"jadi selama ini Lo suka sama cewek gue, Dip?" tanya Galang dengan rahang mengeras.
Adip meliriknya malas pada Galang, “Iy—”
“Enggak …” sergah Lila menyela ucapan Adip, ia memegang lengan Galang dengan wajah panik, takut jika Adip akan berterus terang tentang perasaanya sekarang, “iya kan, Dip? Kamu nggak suka sama aku, kan. Tadi itu cuma salah paham kan, Dip.”
“Aku—”
“Adip kira tadi nggak ada aku di sini, jadi Adip mau tiduran, ehhh ternyata aku juga tidur di sini juga. Iya kan, Dip?” cerocos Lila menatap Adip meminta persetujuan.
“Mana ada nggak sengaja sampai tindihan gitu, dianya aja yang kegatelan. Sini lo, gue abisin lo, ya.”
“Galang! Udah jangan! Jangan berantem lagi aku takut!” Lila memeluk tubuh Galang yang akan kembali menerjang Adip. Dua teman Adip reflek pasang badan melindungi cowok itu, sementara Adip berlaku santai seperti tidak takut jika kembali dipukuli oleh Galang.
“Woy, Lang, sabar dong! Jangan main hakim sendiri!” cecar indra sembari mengusap dadanya.
Seketika Galang berhenti karena pelukan Lila di perutnya, tidak jadi melayangkan tinjunya ke wajah Adip. Ia kembali duduk dengan merangkul pundak Lila yang masih memeluknya erat.
“Kalau gue suka sama Lila, emang kenapa?” Celetuk Adip. Membuat semua orang yang ada di ruangan itu berhenti bernafas sejenak. Apa Adip sudah gila?
“Kalau gue benci sama dia, baru aneh!” lanjut Adip menatap Lila yang menahan nafas dengan bibir menggerutu dan matanya melotot. Tangannya Lila gunakan untuk memegangi lengan Galang yang kembali berurat, dadanya pun sudah naik turun menahan amarah.
“Lo emang—”
“Bener kan gue, La?” lanjut Adip lagi, Indra, Danu, dan juga teman-teman mereka yang lain sudah akan mengumpat, tetapi lekas bernafas lega karena Adip segera meralat omongannya.
Lila menghela nafas lega, “Ah, i-iya kali. Ya kan, sayang?”
Galang tidak menjawab, wajah babak belur dan senyum menyebalkan yang tersungging di bibir Adip, membuatnya tidak bisa mendengar apapun selain bisikan untuk menghajar si muka bebal itu.
“Lang, udahlah, kita semua temen. Jangan cuma karena Lila pertemanan kita jadi hancur,” ujar Indra berusaha menengahi. Namun, atas ucapan Indra tiba-tiba hati Lila mencelos.
“Iya, Lang, lagian si Adip juga nggak sengaja, cewek Lo aja bilang itu salah paham,” timpal Danu. Ia mengedip-ngedipkan sebelah matanya memberi isyarat kepada Lila untuk bicara sesuatu.
“Ah, iya, mereka bener, kamu nggak perlu khawatir, aku cuma cinta sama kamu, kok.”
Berkat ucapan Lila, hati Galang bisa sedikit tenang. Ia menoleh ke arah Lila dengan senyum tipis yang menghiasi wajah tampannya, tangan cowok itu terangkat mengusap pipi halus pacarnya itu.
“Aku percaya sama kamu…” Galang menggenggam tangan Lila erat, lalu beralih menatap Adip, “tapi enggak sama si sialan itu!”
“Iya, aku ngerti,” Lila merapikan rambut Galang yang acak-acakan, sentuhannya yang lembut membuat hati Galang berdesir hangat hingga melupakan kekesalannya. “Udah ya, jangan marah-marah lagi, nanti gantengnya ilang.”
Tangan Adip diam-diam mengepal di samping tubuhnya, matanya menatap lurus-lurus ke arah dua remaja yang sedang di mabuk cinta itu. Adip cemburu, Adip tidak bisa menerima jika mereka berdua terang-terangan bermesraan di depan Adip seperti ini.
Cowok itu sudah akan mengangkat tubuhnya untuk menarik Lila dari pelukan Galang, tetapi indra yang menyadari perubahan wajah Adip menjadi lebih tegang, segera menahan Adip dengan cara menekan kepalan tangan Adip.
“Sabar, jangan terang-terangan bego’! Sadar diri,” desis Indra.
Cowok itu memejamkan mata, kepalan tangannya pun perlahan melonggar. Adip sadar jika ia harus bisa menahan perasaannya karena status Lila memanglah pacar Galang.
“Oke, karena semua sudah selesai, gue mau balik! Udah sore!” Adip beranjak menempuk bahu Indra, lalu nyelonong begitu saja ke arah pintu, ia melambaikan tangan untuk berpamitan tanpa menoleh.
“Dip, wajah kamu—”
“Ck, kamu khawatir sama dia?” cecar Galang heran. Lila menggeleng lesu, matanya menunduk untuk menghindari tatapan Galang, ia memilih ujung seragamnya bekas darah Adip tadi. Lila khawatir Adip akan mendapat masalah baru jika pulang dalam keadaan babak belur begitu.
“Ya udah biarin aja!” ucap Galang dengan nada ketus.
“Lang, kita ke bawah dulu, deh,” pamit Indra diikuti oleh teman-temannya yang lain. Galang hanya mengangguk, matanya tidak beralih menatap lurus pacarnya tersebut.
****
Sekitar pukul delapan malam Adip baru sampai ke rumahnya karena tadi mampir ke warung dulu untuk makan.
Sesampainya di depan rumah, Adip memicing kala melihat mobil orang tuanya terparkir di garasi. Berati orang tuanya sudah pulang dari perjalanan bisnis, Adip menghela nafas panjang, wajahnya malah tidak terlihat senang mendapati orang tuanya berada di rumah.
Adib melangkah masuk dengan ogah-ogahan, langkah kakinya terasa berat karena di dalam sana sudah pasti orang tuanya akan terus berceramah tentang beberapa luka memar yang Adip dapatkan hari ini.
Adip melangkah masuk dengan celingukan mencari keberadaan orang tuanya. Dan ternyata ibu dan ayah sedang bercengkrama sembari menonton saluran televisi di ruang keluarga. Ah, Adip rasa keberuntungan kali ini memihak padanya.
Adip memasukan kedua tangganya ke saku celana, ia berjalan santai dengan hoodie hitam yang menutup kepalanya, sebelum suara bariton mengurungkan langkahnya menapaki tangga.
“Adip!”
Benar kan? Padahal Adip sudah sangat hati-hati agar mereka berdua tidak mendengar derap langkah Adip.
Adip membuang nafas kasar, “Kenapa? Aku capek mau istirahat.”
Ayah Adip beranjak mengayunkan langkahnya ke arah Adip yang berdiri menunduk di samping tangga, diikuti oleh sang istri di belakang.
“Dari mana kamu? Anak sekolah jam segini baru pulang! Ngelayap lagi?” tanya ayah sembari berjalan, tetapi Adip tidak menjawab.
Mereka berdiri tepat di depan Adip dan menatapnya lurus-lurus. Tangan sang ayah terulur mengangkat dagu Adip agar menghadap ke arahnya. Namun, Adip buru-buru menepis tangan ayahnya dengan kasar.
“Apaan sih?” tanya Adip ketus.
Ayah mendengus melihat beberapa luka lebam di wajah Adip, “Sudah ayah duga. Berantem lagi, hm?”
“Kamu itu kenapa nggak pernah kapok si, Dip. Sudah dibilangin berapa kali, jangan suka berkelahi, mau jadi apa kamu, ha?” timpal ibu Adip.
Adip menghela nafas panjang, sudah Adip bilang kan, jika orang tuanya tidak akan mentolerir luka sekecil apapun di wajah Adip, mereka pasti akan menganggap Adip berkelahi meski Adip belum menjelaskan situasi yang sebenarnya.
“Terserah!”
“Nah itu, Yah, lihat kelakuan anakmu. Kalau dibilangin nggak pernah di dengerin!” Ibu Adip menunjuk-nunjuk wajah Adip dengan emosi.
“Jadi anak kok nggak pernah bisa bikin bangga orang tua, yang ada bikin maluuu aja! Contoh itu kakakmu, dia seusia kamu sudah ikut olimpiade matematika! Adikmu dapat beasiswa di luar negeri! Kamu bisa apa? Apa yang bisa buat kami bangga? Enggak ada! Berandalan!” lanjut ibunya memaki.
Inilah yang selalu Adip benci, dibandingkan dengan saudara yang lain. Bisa dibayangkan, kan, sakitnya?. Namun, karena sudah terbiasa mendengar cemoohan orang tuanya, Adip hanya menghela nafas panjang dan tidak mau menanggapi. Percuma saja, apapun yang Adip katakan untuk pembelaan, pasti orang tuanya tidak akan menerima.
“Ayah sudah berulang kali bilang sama kamu, jangan pernah bergaul sama Galang, dia itu bawa pengaruh buruk buat kamu!”
Suara ayah Adip meninggi terkesan berteriak memaki, sampai para maid yang bertugas di rumah Adip memilih menghentikan pekerjaan rumah mereka sejenak dan menghindar.
“Sama siapa lagi kali ini? Ha?” desis ayah Adip seperti sudah muak.
“Jawab!” teriak sang ayah karena Adip hanya diam dan menatap kosong ke depan.
“Nggak penting!” Adip memutar tubuhnya untuk menaiki tangga, berbicara dengan dua orang tua ini hanya akan menambah luka di hati Adip. Namun, sebelum Adip melangkah naik ke atas, ayah buru-buru mencekal tangannya. Tanpa pikir panjang lagi ayah memukul wajah ajib berulang kali.
Bugh
“Mau jadi apa kamu, ha?! Anak nggak tau sopan santun! Bisanya bikin malu! Orang tua lagi ngomong dikacangin! Buat apa kamu sekolah, ha?! Apa gurumu yang mengajarkan untuk berlaku tidak sopan?”
Bugh
Pukulan demi pukulan Adip dapatkan di atas memar yang belum hilang. Adip tidak melawan karena bagaimanapun orang tuanya, Adip harus tetap menghormati mereka.
“Nggak kapok kamu, ya? Ayah sudah bilang berhenti berkelahi di sekolah! Lihat kakakmu, dia sudah jadi dokter spesialis! Sementara kamu cuma jadi beban orang tau! Anak sialan! Tidak tau diuntung!”
Ayah terus memukuli Adip tanpa ampun sambil terus mengumpat. Seakan tidak punya hati, ibu Adip malah bersandar pada pegangan tangga dan menyilangkan tangan di dada, menyaksikan darah dagingnya sendiri dipukuli tanpa berniat menghentikan suaminya.
“Bagaimana kamu akan menyusul jejak kakakmu jika kelakuanmu macam berandalan jalanan, ha?!”
Bugh
“Cukup! Aku mau menikah!” Celetuk Adip seketika menghentikan pukulan ayahnya.
Adip terduduk di bangku tunggu rumah sakit. Wajahnya pucat pasi, napasnya memburu, keringat dingin mengalir dari pelipis. Di dalam sana, Lila sedang berjuang melawan maut. Dan ia? Ia harus berjuang melawan waktu dan kenyataan.“Harus ada biaya untuk operasi,” suara dokter tadi terus terngiang-ngiang di telinganya.Jumlahnya tak sedikit. Adip tahu, bahkan seandainya ia menjual motornya pun, tetap tak akan cukup.“Gue cari di mana duit sebanyak itu?” Tanpa pikir panjang, Adip menghubungi semua temannya. Ia mengirim pesan ke grup, satu per satu nama ia telepon untuk meminta, memohon, bahkan mengemis. Tapi jawabannya sama … “Sorry, Dip, gue lagi nggak ada.” Ya, kebanyakan sedang tak ada uang. Beberapa hanya bisa memberi seratus, atau dua ratus ribu. Tak cukup bahkan untuk biaya pendaftaran operasi.Ia mencoba ke rumah Galang, sahabat atau mantan pacar Lila yang dulu pernah ia tikung. Tapi Galang hanya menggeleng di ujung telepon. “Gue nggak bisa bantu, Dip. Maaf banget.”“Lang, tolong,
Motor itu meluncur ke tepi jalan dan menghantam semak-semak sebelum akhirnya terguling dengan keras. Suara benturan terdengar nyaring, membuat beberapa warga yang kebetulan berada di sekitar area itu segera berlari ke lokasi kejadian. Lila terkapar tak bergerak di tanah, tubuhnya penuh luka dan darah mengalir dari pelipisnya. Napasnya lemah, hampir tak terdengar. Dia pun tak bisa melihat langit dengan jelas sebab pandangannya kabur.Sementara Salma terbaring beberapa meter darinya, hanya dengan beberapa luka gores di lengan dan kakinya. Ia meringis kesakitan, tapi kesadarannya tetap penuh. “Cepat, angkat mereka ke mobil! Kita bawa ke rumah sakit!” teriak seorang pria paruh baya yang segera mengkoordinasi warga untuk membantu. Dalam waktu singkat, Lila dan Salma dibawa ke rumah sakit terdekat. Sirene ambulans meraung di udara, menyuarakan urgensi situasi. Salma duduk diam di atas tandu, tangannya yang terluka diikat perban seadanya. Sesekali, matanya melirik ke arah Lila yang t
Adip diikuti Lila sama-sama menoleh ke arah suara itu. Galang berdiri beberapa meter dari mereka dengan tatapan membara, napasnya memburu seperti baru saja berlari dikejar anjing.“Galang?” ucap kedua remaja itu bersamaan.“Lo nggak paham bahasa manusia, ya, Dip? Gue bilang jauhin Lila!” bentak Galang, langkahnya semakin mendekat.“Lo juga, La! Jadi cewek murahan banget. Bisa-bisanya Lo mau di ewe gratisan! Najis!”“Jaga, ya, mulut Lo!” Gertak Lila. Namun Galang hanya mendengus sinis, menatap Lila dengan pandangan jijik.“Sahabat macam apa Lo, Dip? Lo nusuk gue dari belakang tau nggak!”Adip yang dari tadi masih diam, mulai bangkit dari tempat duduknya, menatap Galang dengan senyum miring penuh ejekan. “Kenapa? Kalian mantan, jadi nggak ada alasan buat gue deketin Lila.”“Lo pikir ini lucu, hah? Video mesum kalian kesebar, lo bikin hidup Lila berantakan. Nggak tau malu emang ya lo?” Galang tak menunggu jawaban. Dia langsung melayangkan tinjunya ke wajah Adip.Adip terhuyung ke belakan
Hari berikutnya, Lila berusaha menjalani rutinitas seperti biasa meski hatinya masih berat. Galang? Tentu saja cowok itu masih mengejarnya, tapi Lila mengabaikan segala perkataan Galang yang terus meminta dirinya untuk kembali.Dengan wajah yang sengaja ditampilkan setenang mungkin, dia melangkah masuk ke sekolah. Namun, begitu melewati gerbang, bisik-bisik dan tatapan aneh langsung menyergapnya. “Eh, itu Lila kan?” “Iya, yang ada di video itu, kan?” "Iyyuuuh, jijik banget nggak sih? anak bikin anak!"“Parah banget sih... pantes Adip sama Galang tengkar, ternyata ini toh penyebabnya? Di rumah pohon lagi.” Lila menghentikan langkahnya, bingung dengan gumaman murid-murid yang semakin jelas mengarah padanya. Tatapan mereka membuat tubuhnya terasa kaku, jantungnya berdegup kencang. Apa yang sebenarnya terjadi? pikirnya panik. Dia mencoba mengabaikan semua itu dan terus berjalan ke kelas. Tapi suasana yang lebih buruk menantinya di sana. Begitu masuk, semua mata tertuju padanya.
“A-apa?” Galang perlahan melonggarkan cekalan tangannya, lalu mengalihkan tubuhnya untuk duduk di tepi ranjang. Matanya menghindari tatapan Lila yang kini juga telah beranjak duduk tepat di hadapannya. Senyap menyelimuti ruangan, hanya suara napas mereka yang terdengar. Lila menatap Galang dengan sorot mata yang sulit ditebak. Penasaran, kepastian dan sesuatu yang lain yang tak terdefinisi. “Galang...” Lila menggenggam lembut tangan Galang. “Apa benar... kamu pernah suka sama Adip—bukan... bukan suka sebagai sahabat. Tapi... dalam arti yang lain.” Kata-kata itu menggantung di udara, mulut Lila seakan tak mau mengatakan hal keji tersebut. Galang menaikkan sebelah alisnya, cowok itu malah terkekeh sinis, membuat Lila bingung dibuatnya. Namun dalam hati dia berkata, “Sialan Adip. Ternyata dia ngadu sama Lila.” “Kamu percaya aku kek gitu?” tanya Galang, cowok itu menatap Lila dengan intens. Lila menunduk dengan bibir terkatup rapat. Sebetulnya Lila ingin tak percaya, tapi
Pagi harinya saat mentari belum terlalu tinggi Adip mengerjap. Dia mengusap matanya, menghilangkan sisa kantuk yang melanda. Namun, saat matanya terbuka dia tidak menemukan Lila di mana pun.“Lila!” Tidak ada jawaban, bergegas Adip mencari keberadaan Lila di sekitar, tapi tetap tidak menemukan gadis itu.“Kemana dia?” gumamnya dengan suara serak khas bangun tidur.Sementara itu, di tempat lain, Lila yang sedang dicari-cari oleh Adip ternyata berada di rumah Galang. Ia sedang sibuk membereskan barang-barangnya yang tersisa di sana. Wajahnya terlihat datar, meskipun ada kilatan emosi yang sulit ditebak di matanya. Galang, yang berdiri di sudut ruangan, hanya mengamati tanpa berkata apa-apa. Suasana di antara mereka sangat canggung. Ada banyak hal yang ingin dikatakan, tetapi terhalang oleh sesuatu yang lebih besar dari kata-kata. “Lila.” Galang mendekat dan menahan gerakan tangan Lila yang sedang memasukkan baju-bajunya ke dalam tas. “Kita perlu bicara, jangan kayak gini.”Lila be