Share

Part 3 Dia Hadir di Pernikahanku!

Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Ia mengikrarkan janji hidupnya bersamaku. Ia datang dengan setelan jas modern cokelat dan tatanan rambut rapi sembari membawa pernak pernik aksesoris hantaran. Tentu saja ia tidak sendiri, ia didampingi oleh rekan-rekannya yang mengenakan kemeja putih dengan pita kupu-kupu dikaitkan ke lehernya. Ia jalan menuju pintu utama, menyusuri keluarga besarku yang tengah duduk menunggu mempelai prianya. Sementara aku telah siap di sisi kanan untuk melihatnya mengucapkan janji suci tersebut. Tak berselang lama, ayah datang menghampiri Renald untuk menjadi wali sahku, namun ia tak langsung duduk berhadapan dengan calon suamiku itu, melainkan sedikit berbisik barangkali 1-2 menit. Lalu ia berpindah duduk di depan Renald dengan didampingi oleh seorang yang sah menikahkan.

Sekitar tiga menit berlalu, Renald telah berhasil mengucapkan ikrar suci itu. Tatapan matanya langsung mengarah padaku seakan kode untuk memintaku segera bersanding dengannya. Aku berjalan perlahan-lahan sebab gaun ini begitu terasa berat. Re berdiri dan berjalan menujuku. Ia menggandengku dengan gagah di tengah tamu keluarga yang tersenyum. 

Thank you ya Re,” bisikku kepadanya.

Ia hanya tersenyum dan menatapku. Langkah kaki ini terus berjalan sampai di meja dengan tingkatan kue diatasnya. Sementara para tamu tampak ikut berdiri untuk menyantap hidangan dan menikmati pesta sederhana ini. 

Ku ambil segelas air di hadapanku, dan aku minum perlahan-lahan. Dari balik kaca gelas ini terlihat sangat jelas senyum tamu yang merekah menyelimuti kebahagiaanku hari ini. Aku bersama pria yang ku cintai sejak beberapa tahun lalu!

"Kuenya mau dipotong kapan?" Ucap ibu yang dari belakangku perlahan menghampiri.

Aku bertatapan dengan Re seakan nanya dan minta pendapatnya untuk sekedar memotong kue.

"Gimana La? Jangan cuma tatap aku, tapi jawab dulu pertanyaan ibu," tukas Re tersenyum kepadaku.

Ia berhasil membuatku salah tingkah meski kini sudah resmi menjadi istrinya beberapa menit yang lalu.

"Yaudah, sekarang aja deh Bu. Sepertinya tamu-tamu juga udah pada makan kan," responku.

Aku langsung menatap sekitar untuk mencari keberadaan Tika sebagai asistenku. Namun, ia tidak ku temukan.

"Tika sepertinya tadi keluar deh La, ya sudah Ibu saja yang bilang ke MCnya ya."

Tak lama setelah itu, ibu berbalik dan berjalan melewati para tamu undangan menuju Agnes yang menjadi master of ceremony pernikahanku.

"Oke, baik Bapak Ibu sekalian. Setelah kita usai menyantap hidangan bersama, kini masuk ke acara inti yaitu pemotongan kue oleh pengantin kita," ucapnya menggema sembari mengajak para tamu bertepuk tangan.

Aku mengambil pisau yang telah tersedia di atas meja. Pertama kali bagiku menggenggam pisau stainless steel sepanjang ini. Sempat khawatir ketika ku potong kue ini justru akan runtuh semuanya. Wah, gak terbayang malunya seperti apa.

Tangan Re ikut menggenggam pisau itu tepat di belakang tanganku. Pelan-pelan akhirnya dapat bagian kue yang lumayan besar, dan aku potong lagi menjadi bagian-bagian kecil.

Re mengangkat piring kaca berbalut emas tepat di depan dadanya, lalu ia menaikkan garpu itu di hadapan mulutku. Aku terpaku pada pancaran matanya…

Setelah itu, giliran aku menyuap kue itu ke mulutnya. Tak lama setelahnya, piring ku kembalikan ke atas meja. Namun, ada hal yang tak terduga dari diri Rei, ia dengan cepat mendekati wajahku, lalu menjatuhkan bibirnya tepat di bibirku. Ia mengecup lembut bibir ini, dan tak lama makin buas hingga salivanya masuk ke dalam mulutku.  Aku hentikan aksinya itu, ku dorong tubuh Re lalu ku elap mulutku dengan tissue.

“Kenapa di lap? Kamu gak suka?” Tanyanya dengan mata memerah yang sudah jelas bagiku itu adalah tatapan nafsu dari pria. 

"Sayang, aku udah ga kuat. Setelah ini acaranya udah kan?" Tambahnya lagi.

Nafsunya menggebu untuk segera menggerayangi tubuhku. Sementara aku masih terkaget-kaget, sebab pria ini bukan seperti Re yang ku kenal dulu.

“Aku adalah istri sahnya, mungkin ini yang dinamakan wajar bagi pria untuk segera melepaskan keperawanan sang wanita”, batinku yang terus mencoba berpikir logis bahwa kondisinya kini berstatus suami istri. 

"Iya sayang, sabar. Tenang, sebentar lagi," balasku singkat dengan menatap matanya. 

Adegan tadi benar saja menjadi penutup acara kami diiringi dengan sorak dan tepuk tangan para tamu yang hadir. Re menggandeng dan menatap mataku dengan tatapan nafsunya. Kami berjalan, melangkahi setiap anak tangga untuk sampai kamarku. Belum lagi sampai ranjang, ada kericuhan yang tengah terjadi dari lantai bawah.

"Laila, apa kamu yang mengundang perempuan ini hadir di acara ini?" Ayah berteriak hingga seisi rumah berkumpul di ruang tengah. 

Aku membalikkan badan, dan betul saja ayah tengah menyeret perempuan di hadapan tangga.

"Tania????" Ucapku teriak dari lantai dua.

"Ini kan acara keluarga, bukankah Tania bagian dari keluarga ini?" Jawabku dengan intonasi tinggi. 

Re mencolek tanganku seolah bertanya apa yang terjadi.

"Bentar sayang," ucapku sembari melepas genggaman tangannya dan kembali lagi menuruni satu per satu anak tangga. Rei terlihat mengikutiku seperti ingin tahu apa yang sedang terjadi.

"Yah, duduk dulu aja yuk di halaman belakang. Gak enak di depan sana masih ada tamu," ajakku kepada ayah.

Kami berjalan menuju halaman belakang, begitu juga ibu dan Re yang ikut mengambil peran dalam konflik internal ini.

“Bi, tolong pastikan sudah tidak ada tamu lagi di depan ya,” perintahku kepada Bi Asri.

“Baik Non,” ujarnya yang langsung menuju ke halaman depan.

"Dia sudah memilih bukan menjadi bagian keluarga ini, sejak hamil di luar nikah tahun lalu," ketus ayah, dengan suara yang lantang bak sedang berperang.

Ayah merupakan tipe lelaki yang sangat memegang teguh prinsip harkat, martabat, dan kasta. Baginya Tania adalah aib keluarga semenjak kecelakaan tahun lalu, hamil pada saat kuliah. Hingga ayah mengecapnya sebagai pelacur. Ia dihamili oleh lelaki dengan jarak umur 30 tahun diatasnya, dan ya betul saja ia dicampakkan atas perbuatan lelaki itu. Meski hubunganku dengannya adalah saudara tiri, tapi ia tetaplah adikku, hasil dari kekhilafan ayahku dulu bersama ibunya. Namun kini, ibu Tania telah meninggal. Tidak ada lagi yang bisa Tania harapkan selain ayah kandungnya, meski sang ayah telah membuangnya tahun lalu.

"Yah, bukannya Tania juga hasil hubungan terlarang antara Ayah dan Ibunya?" Ucapku melawan pria yang sedang berada di hadapanku. 

“Laila!! Tidak pantas kau berbicara begitu!” Teriak ibu dengan tiba-tiba. 

Aku melirik ke arah ibu, ia tampak sangat marah dengan kalimat yang baru saja ku lontarkan. Meski semua itu adalah faktanya, ayah menyakiti ratuku. Namun, semenjak kepergian tante Monica, ibuku dengan lapang dada mengurus Tania. Meski pada akhirnya, kepercayaan dikhianati oleh anak remaja itu dengan berhubungan pada pria beristri. 

                                                                      ***

“Kau masih punya masa depan yang panjang, tega sekali berselingkuh dengan suamiku,” teriak wanita paruh baya di depan rumah tiga tahun yang lalu. 

“Sekarang dimana suamiku? Telponku tak pernah tersambung kepadanya, anaknya merintih merindukan sosok ayah. Lagian kau begitu muda, apa sudah tidak ada lelaki muda yang mau denganmu?” Tambah wanita paruh baya tersebut.

Aku, ibu, dan Tania tak mampu menepis satu kata pun atas amarahnya wanita tersebut yang membawa tiga orang anaknya. 

“Bagaimana tanggung jawab Ibu atas perbuatan anaknya? Apa saya harus bawa kasus ini ke polisi?” Ancam wanita tersebut.

“Maaf Te. Tante bisa masuk dulu untuk kita diskusikan dengan kepala dingin. Agak kurang etis saja apabila Anda berteriak-teriak di depan pagar ini,” ucapku pelan.

“Kurang etis katamu?” Jawabnya ketus.

“Kalian pikir selingkuh dengan suami orang merupakan perbuatan yang etis? Lalu ketika saya melabrak bocah ini, kalian bilang ini gak etis?” Tambahnya dengan nada yang lebih tinggi.

Ibu mencoba menarik tanganku, seolah bermaksud diam sejenak. Sementara Tania hanya menunduk dan meneteskan air matanya. Aku melihat sekeliling rumah sudah cukup banyak tetangga kompleks yang datang melihat perkara di depan pagar ini. Beruntungnya pada saat kejadian langsung, Ayah masih berada di kantor sehingga tidak membuat suasana menjadi begitu panas. 

“Sa…. sa…. Saya hamil anaknya Mas Ibnu,” ucap Tania pelan dengan wajah meringis ketakutan.

Sontak saja, tangan wanita paruh baya tadi mendarat di pipi kanannya dan cukup kencang bunyinya. Aku dan Ibu tentu sama kagetnya.

“Kurang ajar kau jalang!” ketus wanita itu.

“Sudah cukup!!!!” Ucap Ibu yang tiba-tiba berteriak.

Ibu tarik tangan wanita tersebut ke dalam pagar dan aku menutup pagarnya, sebab kondisi sudah semakin tidak kondusif karena warga kian berbisik satu sama lain.

Wanita tadi sudah berada di puncak emosinya dan ia luapkan dengan menangis, tak lama ia tampak lunglai dan jatuh persis di depan pintu masuk.

“Bu, Kaak, maaf….” ucap Tania yang masih terus meringis ketakutan.

“Maaf kau bilang? Apa kau tidak merasa malu melakukan ini?” Teriakku dan tanpa sadar mengangkat tangan kanan yang hendak menghajarnya.

Ibu menepis tanganku sembari nangis terisak. Lalu ia melanjutkan langkahnya tanpa berkata-kata menuju ruang tamu. Sementara wanita paruh baya diangkat oleh Pak Karyo dan Bi Asih menuju sofa untuk diberikan pertolongan. Ketiga anaknya nangis ketakutan, dan terus memanggil mamanya.

“Kau benar-benar buat malu keluarga. Sudah Ibumu penggoda ayahku, kini kau meneruskan bakatnya untuk jadi pelacur!” Ucapku di posisi puncak amarah.

Aku merogoh saku celanaku, ku buka layarnya, dan mencari kontak Ayah.

“Yah, bisa pulang sekarang? Tania berseteru dengan perempuan yang katanya suaminya digoda oleh anakmu,” ucapku tanpa peduli pada Tania yang tengah merintih ketakutan. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status