Share

Part 4 Mencekam

"Kurang ajar kamu, buat malu keluarga," plakkkkk tamparan ayah yang begitu kuat membuat tubuh Tania jatuh.

"Rendi, kau pastikan gak ada media yang meliput kejadian ini. Buat malu saja, bisa gagal proyek perusahaan kita apabila berita skandal ini tersebar," ucap ayah dengan nada tinggi kepada asisten pribadinya.

Ibu yang awalnya duduk di sofa berjalan menuju Tania dan mengulurkan tangannya lalu menariknya untuk duduk. Sementara wanita paruh baya tadi masih ditangani oleh Bi Asih agar segera siuman, dan ketiga anaknya sedang berada di taman belakang bersama Bi Ratih. 

Tak lama wanita paruh baya itu siuman, ia mencoba duduk dan menyeruput air yang telah disediakan oleh Bi Asih. Ia melirik ke arah kiri dan mengernyitkan matanya seolah ada sosok yang ingin dipastikan olehnya. Lalu, tak berapa lama ia berdiri dan berteriak.

"Pak Anwar…….. Tolong Pak…. Ibnu Pak…." Teriaknya histeris berlari menghampiri ayah.

Aku terkejut, bahkan seluruh ruangan yang menyaksikan juga melalak heran.

"Kok wanita ini bisa kenal ayah?" Batinku.

"Apa-apaan ini Lastri, kenapa Anda bisa di rumah saya?" Tanya ayah ketus.

Perempuan itu terdiam, kelopak matanya membesar, dan matanya merah menyala. Ia berbalik menuju Tania. Dari tatapannya, sudah pasti yang melihat akan berkata bahwa ia akan membunuhnya. 

"Perempuan jalang ini tengah hamil anak Ibnu. Siapa perempuan ini? Anakmu?" Teriaknya histeris.

Ayah shock, ia sontak menyentuh dadanya dan meraba di sekitar sisi kanan kirinya. Aku langsung berlari ke arahnya, untungnya kursi tersebut tepat mendarat di tubuhnya, sehingga ia tak terhempas jatuh. Ayah tidak pingsan, namun jelas ia begitu kaget.

"Ada apa ini sebenarnya? Ada apa Ayah?" Teriak ibu sembari terisak nangis.

"Yah, ini ada apa?" Tanyaku lagi dengan nada yang lebih rendah karena ia tepat berada disampingku.

Aku melirik ke arah Tania, ia tampak tidak terkejut, ya mungkin ia sudah lebih tau dari kami semua.

"Tuan, minum dulu," ucap Bi Asih membawakan segelas air putih yang ia letakkan di meja sudut persis disamping ayah.

Gelas yang dibawa oleh Bi Asih langsung ia tegukkan, dan ia juga mencoba atur ritme nafas, sehingga sempat beberapa menit kondisi hening.

"La, kau kemas semua baju adik tirimu itu ke dalam koper. Lalu minta Rendi antarkan anak itu ke Rumah Duri," ucap ayah berbisik kepadaku.

Aku menatapnya. Lalu ia mengangguk seolah meyakini keputusannya. Setelah itu, aku langsung berlari menaiki satu per satu anak tangga hendak ke kamar Tania. Ku bongkar bajunya, dan ku susun rapi ke dalam 3 buah koper besar. 

"Pak, bisa tolong angkat kopernya Tania bersama dengan Pak Rendi? Oh ya bilang juga sama Pak Rendi, tolong antar Tania ke Rumah Duri," ucapku melalui sambungan telepon.

"Non, harus ke Rumah Duri?" Tanya Pak Karyo dengan nada bicara sedikit gemetar.

"Ya Pak, perintah ayah demikian," balasku dengan singkat.

Tak butuh lama, mereka berdua datang lalu mulai mengangkut satu per satu koper. Pak Karyo yang jalan lebih dulu, lantas membuat Pak Rendi masih berada di dekatku. Lalu, aku selipkan sebuah catatan kecil di tangannya.

"Pak, tolong baca ini hanya ketika Bapak berada di mobil hendak jalan ke Rumah Duri ya. Tolong aku Pak," ucapku dengan nada yang amat pelan.

Ia mengangguk, lalu mulai berjalan lagi menuju luar kamar untuk memasukkan koper ke dalam mobil hitam ayah.

Setelah ku yakini semua kebutuhan Tania telah berada di dalam koper. Aku kembali turun, dan tampak ayah pindah duduk berhadapan dengan wanita paruh baya tadi dan juga Tania.

"Oke saya tidak ingin ambil pusing masalah ini. Mari kita selesaikan saja sekarang. Kamu, kamu ya Tania gugurkan saja janin harammu itu. Aku akan tanggung semua pengeluaran aborsinya. Lalu kamu Lastri, kembali ke rumahmu, tutup mulutmu untuk membawa pemberitaan ini ke polisi apalagi ke media. Aku akan memberikanmu cek 300 juta," ucap ayah dengan lantang.

"Saya saat ini tidak bisa menghubungi Ibnu, Pak. Bisakah Bapak tolong carikan dia? Tolong sampaikan untuk pulang Pak. Anaknya begitu merindukan papanya," isak wanita paruh baya.

Aku yang masih berdiri di tepi tangga melihat pemandangan yang begitu menyayat hati. Ibu hanya bisa diam dan tertunduk, Tania tidak bisa berkata apapun, sementara tante itu? Ah dia pun hanya ingin suaminya kembali ke pangkuannya. Sementara ayah, tetap menjadi sosok penguasa yang meng-uang-kan semua hal untuk menutupi apa yang tak ia suka terlebih mengancam bisnisnya.

"Sekarang kau pulang, ajak ketiga anakmu keluar dari rumahku. Ku pastikan suamimu pulang dalam waktu yang singkat," ucap ayah.

"Dan kau, kau angkat kaki dari rumah ku. Urus aborsimu, dan tinggallah kau di Rumah Duri. Aku akan bertanggung jawab dengan biaya aborsi dan bulananmu. Kau adalah aib, sehingga layak untuk kami tutupi keberadaanmu." Ucap ayah yang langsung berdiri dan berjalan menuju halaman belakang.

Dari arah yang berlawanan, terlihat ketiga anak kecil datang menuju ibunya. Tamu wanita itu telah berhasil pulang dengan harap suaminya dan sosok papa bagi anaknya pulang.

Lalu, aku melihat Tania berdiri dan hendak melangkahkan kakinya menuju pintu keluar. Namun, ibu meraih tangannya. Ia memeluk adik tiriku dengan isak tangis. Aku yang tak kuasa menahan itu semua, berjalan pelan menujunya.

"Nia, maaf aku kasar. Maaf aku ga bisa jadi pelindungmu disaat seperti ini. Namun, aku janji selama kau langkahkan keluar dari rumah ini, aku akan melindungi kamu." Ucapku. Ku usap pipinya bekas tamparan wanita tadi, aku melihat matanya, meyakinkan pada dirinya bahwa aku pasti melindunginya.

"Bu, maafin Tania. Kak, maafin Tania," ucapnya yang meleraikan tangan kami, dan melangkahkan kakinya menuju mobil hitam yang telah siap membawanya pergi menuju Rumah Duri.

Aku dan ibu melihatnya berlalu dan sangat berharap Pak Rendi bisa amanah menjalani permintaanku kali ini.

"La, Ibu sangat takut dia berada di rumah itu," ucap Ibu dengan isak tangis yang sangat pelan, agar tak sampai di telinga ayah.

"Ibu tenang aja," ucapku meyakinkannya bahwa tidak akan terjadi apa-apa kepada adik tiriku.

Aku membawa ibu menuju kamar tamu yang berada di lantai bawah, sebab aku tahu ia belum punya tenaga lebih untuk menaiki satu per satu anak tangga apabila langsung ku antar ke ruang tidur utama.

Setelah ibu sampai di ranjang tidurnya, aku menemui Bi Asih.

"Bi, tolong antarkan ibu minum dan makan ya. Oh ya jangan lupa obat ibu juga. Terima kasih ya Bi," ucapku.

"Siap Non, sebentar Bibi siapkan dulu ya," jawabnya.

Lalu, niatnya aku menuju taman belakang untuk sekedar mengobrol bersama ayah. Namun, baru saja ku langkahkan kaki menuju pintu keluar, tampak terdengar suaranya yang lumayan nyaring. Sepertinya ia sedang berkomunikasi dengan seseorang di seberang sana. 

"Saya tidak mau tahu, pokoknya malam ini kau habisi dia," ucap ayah.

Deg…..

Tubuhku seolah kaku mendengar sepenggal kalimat tersebut.

"Kali ini, siapa lagi, Yah?" 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status