Share

Part 7 Siapa Dibalik Panggilan Itu?

"Kak, Ibnu datang menemuiku..." rintih Tania yang masih terbaring lemas di atas kasur.

Aku mendengarnya merintih sembari mengucapkan kalimat itu. Sembari melihat beberapa perawat yang masih sibuk untuk membersihkan luka di paha kanannya, ku lihat Tika dari jauh menghampiriku.

"Kamu kok ada disini?" Tanyaku. Aku seolah bingung sebab, belum ada ku infokan hal ini kepada asisten pribadiku ini.

"Saya kebetulan lewat lalu melihat mobil Ibu belok menuju rumah sakit ini." Jawabnya.

"Mbak, adiknya sudah selesai kami bersihkan lukanya. Mohon segera lengkapi administrasi ya." ujar perawat sambil berdiri dan memegang beberapa alat berbahan stainless steel.

"Apakah perlu rawat inap?" Tanya Re yang berada di sebelahku.

"Gak perlu Pak. Cukup bantu gantikan saja perbannya setiap hari." ucap perawat lalu mereka pamit dan melangkahkan kaki keluar ruangan.

"Biar aku saja yang urus, Sayang. Kamu temenin aja Tania," ujar Re.

"Kamu tahu identitas Tania?" Jawabku.

Umumnya, rumah sakit akan meminta data diri pasien, sehingga aku ragu Re bisa menyelesaikan administrasi itu dengan baik.

"Saya bisa bantu, Bu." celetuk Tika.

"Ya sudah tolong bantu selesaikan administrasi, agar bisa pulang dengan segera," jawabku singkat.

Mereka melangkahkan kaki keluar untuk membayar biaya perban dan penanganan pertama. Sementara di dalam ruangan ini, tersisa aku, Lita, dan Tania yang masih merintih.

"Lita, bisa tolong kamu tinggalkan kami berdua?" ujarku kepada Lita yang masih jelas terlihat dari wajahnya ia begitu panik dan ketakutan.

Ia hanya menangguk seolah mengiyakan keinginanku untuk berdua bersama Tania, adik tiriku.

"Apa maksudmu tadi?" Tanyaku saat ia membahas tentang Ibnu.

"Benar Kak, dia datang namun tidak tersenyum kepadaku. Aku yakin kematian dia masih sangat ganjal, Kak." jawabnya yang membuatku terus bingung dengan kondisi mental adikku ini.

"Tania, coba deh kamu tenangin dulu pikiranmu. Kita sudah pernah melewati fase ini, jadi tolong berhenti dan lanjutkan hidupmu lagi," bisikku pelan.

"Kak.... Aku tidak gila, aku tidak perlu pengobatan apapun tentang penyakit jiwa. Aku sehat dan aku sadar sepenuhnya, aku melihat Ibnu seperti mengisyaratkan sesuatu hal akan kematiannya." jawabnya dengan nada yang sedikit keras.

Aku berhenti berdebat dengannya. Aku menatapnya dalam, seperti mencari apa yang sebenarnya terjadi pada dia. Apakah trauma masa lalunya terus menjadi penghalang kehidupan ia sekarang dan masa depannya? Ah aku tidak ingin hal itu terjadi!

****

"Sayang, semua sudah beres dan Tania bisa langsung pulang," ucap Re yang baru saja kembali. Ia mendekat ke arahku dan Tania.

"Hai Tania, aku Re. Kita belum sempat kenalan ya kemarin?" ucap Re dengan tersenyum.

Tania hanya mengangguk dan tersenyum kecil, setelahnya ia kembali menatapku seolah membutuhkan jawaban dan persetujuan terkait opini pribadinya.

"Tika kemana?" Tanyaku kepada Re.

"Ah iya, lupa. Dia titip pesan untuk langsung berangkat ke kantor karena harus menangani beberapa kerjaan disana," jawab Re.

Tak lama setelah percakapan singkat, Lita masuk untuk memberitahukan bahwa mobil Tania telah siap di lobi rumah sakit. Kami lalu keluar ruangan dan menuju lobi.

"Sayang, kita ke apartemen dulu aja gimana?"

"Boleh, sekalian antar Tania juga," balas Re.

Setelah sampai lobi, kami terpisah oleh Tania dan Lita. Aku dan Re menuju parkiran lalu bersiap berangkat ke apartemen Tania dan juga apartemenku.

***

"Dring.... dring... dring...."

Getaran ponsel memecahkan hening selama di dalam mobil. Re terlihat mengambil ponsel dari saku kemejanya, menatap layar ponsel, dan langsung mematikan panggilan tersebut.

"Kok gak diangkat?" Ucapku yang masih terus menimbun kecurigaan kepada suamiku ini.

"Nomornya gak aku kenal," jawabnya.

"Ini udah panggilan kedua kali loh. Mungkin aja penting Re, menepi dulu aja mobilnya," responku sembari melihat matanya. Meskipun saat ini ia tak bisa melihatku karena sedang sibuknya jalanan, namun aku yakin dia bisa tahu apa yang aku maksud.

Namun ia tak peduli, ia tetap melanjutkan perjalanan tanpa merespon satu kata pun dari obrolanku.

***

"Dring.... dring... dring...."

Lagi, ketiga kalinya getaran ponsel Re sangat mengangguku. Baru saja ia matikan mesin mobil, bunyi getaran itu kembali lagi hadir untuk membuatku ingat akan kecurigaan 25 menit yang lalu.

Aku menatap Re, sementara ia meraih lagi ponsel dalam sakunya.

"Re, bisa diangkat dulu aja gak?"

"Loh, kenapa, Sayang?" Sangat terlihat wajahnya amat bingung dengan ucapanku barusan.

"Mengganggu banget," ucapku ketus.

"Ya sudah aku angkat deh," responnya sembari membuka pintu mobil.

Aku melihat gerakannya sampai dengan ia menutup pintu mobil dan mulai melangkahkan kaki menjauhiku. Dengan tingkahnya menghindar ketika mengangkat telepon terus menerus membuatku semakin yakin ada hal yang ia sembunyikan.

Aku tak ingin kehilangan jejak dengan siapa dia sedang melakukan panggilan. Dengan cepat ku buka juga pintu mobil dan berjalan cepat mengejar langkahnya yang sudah lumayan jauh dariku. Aku tak bisa berlari dengan rok sepan ini sehingga akan sulit bagiku untuk sampai sejalan langkah dengannya.

"Re... Tunggu."

Ia menoleh ke belakang dan tersenyum tipis. Entahlah, sengaja ia senyum padaku, namun langkah kakinya tak jua berhenti, atau ia membalas respon panggilan dengan senyuman itu.

Ketika melihat langkahnya yang sudah masuk ke dalam lobi dan entah tak ku temukan lagi bayangnya, aku mulai berpikir, bagaimana mengetahui apa yang sedang ia tutupi saat ini.

"Pasti ada hal yang ia tutupi," bisikku.

Ku keluarkan ponsel dalam saku rok ini, lalu ku cari dalam fitur pencarian ponsel nama yang bertuliskan Tika, dan ku lakukan panggilan.

"Nomor yang anda tuju sedang berada di panggilan lain" tutur operator.

Ku coba lakukan panggilan telepon lagi, berharap bisa langsung tersambung olehnya.

"Halo Ibu.. Maaf saya baru abis koordinasi dengan divisi. Ada yang bisa dibantu, Bu?" Terdengar suara dari seberang sana yang akhirnya merespon panggilanku.

"Tika, sekarang ini juga kamu cari semua hal tentang Re, suami saya. Saya tidak peduli apapun itu, intinya cari," tegasku.

"Baik Bu. Setelah saya menemukan semua yang Ibu butuhkan pasti segera dikirimkan," jawabnya.

Aku menutup telepon itu, lalu melanjutkan langkah kaki menuju lobi apartemen. Terlihat Re di pojok sana sedang menatapku dari jauh. Ia menyilangkan kedua tangannya dan menyenderkan badannya di dinding granit itu.

Aku tak mempedulikannya. Ku jalan melewatinya, dan ia langsung menyambar tanganku,

"Jangan marah dong, Sayang. Tadi ada panggilan dari Divisi baru, jadinya gak aku simpan itu kontaknya," tuturnya dengan tersenyum.

Aku menatapnya datar, dan langsung ku pencetkan tombol lift pertanda mau menggunakan lift tersebut. Re masih terus menggodaku disepanjang jalan, memastikan aku tak marah karena sikapnya. Namun, bagiku ini hal yang tak wajar. Justru, saat ini aku merasa telah menikahi orang lain, bukan Re yang aku kenal selama ini.

***

"Nia, kamu istirahat ya. Apabila butuh apa-apa, langsung hubungi Lita aja. Janji kelakuan yang begini terakhir ya. Setelah kamu stabil, kita bisa ngobrol banyak hal lainnya. Intinya, kamu harus buat dirimu rileks dulu," ucapku pelan menasehatinya.

Ia mengangguk dan ku anggap juga ia paham apa yang telah ku tujukan untuknya.

"Oh ya, dan kamu Lita tolong urus semuanya, dan jadwalkan pula dengan psikolognya kapan bisa konsul lagi," tambahku kepada Lita.

"Ibu, apakah akan menginap disini?"

"Kemungkinan akan menginap di apartemen sebelah, jadi kalo ada apa-apa langsung aja ketuk atau telepon ya."

***

Siang yang kacau ini akhirnya terselesaikan juga, dengan agenda tak terencana datangny ke apartemen ini yaitu untuk mengontrol kondisi Tania yang masih belum signifikan. Setelah aku pamit dari apartemennya, aku dan Re langsung menuju apartemenku. Aku membuka dan langsung masuk ke dalamnya. Re yang baru pertama kali datang kesini langsung menuju ranjang, dan aku tahu persis apa yang dia mau.

"Aku lagi capek banget," ucapku yang mendahului permintaannya.

"Hahaha tenang, aku gak minta nambah kok," balasnya dengan tertawa.

"Re, baiknya barang-barang kita disana aja kali ya. Sementara disini, barang-barang lain itu bisa dibeli juga."

"Ya sudah kalo itu emang keputusan kamu, asal jangan salahkan aku di hadapan ayah," tambahnya.

Setelah berbincang begitu lama, akhirnya ada chat yang masuk di dalam ponselku, dan ku temukan namanya adalah Tika.

[Setelah ditelusuri, namanya bersih, Bu. Ia tidak pernah terlibat dalam skandal apapun, namun dari sisi perusahaannya ia begitu diperhatikan sebab terdapat ketidaksesuaian data pada aset resminya]

"Setelah ini, apalagi yang aku masih belum tahu sama seseorang yang telah menjadi suami sahku?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status