Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Ia mengikrarkan janji hidupnya bersamaku. Ia datang dengan setelan jas modern cokelat dan tatanan rambut rapi sembari membawa pernak pernik aksesoris hantaran. Tentu saja ia tidak sendiri, ia didampingi oleh rekan-rekannya yang mengenakan kemeja putih dengan pita kupu-kupu dikaitkan ke lehernya. Ia jalan menuju pintu utama, menyusuri keluarga besarku yang tengah duduk menunggu mempelai prianya. Sementara aku telah siap di sisi kanan untuk melihatnya mengucapkan janji suci tersebut. Tak berselang lama, ayah datang menghampiri Renald untuk menjadi wali sahku, namun ia tak langsung duduk berhadapan dengan calon suamiku itu, melainkan sedikit berbisik barangkali 1-2 menit. Lalu ia berpindah duduk di depan Renald dengan didampingi oleh seorang yang sah menikahkan.
Sekitar tiga menit berlalu, Renald telah berhasil mengucapkan ikrar suci itu. Tatapan matanya langsung mengarah padaku seakan kode untuk memintaku segera bersanding dengannya. Aku berjalan perlahan-lahan sebab gaun ini begitu terasa berat. Re berdiri dan berjalan menujuku. Ia menggandengku dengan gagah di tengah tamu keluarga yang tersenyum.
“Thank you ya Re,” bisikku kepadanya.
Ia hanya tersenyum dan menatapku. Langkah kaki ini terus berjalan sampai di meja dengan tingkatan kue diatasnya. Sementara para tamu tampak ikut berdiri untuk menyantap hidangan dan menikmati pesta sederhana ini.
Ku ambil segelas air di hadapanku, dan aku minum perlahan-lahan. Dari balik kaca gelas ini terlihat sangat jelas senyum tamu yang merekah menyelimuti kebahagiaanku hari ini. Aku bersama pria yang ku cintai sejak beberapa tahun lalu!
"Kuenya mau dipotong kapan?" Ucap ibu yang dari belakangku perlahan menghampiri.
Aku bertatapan dengan Re seakan nanya dan minta pendapatnya untuk sekedar memotong kue.
"Gimana La? Jangan cuma tatap aku, tapi jawab dulu pertanyaan ibu," tukas Re tersenyum kepadaku.
Ia berhasil membuatku salah tingkah meski kini sudah resmi menjadi istrinya beberapa menit yang lalu.
"Yaudah, sekarang aja deh Bu. Sepertinya tamu-tamu juga udah pada makan kan," responku.
Aku langsung menatap sekitar untuk mencari keberadaan Tika sebagai asistenku. Namun, ia tidak ku temukan.
"Tika sepertinya tadi keluar deh La, ya sudah Ibu saja yang bilang ke MCnya ya."
Tak lama setelah itu, ibu berbalik dan berjalan melewati para tamu undangan menuju Agnes yang menjadi master of ceremony pernikahanku.
"Oke, baik Bapak Ibu sekalian. Setelah kita usai menyantap hidangan bersama, kini masuk ke acara inti yaitu pemotongan kue oleh pengantin kita," ucapnya menggema sembari mengajak para tamu bertepuk tangan.
Aku mengambil pisau yang telah tersedia di atas meja. Pertama kali bagiku menggenggam pisau stainless steel sepanjang ini. Sempat khawatir ketika ku potong kue ini justru akan runtuh semuanya. Wah, gak terbayang malunya seperti apa.
Tangan Re ikut menggenggam pisau itu tepat di belakang tanganku. Pelan-pelan akhirnya dapat bagian kue yang lumayan besar, dan aku potong lagi menjadi bagian-bagian kecil.
Re mengangkat piring kaca berbalut emas tepat di depan dadanya, lalu ia menaikkan garpu itu di hadapan mulutku. Aku terpaku pada pancaran matanya…
Setelah itu, giliran aku menyuap kue itu ke mulutnya. Tak lama setelahnya, piring ku kembalikan ke atas meja. Namun, ada hal yang tak terduga dari diri Rei, ia dengan cepat mendekati wajahku, lalu menjatuhkan bibirnya tepat di bibirku. Ia mengecup lembut bibir ini, dan tak lama makin buas hingga salivanya masuk ke dalam mulutku. Aku hentikan aksinya itu, ku dorong tubuh Re lalu ku elap mulutku dengan tissue.
“Kenapa di lap? Kamu gak suka?” Tanyanya dengan mata memerah yang sudah jelas bagiku itu adalah tatapan nafsu dari pria.
"Sayang, aku udah ga kuat. Setelah ini acaranya udah kan?" Tambahnya lagi.
Nafsunya menggebu untuk segera menggerayangi tubuhku. Sementara aku masih terkaget-kaget, sebab pria ini bukan seperti Re yang ku kenal dulu.
“Aku adalah istri sahnya, mungkin ini yang dinamakan wajar bagi pria untuk segera melepaskan keperawanan sang wanita”, batinku yang terus mencoba berpikir logis bahwa kondisinya kini berstatus suami istri.
"Iya sayang, sabar. Tenang, sebentar lagi," balasku singkat dengan menatap matanya.
Adegan tadi benar saja menjadi penutup acara kami diiringi dengan sorak dan tepuk tangan para tamu yang hadir. Re menggandeng dan menatap mataku dengan tatapan nafsunya. Kami berjalan, melangkahi setiap anak tangga untuk sampai kamarku. Belum lagi sampai ranjang, ada kericuhan yang tengah terjadi dari lantai bawah.
"Laila, apa kamu yang mengundang perempuan ini hadir di acara ini?" Ayah berteriak hingga seisi rumah berkumpul di ruang tengah.
Aku membalikkan badan, dan betul saja ayah tengah menyeret perempuan di hadapan tangga.
"Tania????" Ucapku teriak dari lantai dua.
"Ini kan acara keluarga, bukankah Tania bagian dari keluarga ini?" Jawabku dengan intonasi tinggi.
Re mencolek tanganku seolah bertanya apa yang terjadi.
"Bentar sayang," ucapku sembari melepas genggaman tangannya dan kembali lagi menuruni satu per satu anak tangga. Rei terlihat mengikutiku seperti ingin tahu apa yang sedang terjadi.
"Yah, duduk dulu aja yuk di halaman belakang. Gak enak di depan sana masih ada tamu," ajakku kepada ayah.
Kami berjalan menuju halaman belakang, begitu juga ibu dan Re yang ikut mengambil peran dalam konflik internal ini.
“Bi, tolong pastikan sudah tidak ada tamu lagi di depan ya,” perintahku kepada Bi Asri.
“Baik Non,” ujarnya yang langsung menuju ke halaman depan.
"Dia sudah memilih bukan menjadi bagian keluarga ini, sejak hamil di luar nikah tahun lalu," ketus ayah, dengan suara yang lantang bak sedang berperang.
Ayah merupakan tipe lelaki yang sangat memegang teguh prinsip harkat, martabat, dan kasta. Baginya Tania adalah aib keluarga semenjak kecelakaan tahun lalu, hamil pada saat kuliah. Hingga ayah mengecapnya sebagai pelacur. Ia dihamili oleh lelaki dengan jarak umur 30 tahun diatasnya, dan ya betul saja ia dicampakkan atas perbuatan lelaki itu. Meski hubunganku dengannya adalah saudara tiri, tapi ia tetaplah adikku, hasil dari kekhilafan ayahku dulu bersama ibunya. Namun kini, ibu Tania telah meninggal. Tidak ada lagi yang bisa Tania harapkan selain ayah kandungnya, meski sang ayah telah membuangnya tahun lalu.
"Yah, bukannya Tania juga hasil hubungan terlarang antara Ayah dan Ibunya?" Ucapku melawan pria yang sedang berada di hadapanku.
“Laila!! Tidak pantas kau berbicara begitu!” Teriak ibu dengan tiba-tiba.
Aku melirik ke arah ibu, ia tampak sangat marah dengan kalimat yang baru saja ku lontarkan. Meski semua itu adalah faktanya, ayah menyakiti ratuku. Namun, semenjak kepergian tante Monica, ibuku dengan lapang dada mengurus Tania. Meski pada akhirnya, kepercayaan dikhianati oleh anak remaja itu dengan berhubungan pada pria beristri.
***
“Kau masih punya masa depan yang panjang, tega sekali berselingkuh dengan suamiku,” teriak wanita paruh baya di depan rumah tiga tahun yang lalu.
“Sekarang dimana suamiku? Telponku tak pernah tersambung kepadanya, anaknya merintih merindukan sosok ayah. Lagian kau begitu muda, apa sudah tidak ada lelaki muda yang mau denganmu?” Tambah wanita paruh baya tersebut.
Aku, ibu, dan Tania tak mampu menepis satu kata pun atas amarahnya wanita tersebut yang membawa tiga orang anaknya.
“Bagaimana tanggung jawab Ibu atas perbuatan anaknya? Apa saya harus bawa kasus ini ke polisi?” Ancam wanita tersebut.
“Maaf Te. Tante bisa masuk dulu untuk kita diskusikan dengan kepala dingin. Agak kurang etis saja apabila Anda berteriak-teriak di depan pagar ini,” ucapku pelan.
“Kurang etis katamu?” Jawabnya ketus.
“Kalian pikir selingkuh dengan suami orang merupakan perbuatan yang etis? Lalu ketika saya melabrak bocah ini, kalian bilang ini gak etis?” Tambahnya dengan nada yang lebih tinggi.
Ibu mencoba menarik tanganku, seolah bermaksud diam sejenak. Sementara Tania hanya menunduk dan meneteskan air matanya. Aku melihat sekeliling rumah sudah cukup banyak tetangga kompleks yang datang melihat perkara di depan pagar ini. Beruntungnya pada saat kejadian langsung, Ayah masih berada di kantor sehingga tidak membuat suasana menjadi begitu panas.
“Sa…. sa…. Saya hamil anaknya Mas Ibnu,” ucap Tania pelan dengan wajah meringis ketakutan.
Sontak saja, tangan wanita paruh baya tadi mendarat di pipi kanannya dan cukup kencang bunyinya. Aku dan Ibu tentu sama kagetnya.
“Kurang ajar kau jalang!” ketus wanita itu.
“Sudah cukup!!!!” Ucap Ibu yang tiba-tiba berteriak.
Ibu tarik tangan wanita tersebut ke dalam pagar dan aku menutup pagarnya, sebab kondisi sudah semakin tidak kondusif karena warga kian berbisik satu sama lain.
Wanita tadi sudah berada di puncak emosinya dan ia luapkan dengan menangis, tak lama ia tampak lunglai dan jatuh persis di depan pintu masuk.
“Bu, Kaak, maaf….” ucap Tania yang masih terus meringis ketakutan.
“Maaf kau bilang? Apa kau tidak merasa malu melakukan ini?” Teriakku dan tanpa sadar mengangkat tangan kanan yang hendak menghajarnya.
Ibu menepis tanganku sembari nangis terisak. Lalu ia melanjutkan langkahnya tanpa berkata-kata menuju ruang tamu. Sementara wanita paruh baya diangkat oleh Pak Karyo dan Bi Asih menuju sofa untuk diberikan pertolongan. Ketiga anaknya nangis ketakutan, dan terus memanggil mamanya.
“Kau benar-benar buat malu keluarga. Sudah Ibumu penggoda ayahku, kini kau meneruskan bakatnya untuk jadi pelacur!” Ucapku di posisi puncak amarah.
Aku merogoh saku celanaku, ku buka layarnya, dan mencari kontak Ayah.
“Yah, bisa pulang sekarang? Tania berseteru dengan perempuan yang katanya suaminya digoda oleh anakmu,” ucapku tanpa peduli pada Tania yang tengah merintih ketakutan.
"Kurang ajar kamu, buat malu keluarga," plakkkkk tamparan ayah yang begitu kuat membuat tubuh Tania jatuh. "Rendi, kau pastikan gak ada media yang meliput kejadian ini. Buat malu saja, bisa gagal proyek perusahaan kita apabila berita skandal ini tersebar," ucap ayah dengan nada tinggi kepada asisten pribadinya. Ibu yang awalnya duduk di sofa berjalan menuju Tania dan mengulurkan tangannya lalu menariknya untuk duduk. Sementara wanita paruh baya tadi masih ditangani oleh Bi Asih agar segera siuman, dan ketiga anaknya sedang berada di taman belakang bersama Bi Ratih. Tak lama wanita paruh baya itu siuman, ia mencoba duduk dan menyeruput air yang telah disediakan oleh Bi Asih. Ia melirik ke arah kiri dan mengernyitkan matanya seolah ada sosok yang ingin dipastikan olehnya. Lalu, tak berapa lama ia berdiri dan berteriak. "Pak Anwar…….. Tolong Pak…. Ibnu Pak…." Teriaknya histeris berlari menghampiri ayah. Aku terkejut, bahkan seluruh ruangan yang menyaksikan juga melalak heran. "Kok
“Tania sini, kau berada di belakangku saja,” ucapku sembari menarik tangannya agar tak kena pukulan dari ayah. “Kau beruntung, sebab anak kandungku melindungimu bahkan hingga membawamu ke luar negeri yang tak pernah berhasil ku lacak keberadaanmu,” ucap ayah dengan menunjuk Tania. Aku berusaha melindunginya. Aku selalu memasang tubuhku di depannya agar ia merasa aman dari kejamnya ayah. Namun, ya tentu saja ayah tidak akan pernah memukulku bahkan sampai di titik aku mengkhianatinya karena telah membawa Tania kabur pada saat ia memerintahkan sopirnya untuk mengantar ke Rumah Duri. “Sudah Yah, sudah, hentikan,” ucap ibu terisak menarik tangan ayah. “Ku beri kau waktu 1 jam disini untuk menemui kakakmu dan suaminya, lalu kau angkatkan kaki dan jangan pernah kembali lagi,” tambah ayah dengan suaranya yang tegas. Ia melepasan satu kancing di kemejanya dan melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah bersama ibu di sampingnya. “Apakah Ayah yang membunuh Mas Ibnu?” Tania berteriak dengan kenc
Hari pertama setelah pernikahan dimulai, rencananya hari ini aku dan Re akan pindah ke apartemen yang berdekatan dengan Tania.Aku bangun lebih awal dari suamiku, lalu duduk dan bersandar tepat di samping pria ini. Terlihat ia menghadap ke arahku dan ku pandangi juga bahwa di sebelah kiri kepalanya terdapat ponsel yang mungkin saja masih ia nyalakan ketika ku terlelap tadi malam. Ia tidur dengan busana lengkap, sementara aku masih dengan tubuh yang baru saja ia nikmati dan berbalut selimut. Ada perasaan curiga yang bergemuruh di dalam pikiranku, namun sepertinya tak etis untuk membahasnya karena baru saja beberapa jam yang lalu kami resmi menikah dan berikrar sehidup semati.“Sayang kok sudah bangun?” Ucapnya melihatku. Sementara aku tersenyum kepadanya sembari terus mengelus rambutnya.“Tadi malam kamu tidur jam berapa?” Jawabku dengan lembut kepadanya, seakan lupa akan kemarahan yang tadi malam telah ku lontarkan kepadanya, sebelum ia bergegas pergi mengangkat teleponnya.“Lupa deh
"Kak, Ibnu datang menemuiku..." rintih Tania yang masih terbaring lemas di atas kasur.Aku mendengarnya merintih sembari mengucapkan kalimat itu. Sembari melihat beberapa perawat yang masih sibuk untuk membersihkan luka di paha kanannya, ku lihat Tika dari jauh menghampiriku."Kamu kok ada disini?" Tanyaku. Aku seolah bingung sebab, belum ada ku infokan hal ini kepada asisten pribadiku ini."Saya kebetulan lewat lalu melihat mobil Ibu belok menuju rumah sakit ini." Jawabnya."Mbak, adiknya sudah selesai kami bersihkan lukanya. Mohon segera lengkapi administrasi ya." ujar perawat sambil berdiri dan memegang beberapa alat berbahan stainless steel."Apakah perlu rawat inap?" Tanya Re yang berada di sebelahku."Gak perlu Pak. Cukup bantu gantikan saja perbannya setiap hari." ucap perawat lalu mereka pamit dan melangkahkan kaki keluar ruangan."Biar aku saja yang urus, Sayang. Kamu temenin aja Tania," ujar Re."Kamu tahu identitas Tania?" Jawabku.Umumnya, rumah sakit akan meminta data diri
"Pagi Sayang, gimana tidurnya? Mimpi apa tadi malam?" Sapa Re yang terlihat samar wajahnya sudah berada di hadapanku. Ia makin mendekatkan wajahnya ke arahku, dan benar saja ia langsung mengecup bibirku hingga nyaris melumatnya. Spontan, ku dorong tubuhnya dari hadapanku. "Loh, kenapa Sayang? Aku suamimu loh ini," dengan nadanya yang cukup tinggi. "Re, nanti kita bisa ngobrol sebentar? Ada hal yang gak bisa aku tahan sendiri lagi," jawabku yang langsung berdiri menuju kamar mandi. "Bisa, aku tunggu nih kamu disini," balasnya. Baru saja sekitar 10 menit aku berada di kamar mandi, aku mendengar suara dering ponsel Re berbunyi. Aku mencoba untuk menguping dari balik dinding kamar mandi ini, namun suaranya perlahan semakin jauh. "Sial dia justru ke balkon!" gerutuku. Dengan penggunaan sabun yang belum maksimal, ku lilitkan handuk ke lingkar tubuhku, lalu mengendap-endap keluar dari kamar mandi untuk sekedar mencari tahu suamiku ini sedang berhubungan dengan siapa. "Ya sudah kalo me
"Selamat pagi Ibu, sepertinya hari ini Ibu harus ke kantor, ada yang tidak beres dari mutasi rekening kantor," terdengar suara yang tergesa-gesa dari kejauhan sana. "Sorry sorry, maksudmu gimana dan ini saya bicara dengan siapa?" Responku sembari mengatur posisi duduk pasca terbangun karena kaget bunyi deringan ponsel di sebelahku. "Maaf Ibu, saya Alika, Kepala Keuangan kantor. Saya baru menerima laporan bulanan, namun ada transaksi yang mencurigakan," jawabnya dengan nada formal. "Oke, saya segera ke kantor. Tolong siapkan ruang meeting dan kumpulkan staf terkait." Aku langsung menurunkan kakiku dari ranjang, dan menuju kamar mandi. Namun, sebelum melangkahkan kaki kiri ini masuk ke dalam, aku menoleh ke belakang, ku amati seantero ruangan. "Re kemana?" Ucapku pelan. "Ah sudah mungkin dia sedang sarapan," ucapku lagi. Aku langsung memasuki kamar mandi dengan pikiran yang bingung, ada apa dengan keuangan kantorku. *** Setelah ku berdandan rapi, aku mengambil blazer hitam yang
"Kring... kring.. kring...." Dering ponselku berbunyi tepat saat sedang menunggu lanjutan obrolan Andrew."Maaf Bu, semua staf sudah lengkap dan meeting sudah bisa dimulai," suara yang berasal dari ponsel memecahkan fokusku."Oh ya, saya sedang menuju lift." Aku langsung menutup telepon."Drew, gue mau meeting sekarang. Lo bisa tunggu sampai gue selesai?" Tanyaku kepadanya.Ia menatapku cukup lama, ya seperti biasa ketika ia sedang berpikir jelas banget terlihat ia diam sejenak."Ampun dah lo ya masih aja. Bisa atau gak, jangan kebanyakan mikir," ujarku sembari tersenyum tipis."Kelihatannya mantan gue masih paham banget ya," celotehnya dengan tertawa."Ya sudah lo meeting dulu aja, nanti telepon gue aja. Gue masih dengan nomor lama dan perasaan yang sama hahaha," tambahnya tertawa dan melangkahkan kaki menuju pintu keluar.Aku melihatnya berjalan langkah demi langkah menuju pintu putar di ujung sana.
"Re, kapan kita mau mengunjungi orang tuamu?" Ujarku sesampai di apartemen sore hari yang melihatnya sedang menonton tv di atas ranjang."Baru pulang itu ucap salam dulu, Sayang. Tiba-tiba langsung ngomong gitu buat kaget," balasnya yang langsung menoleh kaget ke arah sumber suara di depam pintu kamar."Ah iya, tadi waktu masuk pintu utama udah ucap salam sih. Cuma kamu gak respon, makanya aku langsung masuk kamar aja.""Ya gak kedengeran juga sih, lagian volume tvnya kencang banget," tambahku."Hahaha iya, abisnya sepi banget sih jadi biar ramai aku naikin aja deh volumenya.""Kenapa kamu tiba-tiba nanya gitu, Sayang? Kan kita udah rencanakan mau honeymoon dulu baru ke rumah orang tua," responnya. Ia langsung berdiri mendekati meja kecil di sudut jendela untuk menuangkan segelas air putih yang selalu stanby di sana."Hmmm baiknya kita ke rumah orang tuamu dulu," responku singkat."Kenapa buru-buru gini?" Dari nada pertanyaannya aku sudah bisa merasakan sedikit ada getaran dengan raut