Tahun 2100, alam tak lagi ramah akibat tangan-tangan serakah yang menghisap habis kekayaan dan sumber daya bumi. Pemanasan global, kejahatan yang merajalela dan tingginya polusi udara membuat populasi manusia makin menurun.
Di tengah hiruk-pikuk dan carut-marutnya dunia, di daerah sekitar lintang khatulistiwa, seorang anak laki-laki kecil mengais tong sampah di belakang sebuah restoran. Sarung tangan woolnya sudah berlubang di sana-sini, namun dia tak peduli hingga dia menemukan apa yang dicari. Sebuah burger yang masih terlihat baru dan bersih, terselip di antara tumpukan sisa-sisa makanan. Diusapnya dengan penuh kasih sayang burger keju itu, lalu dimakannya lahap.
"Devon!" sebuah suara wanita yang sudah dihapalnya berteriak nyaring. Devon menoleh dan meringis.
"Maafkan aku, Bu! Aku lapar!" ujarnya memelas.
"Jangan ulangi lagi! Itu yang terakhir kalinya kau memakan makanan sisa! Mulai besok kita akan makan enak!" seru ibunya.
Mata hijau bocah kecil itu membulat. "Ibu, ibu sudah berhasil mendapatkan pekerjaan?" tanyanya antusias.
"Ya! Ibu sudah mendapat separuh gaji di muka! Kita bisa membeli cukup gandum untuk seminggu ke depan. Sekarang usap mulutmu dan bantu ibu mengirim barang pada pelanggan!" titah ibunya, tanpa senyum lembut khas seorang wanita.
Tanpa senyum lembut, tapi penuh cinta. Gelombang cintanya terpancar dari tatapan mata dan usapan halus di puncak kepala Devon. "Kau harus kuat! Tunjukkan pada ayahmu yang tak bertanggung jawab itu bahwa kita kuat dan bisa hidup tanpanya!" ujar wanita itu datar.
Dari kejauhan, dari balik jendela di lantai dua sebuah gedung kosong, seorang pria berwajah mirip bocah kecil yang berjalan riang bersama ibunya, sedang awas mengamati tingkah laku keduanya. Terdengar helaan napas berat dari laki-laki itu. "Maafkan aku, Violet! Semoga kau bisa membawa anak kita pergi jauh dari sini," gumamnya pelan.
"Tuan Anka Hadar, Ketua Ordo sudah menunggu kedatangan anda," tiba-tiba saja seorang laki-laki bersetelan hitam sudah berada di belakang, menepuk bahunya pelan.
Pria dengan panggilan Anka Hadar itu menoleh dan mengangguk, "Orion sudah siap?"
"Siap lepas landas, Tuan," jawabnya penuh hormat sembari membungkukkan punggungnya.
Anka Hadar kembali mengangguk dan bergegas ke luar ruangan, menaiki tangga darurat hingga ke atap gedung. Orion, sebuah aerocar, mobil terbang paling mutakhir yang dirakit khusus untuk dirinya, mengawang gagah menunggu untuk ditunggangi.
Pria berpakaian necis itu memasuki kendaraannya dengan gagah. Sebelum menutup pintu, lelaki bersetelan hitam kembali mendekatinya dan mengatakan sesuatu, "Ketua Ordo berharap segala berkas kepindahan anda ke Antartika sudah selesai. Anda bisa langsung segera bekerja hari ini juga."
"Semua sudah beres! Aku sudah menghapus identitasku di wilayah ini, jika itu yang majikanmu maksud," tajam sorot mata Anka Hadar pada lawan bicaranya.
Anka Hadar menekan ibu jarinya pada alat pemindai yang terletak di samping pusat kemudi dan tak lama kemudian, pintu tertutup. Orion naik ke ketinggian dan melesat secepat kecepatan suara.
Pria yang tampak begitu tegas dan berwibawa itu mengarahkan pandangan ke luar jendela. Di bawah, tampak hamparan putih dataran es. Tak sampai setengah jam, dia tiba di wilayah kekuasaan Ordo Dark Shadows, Antartika. Orion kesayangannya, selain sanggup melaju dengan kecepatan suara, ia juga bisa melakukan gerak loop, yaitu gerak lompat dari satu ruang waktu menuju ruang waktu yang lain, semacam gerak teleportasi jarak dekat. Kini, semakin jauh ia dari belahan jiwanya, Violet dan anak laki- laki semata wayangnya, Devon.
Orion sudah menentukan titik pendaratan. Anka Hadar mengencangkan sabuk pengamannya sebelum goncangan sedikit kencang itu terjadi. Mobil terbang pintar itu mengeluarkan empat rodanya dari bawah bodi. Sedikit keras menjejakkan bannya di atas permukaan es. Segera, Anka mengubah Orion menjadi sistem kemudi darat. Dia melajukan aero car kesayangan lurus ke arah gunung es beberapa ratus meter di depan. Tepat di bawah kaki gunung, lampu depan Orion mengeluarkan cahaya merah, menembus lapisan salju yang menutupi gunung.
Salju itu perlahan menguap, dinding besi raksasa muncul dari baliknya. Lampu depan Orion kembali menyala, lalu satu ruas dinding bergerak ke atas, membuka jalan untuk Orion bergerak masuk. Dengan kecepatan sedang, Anka mengemudikan mobilnya memasuki salah satu dari sekian banyak deretan tabung raksasa berwarna biru transparan. Tabung itu berfungsi sebagai elevator untuk membawanya ke Restriction Hall. Sebuah ruangan besar rahasia yang menjadi pusat komando Ordo Dark Shadows.
Sesampainya di sana, para petinggi Ordo sudah bersiap menyambut Anka. Sepatu hitam mengkilap Anka menimbulkan bunyi saat bertemu dengan lantai titanium Hall. Puluhan pria berjas hitam berdiri membungkuk menyambut kedatangannya, berjejer rapi di sisi kiri dan kanan jalurnya berjalan.
Segala kharisma, ketegasan dan kekuatan diri terpancar dari tubuh tegapnya. Tak ada seorangpun di ruangan besar itu yang tak tersedot oleh aura seorang Anka Hadar, termasuk para tetua Ordo yang berjumlah lima orang yang sudah duduk melingkar di meja bundar.
"Hadar!" seru seorang tetua, bertubuh kurus, berkulit putih pucat dan keriput. Dia tampak memicingkan mata menangkap sosok Anka yang berdiri beberapa meter di depannya. Bola mata tetua itu berwarna putih keseluruhan, seakan tak memiliki iris.
"Kesalahanmu begitu fatal. Kami sudah akan membunuhmu dan keluargamu kalau saja kami tak ingat kedudukan dan kekuatanmu di sini. Tapi, semua kejahatanmu yang tercatat di Buku Inti, akan kami hapuskan sampai habis tak tersisa jika kau berhasil menjalankan misi yang kami perintahkan padamu," ujar Tetua sembari mengelus jenggot tipisnya yang memutih dan meruncing.
"Apapun itu, Ketua! Saya siap," Hadar membungkukkan badannya sebagai tanda penghormatan.
"Bagus!" sang tetua kembali duduk. "Seperti yang kau tahu, Organisasi Black Emperors sedang bermasalah. Salah satu ordo diidentifikasi akan melakukan pemberontakan untuk menggulingkan kekuasaan Kaisar Agung. Adalah tugasmu, untuk menyelidiki ordo manakah yang berkhianat, sekaligus menghancurkan mereka. Tumpas segala sesuatu yang membahayakan kekuasaan sang Kaisar Agung!"
"Saya mengerti, Ketua! Saya akan menyelesaikan tugas ini dengan baik," jawab Anka seraya membungkukkan badannya lebih dalam lagi sebelum akhirnya berbalik meninggalkan markas rahasia yang sudah ia tinggalkan bertahun-tahun itu.
Tanpa sadar, wajah berwibawa itu menyeringai teringat kalimat yang sudah dilontarkan oleh tetua. Kejahatan? Satu-satunya kejahatan yang ia lakukan adalah jatuh cinta pada seorang rakyat biasa. Wanita cantik bernama Violet Caseia yang sudah mengubah hati hitamnya menjadi lebih berwarna, hingga melahirkan seorang bayi laki-laki yang begitu mirip dirinya.
Anka menghela napas panjang. Dia kembali teringat pada anak laki-lakinya yang akan memasuki usia 10 tahun bulan depan. Anak yang membawa kode rangkaian genetik spesial yang diturunkan olehnya sebagai ayah kandung. Rangkaian DNA yang berbeda dari manusia normal.
Siap atau tidak, kelak Devon akan menggantikan tempatnya. Anak yang teramat disayanginya itu akan mengalami nasib yang sama seperti dirinya, menyerahkan seluruh jiwa raga untuk patuh seumur hidup pada Dark Shadows.
Bumi sudah kehilangan keindahannya. Yang tersisa hanyalah tanah-tanah gersang dan bukit-bukit tandus. Negara-negara besar dan kecil, negara kaya dan miskin, negara superpower dan berkembang, semuanya sudah runtuh. Bahkan istilah negara sudah lama hilang dari peradaban. Tak ada lagi sekat-sekat bangsa dan negeri. Dunia sudah tidak terbagi menjadi ratusan negara. Semua sistem berganti menjadi satu kepemimpinan terpusat yang dikendalikan oleh organisasi raksasa yang mewakili seluruh ras manusia. Organisasi itu bernama The Black Emperors yang dipimpin langsung oleh Sang Kaisar Agung.Sosok Kaisar Agung yang menjadi misteri, tak begitu dipertanyakan oleh penduduk bumi yang sudah lelah bergelut dengan asa setiap harinya. Kehidupan begitu keras hanya untuk mencari sesuap nasi, sehingga tak ada lagi waktu untuk memikirkan hal lain.Anka Hadar yang salah satu tugasnya adalah menjadi penghubung antar tiap ordo kepada Kaisar, juga tidak pernah melihat wajah itu secara langs
Langit temaram, siang sudah mulai menghilang dan akan segera berganti malam. Violet berjalan lunglai sambil sesekali memijit bahunya. Another ordinary day. Tubuhnya serasa remuk setelah bekerja seharian di dua tempat; sebuah restoran Cina dan perusahaan pengantar barang. Melewati rute biasa, jalan setapak di tengah taman kota, cukup membuat suasana hatinya kembali segar. Melihat dedaunan hijau dan lapangan rumput yang luas adalah kemewahan, mengingat tumbuhan dan segala macam hijau-hijauan adalah hal yang langka akhir- akhir ini. Golden Swan, wilayah yang Violet tempati sekarang merupakan satu- satunya wilayah Ordo yang masih 'hijau', dimana masih banyak hutan, tanaman serta fauna yang hidup di daerah ini. Hanya di Golden Swan, segala flora bisa tumbuh dan berkembang dengan baik. Sementara di wilayah lain, flora tidak bisa hidup. Itu adalah satu rahasia terbesar di abad ini.Kedamaian Violet sedikit terusik mendengar keramaian jauh di tengah padang rumput. Segerombolan anak m
Devon melihat ibunya rebah, tak bernyawa. Darah mengucur deras, sedangkan ia hanya terpaku, tak berbuat apa-apa. Segala yang terjadi terlalu cepat, membuatnya membeku, hilang akal. "Ibu?" hanya itu yang sanggup ia ucapkan.Segala bayangan kejadian dan waktu yang sudah ia lalui bersama ibunya, terlintas di kepala. Saat ia harus mengais tong sampah sambil menunggu ibunya pulang kerja. Saat tubuh kecilnya ikut membantu ibunya mengangkat puluhan paket yang lebih berat dari tubuhnya untuk diantarkan pada para pelanggan. Saat tawa lepas ibunya tatkala mendapatkan gaji yang seketika habis untuk membeli bahan makanan selama sebulan."Ibu?"Akal sehat Devon perlahan kembali. Dia berjongkok, mengangkat jasad ibunya. Dia letakkan di pangkuannya. Tak kehilangan asa, dia mencari-cari denyut nadi sang ibu, berharap ada sedikit tanda kehidupan di sana. Namun, nihil. Ibunya sudah tiada. Hanya raga, tanpa jiwa.Segenap amarah tersedot masuk ke dalam dada
Devon memicingkan matanya. Lampu terang itu berada tepat di atasnya. Dia menoleh ke samping kanan dan menyadari bahwa dia kini tergeletak di sebuah ranjang besi. Tangannya terikat oleh rantai yang ditautkan di sisi ranjang. Devon berusaha menarik rantai itu agar terburai, namun gagal. Kekuatannya seakan menghilang. Tubuhnya melemah. Entah apa yang terjadi dengan dirinya. "De..von," rintihan suara itu terdengar lirih. Pemuda itu memiringkan kepalanya ke kanan. Dilihatnya seorang pria yang sudah tak asing lagi. Mata hijau dan wajah yang begitu mirip dengannya. "A-ayah?" bisiknya. Pria tua itu berbaring dengan posisi tak jauh beda dari Devon. Ranjangnya bersisian dengan ranjang Devon. Hanya saja tangan pria itu tak terikat. "Pembunuh," ucap Devon pelan. "Kau pembunuh!" "A-pa maksudmu?" Anka Hadar tak mengerti. "Kau bunuh ibuku! Kau suruh para Shepherd itu untuk membunuh ibuku!" Devon mulai terisak. Kegagahan dan kegarangannya menguap begitu saja. Mata Anka membola. Dia menggeleng-
Devon melihat dengan mata kepalanya saat seseorang yang dia ingat sebagai ayah kandung, yang dulu meninggalkannya begitu saja saat dirinya masih sangat membutuhkan sosok dan perlindungan dari sang ayah, terjatuh dan menggelepar kesakitan bagaikan ikan tanpa air. Dia tak bisa berbuat apapun, kekuatannya menghilang tiba-tiba. "Ayah, bertahanlah!" serunya.Anka perlahan terdiam, terbujur kaku di lantai. Kulitnya mengeriput begitu saja. Seakan ada kekuatan yang menghisap cairan tubuhnya. Devon tak pernah melihat hal semacam itu sebelumnya. Tak sengaja, ekor matanya menangkap cincin yang melingkar di jari manis Devon. Mata ular di cincin itu mengeluarkan sinar putih, makin lama makin terang. Sinar itu kemudian membentuk gelombang dan memancar keluar. Pancaran gelombang itu merambat menyelimuti seluruh tubuh Devon, merasuk ke seluruh pori-pori tubuhnya.Devon merasakan kekuatannya mulai kembali. Rantai besi yang melilit pergelangan tangannya, mampu ia patahkan dengan mudah.
Semilir angin berhembus menerpa rambut pirangnya, memaksa ia agar segera terjaga. Devon memicingkan mata dan mengerjap. Posisi tubuhnya tertelungkup, hanya mengenakan celana katun berwarna putih dan bertelanjang dada. Dia terbangun, mengangkat badannya dan melihat dirinya berada di atas ranjang mewah yang sering ia lihat di saluran televisi kabel berbayar di apartemen kumuhnya. Sebuah smart bed futuristik yang didominasi warna silver yang selama ini hanya bisa ia idam-idamkan sembari memelototi layar televisi. Ranjang yang bisa mendeteksi detak jantung, tekanan darah dan tingkat kecemasan pemakainya. Terdapat banyak tombol di sisi kiri dan kanan ranjang dan sebuah layar hologram di atas kepala ranjang. Devon mencoba memencet sebuah tombol berwarna biru. Sebuah video muncul di layar hologram, menunjukkan apartemen kumuhnya, yang biasa ia tinggali bersama sang ibu. Dia memajukan badannya, ingin melihat lebih jelas. Ada gambar ibunya di situ, tersenyum manis ke arah Devon
Devon berjalan gagah dengan baju kebesarannya, meskipun menurutnya baju yang dipakainya kini sangat ketinggalan jaman dan sama sekali bukan tipenya. Serba hitam, warna yang dibencinya, mengingatkannya akan kegelapan, hening dan kesepian.Dalam langkahnya yang pelan dan teratur memasuki Main Hall, ruangan luas yang didominasi oleh tembok perak dan besi, lantainya terbuat dari berlian murni, tahan gempa dan tahan getaran, sorot matanya tertuju pada para Tetua yang mengikuti tiap geraknya. Tersungging senyum sinis dari bibir Devon. Sebentar lagi, dia akan mendekati para Tetua dan membuat perhitungan dengan mereka. Lengan Devon terayun ringan. Dia sama sekali tak mau bersikap formal.Tanpa ia sadari, cincin bermata ular yang melingkar di jarinya sejak seorang Shepherd memakaikan padanya di hari ibunya terbunuh itu mengeluarkan secercah sinar putih.Para Shepherd kemudian mengarahkan Devon menuju kursi singgasana berwarna hitam metalik yang sudah disiapkan untuk peno
Beberapa kali Devon menguap mengikuti prosesi penobatan dirinya yang terlalu memakan waktu. Para Shepherd mengelilingi singgasananya sembari merapalkan mantra. Sementara para Tetua mengangkat tangannya ke udara sambil bergandengan. Lantai Ruang Utama yang berwarna kristal, tiba-tiba berubah gelap. Atap gedung terbuka perlahan memperlihatkan langit pagi yang cerah tanpa awan. Adalah suatu keajaiban di wilayah kutub untuk melihat langit berwarna biru. Biasanya, hanya ada awan dan kabut disertai semburat aurora."Alam menyambutmu, Devon," ujar salah seorang Tetua.Devon yang sedari tadi duduk diam seraya memegang pedang, hanya tersenyum sinis menanggapi."Setelah ini, kau bisa menuju Atlanta. Kau bisa segera menempati istana Black Emperors yang beberapa waktu ini tak berpenghuni," lanjut seorang Tetua.Devon termangu sesaat. Ditatapnya pedang yang kini berwarna keperakan. Wajah tampannya memantul di sana. Entah bisikan dari mana, Devon mengangkat pedan