Share

Part 5 Ada Apa dengan Re?

“Tania sini, kau berada di belakangku saja,” ucapku sembari menarik tangannya agar tak kena pukulan dari ayah.

“Kau beruntung, sebab anak kandungku melindungimu bahkan hingga membawamu ke luar negeri yang tak pernah berhasil ku lacak keberadaanmu,” ucap ayah dengan menunjuk Tania.

Aku berusaha melindunginya. Aku selalu memasang tubuhku di depannya agar ia merasa aman dari kejamnya ayah. Namun, ya tentu saja ayah tidak akan pernah memukulku bahkan sampai di titik aku mengkhianatinya karena telah membawa Tania kabur pada saat ia memerintahkan sopirnya untuk mengantar ke Rumah Duri. 

“Sudah Yah, sudah, hentikan,” ucap ibu terisak menarik tangan ayah.

“Ku beri kau waktu 1 jam disini untuk menemui kakakmu dan suaminya, lalu kau angkatkan kaki dan jangan pernah kembali lagi,” tambah ayah dengan suaranya yang tegas. Ia melepasan satu kancing di kemejanya dan melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah bersama ibu di sampingnya.

“Apakah Ayah yang membunuh Mas Ibnu?” Tania berteriak dengan kencang. Bahkan Bi Asih yang sedang membawakan gelas dan minum pun kaget hingga menyebabkan gelas jatuh dan serpihan kaca berhamburan.

Aku terpelongo mendengar kalimat yang barusan saja diucapkan oleh adik tiriku. Aku membalikkan badan dan menatap matanya. Ku lihat air mata telah penuh membasahi wajahnya yang cantik itu dengan rambut panjang sebahu yang terurai dan poni tipis di keningnya. 

Kami semua yang masih berada di halaman belakang tak bisa bergerak seolah menunggu jawaban dari ayah yang belum juga membalikkan badan selama 1 menit. Kemudian, ia berbalik dan menghembuskan nafasnya.

“Jaga ucapanmu. Dasar anak durhaka! Cepat kau pergi dari rumahku!” ucap ayah pelan namun dari nadanya sangat terdengar tajam.

Ia berlalu, melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah yang entah kemana. Mata Re memandangku penuh dengan jutaan pertanyaan. Aku menatapnya balik seolah berkata,

“Sebentar ya, aku butuh waktu menjelaskan semuanya,” namun kalimat itu tak kurun terucap sebab Tania meringis takut dan nangis kejer.

Bi Ratih datang membawakan satu set alat kebersihan untuk memastikan hamburan kaca sudah tidak ada lagi yang tertinggal. Setelah di rasa lantai bersih, aku mengajak Tania untuk ke kamar atas.

“Sayang, bisa tunggu aku di kamar? Aku harus berbicara dengan Tania terlebih dahulu,” ucapku kepada Re yang masih butuh penjelasan banyak dariku.

“Ya, jangan lama ya Sayang.” balasnya sembari tersenyum dan mengecup keningku.

Beruntungnya Re seakan lupa dengan nafsu yang tadi menggelora dalam tubuhnya. Hingga aku bisa fokus menyelesaikan hal tak terduga di hari pernikahanku ini.

Aku melanjutkan langkahku menaiki satu per satu anak tangga, sementara Re masih berada di bawah.

Ku buka pintu kamar Tania yang berada tepat di sebelah pintu kamarku. Tania tampak kaget melihat kamarnya begitu berubah sejak ia tinggalkan. Banyak aksesoris baru yang dipajang disana, seperti foto ibu dengan Tania, fotoku bersamanya, dan tentu saja foto ia bersama ibu kandungnya. Semua karena inisiatif ibu untuk meletakkannya disana meskipun Tania entah kapan bisa kembali ke rumah ini, bahkan ke kamar ini.

“Kak, siapa yang meletakkan ini?” Tanyanya dengan suara yang lebih tenang dari sebelumnya.

“Bukan gue sih yang pasti,” ucapku tersenyum.

“Ibu?” Tanyanya dengan kelopak mata yang spontan melebar.

“Iya, dia begitu menyayangimu Nia,” jawabku dengan tersenyum dan mengusap rambutnya.

Ia duduk di tepi kasur, dan aku menarik sofa kecil yang berada di sebelah pintu tepat berhadapan dengannya.

“Makasih ya sudah berani hadir ke acara ini, dan maaf apabila ayah lagi-lagi membuatmu sakit hati,” ucapku menatap matanya tajam.

“Tujuanku kesini bukan hanya ingin melihat Kak Laila bahagia, tetapi ingin bertanya pada ayah terkait Mas Ibnu Kak..” ucapnya pelan. 

“Dek, bukankah sudah jelas bahwa ia meninggal karena bunuh diri?” Tanyaku menatap matanya.

“Kita sudah bahas ini beberapa kali loh, dari kamu di luar negeri sampai sampai saat ini,” tambahku dengan pelan.

“Apakah Kakak merasa tidak aneh? Bagaimana bisa ia bunuh diri padahal kehidupannya sempurna,” tukasnya.

“Sempurna? Maksudmu gimana? Ya kalo gue mikirnya, karena dia merasa gak punya harapan hidup lagi. Kerjaannya sudah dicabut ayah, dan kamu tahu sendiri apabila ayah sudah dendam sama satu orang, ia tak akan membuat orang itu bahagia sedikitpun. Lalu, mungkin Ibnu berpikir karena hal ini, ia membuat anak istrinya menderita dan lebih baik ia bunuh diri,” ucapku.

“Kak, hmmm gimana ya… Aku yakin pasti ada yang ditutupi oleh ayah. Terlebih ia tak akan membuat orang itu bahagia, aku yakin Kak…….” Ucapnya kekeh.

“Dek, bukannya gue gak percaya sama lo, tapi dari fakta yang ada bahkan hasil otopsinya menunjukkan ia bunuh diri, bukan pembunuhan.” Ucapku terus mencoba meyakinkan dirinya.

“Gue tahu kok lo masih kalut dengan semua ini, meskipun peristiwanya sudah berlalu. Namun, saat ini please dengerin gue. Lo harus sembuh dulu secara total ya. Lo tahu kan kenapa gue bawa lo balik ke dalam negeri?” Tanyaku kepadanya.

“Iya Kak, aku paham. Tapi, aku akan pastikan bahwa pelan-pelan aku bakal menemukan bukti sekecil apapun itu Kak,” ucapnya dengan suara yang lebih keras dari sebelumnya.

Ia berdiri sembari mengusap air matanya yang tersisa di pelipis pipi. Ia berjalan melewatiku untuk sampai di depan cermin.

“Aku pasti menemukan buktinya Kak. Aku pastikan Kakak harus melihat semua yang bukti itu” ucapnya menatap cermin dirinya sendiri.

                                                                           ***

Setelah kejadian tahun lalu yang berakhir pengusiran oleh ayah, ku buatkan strategi sederhana untuk membawa Tania ke luar negeri. Sudah ku siapkan berbagai dokumen keberangkatannya dalam koper yang telah ku packing waktu itu, seperti paspor. Lalu, ku minta Pak Rendi mengantarnya tetap dengan tujuan Rumah Duri, namun sesampai disana pastikan Tania menemui Tika untuk diantarkan ke bandara bersama perawat yang telah ditunjuk untuk menjadi pendampingnya. Lalu, di dalam paspor itu juga ku selipkan sebuah surat yang ku tulis buru-buru pada saat membereskan kopernya.

[Dek, maafin Kakak karena terlalu emosi kepadamu. Namun, Kakak janji akan selalu melindungi kamu dari bahaya apapun, maka pergilah kamu bersama Lita, asisten sekaligus perawat yang akan bersamamu disana. Ku siapkan pula kartu debit kepada Tika yang berisi 1 miliar untuk kau hidup disana. Kau pergi ke Boulevard 8 nomor 8. Itu rumah yang baru saja aku beli beberapa hari yang lalu dan tanpa sepengetahuan ayah. Jangan lupa beli ponsel dan nomor baru, lalu setelah sampai kau harus hubungiku. Jaga kesehatan dan jaga diri, jangan pernah melakukan kebodohan lagi]. 

                                                                  ***

Setelah obrolan singkat terkait kematian Ibnu, ia pamit pulang ke apartemen yang tentu saja itu merupakan apartemenku. Lagi, dan lagi sudah ku siapkan semuanya disana termasuk pengamanan untuk memastikan tidak ada yang terjadi kepadanya.

Aku mengantarnya menurunkan satu per satu anak tangga, dari atas kulihat tampak Re sedang berdiri dan mengobrol dengan Tika di tepi ayunan. Dari kejauhan mereka tampak begitu akrab, hingga tercermin senyum merekah dari keduanya. Aku melihat mereka, sembari turun tangga hingga di lantai dasar ku persilahkan Pak Karyo mengantar Tania hingga sampai apartemen. Sementara aku menuju suamiku yang masih mengenakan jas pengantin itu.

“Keliatannya serius banget bercandanya, lagi pada ngobrolin apa?” Ucapku dengan tersenyum kaku.

Mereka tampak terkejut dan gugup, ku tatap lagi matanya lalu Re berkata,

“Oh gak sayang, ini aku nanya aja Mbak ini yang waktu itu di acara kita ketemu bukan sih,” ucapnya dengan gugup namun tetap mengoleskan senyum di bibirnya.

“Iya benar, Sayang, Tika ini asistenku. Oh ya kamu tadi kemana ya Tika? Kok saya gak lihat kamu selama acara berlangsung?” Ucapku menjawab pertanyaan Re sekaligus menanyakan keberadaan Tika yang seketika menghilang selama acara berlangsung.

“Iya Bu, maaf. Tadi saya mendapatkan telpon dari rumah bahwa ibu saya sakit, sehingga lumayan lama mengobrol dengannya,” jawabnya dengan tatapan matanya yang terus mengalihkan dari sorot mataku.

“Dia kali ini berbohong, apa yang sedang ia tutupi?” Bisikku dalam hati. 

“Udah selesai urusanmu dengan Tania? Kemana dia sekarang?” Tanya Re yang mencoba mengalihkan pembicaraan. 

“Barusan aja pulang,” balasku, dan menarik tangannya menuju ke dalam rumah.

“Jadi kita udah siap untuk malam pertama?” Ucapnya dengan sedikit tertawa dan mencium rambutku sembari melangkahkan kaki menuju kamar pengantin kami.

                                                                  ***

Setelah sampai di kamar, betul saja ia langsung menyentuh seluruh tubuhku. Ku biarkan tubuh ini dinikmati olehnya hingga sampai waktu yang tepat ia memberanikan diri untuk berhubungan layaknya suami istri. Namun, pada posisi puncak kenikmatan, ponsel Re berbunyi berulang kali seperti spam pesan masuk. Ia mengakhirinya dengan egois, sebab aku belum merasakan pada titik kepuasan.

“Sebentar sayang,” ucapnya yang langsung melekatkan kembali pakaiannya dan berjalan menuju meja ujung kamar untuk mengambil ponselnya. Lalu ia buka ponsel tersebut dan membacanya dengan berdiri.

“Kenapa ga duduk Re?” Ucapku yang masih berbalut selimut.

Ia tak bergeming, jari-jarinya amat cepat bergerak untuk mengetik pesan yang entah dari siapa di malam hari milik pengantin baru ini. Wajahnya berubah menjadi tegang dan tampak ada masalah yang serius. 

“Re? Kamu chat sama siapa sih sampai gak dengar aku?” Ucapku dengan nada ketus.

Ia menatapku tajam dan sinis, namun tak lama ponselnya berdering pertanda ada yang menghubunginya. Ia keluar dari kamar, dan entah kemana. 

Sementara aku bingung, mengapa ia menjadi sosok Re yang baru ku kenal hari ini. Aku bertanya-tanya dengan sikapnya yang seolah berubah drastis. 

“Ah mungkin gue yang terlalu sensitif,” ucapku dalam hati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status