpancar dari sorot mata Adip.
Ya Tuhan, bisakah kau buat Lila menghilang dari sini? Lila yakin, ini semua tidak akan berakhir dengan mudah.
“Ini salah paham, saya nggak ngapa-ngapain sama dia!” Kilah Adip dengan wajah datar.
Lila mendekat, lalu menangkupkan kedua tangannya di dada, “Pak, saya mohon, kami tidak melakukan apapun, tadi dia cuma … cuma—”
“Halah, omong kosong macam apa itu? Kalau nggak ngapa-ngapain kenapa dia ngumpet di kamar mandi?!”
“Tapi pak, kami emang nggak ngapa-ngapain,” Lila mengusap wajahnya kasar, lalu beralih memegang tangan ibu kost, “Bu, Ibu percaya kan sama saya? Saya nggak mungkin kaya gitu, Bu, tolong.”
Beberapa penghuni kost yang penasaran mulai berbisik, beberapa tertawa geli. Rasa panas menjalar ke wajah Lila, sama halnya Lila, Adip pun merasakan hal yang sama. Namun, Adip mencoba bersikap setenang mungkin agar Lila tidak semakin panik.
“Nak, Lila, saya ingin percaya kamu, tapi bukti mengatakan lain,” ibu kost melepaskan tangan Lila dari lengannya, wajahnya pun tampak kecewa dengan lila.
“Tapi, Bu, ini salah paham, saya sama Adip…” Lila beralih menatap Adip yang diam saja, “ngomong dong!”
Adip menghela nafas panjang, ia menatap satu-persatu orang yang berada di sana. “Pak, Bu, tadinya saya berniat menginap di sini, tapi—”
“Nah, kan. Sudah jelas! Kamu sudah mengaku! Sekarang kalian berdua harus ikut ke tempat pak RT,” ucap salah seorang warga memotong ucapan Adip.
“Lebih baik kamu menurut, daripada di gebukin di sini! Wajah kamu bisa tambah hancur,” sahut yang lain.
Adip memejamkan mata frustasi, mengapa orang-orang senang sekali berasumsi tanpa mendengar fakta yang sebenarnya?
“La, maaf,” ucap Adip hanya dengan gerakan bibir.
Lila menghela nafas pasrah, matanya sudah berkaca-kaca, lalu ia kembali memohon pada ibu kost, “Bu, tolong saya, Bu, saya nggak seperti yang mereka pikir.”
“Maaf, nak Lila, sepertinya ibu akan mengikuti peraturan yang berlaku, dan ibu akan menyerahkan semuanya kepada bapak-bapak ini.”
“Bu, tolong, Bu.”
“La, udah, kita nggak salah, ngapain kamu mohon-mohon gitu?” ucap Adip.
“Ck, kamu nggak ngerti!”
“Sudah, malah bertengkar, ayo kita ke rumah pak RT,” ujar seorang warga menginterupsi.
Akhirnya mereka berdua digiring menuju rumah pak RT yang tidak jauh dari sana, hanya berjarak beberapa rumah saja.
Adip dan Lila duduk berdua di sofa. Di hadapan mereka, ada pak RT beserta istrinya dan bapak-bapak ronda berada di belakang mereka bersama ibu kost.
Tidak banyak orang yang berada di ruangan itu karena ayah Adip meminta untuk merahasiakan penggerebekan ini.
Ya, pak RT sudah menghubungi orang tua Adip dengan ponsel Adip. Sementara orang tua tunggal Lila, sudah berada di sana dan duduk di sofa tunggal dengan wajah masam. Bahkan, Ibu Lila sejak tadi tidak berhenti berbicara dan membodoh-bodohi dua anak remaja itu.
“Memalukan! Saya tidak menyangka jika kamu memilih hidup di kost itu karena ingin bebas seperti ini, Lila!”
Kira-kira seperti itulah kalimat yang ibu Lila ucapkan setelah pak RT tadi menjelaskan alasannya dipanggil ke rumah pak RT. Namun, pak RT berhasil menenangkan ibu Lila dan menyuruhnya duduk diam menunggu orang tua Adip.
Lila sendiri enggan menyangkal asumsi ibunya karena ibu Lila itu hampir sama dengan orang tua Adip.
Sesekali Lila melirik ibunya yang tampak memelototi dirinya. Namun, Lila tidak paham, mengapa ibunya berlaku sok menjadi ibu yang baik? Padahal Lila saja hidup di kost berkat bantuan dari Galang.
“Mana anak itu? Biar saya beri pelajaran dia!” Ayah Adip datang dengan wajah yang tidak bersahabat.
Orang-orang yang berada di sana pun tampak terkejut, mereka semua langsung menoleh ke arah sumber suara.
“Oh, ini anaknya? Memang nggak kapok kamu, ya, bikin malu orang tua?! Hih—”
“Pak! Pak! Sabar pak! Jangan main hakim sendiri!”
Pak RT menahan tubuh ayah Adip yang siap menerjang Adip. Di bantu oleh sang istri.
“Biarkan saya hajar anak ini! Dia selalu bikin orang tuannya malu! Susah diatur! Anak nggak tau diuntung!” Ayah adip langsung nyerocos meski belum tahu pokok masalahnya. Tadi, pak RT hanya memberitahu untuk segera datang karena Adip berada di rumahnya.
“Ayah! Tahan, Yah! Malu!” ujar ibu Adip.
Lila sebenarnya pun takut, tetapi ia memilih tenang dengan menggenggam tangan Adip yang gemetar untuk sekedar menguatkan. Adip menoleh ke arahnya dengan senyum lembut, tetapi sedikit terpaksa yang tersungging di wajahnya.
“Pak! Sabar, tidak ada gunanya bapak marah-marah, lebih baik sekarang bapak duduk dan dengarkan penjelasan saya,” ujar pak RT berusaha menengahi. Ayah Adip menatap satu persatu orang di sana, kemudian ia menurut dan duduk meski masih terlampau kesal.
“Bisa kita mulai?” tanya pak RT pada semua orang yang berada di ruangan. Semua orang pun mengangguk, tidak terkecuali dua remaja yang menunjuk sembari memilih ujung bajunya.
“Baik, saya akan menjelaskan kejadian sebenarnya pada pak—”
“Damar, nama saya Damar. Dan ini istri saya, Rahayu,” ucap pak ayah Adip memperkenalkan diri karena pak RT tampak bingung menyebut namanya.
“Oh, Pak Damar, dan Ibu Rahayu, saya di sini sebagai penengah. Saya ingin mengabarkan jika anak bapak dengan anak perempuan di sampingnya ini kepergok berduaan di kamar oleh bapak-bapak yang meronda,” ungkap pak RT.
Lila menunduk sembari terisak kecil sementara Adip terus menatap lurus-lurus ujung jarinya.
“Benar itu, Adip?” Suara bariton pak Damar memancing atensi dua remaja menoleh padanya. Lila beralih menatap Adip, mengkodenya untuk mengelak. Namun, Adip malah mengangguk pelan seakan membenarkan ucapan pak RT tadi. Lila menggeleng kecewa melihat pengakuan adip.
“Dip, tega banget kamu,” gumam Lila ke arah Adip. Air mata pun mulai menetes di pipinya, tetapi Adip hanya menggumamkan kata maaf yang tidak berarti.
Ibu Adip terperangah, ia menutup mulutnya dengan tangan menatap tak percaya pada anaknya. “Kamu benar-benar memalukan, Dip,” gumamnya.
Pak Damar menatap Adip penuh permusuhan, tangannya mengepal di samping tubuhnya. Pak Damar tidak mengerti, mengapa Adip selalu mempermalukannya dengan berbagai macam cara?
“Jadi bagaimana, Pak?” tanya Pak Damar tanpa mengalihkan pandangannya dari Adip.
“Ehm, jadi, menurut peraturan yang berlaku, mereka berdua harus dinikahkan sekarang juga!”
Adip terduduk di bangku tunggu rumah sakit. Wajahnya pucat pasi, napasnya memburu, keringat dingin mengalir dari pelipis. Di dalam sana, Lila sedang berjuang melawan maut. Dan ia? Ia harus berjuang melawan waktu dan kenyataan.“Harus ada biaya untuk operasi,” suara dokter tadi terus terngiang-ngiang di telinganya.Jumlahnya tak sedikit. Adip tahu, bahkan seandainya ia menjual motornya pun, tetap tak akan cukup.“Gue cari di mana duit sebanyak itu?” Tanpa pikir panjang, Adip menghubungi semua temannya. Ia mengirim pesan ke grup, satu per satu nama ia telepon untuk meminta, memohon, bahkan mengemis. Tapi jawabannya sama … “Sorry, Dip, gue lagi nggak ada.” Ya, kebanyakan sedang tak ada uang. Beberapa hanya bisa memberi seratus, atau dua ratus ribu. Tak cukup bahkan untuk biaya pendaftaran operasi.Ia mencoba ke rumah Galang, sahabat atau mantan pacar Lila yang dulu pernah ia tikung. Tapi Galang hanya menggeleng di ujung telepon. “Gue nggak bisa bantu, Dip. Maaf banget.”“Lang, tolong,
Motor itu meluncur ke tepi jalan dan menghantam semak-semak sebelum akhirnya terguling dengan keras. Suara benturan terdengar nyaring, membuat beberapa warga yang kebetulan berada di sekitar area itu segera berlari ke lokasi kejadian. Lila terkapar tak bergerak di tanah, tubuhnya penuh luka dan darah mengalir dari pelipisnya. Napasnya lemah, hampir tak terdengar. Dia pun tak bisa melihat langit dengan jelas sebab pandangannya kabur.Sementara Salma terbaring beberapa meter darinya, hanya dengan beberapa luka gores di lengan dan kakinya. Ia meringis kesakitan, tapi kesadarannya tetap penuh. “Cepat, angkat mereka ke mobil! Kita bawa ke rumah sakit!” teriak seorang pria paruh baya yang segera mengkoordinasi warga untuk membantu. Dalam waktu singkat, Lila dan Salma dibawa ke rumah sakit terdekat. Sirene ambulans meraung di udara, menyuarakan urgensi situasi. Salma duduk diam di atas tandu, tangannya yang terluka diikat perban seadanya. Sesekali, matanya melirik ke arah Lila yang t
Adip diikuti Lila sama-sama menoleh ke arah suara itu. Galang berdiri beberapa meter dari mereka dengan tatapan membara, napasnya memburu seperti baru saja berlari dikejar anjing.“Galang?” ucap kedua remaja itu bersamaan.“Lo nggak paham bahasa manusia, ya, Dip? Gue bilang jauhin Lila!” bentak Galang, langkahnya semakin mendekat.“Lo juga, La! Jadi cewek murahan banget. Bisa-bisanya Lo mau di ewe gratisan! Najis!”“Jaga, ya, mulut Lo!” Gertak Lila. Namun Galang hanya mendengus sinis, menatap Lila dengan pandangan jijik.“Sahabat macam apa Lo, Dip? Lo nusuk gue dari belakang tau nggak!”Adip yang dari tadi masih diam, mulai bangkit dari tempat duduknya, menatap Galang dengan senyum miring penuh ejekan. “Kenapa? Kalian mantan, jadi nggak ada alasan buat gue deketin Lila.”“Lo pikir ini lucu, hah? Video mesum kalian kesebar, lo bikin hidup Lila berantakan. Nggak tau malu emang ya lo?” Galang tak menunggu jawaban. Dia langsung melayangkan tinjunya ke wajah Adip.Adip terhuyung ke belakan
Hari berikutnya, Lila berusaha menjalani rutinitas seperti biasa meski hatinya masih berat. Galang? Tentu saja cowok itu masih mengejarnya, tapi Lila mengabaikan segala perkataan Galang yang terus meminta dirinya untuk kembali.Dengan wajah yang sengaja ditampilkan setenang mungkin, dia melangkah masuk ke sekolah. Namun, begitu melewati gerbang, bisik-bisik dan tatapan aneh langsung menyergapnya. “Eh, itu Lila kan?” “Iya, yang ada di video itu, kan?” "Iyyuuuh, jijik banget nggak sih? anak bikin anak!"“Parah banget sih... pantes Adip sama Galang tengkar, ternyata ini toh penyebabnya? Di rumah pohon lagi.” Lila menghentikan langkahnya, bingung dengan gumaman murid-murid yang semakin jelas mengarah padanya. Tatapan mereka membuat tubuhnya terasa kaku, jantungnya berdegup kencang. Apa yang sebenarnya terjadi? pikirnya panik. Dia mencoba mengabaikan semua itu dan terus berjalan ke kelas. Tapi suasana yang lebih buruk menantinya di sana. Begitu masuk, semua mata tertuju padanya.
“A-apa?” Galang perlahan melonggarkan cekalan tangannya, lalu mengalihkan tubuhnya untuk duduk di tepi ranjang. Matanya menghindari tatapan Lila yang kini juga telah beranjak duduk tepat di hadapannya. Senyap menyelimuti ruangan, hanya suara napas mereka yang terdengar. Lila menatap Galang dengan sorot mata yang sulit ditebak. Penasaran, kepastian dan sesuatu yang lain yang tak terdefinisi. “Galang...” Lila menggenggam lembut tangan Galang. “Apa benar... kamu pernah suka sama Adip—bukan... bukan suka sebagai sahabat. Tapi... dalam arti yang lain.” Kata-kata itu menggantung di udara, mulut Lila seakan tak mau mengatakan hal keji tersebut. Galang menaikkan sebelah alisnya, cowok itu malah terkekeh sinis, membuat Lila bingung dibuatnya. Namun dalam hati dia berkata, “Sialan Adip. Ternyata dia ngadu sama Lila.” “Kamu percaya aku kek gitu?” tanya Galang, cowok itu menatap Lila dengan intens. Lila menunduk dengan bibir terkatup rapat. Sebetulnya Lila ingin tak percaya, tapi
Pagi harinya saat mentari belum terlalu tinggi Adip mengerjap. Dia mengusap matanya, menghilangkan sisa kantuk yang melanda. Namun, saat matanya terbuka dia tidak menemukan Lila di mana pun.“Lila!” Tidak ada jawaban, bergegas Adip mencari keberadaan Lila di sekitar, tapi tetap tidak menemukan gadis itu.“Kemana dia?” gumamnya dengan suara serak khas bangun tidur.Sementara itu, di tempat lain, Lila yang sedang dicari-cari oleh Adip ternyata berada di rumah Galang. Ia sedang sibuk membereskan barang-barangnya yang tersisa di sana. Wajahnya terlihat datar, meskipun ada kilatan emosi yang sulit ditebak di matanya. Galang, yang berdiri di sudut ruangan, hanya mengamati tanpa berkata apa-apa. Suasana di antara mereka sangat canggung. Ada banyak hal yang ingin dikatakan, tetapi terhalang oleh sesuatu yang lebih besar dari kata-kata. “Lila.” Galang mendekat dan menahan gerakan tangan Lila yang sedang memasukkan baju-bajunya ke dalam tas. “Kita perlu bicara, jangan kayak gini.”Lila be