Semenjak pertemuan kecil di ballroom, kami seringkali berkabar dan bahkan pergi hangout atau makan malam. Aku merasa nyaman ada di sekitarnya, dan ia tampak antusias dengan semua topik yang aku dongengkan.
Hingga suatu malam, ia berlutut di hadapanku, di tengah resto sederhana dengan piano klasik yang mengiringi sambungan kata per kata darinya. Ia menatap mataku dengan tajam, dan terlihat juga air mata yang tengah menggenang di bawah kelopak matanya. Pelan-pelan ia mengucapkan kalimat yang membuatku tertegun.
“La, maaf kalo ini terkesan aneh dan mungkin setelah ini bisa saja kamu membenciku. Namun, aku tak bisa berbuat apapun, La. Ini sudah menjadi risiko yang harus aku tempuh. Aku mencintaimu sejak dulu, sejak awal kita bertemu. Lalu seakan takdir berkata kamu adalah yang aku mau, hingga akhirnya kita dipertemukan lagi. Apakah kamu mau menjadi teman hidupku?” Ucapnya sembari mengeluarkan kotak merah, dan membukanya. Aku melihat ada cincin berlian di dalamnya dan sepertinya sangat pas di lingkar jari manisku.
Satu kata yang bisa menggambarkan ekspresiku malam itu “Kaget.” Siapa yang menyangka orang yang aku cintai sejak dulu secara diam ternyata memiliki rasa yang sama padaku. Siapa yang menyangka dia akan kembali setelah lama hilang dan sulit dijumpai. Siapa yang menyangka semua ini bisa terjadi padaku.
Aku hanya menganggukan kepala dan sesekali mengusap pipi sebab tanpa sadar air mataku turun karena terharu mengingat semua nikmat aku bisa mendapatkannya secara instan.
Tak lama, ia memutuskan untuk melamar dan menikahi ku secara resmi di hadapan orang tuaku.
Perjalanan restu yang tak mudah, sebab ayah adalah sosok keras dan tentu saja tak ingin putrinya menikah dengan sembarang orang. Terlebih, ayah sangat memegang kuat istilah kasta. Baginya hanya kasta tinggi yang layak untuk menjadi pendamping dan penerus tahtanya. Renald bukan berasal dari keluarga yang dapat diperhitungkan oleh ayah sehingga dengan mudah ia menolaknya bahkan menghinanya.
***
“Kau lepaskan saja Laila, maka akan aku berikan 1 koper uang ini untukmu,” ucapnya pada Renald ketika meminta izin untuk menikahiku. Ayah melemparkan koper yang hampir saja mengenai tubuh Renald.
“Ayah, ga semua hal bisa dibeli dengan uang!” ucapku dengan nada tinggi.
“Ia hanya cinta dengan hartamu, lantas ayah langsung saja berikan apa yang dia inginkan,” ucapnya angkuh.
“Lagian, sudah ku siapkan calon suami yang tepat untuk hidupmu. Ia memenuhi semua pilihanku, ganteng, kaya, orang terpandang, pendidikan tinggi, turunannya juga jelas. Tidak seperti pria ini!”
Renald terdiam….
Ia berdiri cukup lama di hadapan tubuh ayah, berharap ada setitik keberanian untuknya berbicara.
“Om, saya sudah kenal dengan Laila sejak awal kuliah, dan saya tulus untuk menikahinya. Memang betul, saya bukan dari keluarga yang setara dengan Om, namun saya bisa jamin Laila tidak akan kekurangan,” ucapnya pelan setelah beberapa menit ia hanya membeku.
Ayah tertawa sinis, “Gajimu sebulan saja mungkin hanya untuk lipstiknya. Realistis saja!,” balas ayah.
“Kau kerja apa dan berapa penghasilanmu per bulan?” Tambah ayah dengan nada ketus.
“Saya punya usaha kecil-kecilan di bagian konveksi dan percetakan, omset sebulan kurang lebih 20-30 juta om,” ucapnya dengan suara yang samar-samar bergetar.
“Hahaha, 20 sampai 30 juta katamu? Aku gak yakin hidup anakku akan baik dengan pemasukan mu yang hanya segitu.”
Jujur, ketika itu aku marah dengan keadaan. Aku merasa tidak beruntung menjadi bagian dari keluarga konglomerat ini sebab hidupku seperti diatur seutuhnya dan tak kuasa memilih jalan hidup sendiri, termasuk pernikahan.
Renald terlihat kaget dengan pernyataan itu, ia menolehkan kepalanya ke arahku. Dari pancaran matanya, aku yakin ia hendak menyerah sore itu dan pulang dengan tangan kosong membawa harapan yang telah menjadi luka.
“Oke, kalo Ayah hendak begitu. Aku akan keluar dari rumah ini, dan ku tinggalkan semua apa yang telah Ayah beri. Oh ya satu lagi, akan ku alihkan seluruh aset atas namaku kepada Tania,” ucapku dengan nada tinggi, dan langsung meninggalkan ruang kerja ayah tanpa peduli panggilan namaku olehnya yang terdengar begitu keras.
***
Semenjak pertemuan itu, tujuh hari aku tinggal di apartemen dan hendak melepaskan perusahaan tekstil ke tangan Tania, adik tiriku. Tentu saja ayah tidak akan diam, sebab ia begitu benci dengan perempuan itu. Akhirnya ia luluh dan memberikan restu meskipun dengan sejumlah rangkaian perjanjian bertanda tangan notaris. Perjanjian itu meliputi tidak akan ada hak waris untuk Renald, sebagai gantinya ia diberikan 10% saham dari perusahaan utamanya, PT Cakrawala guna sebagai pendapatan tambahan, dan isi perjanjian yang terakhir yaitu Renald tidak diperkenankan terekspos oleh media bahwa ia bukan dari keluarga konglomerat. Ya, isi perjanjian yang sangat kompleks, terlebih di bagian isi terakhir. Aku diharuskan menyembunyikan identitas asli calon suamiku ini, dan ia dipaksa untuk berpura-pura sebagai keluarga konglomerat.
Setelah perjanjian disetujui, aku dan Renald keluar menuju ayunan di taman belakang rumah. Aku duduk dan mengayunkan badan agar ayunan ini pun ikut bergoyang, ku ajak Renald untuk duduk juga di sampingku.
“Re, mama papamu, bagaimana?” Tanyaku.
“Mereka sepertinya ga bisa datang deh, karena lagi di luar kota juga,” ucapnya.
“Maaf ya La. Jadinya kamu belum ketemu sama orang tuaku, mungkin setelah kita nikah, akan aku kenalkan kamu ke mereka langsung ke kampung halamanku,” tambahnya dengan wajah tertunduk.
Ya aku cukup paham, orang tua Renald tidak bisa kemari, sebab mereka akan menolak pernikahan ini karena ayahku. Aku pun juga khawatir dengan celotehan ayah kepada orang tua Renald. Sehingga menjadi sisi baik untukku dan Renald bertemu mereka setelah kami menikah.
Sementara ibu, ia adalah wanita polos nan baik, aku diberikan kebebasan memilih jalan hidupku, dan tidak pernah mengatur termasuk pernikahan ini. Ia tampak menerima Renald sebagai menantunya. Itulah yang membuatku yakin dan mantap melangsungkan pernikahan ini, sebab ada restu tulus dari ibu. Meski di akhir keputusan ia memberikan wejangan yang sedikit membuat rasa traumaku kembali, namun ibu coba meyakinkan bahwa Renald adalah pria baik.
“La, dalam hidup kita selalu punya masalah. Hadapi bersama jangan sendirian. Ibu senang kamu menikah dengan Renald, ia tampak baik dan mencintaimu dengan tulus. Apabila suatu hari nanti ia berubah menjadi sosok yang tak kamu kenal, kamu jangan menyerah, tapi ingatkan dia tentang momen-momen indah kalian. Jangan takut bertengkar, sebab setelah pertengkaran itu akan ada rasa ikatan yang kuat,” ucap ibu di kamarku. Ibu seperti paham akan kekhawatiranku yang muncul setelah pernikahan, namun dari matanya ia mampu meyakinkanku bahwa aku bisa membawa bahtera rumah tangga hingga sampai akhir hayat.
***
Keesokan harinya, tepat menjelang satu bulan acara pernikahan, aku, ibu, dan Renald bertemu di sebuah kafe kawasan Jalan Merpati. Kami berdiskusi tentang pembagian budget dan konsep. Kami sepakat untuk membagi pengeluaran atau masing-masing menyumbang 50% dari total biaya. Lalu terkait konsep acara, Renald menyerahkan seutuhnya kepadaku dan ibu sebab ia tidak terlalu paham. Ia percayakan semuanya kepadaku, karena ia yakin aku punya selera yang baik untuk pernikahan ini. Setelah pembahasan singkat bersamanya, ia pamit kembali ke kantor. Sementara aku dan ibu menunggu wedding organizer untuk membahas keseluruhan rangkaian acara pernikahan.
“Maaf Mbak, kenapa konsepnya tertutup ya?” Gumam Agnes selaku penanggung jawab acara.
“Kami mau konsep yang intimate saja, hanya keluarga dan orang-orang terdekat yang di undang,” jawabku.
“Wah, artinya Mas Andrew gak di undang Mbak?”
Ibu melirikku dengan pelan.
“Siapa Andrew?” Ujar ibu yang baru saja mendengar nama asing dari mulut Agnes.
Agnes terlihat bingung, ia menggigitkan lidah dan menatap takut ke arahku.
“Bukan siapa-siapa, Bu,” tuturku pelan.
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Ia mengikrarkan janji hidupnya bersamaku. Ia datang dengan setelan jas modern cokelat dan tatanan rambut rapi sembari membawa pernak pernik aksesoris hantaran. Tentu saja ia tidak sendiri, ia didampingi oleh rekan-rekannya yang mengenakan kemeja putih dengan pita kupu-kupu dikaitkan ke lehernya. Ia jalan menuju pintu utama, menyusuri keluarga besarku yang tengah duduk menunggu mempelai prianya. Sementara aku telah siap di sisi kanan untuk melihatnya mengucapkan janji suci tersebut. Tak berselang lama, ayah datang menghampiri Renald untuk menjadi wali sahku, namun ia tak langsung duduk berhadapan dengan calon suamiku itu, melainkan sedikit berbisik barangkali 1-2 menit. Lalu ia berpindah duduk di depan Renald dengan didampingi oleh seorang yang sah menikahkan. Sekitar tiga menit berlalu, Renald telah berhasil mengucapkan ikrar suci itu. Tatapan matanya langsung mengarah padaku seakan kode untuk memintaku segera bersanding dengannya. Aku b
"Kurang ajar kamu, buat malu keluarga," plakkkkk tamparan ayah yang begitu kuat membuat tubuh Tania jatuh. "Rendi, kau pastikan gak ada media yang meliput kejadian ini. Buat malu saja, bisa gagal proyek perusahaan kita apabila berita skandal ini tersebar," ucap ayah dengan nada tinggi kepada asisten pribadinya. Ibu yang awalnya duduk di sofa berjalan menuju Tania dan mengulurkan tangannya lalu menariknya untuk duduk. Sementara wanita paruh baya tadi masih ditangani oleh Bi Asih agar segera siuman, dan ketiga anaknya sedang berada di taman belakang bersama Bi Ratih. Tak lama wanita paruh baya itu siuman, ia mencoba duduk dan menyeruput air yang telah disediakan oleh Bi Asih. Ia melirik ke arah kiri dan mengernyitkan matanya seolah ada sosok yang ingin dipastikan olehnya. Lalu, tak berapa lama ia berdiri dan berteriak. "Pak Anwar…….. Tolong Pak…. Ibnu Pak…." Teriaknya histeris berlari menghampiri ayah. Aku terkejut, bahkan seluruh ruangan yang menyaksikan juga melalak heran. "Kok
“Tania sini, kau berada di belakangku saja,” ucapku sembari menarik tangannya agar tak kena pukulan dari ayah. “Kau beruntung, sebab anak kandungku melindungimu bahkan hingga membawamu ke luar negeri yang tak pernah berhasil ku lacak keberadaanmu,” ucap ayah dengan menunjuk Tania. Aku berusaha melindunginya. Aku selalu memasang tubuhku di depannya agar ia merasa aman dari kejamnya ayah. Namun, ya tentu saja ayah tidak akan pernah memukulku bahkan sampai di titik aku mengkhianatinya karena telah membawa Tania kabur pada saat ia memerintahkan sopirnya untuk mengantar ke Rumah Duri. “Sudah Yah, sudah, hentikan,” ucap ibu terisak menarik tangan ayah. “Ku beri kau waktu 1 jam disini untuk menemui kakakmu dan suaminya, lalu kau angkatkan kaki dan jangan pernah kembali lagi,” tambah ayah dengan suaranya yang tegas. Ia melepasan satu kancing di kemejanya dan melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah bersama ibu di sampingnya. “Apakah Ayah yang membunuh Mas Ibnu?” Tania berteriak dengan kenc
Hari pertama setelah pernikahan dimulai, rencananya hari ini aku dan Re akan pindah ke apartemen yang berdekatan dengan Tania.Aku bangun lebih awal dari suamiku, lalu duduk dan bersandar tepat di samping pria ini. Terlihat ia menghadap ke arahku dan ku pandangi juga bahwa di sebelah kiri kepalanya terdapat ponsel yang mungkin saja masih ia nyalakan ketika ku terlelap tadi malam. Ia tidur dengan busana lengkap, sementara aku masih dengan tubuh yang baru saja ia nikmati dan berbalut selimut. Ada perasaan curiga yang bergemuruh di dalam pikiranku, namun sepertinya tak etis untuk membahasnya karena baru saja beberapa jam yang lalu kami resmi menikah dan berikrar sehidup semati.“Sayang kok sudah bangun?” Ucapnya melihatku. Sementara aku tersenyum kepadanya sembari terus mengelus rambutnya.“Tadi malam kamu tidur jam berapa?” Jawabku dengan lembut kepadanya, seakan lupa akan kemarahan yang tadi malam telah ku lontarkan kepadanya, sebelum ia bergegas pergi mengangkat teleponnya.“Lupa deh
"Kak, Ibnu datang menemuiku..." rintih Tania yang masih terbaring lemas di atas kasur.Aku mendengarnya merintih sembari mengucapkan kalimat itu. Sembari melihat beberapa perawat yang masih sibuk untuk membersihkan luka di paha kanannya, ku lihat Tika dari jauh menghampiriku."Kamu kok ada disini?" Tanyaku. Aku seolah bingung sebab, belum ada ku infokan hal ini kepada asisten pribadiku ini."Saya kebetulan lewat lalu melihat mobil Ibu belok menuju rumah sakit ini." Jawabnya."Mbak, adiknya sudah selesai kami bersihkan lukanya. Mohon segera lengkapi administrasi ya." ujar perawat sambil berdiri dan memegang beberapa alat berbahan stainless steel."Apakah perlu rawat inap?" Tanya Re yang berada di sebelahku."Gak perlu Pak. Cukup bantu gantikan saja perbannya setiap hari." ucap perawat lalu mereka pamit dan melangkahkan kaki keluar ruangan."Biar aku saja yang urus, Sayang. Kamu temenin aja Tania," ujar Re."Kamu tahu identitas Tania?" Jawabku.Umumnya, rumah sakit akan meminta data diri
"Pagi Sayang, gimana tidurnya? Mimpi apa tadi malam?" Sapa Re yang terlihat samar wajahnya sudah berada di hadapanku. Ia makin mendekatkan wajahnya ke arahku, dan benar saja ia langsung mengecup bibirku hingga nyaris melumatnya. Spontan, ku dorong tubuhnya dari hadapanku. "Loh, kenapa Sayang? Aku suamimu loh ini," dengan nadanya yang cukup tinggi. "Re, nanti kita bisa ngobrol sebentar? Ada hal yang gak bisa aku tahan sendiri lagi," jawabku yang langsung berdiri menuju kamar mandi. "Bisa, aku tunggu nih kamu disini," balasnya. Baru saja sekitar 10 menit aku berada di kamar mandi, aku mendengar suara dering ponsel Re berbunyi. Aku mencoba untuk menguping dari balik dinding kamar mandi ini, namun suaranya perlahan semakin jauh. "Sial dia justru ke balkon!" gerutuku. Dengan penggunaan sabun yang belum maksimal, ku lilitkan handuk ke lingkar tubuhku, lalu mengendap-endap keluar dari kamar mandi untuk sekedar mencari tahu suamiku ini sedang berhubungan dengan siapa. "Ya sudah kalo me
"Selamat pagi Ibu, sepertinya hari ini Ibu harus ke kantor, ada yang tidak beres dari mutasi rekening kantor," terdengar suara yang tergesa-gesa dari kejauhan sana. "Sorry sorry, maksudmu gimana dan ini saya bicara dengan siapa?" Responku sembari mengatur posisi duduk pasca terbangun karena kaget bunyi deringan ponsel di sebelahku. "Maaf Ibu, saya Alika, Kepala Keuangan kantor. Saya baru menerima laporan bulanan, namun ada transaksi yang mencurigakan," jawabnya dengan nada formal. "Oke, saya segera ke kantor. Tolong siapkan ruang meeting dan kumpulkan staf terkait." Aku langsung menurunkan kakiku dari ranjang, dan menuju kamar mandi. Namun, sebelum melangkahkan kaki kiri ini masuk ke dalam, aku menoleh ke belakang, ku amati seantero ruangan. "Re kemana?" Ucapku pelan. "Ah sudah mungkin dia sedang sarapan," ucapku lagi. Aku langsung memasuki kamar mandi dengan pikiran yang bingung, ada apa dengan keuangan kantorku. *** Setelah ku berdandan rapi, aku mengambil blazer hitam yang
"Kring... kring.. kring...." Dering ponselku berbunyi tepat saat sedang menunggu lanjutan obrolan Andrew."Maaf Bu, semua staf sudah lengkap dan meeting sudah bisa dimulai," suara yang berasal dari ponsel memecahkan fokusku."Oh ya, saya sedang menuju lift." Aku langsung menutup telepon."Drew, gue mau meeting sekarang. Lo bisa tunggu sampai gue selesai?" Tanyaku kepadanya.Ia menatapku cukup lama, ya seperti biasa ketika ia sedang berpikir jelas banget terlihat ia diam sejenak."Ampun dah lo ya masih aja. Bisa atau gak, jangan kebanyakan mikir," ujarku sembari tersenyum tipis."Kelihatannya mantan gue masih paham banget ya," celotehnya dengan tertawa."Ya sudah lo meeting dulu aja, nanti telepon gue aja. Gue masih dengan nomor lama dan perasaan yang sama hahaha," tambahnya tertawa dan melangkahkan kaki menuju pintu keluar.Aku melihatnya berjalan langkah demi langkah menuju pintu putar di ujung sana.