Restoran DINARA, Minggu jam 11 pagi
Dinar memberi briefing kepada para staf yang berjumlah 20 orang lebih, ia dibantu oleh seorang manager yang akan membantunya mengurus restoran miliknya yang baru dibuka secara resmi satu bulan lalu.
Manager yang bernama Dimas dan supervisor bernama Isma.
Dinar hanya datang untuk melihat kondisi restoran saja, memastikan semua sesuai keinginannya. Dirham tidak tanggung-tanggung mengucurkan dana untuk bisnis baru yang dikelola oleh istri tercintanya.
Selesai memberi sedikit ucapan motivasi untuk para pekerjanya, Dinar memanggil Dimas dan Isma, dua orang penting yang harus memberinya laporan rutin mengenai restoran DINARA. Mereka sedang berada di ruangan pribadi Dinar.
“Wow, dua minggu tidak datang ke sini, semua berubah semakin bagus.”
Sebuah suara yang sangat dikenalnya membuat Dinar tersenyum malu-malu karena dipuji. Ia memberi kode pa
Mengandung konten 21+Rambut istrinya dikeringkan dengan hair dryer, rencana mandi hanya 15 menit, menjadi satu jam. Untung saja masih ada waktu untuk mereka melaksanakan kewajiban berjamaah. Dinar jadi kesal dibuatnya. Punya suami tidak sabaran kalau soal itu.“Manyun terus, biar tambah cantik. Ayo turun, Sayang. Sepertinya anak-anak sudah pulang.”Dirham meletakkan hair dryer kembali ke tempatnya.“Mas turun duluan, aku nyusul nanti.”Dinar mengambil jilbabnya di lemari pakaian.“Nggak, aku mau bareng.” Dirham bersikeras menunggu istrinya bersiap. Meskipun sekarang Dinar sudah konsisten memakai jilbab tapi tidaklah butuh waktu lama untuk bersiap-siap.Lip tint dipakai untuk menyegarkan wajahnya.“Sayang, kamu tidak terlalu berat ngurus restoran, kan?”“Kan ada manager dan staf yang lain, Mas.”
Dinar panik, dengan cepat ia melakukan apa yang diperintahkan oleh suaminya. Ia hampir menangis melihat Dirham dikeroyok oleh 3 orang asing yang memakai penutup kepala. Salah satu dari mereka membawa sebilah pisau. Dinar hanya bisa berdoa dari dalam mobil.Dirham agak kuwalahan karena diserang dari 3 penjuru sekaligus. Ia melawan dengan segenap tenaga, penyerang yang membawa senjata tajam berhasil dipukul mundur dengan tendangan telak di dadanya, darah keluar dari mulut pria itu. Ia langsung terbaring tidak mampu bergerak lagi. Dua kawannya tidak terima, mereka serentak menyerang Dirham dengan membabi buta, tapi mereka salah perhitungan, Dirham adalah lawan yang tidak bisa dipandang enteng, ia salah satu pemegang sabuk hitam dalam perguruan bela diri taekwondo.Suara sirine mobil polisi membuat dua orang itu saling berpandangan, mereka sepakat untuk kabur, dengan cepat salah seorang membawa pergi temannya yang bersusah payah untu
(Tapi Jeck, apa kamu lupa apa yang sudah Assegaff lakukan pada Papa, Mamamu sampai meninggal karena mereka) suara Cokro meninggi karena ucapan putranya tadi.“Mama meninggal karena ulah Papa, karena perbuatan Papa, jangan salahkan orang lain dalam hal ini, Pa.”Jecky melepaskan rasa kesalnya pada sang ayah. Bisa-bisanya mencari kambing hitam atas kesalahan yang ia lakukan.(Kenapa Papa pula yang salah?)“Sudahlah, Pa. Aku makin tidak mengerti dengan jalan pikiran papa.”(Percuma Papa menghubungi kamu, Jeck. Kau sudah tidak peduli lagi dengan keluarga kamu, dengan Papa juga)KlikPanggilan telah diakhiri. Jecky menaruh ponselnya di atas nakas, ia menatap langit-langit kamar. Berpikir tentang cara yang tepat untuk mencegah rencana dan ayah.Pintu kamar terbuka, Julia masuk sambil membawa teko berisi air putih.“Belum tidur, Sayang?&
Semua mata memandang pada Dirham, ucapan pria itu sangat masuk akal. Tapi, di sini banyak banget kemungkinan. Bisa jadi penyerangan itu adalah ulah Johan, atau mungkin Cokro bahkan sangat mungkin itu perbuatan rival bisnisnya yang merasa terancam dengan keberadaan seorang Dirham Assegaff. Adam berdiri dan menghubungi seseorang.“Iya, Peter. Nanti saya kirim data-data dari orang itu, selidiki. Cari apapun informasi tentang dia, dan laporkan apapun berita yang kau dapat pada saya.”Setelah menerima jawaban dari seberang, Adam kembali duduk di samping istrinya.Ponsel Juliana berdering, ia mengangkat panggilan setelah berada beberapa meter dari ruang tamu utama. Sementara yang lain masih meneruskan obrolan.“Ada apa, Julia? Kau baik-baik saja, kan?”(Na, aku ada berita yang harus kau sampaikan pada keluarga Assegaff)Juliana mengerutkan dahi.“Tentang apa? Aku ada di rumah Tante Nora seka
“Apa itu tidak berlebihan, Mas?” Dinar mendongak menatap wajah Dirham. Ada rasa takut terbersit dalam hatinya, ancaman dari Cokro membuat Dinar seolah hidup dalam teror yang mengerikan.Wajah ayu istrinya ditatap dengan segenap rasa cinta.“Sayang, tidak ada yang namanya berlebihan kalau soal keselamatan kalian. Aku tidak ingin sampai kalian kenapa-napa. Itu akan menjadi penyesalanku sepanjang hidup.” suara Dirham tegas tidak bisa diganggu gugat lagi.“Tapi kamu juga harus hati-hati, Mas. Aku bisa mati kalau kamu sampai celaka.”Mata Dinar lekat menatap wajah tampan sang suami. Semakin bertambah umurnya, terlihat makin tampan dan mempesona. Wajarlah selalu saja jadi buah bibir stafnya di kantor.“Hei, kenapa lihatnya begitu? Ada yang aneh?” Dirham meraba beberapa bagian wajahnya.“Ish, nggak aneh kok. Hanya saja hati ini bergetar, suamiku makin tampan aja.&
Adam segera menghubungi Dirham. Meminta sang putra untuk datang ke kantornya, mereka perlu menyusun rencana untuk lmenindak tegas konspirasi yang dibuat oleh mantan suami Juliana itu.“Pet, jangan pulang dulu. Dirham dalam perjalanan ke sini. Kita akan bicarakan langkah selanjutnya.”“Baik, Pak.” Adam kembali duduk di kursinya, ia mulai fokus dengan berkas kerja yang menumpuk di atas meja. Sementara Peter membaca koran berita hari ini. Ketukan pintu terdengar.“Masuk.”Mia masuk dengan membawa minuman untuk atasan dan tamunya.“Ini minumnya, Pak.”“Letakkan di atas meja, Mia. Oh iya, tolong siapkan laporan dari departemen keuangan. Nanti setelah lunch, laporan itu saya minta.”“Baik, Pak. Ada apa-apa lagi?”“Tidak, kamu boleh keluar.”“Baik, Pak. Permisi.”Mia keluar dari ruangan Adam.
“Bukan begitu, Mas. Aku hanya .. ” (Tetap di restoran, aku jemput dan antar pulang bentar lagi)Suara Dirham terdengar tegas lalu mengendur, pasti tidak mau sampai ada keributan lagi antara ia dan istrinya.“Baik, Mas.” Dinar menatap jam tangannya, baru jam 10.00 pagi.Di kantornya, Dirham sedang berbicara dengan Jehan. Sudah sejak satu jam yang lalu, ia meminta Jehan menemuinya. Ketukan pintu terdengar membuat Dirham menghentikan obrolan seriusnya. “Pak, dokter Rayyan sudah sampai.” sekretarisnya memberi laporan.“Suruh beliau masuk, Nay. Dan buatkan 3 cawan kopi.”“Baik, Pak.”Setelah mengucapkan terima kasih, dokter Rayyan masuk ke dalam ruangan Dirham.“Selamat datang, bos besar Pasific Hotel. Silakan duduk.” Jehan berdiri dan menjabat tangan dokter muda itu. “Wow, obrolan serius nih, kelihatannya aku datang di saat yang tidak tepat. Apa ka
Air mata Dinar terus mengalir sepanjang perjalanan ke rumah sakit.“Fan, suami saya bagaimana?” ia bertanya pada Irfan, sopir keluarga Assegaff yang menjemputnya di restoran.“Saya tidak tahu, Di. Setelah saya mengantar Pak Adam dan Bu Nora, saya langsung pergi ke sini. Tenanglah, saya yakin Mas Bos Dirham akan baik-baik saja.” Irfan adalah teman Dinar di restoran Azhar sebelum menjadi sopir Adam. Ia dengan Dinar sudah kenal jadi Dinar tidak mau dipanggil ibu.Dinar mengusap air matanya, ia hanya bisa berdoa, semoga suaminya selamat.“Agak cepat, Fan. Biar cepat sampai.” Dinar tidak sabar. Jalanan lumayan sesak dengan kendaraan.“Sabar, Di. Kita juga harus hati-hati.” jawaban yang masuk akal. Dinar kembali duduk menyandarkan tubuhnya di jok mobil, tapi kemudian duduk tegak lagi, setelah mengingat penyerangan yang terjadi beberapa hari lalu. Jangan-jangan orang yang sama. Hati