Share

Part 6 Gerak Gerik Mencurigakan

Hari pertama setelah pernikahan dimulai, rencananya hari ini aku dan Re akan pindah ke apartemen yang berdekatan dengan Tania.

Aku bangun lebih awal dari suamiku, lalu duduk dan bersandar tepat di samping pria ini. Terlihat ia menghadap ke arahku dan ku pandangi juga bahwa di sebelah kiri kepalanya terdapat ponsel yang mungkin saja masih ia nyalakan ketika ku terlelap tadi malam. Ia tidur dengan busana lengkap, sementara aku masih dengan tubuh yang baru saja ia nikmati dan berbalut selimut. 

Ada perasaan curiga yang bergemuruh di dalam pikiranku, namun sepertinya tak etis untuk membahasnya karena baru saja beberapa jam yang lalu kami resmi menikah dan berikrar sehidup semati.

“Sayang kok sudah bangun?” Ucapnya melihatku. Sementara aku tersenyum kepadanya sembari terus mengelus rambutnya.

“Tadi malam kamu tidur jam berapa?” Jawabku dengan lembut kepadanya, seakan lupa akan kemarahan yang tadi malam telah ku lontarkan kepadanya, sebelum ia bergegas pergi mengangkat teleponnya.

“Lupa deh aku. Aku gak lama kok keluarnya, terus pas masuk kamunya udah tidur,” jawabnya.

"Maaf ya tadi malam, aku belum sempat menjawab panggilanmu," tambahnya lagi.

"Memangnya panggilan dari siapa?"

"Biasa masalah kantor. Udah gak usah bahas ya, kita nikmati waktu kita aja."

"Ya kalo gitu doang kan harusnya kamu bisa langsung bilang tanpa mendiamkan," balasku ketus.

"Udah ah jangan jutek gitu," jari telunjuknya menyentuh bibirku. 

“Mau dilanjutkan lagi gak, Sayang?” ujarnya lagi sembari tersenyum nakal.

Tanpa menunggu jawaban, ia langsung berdiri melepaskan semua pakaiannya dan langsung mengambil posisi di atas tubuhku. Ia sentuh semua bagian tubuhku dari bibir, leher, dada, hingga sampai ke bagian intim. Secara bersamaan, bibirnya perlahan menyentuh bibirku hingga sampai melumatnya tanpa ada keraguan. Tak lama ia mulai memasukkan alat vitalnya dan bergoyang pelan di atas tubuhku. Ia begitu menikmati fantasi yang ia buat dan lakukan sendiri hingga desahan sesekali jelas terdengar di telinga. Sementara aku hanya merasakan sedikit sakit, dan entah kenapa, secara tiba-tiba aku merasa jijik dengan berhubungan yang sedang ia lakukan sehingga aku dorong tubuhnya di tengah kenikmatan yang tengah dirasakan.

“Re, udah,” ucapku yang langsung duduk.

“Sayang kenapa? Sakit?” Ucapnya kaget.

“Aku mau ke kamar mandi,” jawabku yang langsung berlari ke kamar mandi dengan tubuh yang masih tanpa busana.

“Kita mau melakukannya di kamar mandi? Supaya ada variasinya hahaha,” ucapnya dengan tertawa.

Tak ku hiraukan perkataannya, langsung ku tutup pintu, menguncinya, dan aku terdiam hening di balik pintu.

“Kenapa aku bisa berpikir seperti ini sih?” desisku.

Durasi singkat hubungan tadi membuatku terbayang ketika ia sedang melakukan hal yang sama dengan perempuan lain, dan aku merasa geli ketika membayangkannya. Mungkin karena faktor pikiranku yang teramat mencurigainya tadi malam hingga terbawa sampai pagi ini.

“Apakah mungkin trauma ku seutuhnya belum sembuh?” tambahku lagi.

Perlahan ku berjalan menuju wastafel, putaran keran dan air mengalir mmembuatku jauh lebih tenang daripada kondisi tadi. Ku lihat wajahku di depan cermin.

"Dia terlalu asing untukku, apakah perasaan ini wajar untuk pasangan baru yang hidup satu kamar?" Ucapku berbicara pada pantulan wajah yang sama denganku.

"Sayang, kamu aman kan?" Teriak Re sembari sesekali mengetuk pintu.

                             ****

Setelah 45 menit berada di kamar mandi, ku putuskan keluar dengan tubuh setengah basah, dan handuk putih yang melingkar menutupi tubuh.

"Kok lama banget sih sayang. Kamu kenapa?" 

"Aku gerah dan ingin mandi," jawabku.

"Hanya itu?"

"Ya, lantas apalagi?" Jawabku sedikit ketus.

"Kamu sakit? Atau aku terlalu cepat sehingga kamu gak ikut menikmati?" Tanyanya dengan wajah penuh penasaran.

"Entahlah, mungkin belum waktu yang tepat aja Re. Nanti kita coba lagi ya," ucapku sedikit tersenyum.

"Ya sudah sayang, nanti di tempat baru mungkin saja akan bisa merangsangmu," balasnya dengan memeluk dan mengecup bibirku. 

"Sana kamu mandi dulu, aku dingin nih mau pakai bajunya dulu," sambungku.

Ia mengangguk dan berjalan menuju kamar mandi. Tak lama ia masuk, tatapan mataku langsung tertuju pada ponsel yang sedang ia isi daya. Aku berencana mendekati ponselnya, namun terlebih dahulu ku ambil pakaian yang ingin ku gunakan hari ini untuk pindahan.

Ku buka lemari, dan ku temukan satu baju yang amat menawan, berwarna biru muda dengan pita kupu-kupu di sisi depannya yang seolah berperan sebagai kancing, namun itu adalah penghias.

Setelah ku dapat apa yang ku mau, langsung ku lekatkan pakaian ini ke badan. Ku pastikan pula pakaian ini rapi dan bagus untuk ku kenakan. Lalu, setelahnya perlahan-lahan jalan menuju ke sisi meja dekat pintu kamar.

"Sayang kamu ngapain?" Tanyanya dari arah belakang dengan suara tegasnya.

"Ha… hee… itu… mau keluar," ucapku.

"Kok keluar, mana pakaianku udah di siapin belum?" Tanya Renald.

"Ha… aku kan gak tau kamu mau pakai baju apa," balasku.

"Loh… Kita kan udah jadi suami istri, nah tugas istri itu melayani suaminya sampai dengan disiapkan pula baju kerja, baju rumah, dan baju jalan," jawabnya terheran.

Mendengar ucapannya, aku langsung mendekatinya.

"Lantas, tugas suami apa?" Tanyaku dengan datar.

"Sayang, apa ini harus jadi perdebatan kita juga? Please, sayang jangan ajak aku bertengkar ya. Kita kan baru nikah, yuk nikmati dulu masa-masa ini," ucapnya.

Benar saja ia tak bisa menjawab pertanyaan sesingkat itu. Bagiku ya semua orang sama tidak bisa dibedakan atas spesialis tertentu kecuali melahirkan. Sehingga tidak menjadi alasan perempuan harus terus melakukan pekerjaan sekedar memilihkan baju suaminya. Pertanyaan sederhananya adalah, apakah yang telah dipilih akan cocok dengan pemakainya. Belum tentu!

"Ya sudah. Kamu mau pakai baju yang mana?" Jawabku ketus.

"Kaos aja sayang,"

Ku buka pintu lemari, lalu terlihat tumpukan kaos lebih dari 20 yang tersedia dalam sisi lemari tersebut.

"Lantas, dari semua ini, warna apa yang mau kamu pakai hari ini?" Tanyaku.

"Terserah kamu aja sayang," jawabnya.

"Terserah bukan jawaban," ujarku.

Akhirnya aku menarik sebuah kaos yang berada di tumpukan kelima. Ketika aku mengambilnya, aku melihat dokumen penting atau rahasia yang berada di antara tumpukan tersebut. Tampaknya dokumen itu memiliki nilai rahasia sebab terdapat segel di seluruh sisi dokumen.

"Sayang, ini apa? Kok ada di tumpukan baju."

"Oh itu, dokumen perusahaan sayang. Biar di situ aja, entar aku lupa lagi."

"Ya sudah, ini bajunya." Ku letakkan baju yang ia minta tadi di atas kasur. Setelahnya aku berjalan menuju meja rias dan mengambil beberapa skincare untuk diusapkan ke wajah dan beberapa ku masukkan ke dalam koper untuk dibawa menuju apartemen.

"Tadi bukannya kamu mau keluar? Gak jadi?" Ucapnya tertawa pelan.

"Aduh, Re bakal curiga gak ya," bisikku dalam hati.

Belum lagi sempat menjawab pertanyaannya, terdengar bunyi dering yang begitu menggema di kamar ini.

Aku langsung berdiri dan mengambil sumber dering tersebut.

"Ibu… Ibu….." Teriak seseorang yang jauh di seberang sana.

"Halo Lita, kenapa sampai teriak begitu?" Ucapku yang mulai berdegup ketika mengangkat telepon ini.

"Non Tania Bu….." Ucapnya dengan terbata-bata.

"Lita, tenang dulu. Tania kenapa? Bisa tolong jelaskan supaya saya juga tidak panik?" Ucapku dengan mengatur ritme pernapasan.

Re melihatku dengan saksama. Dari pancaran matanya ia bingung dengan ekspresi wajahku yang begitu jelas menggambar kepanikan.

"Non menya….yat… pahanya," ucapnya gugup.

"Ha? Tania gak mungkin begitu. Dia udah lama sembuh." Ucapku dengan teriak meski tangan ini gemetar dan tubuhku lemas.

Re langsung mendekatiku, merangkulku dan mengantarku untuk duduk di atas kasur.

"Non saat ini di UGD Mitra Bu…." Jawabnya pelan dan gugup.

"Astaga!" Tanpa menunggu lama, aku langsung meminta Re mengantarku ke Rumah Sakit itu. 

Aku dan Re bergegas keluar dari kamar dan menuruni anak tangga. Dengan pikiran yang kalut, aku hanya pamit sambil berjalan melewati ayah.

"Yah, aku pergi dulu Tania di UGD," ucapku tanpa menoleh kepadanya.

"Hahaha biar saja perempuan itu mati,"

Aku menghentikan langkah kakiku.

Tangisanku pecah saat mendengar ucapan yang tak pantas disebut oleh seorang ayah kepada anak kandungnya.

Aku membalikkan badan dan berkata, "Ayah masih punya waktu untuk meminta maaf atas semua tindakan kasar kepada putri kandung Ayah," ujarku sembari meninggalkan ayah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status