Simfoni Tanpa Nada

Simfoni Tanpa Nada

last updateHuling Na-update : 2025-02-22
By:  PngOngoing
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel12goodnovel
Hindi Sapat ang Ratings
12Mga Kabanata
280views
Basahin
Idagdag sa library

Share:  

Iulat
Buod
katalogo
I-scan ang code para mabasa sa App

Ketika seorang musisi dari orkestra legendaris Midanget Sunyata ditemukan tewas secara misterius di Desa Sukamundur, Aditya Arya—mantan polisi yang kini menjadi detektif swasta—dipanggil untuk menyelidiki. Namun, kasus ini bukanlah kematian biasa. Jejak berupa partitur kosong bertuliskan judul simfoni yang tidak dikenal, bisikan tentang "musik dari kehampaan," dan keanehan yang mengelilingi orkestra tersebut membawa Aditya pada misteri yang melibatkan rahasia gelap, konflik di antara para musisi, dan kemungkinan adanya sesuatu yang supranatural. Di tengah bayangan masa lalu desa yang penuh misteri, Aditya harus mengungkap kebenaran sebelum "nada tanpa suara" itu kembali memakan korban.

view more

Kabanata 1

Bab 1: Panggilan Keheningan

Hujan mengguyur deras, memukul kaca jendela kantor kecil milik Aditya Arya. Irama hujan yang berulang-ulang itu seperti musik tanpa akhir, monoton, tapi tak sepenuhnya sunyi. Kantor Aditya, yang lebih menyerupai gudang dengan meja kayu tua, lampu neon berkedip, dan tumpukan dokumen berdebu, menjadi tempatnya menghabiskan malam.

Dia memandang secangkir kopi di mejanya. Kopi itu sudah dingin, mencerminkan hidupnya yang belakangan ini terasa datar. Sebagai detektif swasta, kebanyakan kasusnya adalah rutinitas belaka—perselingkuhan, penyelidikan kecil, dan pencurian rumah tangga. Tidak ada yang cukup menantang otaknya seperti dulu, ketika dia masih aktif di kepolisian.

Namun, malam itu membawa sesuatu yang berbeda. Sebuah amplop merah tergeletak di antara tumpukan dokumen di mejanya, mencolok di antara segala yang kusam. Amplop itu tidak pernah dia lihat sebelumnya, dan dia tidak ingat siapa yang meletakkannya di sana.

Aditya mengamati amplop itu dengan hati-hati. Namanya tertulis di bagian depan dengan tinta hitam yang halus: Aditya Arya. Tidak ada nama pengirim. Dia mengambil pisau pembuka surat dari lacinya dan membuka amplop itu perlahan, seolah khawatir ada jebakan di dalamnya.

Di dalamnya ada surat yang ditulis tangan dengan tinta hitam, tulisannya rapi namun kaku, seperti seseorang yang tidak terbiasa menulis sering-sering.

Tuan Aditya, Kami membutuhkan bantuan Anda di desa Sukamundur. Salah satu musisi Midanget Sunyata telah meninggal secara misterius, dan saya yakin ini bukan kecelakaan. Jika Anda tidak segera datang, akan ada lebih banyak nyawa yang melayang.

Arjuna Wiryawan, Manajer Midanget Sunyata

Selain surat itu, ada tiket kereta menuju desa Sukamundur untuk keberangkatan pagi berikutnya, serta setumpuk uang pecahan besar. Uang itu cukup untuk membayar perjalanan, akomodasi, dan lebih banyak lagi.

Aditya mengangkat alis. Dia menggosok dagunya, mencoba mencerna pesan itu. Desa Sukamundur. Itu nama yang nyaris terlupakan baginya. Sebuah desa kecil di kaki gunung, terkenal dengan keindahan alamnya tetapi juga sejarah kelamnya. Namun, yang membuat surat itu semakin menarik adalah nama Midanget Sunyata.

Orkestra itu pernah terkenal beberapa tahun lalu karena pendekatan eksperimental mereka terhadap musik. Mereka bermain dengan harmoni yang aneh, menciptakan melodi yang disebut-sebut sebagai "musik dari kehampaan." Tapi dalam beberapa tahun terakhir, nama itu nyaris lenyap dari dunia seni.

Aditya mendesah panjang. Ketika dia membaca ulang surat itu, sebuah perasaan aneh menyelimutinya. Kata-kata "akan ada lebih banyak nyawa yang melayang" terngiang-ngiang di kepalanya.

Kereta menuju desa Sukamundur berangkat tepat pukul 6 pagi. Aditya duduk di kursi dekat jendela, mengamati hujan yang masih turun di luar. Perjalanan itu berlangsung lama, hampir delapan jam. Dia menggunakan sebagian besar waktu itu untuk merenungkan apa yang mungkin dia temukan di desa itu.

Desa Sukamundur, menurut cerita yang dia dengar dulu, adalah tempat yang indah tetapi penuh misteri. Banyak orang percaya desa itu dihuni oleh roh-roh hutan yang menjaga harmoni alam. Beberapa menganggapnya sebagai tempat terkutuk, sementara yang lain menganggapnya sebagai surga bagi mereka yang mencari ketenangan.

Ketika kereta mulai mendekati desa, kabut tebal menyelimuti pemandangan. Rumah-rumah kayu bergaya kolonial muncul satu per satu, dikelilingi oleh hutan lebat yang tampak menelan desa itu. Tidak banyak orang yang terlihat di luar. Hanya beberapa penduduk yang menatap kereta dengan ekspresi datar, seolah kehadiran orang luar adalah kejadian langka.

Di stasiun kecil yang sunyi, Aditya disambut oleh seorang pria paruh baya dengan setelan rapi. Pria itu tampak gelisah, wajahnya menunjukkan kelelahan yang mendalam.

"Selamat datang, Tuan Aditya," katanya sambil menjabat tangan Aditya. "Saya Arjuna Wiryawan."

Aditya mengangguk. "Terima kasih sudah menghubungi saya. Bisa ceritakan lebih banyak tentang apa yang terjadi?"

Arjuna menghela napas panjang. "Sebaiknya Anda melihatnya sendiri," jawabnya singkat.

Gedung konser Midanget Sunyata berdiri megah di tengah desa, meski tampak kumuh dan tua. Bangunan itu memiliki pilar-pilar besar yang menopang atapnya, tetapi dindingnya yang dahulu putih kini kusam, dengan lumut yang mulai merayap.

Ketika Arjuna membawa Aditya masuk ke dalam, aula utama menyambut mereka dengan suasana yang hening dan mencekam. Langit-langit tinggi dihiasi lampu gantung besar yang redup, sementara deretan kursi kayu berjajar rapi menghadap panggung utama. Di sudut ruangan, sebuah piano hitam berdiri sendiri, seperti menunggu dimainkan.

"Raka ditemukan di ruang latihan kecil di belakang gedung ini," kata Arjuna sambil menunjuk ke lorong gelap di ujung aula.

Aditya mengikuti Arjuna ke ruang latihan. Ruangan itu kecil, dengan dinding kayu tua yang mengeluarkan aroma lembap. Sebuah meja kecil, kursi, dan rak penuh partitur musik menjadi satu-satunya perabotan di sana.

Di lantai kayu, masih terlihat bekas darah yang mengering. Namun, yang paling menarik perhatian Aditya adalah selembar partitur kosong yang tergeletak di atas meja. Di sudut bawahnya, terdapat tulisan kecil dengan tinta hitam: “Simfoni No. 9.”

"Apa ini?" tanya Aditya sambil memegang partitur itu dengan hati-hati.

Arjuna menggeleng. "Kami tidak tahu. Itu bukan bagian dari repertoar kami. Partitur itu tidak ada sebelumnya."

Aditya menatap tulisan itu. Ada sesuatu yang aneh tentangnya, sesuatu yang terasa seperti pesan tersembunyi.

Malam itu, Aditya meminta untuk bertemu dengan semua anggota orkestra yang tersisa. Mereka berkumpul di aula utama, duduk di kursi-kursi yang menghadap panggung. Ada tujuh orang yang hadir, masing-masing dengan ekspresi yang berbeda.

Maestro Harjo – Konduktor tua yang tampak dingin dan berwibawa.

Saras – Pemain biola muda yang terlihat cemas dan terus menghindari tatapan siapa pun.

Bima – Pianis flamboyan dengan sikap sinis, seolah tidak peduli dengan situasi.

Dira – Pemain klarinet yang terus-menerus gemetar, seperti menyimpan ketakutan.

Lila – Harpist paruh baya dengan luka memar samar di lengannya.

Rendra – Pemain trombon yang terlihat kasar dan mudah tersinggung.

Ayu – Penyanyi soprano dengan senyum dingin yang seperti topeng.

Aditya memandangi mereka satu per satu. "Saya ingin tahu apa yang terjadi pada Raka," katanya, suaranya tenang namun tegas.

Tidak ada yang langsung menjawab. Akhirnya, Saras berbicara dengan suara bergetar. "Raka... dia mengatakan dia mendengar sesuatu sebelum dia meninggal. Sesuatu yang tidak ada di ruangan itu."

Aditya menatapnya. "Mendengar sesuatu? Apa maksudmu?"

Saras terdiam, wajahnya tampak semakin pucat.

"Apa ada yang lain?" tanya Aditya lagi, kali ini menyapu pandangan ke seluruh ruangan.

Dira menggigit bibirnya, sementara Ayu hanya duduk diam dengan senyumnya yang menakutkan. Tidak ada yang memberikan jawaban lebih.

Malam itu, Aditya memutuskan untuk menginap di gedung konser. Dia merasa ada sesuatu yang tersembunyi di tempat itu, sesuatu yang tidak akan dia temukan jika dia pergi begitu saja.

Sekitar tengah malam, Aditya terbangun oleh suara langkah kaki di aula utama. Suara itu pelan tapi berirama, seperti seseorang yang berjalan dengan hati-hati. Dengan senter di tangannya, dia menyusuri lorong gelap menuju aula.

Ketika dia sampai di aula, dia melihat sesuatu yang membuat jantungnya berdebar. Di atas panggung, ada bayangan berdiri diam di depan piano hitam. Bayangan itu tidak bergerak, hanya berdiri di sana, seolah menunggu sesuatu.

Aditya mendekat dengan hati-hati, tapi sebelum dia sampai, bayangan itu menghilang begitu saja.

Di atas piano, dia menemukan selembar partitur baru. Sama seperti sebelumnya, partitur itu kosong, kecuali sebuah tulisan kecil di sudutnya: “Simfoni No. 8.”

Palawakin
Susunod na Kabanata
I-download

Pinakabagong kabanata

Higit pang Kabanata

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Mga Comments

Walang Komento
12 Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status