Setelah menidurkan Ruby di kamar putrinya, Dirham masuk ke dalam kamarnya, ia berniat untuk berganti baju. Dilihatnya Dinar sedang tidur mengiring membelakanginya.
Matanya nanar menyapu kaki jenjang dan putih mulus yang tidak tertutup oleh kain, karena baju tidurnya tersingkap sampai ke paha.
Jantung Dirham seperti mau keluar menyaksikan itu, bayangan kebersamaan mereka terlintas, oh Tuhan! Ia ingin sekali memeluk tubuh itu. Menghabiskan malam-malam panjang mereka penuh bahagia. Dirham memejamkan mata, mengusir keinginan yang tidak akan tercapai dalam waktu dekat ini, Dirham meletakkan blazernya di atas sofa. Hatinya ditenangkan.
Ia akan tidur di kamar Ruby malam ini, biarlah Dinar dengan prasangka-nya, karena Dirham yakin suatu saat hati istrinya pasti akan akan dibuka lagi untuknya, hanya saja perjuangannya harus lebih keras kali ini. Ia memutari ranjang, berdiri mematung menatap wajah ayu yang sembab dan hidungnya
Dirham tetap bersikeras tidak mau menunda urusannya hari ini. Entah kenapa dalam hati Dinar kuat mengatakan kalau ini ada hubungan dengan obrolan Dirham yang didengarnya tadi malam.Selesai sarapan akhirnya Dirham bersiap untuk pergi, Nora meminta pada Dinar untuk membujuk Dirham agar tidak keluar, tapi Dinar tidak berani melakukan itu. Ia memilih fokus pada Ruby yang mau bermain masak-masak dengannya.“Besok, Ibuk sama Arfa pulang ya, Nduk.” Kinanti duduk di sofa atas sementara Dinar di lantai bersama Ruby.“Kalau diizinkan, rasanya Dinar pengen ikut Ibuk pulang, kangen rumah.”“Nanti-nanti, ajak suami dan putrimu pulang, semua tetangga pasti sudah tahu kalau kamu sudah menikah, tadi pagi ada berita tentang resepsi pernikahan kalian.”“Kejutan kemarin itu terlalu mendadak, padahal Dinar pengen undang teman-teman Dinar.”“Kan bis
Ditatap curiga seperti ia membuat Dirham salah tingkah, tangan Dinar menyentuh wajah suaminya yang memar, Dirham sedikit meringis, masih terasa pedihnya.“Ini kenapa? Kamu habis berantem? Sini aku obat.”Tangan Dinar ditahan agar berhenti berbicara, ia beralih menuju handuk mandi yang tergantung di tepi lemari pakaian.“Aku mandi dulu, setelah ini aku cerita semuanya, aku janji.”“Oke.” Dinar melipat mukenah dan meletakkan kembali ke tempatnya. Ia turun kebawah untuk membuat jahe anget, kuatir suaminya masuk angin. Juga es batu untuk mengompres memar di wajah Dirham.Dirham sudah selesai mandi dan sekarang sudah duduk di sofa, Dinar heran, tidak biasanya Dirham langsung memakai baju atasan, biasanya akan menyisir rambutnya dulu, atau menunggu diambilkan baju ganti.“Sudah ganti baju?”“I-iya, dingin.”“Padahal AC belum nyala.
Adam mengerutkan dahi, ia langsung ingat siapa Cokro yang di sebut oleh putranya barusan. Cokro yang telah ia tuntut dulu karena korupsi uang perusahaan.“Cokro? Mustahil, Am. Apa hubungannya dengan kematian Fa?”“Lelaki yang mendekati adik saat itu bernama Jecky, Pa. Dia anak kedua Cokro. Dia sengaja menjalin hubungan dengan adik, sampai adik melakukan kesalahan besar karena baj*ngan itu, dan ketika adik meminta dia untuk bertanggung jawab, seorang perempuan yang mengaku kekasih Jecky mendatangi Fa saat di kampus, menghinanya, mengancam untuk menyebarkan video-video kebersaam Fa dan Jecky, jika Fa tidak meninggalkan Jecky.”Mata Dirham berapi-api, rasa marah kembali menguasai dirinya.Mata Adam berkaca-kaca, urat di pelipisnya timbul, tangannya mengepal, siapa sangka di balik kepergian putrinya tersimpan kisah yang sangat rumit, dan ia tidak menyangka putrinya mengalami tekanan yang berat.
Dirham duduk tegak tanpa memperdulikan selimut yang kini hanya menutupi bagian bawah perutnya. Dinar memandang suaminya dengan pandangan penuh tanya. Apa yang membuat Dirham sampai kaget seperti itu.“Je, cari bukti kalau memang ia terlibat. Tanya lagi lelaki brengsek itu soal nomor kontak yang elo curigai. Hari ini elo masuk kerja lambat tidak apa. Urus yang itu dulu.”(Lha, kirain elo kasih gue cuti.)“Cutilah! gaji juga ikut cuti nanti!”Panggilan diakhiri.Dinar duduk di sebelah suaminya. Lengan Dirham disentuh lembut.“Ada apa, Mas? Masalah serius, ya?”“Jehan menemukan nomor Julia banyak melakukan panggilan dan pesan ke nomor pria brengsek itu.” Dinar terkesiap kaget. Sangat diluar dugaan.“Apa rencana Mas, selanjutnya?”“Ku minta Jehan untuk terus melakukan penyelidikan dan lebih berhati-hati lagi.”“Hari
Dirham menutup buku diary kecil itu, matanya berkaca-kaca. Nora mengangkat wajah dan menatap heran pada putranya.“Ada apa, Am?”“Tidak ada apa, Ma. Cuma kangen adik. Ini Am pinjam ya, Ma.” Dirham membawa buku yang dipegangnya dari tadi. Melangkah meninggalkan ruang keluarga.“Sayang, Aku ke ruang baca ya.”“Nanti ku antar kopi.” Sahut Dinar.“Mau dibawa ke mana tu?”“Am mau baca bentar, Ma. Kangen sama adik.”Ia melangkah menuju ruang baca.Ponsel di saku diambilnya. Nomor Jehan dihubungi.“Jehan, malam ini datang ke rumah, kita atur langkah selanjutnya, gue sudah ada bukti tentang Julia.”(Yang bener, Bro? Soalnya si brengsek itu masih alot untuk mengakui, gue rasa dia memang tahu kalau Julia akan kita seret juga)“Gue sudah lama tidak lihat Julia, di resepsi gue itu datang sepertinya,
(Am, ada yang aku tidak tahu tentang Julia?)“Ini, mmmm, nanti kamu pasti akan tahu semuanya. Nanti setelah Julia aku temukan.”(Bikin penasaran aja, cerita dong, Am)“Tidak sekarang, Na. Tante dan Om tidak tahu di mana Julia?”(Kalau tahu, mana mungkin kami mencari keberadaannya)“Iya juga, sih! Oke, thanks ya, Na. Bye.”Dirham mengakhiri panggilan. Ia kembali berpikir keras.‘Julia tengah hamil, apa mungkin itu anak Jecky. Apa ini sebabnya Jecky bungkam tentang Julia.’Di dapur, Dinar sedang memasak apa yang diminta oleh suaminya, sup ayam kesukaan Ruby sudah siap. Untuk Oma dan Opa ia memasak steak salmon. Santi memotong buah mangga dan kiwi, setelah air jeruk hangat siap dibuat. Santi segera menyiapkan piring dan gelas serta menyusun semua makanan di atas meja makan.“Tadi Mama sama Oma mau kemana, Mbak?”&ldquo
Suara Nora bergetar, ia berdiri tegak di ambang pintu seperti patung. Dua cawan kaca berisi kopi sudah pecah menjadi serpihan kecil di bawah kakinya.Dirham berdiri dan segera menuntun Nora untuk duduk di sofa. Jehan mengumpulkan pecahan cawan di atas lantai.“Mama tidak mau memiliki anak seorang pembunuh, Mama tidak pernah mengajarimu menjadi penjahat, Am.” Tangis Nora sudah terhambur bersama kalimat kecewanya. Dirham memegang tangan ibunya kuat, meskipun Nora mencoba melepaskan.“Am bisa jelaskan semuanya, Ma. Ini tidak seperti yang Mama dengar.” Dirham memejamkan mata, hari itu istrinya yang salah faham, sekarang ibunya pula.“Mama gagal jadi ibu, Mama merasa bukan ibu yang baik kalau sampai itu terjadi, Am. Kamu satu-satunya anak Mama yang ada sekarang, Mama gagal mendidikmu.”Tangis Nora semakin keras.“Ada apa ini, Am?” Adam yang baru selesai member
Dinar memasukkan baju tembus pandang itu cepat-cepat ke dalam paper bag. Ucapan Santi tadi membuatnya malu. Dirham keterlaluan. Masa iya, ia diminta pakai baju seperti jaring untuk menangkap ikan gitu. Ia melongok ke ruang keluarga, Ruby masih anteng nonton kartun kesukaannya. Ucapan salam dari luar membuat semua orang menoleh. Nora dan Adam yang pulang. “Selamat sore, Ibu.” “Sore juga, Tia.” “Papa mandi dulu ya, Ma. Ruby mana? Oh, itu.” Dirham bertanya tapi kemudian tersenyum melihat cucunya minum susu sambil menonton televisi. “Iya, Pa.” Adam terus masuk ke dalam kamarnya, tidak suka ikut campur urusan perempuan. Nora rupanya mengenal siapa orang butik itu. Rupanya butik tempat gadis itu bekerja adalah butik langganan Nora. “Koleksi butik ini bagus banget lho, Di. Tadi Am call Mama, tanya butik langganan tempat Mama belanja baju.” “Iya, Ma. Dinar sudah lihat semua koleksi yang dibawa