Jaket hoodie yang dipakai orang itu terbuka bagian atasnya, mata Dinar membulat melihat siapa yang sedang menarik lengannya. Tatapan mata mereka bertemu. Dua hati kembali bergetar karena kedekatan posisi mereka sekarang. Seketika Dinar teringat pesan Dirham tadi pagi. ‘Jangan muncul di hadapan ku lagi’ tapi lihat sekarang, bahkan belum juga sehari sudah bertemu lagi. Apa rencana mu, Tuhan?
“Aku antar pulang.” suara berat Dirham menyudahi tatapan itu.
“Aku masih bekerja, nggak bisa pergi gitu aja.”“Dia akan mempermalukan mu di dalam.”“Dia hanya emosi sesaat.” Dinar menarik paksa tangannya dari pegangan Dirham. “Kau tidak kenal siapa dia. Hubungi temanmu dan katakan kamu tidak enak badan.”“Tapi... ”“Lakukan Di, aku tidak suka ada keributan di tengah acara, dan di depanku. Memalukan!”Dinar mencari ponselnya di dalam saku celana.“Del, aku tidak enak badan, aku pulang dulu ya. Maaf banget tidak bisa membantumu sampai akhir acara,“Kamu kemana aja Di, aku sama Delia sampe muterin rumah besar itu tadi malam.” Edo langsung memberondong Dinar dengan pertanyaan-pertanyaan saat gadis itu baru hendak memakai apronnya di loker belakang.“Aku kaga enak badan, tapi kan sudah pamit bilang sama Delia.” Dinar mengikat tali apronnya di belakang pinggang.“Itu juga kami sudah puas nyariin kamu. Baru ada kejelasan. Naik apa? kan bisa ngasih tahu aku dulu biar aku antar pulang,”“Kasian Delia kalau ditinggal sendirian kerja, banyak banget tuh tamu. Lagian sekarang aku udah aman kok, santai aja,”“Kamu nggak tahu aku khawatir banget tadi malam.” Nada bicara Edo perlahan, seperti menyembunyikan sesuatu. “Udah ah, jangan dibahas lagi, thanks udah khawatirkan aku.” Dinar menepuk bahu Edo dan pergi meninggalkannya sendirian, semangat kerja pagi ini perlu dipertahankan. Dia sudah rindu dengan kerjanya, juga teman-teman yang baik dengan dia.Edo hanya termangu setelah kepergian Dinar.‘Kamu bis
Seperti tersambar petir, tubuh Dinar langsung tegang, dunianya terasa gelap, ia duduk tegak dan kaku di atas kursinya, dokter Vera tersenyum pada gadis muda itu.“Pasti anak pertama ya?, Jadi tegang seperti ini, ada keluhan apa?”Dinar tidak tahu harus menjawab apa, dia bingung, hamil? Ini tidak pernah terlintas di pikirannya sama sekali. Dia hamil anak Dirham, anak luar nikah. Wajah Dinar pucat lesu. “Ibu Dinar.”“Iya dok, maaf saya tidak menyangka saja, ini terlalu cepat.”“Ibu ada keluhan apa? kandungan Ibu sehat, kalau soal mual itu sudah biasa ya Bu, morning sickness. Bisa dikurangi dengan makan es krim, atau makan buah yang ibu sukai,” Dinar masih pucat dia tidak tahu harus menjawab apa dari pertanyaan dokter Vera.“Saya tidak merasa apapun dok, mungkin belum. Cuma pagi tadi waktu mau kerja, perut saya terasa mual banget.”“Itu perkara biasa saat awal kehamilan Bu, makan yang teratur ya Bu, yang bergizi, banyak sayur ataupun ik
Dinar menutup wajahnya dengan bantal, ia terbaring lemah di atas tempat tidurnya, pikirannya berkecamuk, 'Dirham Assegaff akan mengakhiri masa lajangnya dengan seorang model seksi bernama Julia' itu berita yang baru saja dibaca di online news. Ada rasa marah dan kecewa di hatinya, tidak ada perasaan sama sekali. Dinar bingung, kalau ia bertahan tinggal di Jakarta berarti ia harus siap untuk menjawab pertanyaan dari teman-temannya serta orang yang dikenalnya. Ia takut anaknya akan dipandang rendah dan dihina. Tapi kalau pergi jauh, maka ia harus mencari alasan yang tepat untuk resign dari Restoran Azhar, memberi sebab yang masuk akal untuk ia beri pada Bu Ambar, Om Doni juga Zaky. Lalu Delia dan Edo, pasti semua akan bertanya-tanya kenapa baru masuk kerja sudah resign lagi. Dinar menekan bantal itu makin kuat ke wajahnya, haruskah ia akhiri saja hidupnya sekarang? Nggak! Mati bukan akhir segalanya.Itu bukan jalan penyelesaian. Akhirnya Dinar tertidur karena
Dirham memasuki sebuah restoran mewah, pandangannya meliar mencari dimana meja papanya yang sedang dinner meeting bersama beberapa relasi bisnis yang akan membicarakan tentang kerjasama projek mereka di daerah Jawa timur. Projek besar yang memakan biaya milyaran rupiah, dia adalah salah satu orang yang ditunjuk oleh papanya untuk mewakili perusahaan AAD Group. Karena papanya harus memimpin perusahaan di kota ini.‘Itu dia,’ akhirnya dia melihat papanya sedang melambaikan tangan memberi tanda keberadaannya. Dengan langkah pasti Dirham mendekati meja yang sudah ditempati oleh beberapa orang yang terlibat dalam projek besar itu.“Selamat malam semua, maaf saya datang lambat kena macet tadi.”Dirham menyapa mereka semua, ada yang mengangguk faham ada yang hanya tersenyum ada juga yang menatap tajam seolah berkata dalam hati 'Ini rupanya anak kebanggaan Assegaff'.“Jakarta mana pernah tidak macet. Kecuali dini hari.” sahut Aldiano salah s
Pagi itu Dinar menyelesaikan semua urusannya sebelum dia pergi jauh meninggalkan kota Jakarta. pertama, ia menemui ibu kostnya, memberitahu kalau ia sudah tidak menyewa di sana lagi, setelah itu ia pergi ke Restoran Azhar untuk mengantar surat resign, tentu saja keputusan tiba-tiba itu pasti akan mengundang seribu tanda tanya dari para staf tempat dia bekerja, Edo apalagi, dia tidak bisa menerima surat resign itu awalnya, tapi keputusan Dinar sudah bulat dia tidak akan mundur dan menunda kepergiannya. Dinar mengacuhkan bujukan Edo. Zaky yang pagi itu sudah ada di restoran juga merasa kaget dengan keputusan Dinar, tapi dia tidak ada hak untuk menahan keputusan gadis itu, sementara tangis Delia tidak dapat dibendung, Delia bahkan sampai tidak mau berbicara dengan Dinar ketika sahabatnya itu baru menyuarakan niatnya, tapi Dinar memberinya janji akan selalu menghubungi ia nanti setelah tiba di rumahnya. Dalam benak Delia, dia yakin kalau sahabatnya itu ada masalah berat yang tid
Dinar meninggalkan mall dengan hati yang berkecamuk, entah kenapa setelah melihat kemesraan Dirham dan wanita seksi tadi hatinya jadi sakit, sedih. Apa mungkin itu cuma reflek perasaan seorang ibu untuk anaknya, sedangkan dari awal dia sudah bertekad untuk tidak lagi menemui lelaki itu, tidak mau masuk dalam dunianya yang nanti akan makin membuat dirinya terluka karena kebenciannya.Dinar ke mall tujuannya untuk membeli beberapa barang yang nantinya di butuhkan di tempat barunya, siapa sangka dia melihat Dirham sedang jalan dengan Julia, melihat Julia yang serba dengan kesempurnaan membuat Dinar merasa tidak percaya diri, rupanya seperti itulah selera seorang Dirham Assegaff, ayah dari anak dalam kandungannya. Anak yang tidak dikehendaki ayahnya, anak yang tidak disangka keberadaannya oleh dirinya sendiri.Dinar teringat isi obrolan Dirham dengan ibunya di telepon beberapa minggu lalu, lelaki itu belum siap untuk menjadi seorang ayah, itulah s
“Kamu pulang sama siapa, Nduk?” Pelukan erat yang sangat dirindukan selama ini masih belum dilepaskan, dekapan yang menjadi obat dari segala kesakitan yang dia alami selama berada jauh di tempat orang, inilah surganya, inilah tempat dia ingin tuju ketika dirinya dalam ketakutan. Pelukan hangat seorang ibu. “Ayo masuk dulu, ya Allah mimpi apa Ibuk tadi malam, kok pulang ndak ngabari to, Nduk.” “Dinar kangen Buk, kangen sama Ibuk dan Arfa, jadi mutusin pulang saja, sendiri aja kok Buk. Mau sama siapa memangnya.” Pelukan dileraikan, Dinar masih menggandeng lengan Kinanti erat, sifat manjanya akan keluar ketika dia sedang ingin menyalurkan rindunya. Kinanti membawa putrinya ke dapur, menyuruhnya duduk dan mengambilkan wedang ronde kesukaan Dinar juga bolu kering buatannya. “Kapan hari Ibuk ngimpi, Kowe moleh gowo jodoh. Diganjal dulu perutnya biar ndak sakit, kena angin malam di bus kan, takut masuk angin.”
Dinar yang tadinya tiduran di kasur kecil di depan televisi langsung duduk tegak menatap ibunya, sorot matanya gelisah tapi mulutnya masih diam. Gadis itu kembali menghadap kearah televisi yang entah tayang acara apa.Dia sudah tidak fokus pada acara yang di tonton sejak dia sadar ibunya sedari tadi mencuri pandang ke arahnya.“Jawab Ibuk, Di.” Kinanti berbicara agak tegas.“Maksud Ibuk apa? Aku nggak ngerti buk.”“Anak siapa yang ada di rahimmu?” suara Kinanti bergetar.“Ibuk ngomong apa?”“Jangan pikir Ibuk ini bodoh Ndak tau apa-apa. Jawab Ibuk, siapa lelaki itu?” Kinanti menarik lengan Dinar agar memandang kearahnya, putrinya itu dari tadi selalu mengelak jika mata mereka bertemu, dari situ Kinanti semakin yakin ada sesuatu yang tidak beres dengan putrinya.“Jawab Ibuk Di, jangan bilang dia tidak punya bapak. Ibuk selalu