19 Juni 1999
"APA?! KAMU HAMIL?!"
Seketika tangan besar nan kasar itu mendarat di pipi gadis itu yang serta merta tertoleh ke samping. Panas dan perih terasa menjalar di rahangnya. Matanya terpejam menahan sakit.
"Jadi perempuan nggak bisa jaga diri. Bikin malu saja!"
Gadis itu kini hanya bisa menangis mendengar kata-kata kasar yang menghinanya.
"Jaga emosimu, Pa, jangan kasar begitu, bagaimana pun dia cucu kita." Seorang wanita paruh baya memeluk cucu perempuannya yang menangis di kursi.
Gadis itu baru saja mengadukan kepada kakek dan neneknya kalau dia tengah mengandung sudah lima Minggu. Di luar dugaannya, bukannya mendapat keadilan seperti yang diharapkan, kakeknya justru marah besar.
Pria paruh baya itu lalu menatap lekat cucunya yang masih menangis terisak di pelukan sang nenek, "katakan siapa bapaknya?"
Takut-takut gadis itu menjawab. "Mas Bagaskara."
Kakeknya terkejut bukan main mendengar nama yang keluar dari mulut cucunya. Nenek Karla yang sedang memeluknya ikut syok.
"Aku akan menyuruhnya untuk bertanggung jawab," ucap kakeknya mantap.
***
"Tidak, Ma! Mas Bagas itu milikku! Dia harus menikah denganku, bukan dengan Leyla. Aku tidak sudi jika Mas Bagas harus menikah dengan perempuan lain! Apalagi dengan Leyla!"
Kabar yang baru disampaikan oleh ibunya, Karla, secara tiba-tiba membuat Rista serasa bagai disambar petir di siang bolong. Wanita itu tentu tidak menyetujui jika kekasihnya, Bagaskara, harus menikahi keponakannya sendiri.
"Tapi Bagaskara itu sudah menghamili Leyla dan dia harus bertanggungjawab atas perbuatannya. Apa kamu tega melihat Leyla harus menanggung semuanya sendiri? Apa kamu tega jika orang-orang tahu dia hamil tanpa suami ketika perutnya makin membesar nanti? Ini semua juga demi menutupi aib kita, Rista."
Karla berusaha memberi pengertian pada anaknya. Sejak awal Karla sudah tahu bahwa ini adalah keputusan yang sulit, terutama bagi Rista. Karena Bagaskara adalah kekasihnya. Mereka telah menjalin hubungan sejak lama dan berencana akan naik ke jenjang yang lebih serius.
Karla awalnya juga sempat bimbang. Leyla dan Rista, cucu pertama dan anak bungsunya, dua gadis yang sama-sama beliau sayangi. Tapi kali ini dia harus memenangkan Leyla, cucunya, karena yang terpenting saat ini adalah menutupi aib Leyla, juga aib keluarganya.
Rista menggeleng. Apa pun alasannya dia tidak setuju.
"Kalau masalah kandungan tinggal gugurkan saja kandungannya. Atau kalau Mama kekeh menikahkan Leyla cari laki-laki lain yang mau menerimanya. Asal jangan Bagas!"
"Tapi Bagas adalah ayah biologis dari anak itu!"
"Ya sudah kalau begitu gugurkan saja kandungannya!" Rista bersikeras.
"Astagfirullahal'adzim ...." Karla mengusap dada. Tidak menyangka dengan sikap putri bungsunya yang sangat dia sayangi.
"Kalau Mama dan Papa tetap bersikeras menikahkan mereka sedangkan kalian tahu Mas Bagas itu adalah kekasihku, berarti kalian egois, kalian tidak memikirkan perasaanku, yang kalian pikirkan hanyalah perasaan Leyla!" Rista berdiri dan berlari masuk ke kamar.
Rista sebenarnya sungguh sakit hati dan kecewa dengan apa yang sudah Bagas perbuat. Dia tak menyangka selama ini Bagas selingkuh di belakangnya dan lebih parahnya Bagas selingkuh dengan keponakannya yang dia benci. Rasanya dia tak ingin menerima Bagas lagi. Namun, keinginannya untuk menikahi pria konglomerat itu lebih kuat dari apa pun. Dan dia tak ingin jika Leyla yang harus memiliki semua yang dia inginkan pada akhirnya.
Rista mengepalkan tangannya, geram. "Kurang ajar! Aku harus lakukan sesuatu!"
***
Bulan demi bulan berganti. Dan perut Leyla semakin membuncit. Keluarganya sudah meminta Leyla untuk menggugurkan kandungannya saja jika Bagas tidak mau menikahinya, tapi Leyla tidak mau dan tetap memilih membesarkan kandungannya sampai dia melahirkan nanti.
Keluarganya juga sempat marah besar ke Bagas atas apa yang sudah dia perbuat ke Leyla. Namun, Rista mati-matian membela pacarnya. Dia memenangkan Bagaskara di hadapan keluarganya dan menyudutkan Leyla. Katanya, Bagaskara pasti tidak sengaja melakukan itu dan Bagas tidak bisa dipaksa menikahi Leyla karena Bagas tidak mencintai Leyla. Dia juga mengatakan pasti Leyla lah yang sudah menggoda Bagas lebih dulu. Bagas itu seumpama kucing dan Leyla adalah ikan. Dan kucing tidak akan menolak jika dilempari ikan. Rista sudah bertekad akan melakukan apa pun sampai dia bisa menikahi pria konglomerat itu.
Alhasil, demi menutupi aib keluarga, Leyla diusir dari rumah. Nenek Karla pun tidak bisa menolongnya karena itu keputusan kakeknya.
"Tolong aku, Ma, jangan usir aku, ampuni aku. Aku tahu aku salah tapi jangan usir aku ...." Leyla bertekuk lutut pada Rina, ibunya. Masih mencoba mengharap sedikit belas kasih yang mungkin masih ada.
Leyla benar-benar menyesali perbuatannya. Dia hanya bisa berharap ibunya mau membelanya dan memenangkannya di hadapan keluarga besar. Namun, harapan itu sia-sia karena Rina pun tak memiliki daya untuk membela anaknya yang jelas-jelas telah bersalah. Dia teramat malu dengan apa yang sudah Leyla perbuat. Hatinya pun jadi benci terhadap anak pertamanya itu.
Dengan mata berkaca-kaca, Rina menendang anaknya yang bertekuk lutut itu hingga tubuh Leyla terduduk di halaman yang basah karena air hujan.
"Ini adalah risiko yang harus kamu terima atas perbuatanmu! Jangan pernah panggil saya Mama lagi karena saya bukan Mama kamu! Saya tidak punya anak tukang pembuat aib seperti kamu!" teriak Rina dengan teganya. Tak kuasa menahan kesedihannya melihat nasib anaknya itu, dia pun masuk ke dalam rumah dan menutup pintu, meninggalkan Leyla yang menangis sendiri.
Rista yang menyaksikan itu dari balik kaca jendela hanya tertawa dalam hati. Dia sangat mensyukuri atas apa yang menimpa keponakannya itu. Dia memang tidak menyukai keponakannya yang selalu merebut haknya sejak kecil. Dan dia senang karena akhirnya keponakan yang tidak dia sukai hengkang dari rumah ini. Dan setelah itu hidupnya bebas tidak ada lagi yang mengganggu hubungannya dengan Bagaskara.
Malam itu, di tengah hujan deras dan kilat yang sesekali menyambar, Leyla berjalan tertatih membawa perutnya yang buncit. Pasrah ke mana kaki akan membawanya.
***
18 Maret 2000
"Anak kamu sudah lahir. Semua biayanya sudah Mas Bagas lunasi jadi kamu tidak ada alasan lagi untuk menuntut," jelas Rista pada Leyla yang sedang menggendong bayinya begitu dia dan Bagas masuk ke ruangan di mana Leyla di rawat pasca melahirkan.
Leyla memandangi mereka berdua, lantas tersenyum tipis. Ada sepercik rasa syukur di hatinya karena akhirnya Bagas mau bertanggungjawab membiayainya lahiran. "Makasih."
"Dan ini sejumlah uang untuk penghidupan kamu dan anak kamu." Rista meletakkan amplop kuning dan tebal di samping Leyla. "Setelah ini kamu boleh pergi yang jauh dari hidup kami dan jangan ganggu Mas Bagas lagi, karena sebentar lagi aku dan Mas Bagas akan menikah," jelasnya lagi panjang lebar. Lantas menatap pria di sampingnya dengan tersenyum. "Iya, 'kan, Sayang?"
Dan kalimat itu membuat senyum di wajah Leyla memudar.
Bagas yang berdiri di sampingnya hanya mengangguk.
Menjelang kelahiran sang buah hati, Leyla kembali pada keluarganya untuk meminta pertanggungjawaban Bagas. Keluarganya waktu itu sudah memaafkan Leyla dan meminta menyelesaikan masalah itu secara kekeluargaan saja.
Leyla meminta Bagas membiayai semua kebutuhan anaknya sampai dia besar nanti, termasuk biaya melahirkan di rumah sakit. Kalau tidak, Leyla nekat akan melaporkan Bagas ke pihak polisi atas tuduhan menelantarkan anak.
Namun, Rista punya usul lebih bagus waktu itu. Dia meminta kalau sebaiknya bayi itu nanti mereka saja yang rawat dan besarkan. Rista juga berjanji akan membesarkan anak itu dengan penuh kasih sayang serta di sekolahkan hingga sukses layaknya anak sendiri. Jadi Leyla tidak perlu memikirkan biaya anak itu lagi. Namun, Leyla menolak keras usul itu.
Karena Leyla tidak mau menyerahkan bayinya, Bagas hanya akan membiayainya lahiran dan menafkahi anak itu sampai satu tahun ke depan. Leyla pun setuju dengan kesepakatan itu, tapi Rista tetap meminta Leyla untuk memikirkan tawarannya lagi baik-baik atau Leyla akan menyesal di kemudian hari.
Rista kembali menatap Leyla. "Bagaimana dengan tawaran itu, Leyla? Aku harap kamu bisa berpikir realistis dan tidak egois. Demi masa depan anakmu."
Leyla menggeleng. "Aku tidak yakin kalian akan merawatnya dengan baik. Dia putriku, kalian tidak boleh memisahkan kami,"
"Apakah kamu pikir, membiarkannya hidup denganmu, hidupnya akan terjamin? Bagaimana dengan masa depannya? Sekolahnya? Apa kamu sanggup membiayai sekolahnya?" Jeda sejenak. "Kalau bayi itu besar di bawah asuhan kami, dia pasti akan mendapatkan penghidupan yang layak, sekolah yang tinggi dan jadi orang sukses. Aku dan Mas Bagas akan merawatnya.
"Kamu harus percaya, aku akan menyayanginya seperti anak sendiri. Kamu tidak perlu khawatir. Dan kami tidak berniat memisahkanmu dengan anak itu. Kalau dia sudah dewasa dan sukses nanti, kamu boleh mengambilnya, Leyla. Kami hanya peduli dengan masa depan anak itu." Rista masih berusaha membujuk dan meyakini Leyla, tapi Leyla tetap tidak mau.
Wanita itu menggeleng tegas. "Aku pasti bisa menghidupi anakku sendiri!"
"Ya sudah, kalau kamu tidak mau," ucap Bagas pada Leyla. "Tapi jika terjadi sesuatu pada anak itu jangan salahkan kami. Dan aku minta anak ini tak boleh tahu siapa ayahnya."
Leyla menatap Bagas dengan raut terkejut, matanya mulai berkaca-kaca. Namun, sejenak kemudian dia mengangguk. Apa pun akan dia lakukan asalkan dia dan anaknya tidak dipisahkan.
"Karena kamu tidak mengizinkan aku merawat anak itu, maka izinkan aku memberinya nama. Aku harap kamu tidak melarangku kali ini."
Leyla menatap bayinya sejenak, lalu pelan dia menyerahkan bayi yang tengah tertidur itu pada Bagas. Bagas menerima bayi itu dengan perasaan terenyuh.
Ditatapnya bayinya yang tidur dengan mata terpejam sangat rapat. Bayi itu cantik, lucu, kulitnya putih merona, meski pun masih bayi sudah terlihat jelas dia memiliki hidung yang mancung. Jauh dalam lubuk hatinya dia sangat ingin memiliki bayi itu. "Aku kasih dia nama Alena," ucapnya sambil tersenyum. "Halo, Alena."
Setelah cukup lama menggendong bayi itu, akhirnya dengan berat hati, Bagas melepas bayi itu, mengembalikannya ke ibunya. Dan setelah itu, Bagas dan Rista pamit pulang.
"Sudah cukup mereka membuatku menderita. Aku tidak mau mereka menambah penderitaanku dengan mengambil bayiku." Leyla berbicara sendiri. Lantas menunduk, memandangi bayinya yang masih tidur. Leyla tersenyum. "Ibu tidak akan biarin ada orang lain rebut kamu dari Ibu," bisiknya.
Halo, Readers, terima kasih sudah mampir ke cerita aku. Baca terus kelanjutan kisah Alena, ya. Insya Allah bagus kok ceritanya, hihi. Kalau kalian suka cerita ini boleh share ke teman2 kalian. Oh iya, cerita ini update setiap hari, Gaes. Perharinya ada 4 bab. Yaitu jam 3 subuh, jam 9 pagi, jam 3 sore dan jam 9 malam. Tungguin ya!
18 Tahun Kemudian. "Jadi, Pak, saya di sini bekerja sebagai Cleaning Service?" Raut wajah Alena seketika berubah kala pria dihadapannya mengatakan kalau dia terima di sini sebagai Cleaning Service. Tatakala dia dipanggil untuk datang ke perusahaan yang dimasuki surat lamaran kerja, dia pikir akan diterima dengan posisi yang bagus. Namun, ternyata ekspektasinya terlalu tinggi. Perasaan senang yang tadi dia rasakan seketika lenyap. Dan dia bertanya kembali untuk memastikan. "Benar, Mbak. Bagaimana? Apakah Mbak terima?" Perubahan raut wajah Alena tentu terbaca oleh pria itu. "Saya terima, Pak," jawab Alena akhirnya. Meski awalnya dia sedikit kecewa karena fakta tidak sesuai dengan keinginannya, dia tetap menerima pekerjaan itu. Karena yang penting dia punya pekerjaan dan penghasilan sendiri setelah selama ini dia bersusah payah mencari pekerjaan ke sana ke mari. "Bagus kalau begitu. Tugas Mbak di sini adalah bertanggungjawab untuk kebersihan seluruh area kantor ini dan kerjakan deng
"Sebenarnya ... Ibu bohong ... tentang Ayah kamu selama ini." Dengan susah payah, Leyla menuntaskan kalimatnya. Suaranya terdengar semakin melemah. "Ayah kamu ... nggak meninggalkan Ibu. Dia ada ... di dekat kamu." "Bohong gimana, Bu?" Pikiran Alena mulai berspekulasi. "Ayah kamu nggak meninggalkan Ibu seperti yang pernah Ibu ceritakan. Ayah sama Ibu nggak pernah menikah." Alena tertegun. Jadi ibu dan ayah tidak pernah menikah? Itu artinya ibunya hamil di luar nikah dan dirinya adalah anak haram? "Kenapa bisa, Bu? Jadi siapa sebenarnya Ayah aku?" Mata Leyla yang sedari tadi menatap Alena, beralih menatap langit-langit ruangan bercat putih bersih. "Ayah kamu adalah orang yang selama ini kamu anggap sebagai Kakek kamu. Bagaskara." Alena lebih syok lagi. Kakek Bagaskara? Bukannya kakek Bagaskara itu suami nenek Rista, adik dari neneknya? Bagaimana bisa Bagaskara adalah ayahnya? Alena tak mengerti bagaimana semuanya bisa terjadi. "Ibu nggak bohong, 'kan, Bu?" Alena rasanya tak pe
Rumah kecil nan sederhana itu mendadak ramai oleh para tetangga yang melayat. Halaman rumah yang tak begitu luas di penuhi sandal jepit dan beberapa motor. Bendera kuning di mana-mana. Sayup-sayup suara bacaan Yasin terdengar. Menandakan penghuni rumah itu sedang berduka. Berdasarkan pernyataan dokter Leyla meninggal karena sel kanker yang tumbuh di paru-parunya telah menyebar dan merusak ke bagian tubuhnya yang lain. Kali pertama mendengar itu Alena begitu syok. Pasalnya selama ini dia tidak tahu kalau ibunya ternyata menderita penyakit mematikan. Selama ini ibunya menyembunyikan penyakit itu darinya. Alena sangat terpukul menyesali semua yang terjadi. Seandainya dia mengetahui hal itu dan ibunya segera ditangani mungkin keadaannya tidak seperti ini. Mungkin ibunya tidak akan meninggal secepat ini. Karena dia akan melakukan apa pun agar dia punya uang untuk berobat ibunya sampai sembuh. Dan kini penyesalan itu tiada arti. Di tengah rumah, Alena menangis histeris di depan jenazah s
"Anak haram, Alena anak haram." "Woi ada anak haram woi ada anak haram!" Begitu anak-anak komplek mengatainya setiap kali dia bergabung untuk main bersama mereka. Tak jarang Alena di jauhi oleh teman-teman sebayanya di komplek karena julukan yang melekat pada dirinya yang dia sendiri masih belum mengerti apa sebabnya. Kadang Alena menjawab. "Aku bukan anak haram!" Lalu salah satu anak komplek menjawab. "Tapi kata Mama aku, kamu anak haram. Buktinya Bapak kamu nggak ada." "Iya, aku nggak pernah lihat Bapak kamu di rumah kamu. Kamu aja nggak tahu 'kan Bapak kamu siapa dan di mana? Itu artinya kamu memang anak haram yang bapaknya nggak jelas!" sahut anak yang lainnya. "Aku tahu. Kata Ibu aku, Bapak aku sibuk kerja di luar negeri," jawab Alena. "Bilang aja Bapak kamu memang nggak ada. Nggak usah cari alasan sibuk kerja ke luar negeri segala!" balasnya lagi sambil tertawa hingga bahunya berguncang-guncang. Dan ketika Alena kalah debat sama mereka, ujung-ujungnya Alena menangis dan
"Farah!" Langkah Farah di ruang tamu terhenti. Alena berdiri di belakang gadis itu. "Maafin gue. Jangan marah, ya? Gue tadi cuman ... cuman." Alena tak melanjutkan ucapannya dan malah menangis. Membuat Farah menghadap ke arahnya. "Gue cuman nggak bisa makan. Gue sedih. Ibu gue udah nggak ada." Alena melanjutkan bicaranya dengan linangan air mata dan sesegukan. "Gue tahu," balas Farah yang masih terdengar agak emosi. "Gue ngerti perasaan lo. Tapi itu nggak bisa lo jadiin alasan untuk nggak makan. Lo tetap harus lanjutin hidup lo. Percuma juga lo bersikap kaya gini nggak akan bisa ngembaliin Ibu lo yang udah meninggal." "Gue sedih karena Ibu gue meninggal dalam keadaan belum bahagia. Dan gue yang nggak bisa berbuat apa-apa sekarang merasa jadi anak yang nggak berguna." Farah mendekat ke Alena. Merangkul gadis itu dengan perasaan kasihan, lalu mengajaknya duduk di kursi. "Iya, gue ngerti ...," ucap Farah lembut. Alena menatap Farah dengan air mata berlinang. "Lo nggak ngerti, Far.
Alena ingat waktu dia masih kecil, usianya masih lima tahunan. Ibunya sering mengajaknya berkunjung ke rumah nenek. Waktu itu dia dan ibunya masih tinggal di kontrakan yang lama yaitu di Karawang sebelum akhirnya ibunya membawanya pindah ke Jakarta dan mengontrak di sini agar bisa dekat dengan nenek. Di usianya yang amat kecil, Alena sering menyaksikan pertengkaran ibu dengan kakek tirinya. Orang tua itu tak suka kalau ibunya berulang ke rumah nenek. Ada satu pertengkaran hebat yang membekas di ingatan Alena dan masih dia ingat sampai sekarang. Kurang lebih seperti ini; "Sudah berkali-kali aku peringatkan jangan pernah datang ke mari kalau tujuan kau cuman bawa masalah!" teriak kakek di depan ibunya yang tengah menggendong Alena. "Ibu kau tuh sudah tua. Jangan kau bebankan pikirannya dengan memikirkan masalah kau yang tidak ada ujung pangkalnya itu!" Konon, Leyla datang menemui orang tuanya tiap kali ada masalah, terutama masalah keuangan. Dan suami baru ibunya tidak suka itu. "Dia
Alena berusaha menghindarinya dengan mengalihkan wajahnya dan menahan dada orang tua itu dengan kedua tangan sekuat tenaga. Dia merasa takut luar biasa juga ingin menangis. Tapi kakeknya juga berusaha mencumbuinya. Alena terus berusaha memberontak, menampar, menendang tapi sia-sia, tenaganya tak lebih kuat dari tenaga orang tua itu. Masih berusaha memberontak, Alena melirik vas bunga yang ada di atas nakas dekat posisinya saat ini. Dia berusaha meraih vas bunga tersebut lalu menghantamkan ujungnya yang tajam ke kepala orang tua itu tanpa ampun. Orang tua itu berteriak kesakitan dan terbaring di tempat tidur. Tak menyia-nyiakan kesempatan, Alena bergegas bangun. Namun, orang tua itu masih bisa menarik lengan bajunya sampai kain di bagian bahunya terkoyak menimbulkan suara berderik dan menampakan bahu mulus gadis itu. "Mau ke mana kamu!" Alena mendorong pria tua itu sebelum akhirnya berlari menuju pintu, membukanya dan keluar dari kamar. Tak peduli dengan baju bagian bahunya yang so
Alena mengerjap-ngerjap kala dia tersadar dan mendapati dirinya terbaring di kursi dalam ruangan asing. Pelan, Alena bangun dan duduk di atas kursi kayu rotan itu. Dia mengedar pandang. Di mana dia sekarang? Alena pun teringat kejadian beberapa jam lalu. Terakhir kali dia ingin terjun ke sungai tapi tiba-tiba kepalanya pusing. Setelah itu dia tak ingat apa-apa lagi. Dan sekarang dia malah berada di sini. Apa mungkin dia sudah berada di alam yang berbeda? "Alhamdulillah, Nduk, kamu akhirnya sadar juga," Lamunan Alena tersadarkan oleh sebuah suara yang kental dengan logat Jawa. Seorang Nenek muncul sambil membawa segelas air putih. Nenek itu duduk di sampingnya yang masih sibuk bertanya-tanya. "Minum dulu, Nduk." Meski masih bingung, Alena menerima gelas kaca berisi air putih hangat dari tangan Nenek dan meneguknya hingga setengah. Setelah Alena selesai minum, orang tua itu meletakkan gelas kaca itu ke meja di samping kursi. "Tadi Mbah liat kamu pingsan di tepi jalan. Kata warga