Di tempat lain
Dinar turun dari ojek online yang membawanya dari terminal, setelah membayar ongkos ia lalu mengucapkan terima kasih dan berjalan ke arah tempat tinggalnya yang baru, jam sudah menunjukkan lewat dari 12 malam, lampu-lampu temaram halaman rumah membantunya untuk berjalan, Dinar masuk ke halaman rumah kecil keluarga Sabrina yang ditempatinya, meski rumah itu cukup sederhana, hanya berlantai semen tapi Dinar merasa sangat bersyukur karena sudah ada tempat tinggal sekarang, ada dapur untuk masak juga kamar mandi di dalam, jadi dia merasa sudah cukup untuk fasilitasnya. Ada sebuah kulkas kecil juga di sana. Bisalah untuk menyimpan buah dan sayuran. Kakinya terus diayun hingga sampai di teras, anak kunci diambil.
“Baru pulang, Di?” Dinar terlonjak kaget hampir saja berlari karena mendengar orang menegurnya dari kegelapan. Setelah ia menoleh dan mengamati siapa yang berbicara. Dia mengurut dada dan menarik napas lega.
Praaaang!!! Gelas kosong di tangan Sabrina jatuh ke lantai semen, Dinar menunduk menutupi wajah sedihnya.“Kenapa kamu tidak memintanya menikahi mu, Di. Siapa bajingan itu?” Sabrina sungguh marah mendengar pengakuan sahabatnya. Ia berdecak kesal dan duduk untuk mengambil pecahan gelas kaca di atas lantai.Setelah bersih, dia menarik tangan Dinar untuk duduk di ruang tamu, dia ingin mendengar semuanya sekarang juga. Dinar lalu menceritakan awal mula dia berhenti kuliah, kecelakaan yang merenggut nyawa ayahnya, juga keputusan untuk mencari kerja di kota Jakarta, bertemu dan kenal dengan Dirham dan akhirnya hingga dia mengetahui jika dirinya berbadan dua. “Sialan, bisa-bisanya kamu menuruti ancamannya. Dasar gadis bodoh!”“Aku takut orang-orang yang dekat denganku menjadi korban selanjutnya Brie, dia pernah kirim orang untuk mengawasi Ibuk dan Arfa, menjadi penyewa di rumah tetanggaku, agar bisa leluasa memantau rum
Kediaman Kinanti Jehan kaget dengan tuduhan yang diberikan oleh ibu setengah baya di depannya itu. Dia kesini atas petunjuk dari Dirham untuk mencari jejak seorang gadis bernama Dinar Azalea. “Jangan pura-pura tidak tahu apa-apa anak muda, untuk apa kau mencari anakku?” Sekali lagi Jehan terperangah, tidak menyangka berhadapan langsung dengan ibu dari gadis itu. “Begini, Bu. Saya ini dulu satu kerjaan dengan Dinar, tapi dia sudah hampir sebulan berhenti kerja, sepertinya dia ganti nomor ponselnya, itu yang saya tanya ke ibu langsung.” Sekarang giliran Kinanti yang kaget mendengar anaknya itu sudah berhenti kerja, berarti dia sudah tidak di Jakarta lagi. ‘Kemana kamu, Nduk?’ dalam diam dia sangat menghawatirkan putrinya di mana sekarang. “Ingat ya anak muda, kalau sampai aku tahu, kalau kau yang menyebabkan putriku menderita, aku tidak akan pernah memaafkan mu.” “Jadi Dinar ada d
“Serius? dia di mana sekarang? dapat nomor ponselnya? kapan ketemu sama dia? maksudnya tanggung jawab untuk?” (Hei, hei, sabar bray.. lo pikir gue kereta api ekspress, tunggu gue jelasin dulu) “Oke, mulai sekarang!” terdengar decakan kesal dari seberang. (Tetap menyebalkan dari dulu, untung gue profesional) “Cepat, ngomong!" (Gue ketemu ibunya, bukan gadis itu, ibunya marah karena gadis itu sekarang tidak ada di rumahnya. dia pergi tanpa pamit alias minggat) “What? terus lo bilang dia minta gue tanggung jawab itu maksudnya apa?" (Bu kinanti bilang, putri dia kabur karena ada seorang lelaki buat putrinya menderita dan tidak mau bertanggung jawab, gitu boss “Ada minta nomor ponsel gadis itu?" (Ibunya galak banget, katanya nggak punya, mungkin sahabatnya yang di restoran itu ada yang tahu) “Memang lo belum tanya ke sana?) (Gue buru di sarang induknya dulu) “Anjir! bahasa lo, emang apaan tinggal di sarang?) (Okelah, gue pulang dulu, kenyang sudah barusan makan ini) Dirham seg
Mengenali suara yang barusan memanggilnya, membuat Dinar berjalan semakin cepat, dia tidak percaya dengan pendengarannya, dia juga tidak yakin lelaki itu ada di sini sekarang, ini sudah jauh banget dari Jakarta, tidak mungkin dia. Degup jantung Dinar semakin laju ketika mobil yang tadi jauh di belakangnya sekarang sudah berhenti di tepi jalan depan rumahnya. Dinar berhenti, hatinya cemas berharap orang yang akan keluar dari mobil bukan orang yang tengah dihindarinya. Dinar terus melangkah setengah berlari menuju halaman rumah, sekarang dia sudah sampai di depan pintu rumah sederhana itu. Tidak perduli dengan mobil yang berhenti di tepi jalan. Tapi takdir berkata lain. Ketika tangannya hendak mencari kunci di dalam tas, satu suara yang sangat dikenalnya kembali terdengar, sangat dekat di belakangnya. Dinar membalikkan badan. Dia mematung tak bergerak sama sekali.“Kamu di sini rupanya, Di.” Mata Dinar membulat, dan seketika berkaca-kaca, kakinya teras
Dirham berjalan membelah kerumunan orang-orang yang berada di halaman rumah, sementara orang-orang di situ saling pandang antara satu dan yang lain, dengan suara yang bisik-bisik sehingga menimbulkan suara gemuruh seolah kawanan lebah, Dirham berdiri di depan Dinar. Tangannya santai masuk ke dalam saku celana. Dari dalam mobil tadi dia melihat ada yang tidak beres terjadi pada Dinar, jadi dia sengaja mendengarkan duduk persoalannya dulu, setelah waktunya tepat dia segera menampakkan diri, tidak tega membiarkan Dinar diusir warga dalam keadaan seperti itu.Dirham memutuskan untuk membantu Dinar, karena dia yakin Dinar sedang mengandung darah dagingnya. Semua hanya butuh bukti dari dokter kandungan. “Maaf lambat datang.” bisik Dirham di telinga Dinar.“Kenalkan aku Dirham Assegaff, aku lambat jenguk istriku, hingga menimbulkan salah paham di sini, Maafkan aku, Sayang.” panggilan sayang sengaja diucapkan sambil matanya lekat menatap Dinar yang masih terkesim
Dinar berhenti memukul dan menegakkan badannya, dia mendorong tubuh Dirham meskipun tubuh pria muda itu tidak bergerak sama sekali. Dinar melepaskan diri dari pelukan Dirham, dia duduk di kursi membiarkan Dirham yang masih menunggu jawaban darinya, pemuda itu mendekati Dinar dan duduk melipat kedua lututnya di lantai tepat di kaki Dinar. “Kita menikah ya, Di.” Dirham mengulangi kata-kata yang diucapkan tadi. “Apa yang membuatmu ingin menikahi aku?” Dinar memandang sekilas pada Dirham dan kembali membuang pandangannya ke arah pintu yang tertutup. “Entahlah, yang jelas anak dalam kandungan mu butuh seorang ayah, dia butuh sebuah keluarga yang utuh, Di.” “Jika aku tidak mau?” “Dinar, dengarkan aku, aku sangat merasa bersalah jika anakku harus hidup terlunta-lunta, lihatlah dirimu sekarang, Di. Bekerja siang malam, setelah pulang dari toko buku, kamu menjadi pelayan pencuci piring, lihat dirimu sekarang Di, kurus seperti kurang gizi
“Di, aku___ ” tangan Dinar tidak dilepaskan. Dirham tidak tahu harus ngomong apa. Dinar semakin cantik di matanya, gadis itu masih kaku menerima perlakuan Dirham yang tiba-tiba dan membuatnya terkesima. Lututnya lemah seperti kena lem keras. Sementara jantungnya seolah ingin berlari keluar. Mata mereka bertemu, wajah ayu itu ditatap redup oleh Dirham, bibir mungil milik Dinar sangat menggodanya, bibir manis yang pernah ditaklukan dulu, kenangan beberapa bulan lalu kembali muncul di ingatan. Kehangatan tubuh Dinar seolah memanggilnya, Hasrat Dirham muncul tiba-tiba. Napasnya semakin tidak teratur. “Lepas!” Dinar menepis tangan Dirham saat dia menyadari situasi yang terjadi diantara mereka, juga kemungkinan yang akan mereka lakukan. “Maaf, maafkan aku.” Dirham seolah tertampar, dia beringsut ke belakang. Menjauhi Dinar yang kini sudah berdiri dan masuk kedalam kamarnya setengah berlari. Hampir saja dia hanyut kembali dalam sen
Dinar berhenti melangkah tidak mau menuruti arahan Dirham.“Nggak perlu, aku bisa pergi sendiri.”“Tapi aku ingin mengantarmu.”“Tidak mau!”Mata Dirham tajam menatap tajam gadis keras kepala di depannya.“Yakin nggak mau pergi?”“Nggak!” ketus saja jawaban Dinar membuat Dirham gemas.Pemuda itu tersenyum penuh misteri, ia mendekati Dinar dan sekelip mata tubuh kurus itu sudah ada di gendongan ala bridal.“Lepas!” Dinar meronta-ronta, dia memukuli lengan kokoh yang mengangkatnya.“Diam atau kucium?” Dinar reflek menutup mulutnya. Dirham tertawa terbahak-bahak. Dinar menggerakkan badannya memberi perlawanan. Sementara pemuda itu terus berjalan menuju mobilnya sambil menggendong Dinar.“Jangan banyak bergerak, ada yang bangun di sana dan jangan sampai kau ku bawa pulang tidak usah ke dokter.” mata Dinar terbeliak, dia sangat faham maksud Dirham apa. Pintu mobil terbuka dan Dirham meletakkan tubuh Dinar di tempat duduk sebelah kursi peman