Adip dan Lila, dua sahabat dekat, terjebak dalam skandal saat warga memergoki mereka di kamar kost Lila. Padahal, Lila sudah memiliki kekasih bernama Galang yang juga sahabat baik Adip. Rumor yang beredar memaksa keluarga mereka menjodohkan Lila dengan Adip, membuat hubungan ketiganya semakin rumit. Galang yang merasa dikhianati, dilanda amarah dan cemburu. Di tengah ikatan takdir dan perasaan yang bergejolak, Lila harus memilih antara cinta dan persahabatan. Mampukah mereka bertahan atau justru terpisah selamanya?
View More“Ngapain kalian di kamar berduaan?”
Adip dan Lila terperanjat ketika pintu di buka dari luar. Dengan santai Adip akhirnya menyerah, ia melepaskan cekalan tangannya dan beralih berbaring di samping Lila dengan tangan kanan ia gunakan sebagai bantalan. Bibirnya menyunggingkan senyum malas disertai decakan samar. Matanya terpejam, sepertinya Adip lebih kecewa karena gagal mencium Lila daripada ketahuan berduaan dengan Lila, oleh Galang.
Sementara Lila, gadis itu tampak panik. Ia beranjak lalu berlari ke arah Galang yang berdiri dengan wajah datar di tengah pintu, tetapi nafasnya memburu.
“Lang, aku sama Adip— Galang!” Galang melangkah cepat ke arah Adip yang tampak santai di tempat tidur. “Duh, gawat.”
Bugh
Galang langsung menimpa tubuh Adip dan menghajar Adip tanpa ampun. Kepalan tangannya menghujam wajah tampan Adip hingga Adip terkulai lemas.
“Galang! Udah, berhenti, Galang!”
Lila berusaha menarik tubuh Galang, tetapi Galang begitu kuat menghajar Adip yang tidak melawan sedikitpun.
“Sialan, lo! Sahabat macam apa nusuk dari belakang? Mati lo, Dip! Mati!”
Adip seperti tidak mempunyai tenaga melawan Galang, ia hanya menyilangkan kedua tangan di depan wajah sebagai perlindungan.
“Biadab lo, Dip!” nafas Galang memburu, tetapi ia belum mau berhenti sampai puas membuat Adip babak belur.
Bukanya Adip tidak mau melawan, tetapi Adip berpikir ia pantas mendapatkannya karena memang tindakanya menyukai pacar sahabat, tidak bisa dibenarkan.
Padahal jika Adip mau, dia bisa melumpuhkan Galang dengan sekali pukul karena tubuh Adip lebih besar daripada Galang.
“Galang, udah Galang! Nanti Adip mati!”
Lila mulai menangis menyaksikan Adip yang babak belur dan pasrah di bawah kungkungan Galang. Namun, Galang seperti kesetanan, dia kalap dan tidak bisa dihentikan hingga Lila terpental jatuh ke lantai akibat dorongan Galang.
Saking bingungnya, Lila berlari keluar kamar hendak mencari bantuan. Dia berdiri di di pembatas lantai satu dan dua dengan wajah panik, matanya berpendar mencari keberadaan teman-teman mereka yang ternyata sedang bermain PlayStation di ruang tengah.
“Indra! Tolong!... tolong! Galang mukulin Adip di kamar! Cepet tolong! bego! Malah pada plonga plongo!"
Lila kembali masuk ke dalam kamar lagi, diikuti beberapa teman Galang yang segera berlari ke lantai dua.
Mereka terperangah melihat adegan tersebut, kelima remaja itu langsung berlari dan naik ke atas ranjang, empat orang memegangi Galang sedangkan satu teman mereka bersama Lila memeriksa keadaan Adip yang pingsan dengan berlumuran darah.
“Lepasin gue, sialan! Biar gue matiin penghianat itu! Bangs*t! Aarrrgghhh!”
Mereka berempat menyeret Galang keluar dari kamar agar situasi tidak semakin buruk.
“Dip, hiks hiks, sadar, Dip.” gumam Lila sembari menangis, ia mengusap sudut bibir Adip, mengangkat kepala cowok itu ke pangkuannya.
“La, kayaknya Adip pingsan!” Lila berdecak kesal mendengar ucapan indra yang terkesan bodoh. Sudah lihat Adip pingsan kenapa masih menebak?
“Dip, bangun.” Lila menepuk-nepuk pipi Adip pelan, tetapi cowok itu tidak mau membuka matanya. Darah yang mengalir dari hidung serta mulut Adip, Lila elap dengan ujung baju seragam putihnya.
“Dip, bangun, jangan bikin aku khawatir,” Lila terisak, tanganya terulur menggenggam tangan Adip yang dingin. Ibu jarinya ia tempelkan ke pergelangan tangan Adip, ia bernafas lega kala masih merasakan denyut nadi Adip.
Indra terperangah menyaksikan adegan konyol itu, ia menggelengkan kepala dengan mulut terbuka. Memanglah makhluk seperti Lila ini terkesan di luar nalar. Mana ada orang dipukuli sedikit jadi mati, pikir Indra.
“Kamu pikir Adip mati, la?” tanya Adip heran.
“Ck, diem! Bantu sadarin Adip, aku takut dia kenapa-kenapa!”
“La, bawa ke rumah sakit aja,” usul Indra, Lila tampak berpikir.
“Tapi nanti orang tua Adip tau gimana? Nanti Adip tambah dipukuli lagi karena ketahuan berantem.” jawab Lila.
Indra tampak menghela nafas berat, Lila serta teman-teman Adip lainnya paham betul bagaimana perlakuan orang tua Adip yang terkesan otoriter.
Bukannya membela, mereka justru tidak akan segan-segan menghajar Adip habis-habisan jika diberi tahu bahwa Adip babak belur dipukuli oleh Galang.
“Jadi gimana?” tanya indra bingung.
“Cari p3k, biar aku yang obatin.” Perintah Lila sambil sibuk mengelap wajah Adip. Cowok itu tidak mau bangun meski Lila menekan lukanya sedikit dalam.
Akan tetapi, tanpa Lila tahu, sebenarnya Adip pura-pura pingsan, dia sesekali mengintip lewat matanya yang menyipit. Dan tersenyum dalam hati melihat kekhawatiran Lila padanya.
Di lantai satu ….
Mereka mendudukkan Galang di sofa ruang tamu, Galang terus memberontak, tetapi mereka berempat memegangi Galang lebih kuat.
“Lepasin! Mana Lila! Biar gue hajar juga dia! Ha?!”
“Lang udah, Lang, lo bisa bunuh Adip!”
“Gue nggak peduli, dia udah nusuk gue dari belakang!”
“Lang, tenang!”
“Iya, Lang, Lo tenang dulu, kita bisa bicarain baik-baik!”
Mereka berempat kewalahan karena tenaga Galang sangat kuat. Saking tidak sabarnya, salah satu teman Galang—Bara, memukul wajah Galang dengan sekuat tenaga agar Galang diam.
Bugh
“Bisa diem nggak lo? Ha?” Dada Bara naik turun setelah melayangkan pukulan tepat di pipi sebelah kiri Galang, suasana menjadi hening seketika, tetapi baiknya Galang akhirnya bisa diam.
“Bar, sabar. Jangan sampai jadi elo yang berantem sama Galang,” ujar Danu. Bara menoleh sekilas ke arah Danu, lalu matanya kembali menatap Galang yang mengusap pipi bekas pukulan Bara.
Galang memainkan lidahnya di pipi sebelah kiri yang sedikit nyeri dan terasa anyir, boleh juga ternyata tinju Bara, sampai bisa merobek bibir bagian dalam Galang.
“Sorry, Lang, gue lepas kontrol,” ucap Bara menghempaskan tubuhnya ke sofa. Lengannya ia gunakan untuk menutup wajahnya karena malu dan merasa bersalah sudah memukul Galang tadi.
“Cuih,” Galang meludah ke arah samping karena rasa anyir darah di mulut membuat Galang semakin kesal. “Panggil mereka berdua ke sini.”
“Sebenarnya ada apa, Lang? Kenapa Lo pukulin Adip sampai babak belur gitu, Lo hampir bikin Adip mati tau nggak?” ucap Bara mencoba mengalihkan pembicaraan. Ketiga teman mereka pun ikut mengangguk penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka berdua. Eh, bertiga dengan Lila.
Akan tetapi, Galang tidak menghiraukan pertanyaan Bara, dia menatap temannya satu-persatu dengan mata elangnya.
“Kalian mau panggil, atau gue panggil sendiri si pengkhianat itu?” desis Galang muak.
“Bar, panggil!” perintah Danu yng sudah takut dengan wajah menyeramkan Galang ketika marah.
Bara berdecak, tetapi matanya tetap terpejam. “Kenapa nggak lo aja?”
“Elo kan—”
“Lama!” Galang berdiri lalu melangkah ke arah tangga, karena tidak sabaran, ia sedikit berlari menaiki tangga untuk cepat sampai ke lantai 2.
“Woy, Lang, mau ke mana lo?”
Mereka bertiga mengikuti langkah cepat Galang ke lantai dua, tetapi ketika sampai di tangga, Danu berbalik arah saat merasa Bara tidak mengikutinya.
“Woy, cepet! Lo mau ada huru-hara lagi?”
Bara berdecak kesal, sebenarnya dia malas mengikuti Galang karena bara sudah lebih dulu tahu hal ini akan terjadi. Semua ini gara-gara Adip yang tidak mau menyerah meski Lila sudah menjadi kekasih Galang.
Dengan langkah gontai, akhirnya Bara ikut mengejar Galang yang mungkin sudah kembali menghajar Adip.
****
Di kamar Galang …
Mereka bertujuh duduk di kamar dengan suasana yang menyesakkan. Lila duduk di tempat tidur tepat di samping Galang, dengan tangan yang terus digenggam erat oleh Galang. Dan Adip duduk di sofa besar kamar Galang.
Di kanan dan kiri Adip, ada Bara dan Indra yang memegang pundaknya. Serta teman-teman yang lain duduk di karpet.
“Jadi selama ini Lo suka sama cewek gue, Dip?”
Adip terduduk di bangku tunggu rumah sakit. Wajahnya pucat pasi, napasnya memburu, keringat dingin mengalir dari pelipis. Di dalam sana, Lila sedang berjuang melawan maut. Dan ia? Ia harus berjuang melawan waktu dan kenyataan.“Harus ada biaya untuk operasi,” suara dokter tadi terus terngiang-ngiang di telinganya.Jumlahnya tak sedikit. Adip tahu, bahkan seandainya ia menjual motornya pun, tetap tak akan cukup.“Gue cari di mana duit sebanyak itu?” Tanpa pikir panjang, Adip menghubungi semua temannya. Ia mengirim pesan ke grup, satu per satu nama ia telepon untuk meminta, memohon, bahkan mengemis. Tapi jawabannya sama … “Sorry, Dip, gue lagi nggak ada.” Ya, kebanyakan sedang tak ada uang. Beberapa hanya bisa memberi seratus, atau dua ratus ribu. Tak cukup bahkan untuk biaya pendaftaran operasi.Ia mencoba ke rumah Galang, sahabat atau mantan pacar Lila yang dulu pernah ia tikung. Tapi Galang hanya menggeleng di ujung telepon. “Gue nggak bisa bantu, Dip. Maaf banget.”“Lang, tolong,
Motor itu meluncur ke tepi jalan dan menghantam semak-semak sebelum akhirnya terguling dengan keras. Suara benturan terdengar nyaring, membuat beberapa warga yang kebetulan berada di sekitar area itu segera berlari ke lokasi kejadian. Lila terkapar tak bergerak di tanah, tubuhnya penuh luka dan darah mengalir dari pelipisnya. Napasnya lemah, hampir tak terdengar. Dia pun tak bisa melihat langit dengan jelas sebab pandangannya kabur.Sementara Salma terbaring beberapa meter darinya, hanya dengan beberapa luka gores di lengan dan kakinya. Ia meringis kesakitan, tapi kesadarannya tetap penuh. “Cepat, angkat mereka ke mobil! Kita bawa ke rumah sakit!” teriak seorang pria paruh baya yang segera mengkoordinasi warga untuk membantu. Dalam waktu singkat, Lila dan Salma dibawa ke rumah sakit terdekat. Sirene ambulans meraung di udara, menyuarakan urgensi situasi. Salma duduk diam di atas tandu, tangannya yang terluka diikat perban seadanya. Sesekali, matanya melirik ke arah Lila yang t
Adip diikuti Lila sama-sama menoleh ke arah suara itu. Galang berdiri beberapa meter dari mereka dengan tatapan membara, napasnya memburu seperti baru saja berlari dikejar anjing.“Galang?” ucap kedua remaja itu bersamaan.“Lo nggak paham bahasa manusia, ya, Dip? Gue bilang jauhin Lila!” bentak Galang, langkahnya semakin mendekat.“Lo juga, La! Jadi cewek murahan banget. Bisa-bisanya Lo mau di ewe gratisan! Najis!”“Jaga, ya, mulut Lo!” Gertak Lila. Namun Galang hanya mendengus sinis, menatap Lila dengan pandangan jijik.“Sahabat macam apa Lo, Dip? Lo nusuk gue dari belakang tau nggak!”Adip yang dari tadi masih diam, mulai bangkit dari tempat duduknya, menatap Galang dengan senyum miring penuh ejekan. “Kenapa? Kalian mantan, jadi nggak ada alasan buat gue deketin Lila.”“Lo pikir ini lucu, hah? Video mesum kalian kesebar, lo bikin hidup Lila berantakan. Nggak tau malu emang ya lo?” Galang tak menunggu jawaban. Dia langsung melayangkan tinjunya ke wajah Adip.Adip terhuyung ke belakan
Hari berikutnya, Lila berusaha menjalani rutinitas seperti biasa meski hatinya masih berat. Galang? Tentu saja cowok itu masih mengejarnya, tapi Lila mengabaikan segala perkataan Galang yang terus meminta dirinya untuk kembali.Dengan wajah yang sengaja ditampilkan setenang mungkin, dia melangkah masuk ke sekolah. Namun, begitu melewati gerbang, bisik-bisik dan tatapan aneh langsung menyergapnya. “Eh, itu Lila kan?” “Iya, yang ada di video itu, kan?” "Iyyuuuh, jijik banget nggak sih? anak bikin anak!"“Parah banget sih... pantes Adip sama Galang tengkar, ternyata ini toh penyebabnya? Di rumah pohon lagi.” Lila menghentikan langkahnya, bingung dengan gumaman murid-murid yang semakin jelas mengarah padanya. Tatapan mereka membuat tubuhnya terasa kaku, jantungnya berdegup kencang. Apa yang sebenarnya terjadi? pikirnya panik. Dia mencoba mengabaikan semua itu dan terus berjalan ke kelas. Tapi suasana yang lebih buruk menantinya di sana. Begitu masuk, semua mata tertuju padanya.
“A-apa?” Galang perlahan melonggarkan cekalan tangannya, lalu mengalihkan tubuhnya untuk duduk di tepi ranjang. Matanya menghindari tatapan Lila yang kini juga telah beranjak duduk tepat di hadapannya. Senyap menyelimuti ruangan, hanya suara napas mereka yang terdengar. Lila menatap Galang dengan sorot mata yang sulit ditebak. Penasaran, kepastian dan sesuatu yang lain yang tak terdefinisi. “Galang...” Lila menggenggam lembut tangan Galang. “Apa benar... kamu pernah suka sama Adip—bukan... bukan suka sebagai sahabat. Tapi... dalam arti yang lain.” Kata-kata itu menggantung di udara, mulut Lila seakan tak mau mengatakan hal keji tersebut. Galang menaikkan sebelah alisnya, cowok itu malah terkekeh sinis, membuat Lila bingung dibuatnya. Namun dalam hati dia berkata, “Sialan Adip. Ternyata dia ngadu sama Lila.” “Kamu percaya aku kek gitu?” tanya Galang, cowok itu menatap Lila dengan intens. Lila menunduk dengan bibir terkatup rapat. Sebetulnya Lila ingin tak percaya, tapi
Pagi harinya saat mentari belum terlalu tinggi Adip mengerjap. Dia mengusap matanya, menghilangkan sisa kantuk yang melanda. Namun, saat matanya terbuka dia tidak menemukan Lila di mana pun.“Lila!” Tidak ada jawaban, bergegas Adip mencari keberadaan Lila di sekitar, tapi tetap tidak menemukan gadis itu.“Kemana dia?” gumamnya dengan suara serak khas bangun tidur.Sementara itu, di tempat lain, Lila yang sedang dicari-cari oleh Adip ternyata berada di rumah Galang. Ia sedang sibuk membereskan barang-barangnya yang tersisa di sana. Wajahnya terlihat datar, meskipun ada kilatan emosi yang sulit ditebak di matanya. Galang, yang berdiri di sudut ruangan, hanya mengamati tanpa berkata apa-apa. Suasana di antara mereka sangat canggung. Ada banyak hal yang ingin dikatakan, tetapi terhalang oleh sesuatu yang lebih besar dari kata-kata. “Lila.” Galang mendekat dan menahan gerakan tangan Lila yang sedang memasukkan baju-bajunya ke dalam tas. “Kita perlu bicara, jangan kayak gini.”Lila be
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments