18 Tahun Kemudian.
"Jadi, Pak, saya di sini bekerja sebagai Cleaning Service?"Raut wajah Alena seketika berubah kala pria dihadapannya mengatakan kalau dia terima di sini sebagai Cleaning Service. Tatakala dia dipanggil untuk datang ke perusahaan yang dimasuki surat lamaran kerja, dia pikir akan diterima dengan posisi yang bagus. Namun, ternyata ekspektasinya terlalu tinggi. Perasaan senang yang tadi dia rasakan seketika lenyap. Dan dia bertanya kembali untuk memastikan.
"Benar, Mbak. Bagaimana? Apakah Mbak terima?" Perubahan raut wajah Alena tentu terbaca oleh pria itu.
"Saya terima, Pak," jawab Alena akhirnya. Meski awalnya dia sedikit kecewa karena fakta tidak sesuai dengan keinginannya, dia tetap menerima pekerjaan itu. Karena yang penting dia punya pekerjaan dan penghasilan sendiri setelah selama ini dia bersusah payah mencari pekerjaan ke sana ke mari.
"Bagus kalau begitu. Tugas Mbak di sini adalah bertanggungjawab untuk kebersihan seluruh area kantor ini dan kerjakan dengan teliti," jelas pria berjas di hadapannya yang merupakan direktur di perusahaan ini.
"Baik, Pak. Jadi kapan saya mulai bekerja?"
"Di sini pakai sistem shift, seminggu masuk pagi dan pulang sore. Seminggu lagi masuk sore dan pulang malam. Begitu setiap minggunya," terang sang direktur. "Mulai besok kamu sudah boleh masuk. Besok pagi jam delapan kamu harus sudah ada di kantor dan pulang setengah empat sore," tambahnya.
"Baik, Pak."
"Oke."
"Kalau begitu saya permisi, ya, Pak. Terima kasih."
Pria itu mengangguk. Alena berdiri dan keluar dari ruangan tersebut.
Gadis itu mengehela napas lega seiring dengan langkahnya menuju keluar kantor. "Meskipun jadi CS nggak pa-pa, deh. Yang penting gue punya pekerjaan dan bisa bantuin Ibu memenuhi kebutuhan sehari-hari. Lagi pula gue cuman tamatan SMA. Seharusnya gue tahu diri. Ya, gue harus bersyukur." Perempuan itu lalu menengadah memandangi langit-langit kantor yang mewah, berdoa kepada penghuni langit. "Ya Allah makasih akhirnya hamba diterima bekerja dan hamba bakal punya penghasilan sendiri." Perempuan berusia delapan belas tahun itu lalu tersenyum dan mempercepat langkahnya keluar kantor. Tak sabar ingin cepat pulang ke rumah dan mengabari ibu tentang kabar gembira ini.
***"Stop, Pak." Alena mengetuk langit-langit angkot yang dia tumpangi kala kendaraan itu telah mendekati gang sempit di mana rumahnya berada. Angkot itu berhenti. Alena turun setelah membayar biaya angkot pada supirnya.Sepeninggal angkot, gadis itu melanjutkan perjalanannya memasuki gang sempit dengan berjalan kaki. Rumah kontrakan Alena berada di gang sempit. Yang mana gang itu hanya cukup dilewati dua motor yang berdampingan dengan rapat, tidak untuk mobil apalagi truk. Jalannya terbuat dari semen dan membentuk jalan setapak. Di sepanjang gang itu rumah-rumah kecil dan sederhana berjejer rapat.
"Assalamu'alaikum, Ibu!" Alena memanggil ibunya tatkala dia membuka pintu yang tidak dikunci. Gadis itu langsung masuk mencari ibunya. Namun, dia tak menemukan ibunya di rumah. Dia pun keheranan karena sebelum dia berangkat ke kantor tadi ibunya masih di rumah dan tidak ada rencana pergi ke mana-mana. Hari ini ibunya juga istirahat dari bekerja karena majikannya sekeluarga sedang ke luar kota.
"Ibu!" panggilnya lagi sambil masuk ke kamar, tapi ibunya juga tak ada di sana. "Apa Ibu main ke rumah tetangga?" gumamnya.
Alena pun keluar rumah. Bu Sari, tetangga sebelahnya yang tengah melayani pembeli nasi kuning menyadari keberadaan Alena. "Eh, Alena, tadi saya lihat Ibu kamu di bawa warga ke rumah sakit." Bu Sari langsung mengabarkan.
Alena syok. "Ibu masuk rumah sakit? Kok bisa?"
Bu Sari menggeleng. "Saya nggak tahu. Sebaiknya kamu segera susul ibumu ke rumah sakit."
Alena mengangguk. "Makasih, Bu, infonya."
"Iya."
Alena pun kembali mengunci pintunya. Dan segera menghubungi sahabatnya, Farah. "Farah lo lagi sibuk nggak? Tolongin antarin gue ke rumah sakit. Gue buru-buru, Ibu gue masuk rumah sakit," jelasnya begitu sambungan telepon diangkat lawan bicaranya. Wajah Alena terlihat panik.
"Ini gue baru pulang dari kampus. Gue langsung ke rumah lo, ya?"
"Iya, iya, gue tunggu di depan gang aja." Alena mematikan ponselnya dan memasukkannya ke saku jins. Buru-buru keluar gang menunggu jemputan Farah di depan.
***Setelah menanyai ruangan ibunya di rawat melalui resepsionis, Alena dan Farah berjalan tergesa di sepanjang lorong rumah sakit menuju ruang tempat ibunya dirawat. Perasaan Alena kian cemas. Tiap detik waktu terasa berjalan sangat lambat. Membuatnya kian cepat memacu langkah agar cepat mengetahui keadaan ibunya.Sesampainya di ruangan ibunya, Alena langsung menghampiri ibunya yang tampak terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Farah mengiringi Alena. Mereka berdua berdiri di sisi ranjang itu.
"Ibu ...." Alena membungkuk menatap ibunya dengan rasa khawatir yang menjadi. "Keadaan Ibu gimana? Kata dokter Ibu sakit apa? Kenapa bisa sampai masuk rumah sakit?" tanya Alena beruntun. Sementara Farah di samping Alena hanya diam memandang iba Leyla.
"Alena, Ibu mau cerita sesuatu sama kamu." Bukannya menjawab pertanyaan anaknya, Leyla malah bicara hal lain.
"Cerita apa, Bu?"
"Maafkan Ibu sebelumnya karena sudah merahasiakan ini dari kamu. Sekarang Ibu rasa sudah waktunya buat kamu tahu semuanya ...." Alena mengernyit. Perasaannya semakin tak nyaman. "Ini tentang ayah kandung kamu,"
Alena tertegun.
Ayah kandungnya?
Kenapa tiba-tiba ibunya membicarakan itu?
Bukankah selama ini ibu sudah menceritakan yang sebenarnya tentang itu?
Apakah selama ini ibu menyembunyikan sesuatu tentang ayah kandungnya?
Hmmm kira-kira rahasia apa ya yg disembunyiin ibu Alena? Pasti readers udh pada tahu kan? Kira2 gimana ya reaksi Alena?
"Sebenarnya ... Ibu bohong ... tentang Ayah kamu selama ini." Dengan susah payah, Leyla menuntaskan kalimatnya. Suaranya terdengar semakin melemah. "Ayah kamu ... nggak meninggalkan Ibu. Dia ada ... di dekat kamu." "Bohong gimana, Bu?" Pikiran Alena mulai berspekulasi. "Ayah kamu nggak meninggalkan Ibu seperti yang pernah Ibu ceritakan. Ayah sama Ibu nggak pernah menikah." Alena tertegun. Jadi ibu dan ayah tidak pernah menikah? Itu artinya ibunya hamil di luar nikah dan dirinya adalah anak haram? "Kenapa bisa, Bu? Jadi siapa sebenarnya Ayah aku?" Mata Leyla yang sedari tadi menatap Alena, beralih menatap langit-langit ruangan bercat putih bersih. "Ayah kamu adalah orang yang selama ini kamu anggap sebagai Kakek kamu. Bagaskara." Alena lebih syok lagi. Kakek Bagaskara? Bukannya kakek Bagaskara itu suami nenek Rista, adik dari neneknya? Bagaimana bisa Bagaskara adalah ayahnya? Alena tak mengerti bagaimana semuanya bisa terjadi. "Ibu nggak bohong, 'kan, Bu?" Alena rasanya tak pe
Rumah kecil nan sederhana itu mendadak ramai oleh para tetangga yang melayat. Halaman rumah yang tak begitu luas di penuhi sandal jepit dan beberapa motor. Bendera kuning di mana-mana. Sayup-sayup suara bacaan Yasin terdengar. Menandakan penghuni rumah itu sedang berduka. Berdasarkan pernyataan dokter Leyla meninggal karena sel kanker yang tumbuh di paru-parunya telah menyebar dan merusak ke bagian tubuhnya yang lain. Kali pertama mendengar itu Alena begitu syok. Pasalnya selama ini dia tidak tahu kalau ibunya ternyata menderita penyakit mematikan. Selama ini ibunya menyembunyikan penyakit itu darinya. Alena sangat terpukul menyesali semua yang terjadi. Seandainya dia mengetahui hal itu dan ibunya segera ditangani mungkin keadaannya tidak seperti ini. Mungkin ibunya tidak akan meninggal secepat ini. Karena dia akan melakukan apa pun agar dia punya uang untuk berobat ibunya sampai sembuh. Dan kini penyesalan itu tiada arti. Di tengah rumah, Alena menangis histeris di depan jenazah s
"Anak haram, Alena anak haram." "Woi ada anak haram woi ada anak haram!" Begitu anak-anak komplek mengatainya setiap kali dia bergabung untuk main bersama mereka. Tak jarang Alena di jauhi oleh teman-teman sebayanya di komplek karena julukan yang melekat pada dirinya yang dia sendiri masih belum mengerti apa sebabnya. Kadang Alena menjawab. "Aku bukan anak haram!" Lalu salah satu anak komplek menjawab. "Tapi kata Mama aku, kamu anak haram. Buktinya Bapak kamu nggak ada." "Iya, aku nggak pernah lihat Bapak kamu di rumah kamu. Kamu aja nggak tahu 'kan Bapak kamu siapa dan di mana? Itu artinya kamu memang anak haram yang bapaknya nggak jelas!" sahut anak yang lainnya. "Aku tahu. Kata Ibu aku, Bapak aku sibuk kerja di luar negeri," jawab Alena. "Bilang aja Bapak kamu memang nggak ada. Nggak usah cari alasan sibuk kerja ke luar negeri segala!" balasnya lagi sambil tertawa hingga bahunya berguncang-guncang. Dan ketika Alena kalah debat sama mereka, ujung-ujungnya Alena menangis dan
"Farah!" Langkah Farah di ruang tamu terhenti. Alena berdiri di belakang gadis itu. "Maafin gue. Jangan marah, ya? Gue tadi cuman ... cuman." Alena tak melanjutkan ucapannya dan malah menangis. Membuat Farah menghadap ke arahnya. "Gue cuman nggak bisa makan. Gue sedih. Ibu gue udah nggak ada." Alena melanjutkan bicaranya dengan linangan air mata dan sesegukan. "Gue tahu," balas Farah yang masih terdengar agak emosi. "Gue ngerti perasaan lo. Tapi itu nggak bisa lo jadiin alasan untuk nggak makan. Lo tetap harus lanjutin hidup lo. Percuma juga lo bersikap kaya gini nggak akan bisa ngembaliin Ibu lo yang udah meninggal." "Gue sedih karena Ibu gue meninggal dalam keadaan belum bahagia. Dan gue yang nggak bisa berbuat apa-apa sekarang merasa jadi anak yang nggak berguna." Farah mendekat ke Alena. Merangkul gadis itu dengan perasaan kasihan, lalu mengajaknya duduk di kursi. "Iya, gue ngerti ...," ucap Farah lembut. Alena menatap Farah dengan air mata berlinang. "Lo nggak ngerti, Far.
Alena ingat waktu dia masih kecil, usianya masih lima tahunan. Ibunya sering mengajaknya berkunjung ke rumah nenek. Waktu itu dia dan ibunya masih tinggal di kontrakan yang lama yaitu di Karawang sebelum akhirnya ibunya membawanya pindah ke Jakarta dan mengontrak di sini agar bisa dekat dengan nenek. Di usianya yang amat kecil, Alena sering menyaksikan pertengkaran ibu dengan kakek tirinya. Orang tua itu tak suka kalau ibunya berulang ke rumah nenek. Ada satu pertengkaran hebat yang membekas di ingatan Alena dan masih dia ingat sampai sekarang. Kurang lebih seperti ini; "Sudah berkali-kali aku peringatkan jangan pernah datang ke mari kalau tujuan kau cuman bawa masalah!" teriak kakek di depan ibunya yang tengah menggendong Alena. "Ibu kau tuh sudah tua. Jangan kau bebankan pikirannya dengan memikirkan masalah kau yang tidak ada ujung pangkalnya itu!" Konon, Leyla datang menemui orang tuanya tiap kali ada masalah, terutama masalah keuangan. Dan suami baru ibunya tidak suka itu. "Dia
Alena berusaha menghindarinya dengan mengalihkan wajahnya dan menahan dada orang tua itu dengan kedua tangan sekuat tenaga. Dia merasa takut luar biasa juga ingin menangis. Tapi kakeknya juga berusaha mencumbuinya. Alena terus berusaha memberontak, menampar, menendang tapi sia-sia, tenaganya tak lebih kuat dari tenaga orang tua itu. Masih berusaha memberontak, Alena melirik vas bunga yang ada di atas nakas dekat posisinya saat ini. Dia berusaha meraih vas bunga tersebut lalu menghantamkan ujungnya yang tajam ke kepala orang tua itu tanpa ampun. Orang tua itu berteriak kesakitan dan terbaring di tempat tidur. Tak menyia-nyiakan kesempatan, Alena bergegas bangun. Namun, orang tua itu masih bisa menarik lengan bajunya sampai kain di bagian bahunya terkoyak menimbulkan suara berderik dan menampakan bahu mulus gadis itu. "Mau ke mana kamu!" Alena mendorong pria tua itu sebelum akhirnya berlari menuju pintu, membukanya dan keluar dari kamar. Tak peduli dengan baju bagian bahunya yang so
Alena mengerjap-ngerjap kala dia tersadar dan mendapati dirinya terbaring di kursi dalam ruangan asing. Pelan, Alena bangun dan duduk di atas kursi kayu rotan itu. Dia mengedar pandang. Di mana dia sekarang? Alena pun teringat kejadian beberapa jam lalu. Terakhir kali dia ingin terjun ke sungai tapi tiba-tiba kepalanya pusing. Setelah itu dia tak ingat apa-apa lagi. Dan sekarang dia malah berada di sini. Apa mungkin dia sudah berada di alam yang berbeda? "Alhamdulillah, Nduk, kamu akhirnya sadar juga," Lamunan Alena tersadarkan oleh sebuah suara yang kental dengan logat Jawa. Seorang Nenek muncul sambil membawa segelas air putih. Nenek itu duduk di sampingnya yang masih sibuk bertanya-tanya. "Minum dulu, Nduk." Meski masih bingung, Alena menerima gelas kaca berisi air putih hangat dari tangan Nenek dan meneguknya hingga setengah. Setelah Alena selesai minum, orang tua itu meletakkan gelas kaca itu ke meja di samping kursi. "Tadi Mbah liat kamu pingsan di tepi jalan. Kata warga
18 Tahun yang lalu. Pagi itu Mbah Nani sedang sibuk menjalani rutinitasnya--menyapu halaman dengan sapu lidi--ketika tiba-tiba seorang wanita kenalannya datang ke rumahnya. "Assalamualaikum, Mbok Nani!"--Mbah Nani waktu masih muda dipanggil 'Mbok' oleh orang-orang. Mbah Nani yang tengah membungkuk itu pun menegakkan tubuhnya kala melihat tamu datang. "Waalaikumussalam, Asri, ono opo?" Mbah Nani juga melirik wanita mengenakan daster yang berdiri di samping Asri. Perut wanita itu buncit seperti orang hamil. "Tolong saya, Mbok ...." "Sebentar-sebentar." Mbah Nani mengangkat tangannya. "Kamu sepertinya pengin membicarakan babagan sing penting? Sebaiknya kita bicara di dalam rumah." Mbah Nani menyandarkan batang sapunya ke dinding rumah. Lalu berbalik badan masuk ke rumahnya. Asri memberi kode pada wanita di sampingnya untuk ikut masuk. "Maaf, Mbok, sebelumnya ...," ucap wanita bernama Asri itu ketika mereka duduk-duduk di sofa jati milik Mbok Nani. "Saya bawa perempuan hamil namanya