"Kau berhutang penjelasan tentang memilihku sebagai tunangan," imbuh Bima Bayukana melangkah ke samping Arkadewi lalu dengan dingin menatap Abinaya Bayukana. "Karena kau sudah tahu aku, kurasa aku tidak lagi perlu menyembunyikan kebencianku terhadapmu.""Memang seperti itu seharusnya." Abinaya Bayukana menyeringai. "Gadis di belakangmu pasti telah menjelaskan bagaimana orang tuamu terbunuh karena ayahku. Bagaimana mungkin kita masih bisa bersikap selayaknya sepupu?"Gelap langsung menelan sebagian ekspresi Bima Bayukana. Dengan ringannya pemuda itu mengakui bahwa ia anak dari dalang yang menyebabkan keluarga serta desanya dibantai. Sekarang Bima Bayukana bisa menarik jelas orang seperti apa sepupunya tersebut."Nanti, aku sendiri yang akan mengambil kehidupan kalian," tegas Bima Bayukana dengan dingin, matanya berkilat penuh dendam. "Seni Tubuh! Langkah Gelombang Cahaya!"Bima Bayukana segera mengais pinggang Arkadewi dan bergerak cepat melarikan diri ke dalam istana Kerajaan Lawas.
Bima Bayukana mengabaikan kebingungan Arkadewi akan tindakannya. Sesuai yang dia duga, semua binatang mundur dan berhenti menyerang. Seolah takut dia akan melukai gadis itu."Sejak awal aku sudah merasa aneh," gumamnya berbicara pada diri sendiri.Setelah memulihkan diri di dalam gua selama beberapa hari, tidak terjadi serangan sama sekali. Bahkan halangan seperti gelombang binatang tidak menghadang mereka saat melanjutkan perjalanan ke gunung cincin. Rasanya itu mustahil mengingat saat melewati celah dua gunung mereka harus melawan kawanan lebah, Beruang Madu Api dan Macan Dahan, serta Ular Langit Malam."Jika aku tidak salah. Kedatangan para pendekar ke gunung ini tidak diharapkan oleh pemilik Fenomena Ghaib. Tapi melihat gadis ini, tampaknya dia berubah pikiran. Apa sebenarnya tujuannya?"Bima Bayukana tercenung dalam pikiran yang rumit. Arkadewi yang sejak tadi menunggu penjelasan menjadi kesal. Bima Bayukana tidak juga menurunkan pedang yang terhunus ke lehernya."Hei! Aku tanya
Sebab sulitnya untuk merekonstruksi alam sukma ke dunia nyata, Fenomena Gaib memakan banyak tenaga dalam. Penggunanya hampir mustahil menerapkan kemampuan ini dalam jangka waktu yang lama. Bagi Bima Bayukana yang belum memiliki cara untuk melawan, hal tersebut merupakan celah satu-satunya yang memungkinkan ia keluar dari situasi sekarang. Dia dan Arkadewi harus bertahan setidaknya sampai Fenomena Ghaib berakhir. "Kau harus bertarung untuk dirimu sendiri." Merasakan banyaknya binatang di sekelilingnya, Bima Bayukana merapatkan punggung pada Arkadewi. "Baikkah, jangan khawatirkan bagianku," jawab gadis itu. Seperti makhluk haus darah, ratusan bintang segera menyerbu mereka brutal. Arkadewi mengeratkan cengkeraman pada pedangnya dan apik mempertontonkan tekniknya—memotong setiap binatang yang datang menyerang hingga mereka tak lagi dapat bangkit. Di sisi lain, demi menyimpan energi untuk pertarungan yang mungkin masih panjang, Bima Bayukana bertahan tanpa sedikitpun memaksimalka
Arkadewi masih sangat kesal. Namun, sekarang dia dan Bima Bayukana terjebak dalam keadaan genting, tidak ada kesempatan baginya untuk bersikap berlawanan. Ia terpaksa mengenyampingkan perasaannya dan menjaga pegangan terhadap pemuda itu agar tidak terpisah di dalam kabut yang menebal. "Kita harus keluar dari sini," imbuh pemuda itu. Padahal tadi berada di barisan yang sama, tapi semua orang telah menghilangkan dan menyatu dengan kabut. Persepsi sukma yang dilepas memang menangkap keberadaan di sekitar, akan tetapi, Bima Bayukana tetap kesulitan mendekat pada yang lain karena hampir semua posisi tercerai berai. Perubahan struktur tempat mulai dirasakan Bima Bayukana. Ketika dia menyeret Arkadewi untuk melarikan diri, sebuah dinding tiba-tiba tercipta di depan mereka—menutup akses pergi dari kawasan kaki bukit gunung Cincin. "Apa ini ilusi?" tanya Arkadewi menyentuh tembok di depannya dengan serius. "Dinding ini nyata. Apa artinya mekanisme kerajaan lawas membuatnya tiba-tiba mun
Penglihatan Bima Bayukana memuat semua orang sesaat kelopak matanya terangkat penuh. Sosok penting seperti Bratadikara, Saktika Senjani, serta Saguna Bayukana menyambutnya dengan tatapan kagum—bercampur keingintahuan besar. "Efek samping Akar Jantung Bumi selalu membunuh pengonsumsinya. Selama ini tidak ada yang pernah berhasil selamat, bahkan pendekar tingkat Khodam Sejati sepertiku," ungkap Bratadikara masih dengan perasan sulit percaya. Ia membawa Akar Jantung Bumi sebagai rencana terakhir seandainya dirinya berada di kondisi hidup dan mati. Dalam kondisi tersebut, walaupun semua pendekar berakhir dengan kematian setelah menggunakan Akar jantung Bumi sebagai obat, resiko mengonsumsinya tidak lagi menjadi hal yang perlu ditakutkan. "Bagaimana kau bisa melakukan hal-hal menakjubkan?" tambah Saktika Senjani menatap serius pemuda itu. "Seandainya tidak membunuh tiga Ular Langit Malam, pertarungan sebelumnya pasti akan lebih banyak memakan waktu dan korban. Padahal kau berumur tid
Di dunia nyata, akibat usaha menggabungkan dua Tubuh Sukma, tubuh fisik Bima Bayukana memerah hampir seperti kepiting rebus. Keringat dan desahan sakit terus-terusan terlepas darinya. Sampai kini orang-orang berpikir kalau pemuda itu telah mencapai puncak batasan untuk bertahan hidup. "Jika anak ini tidak terbunuh setelah mencapai tingkat Sukma Sejati, itu akan menjadi keresahan besar bagiku. Takutnya niat membunuh yang tertuju padaku sebelumnya adalah nyata," pikir Abinaya sambil memperhatikan Bima Bayukana. Karena dalam keadaan hidup dan mati, saat ini Bima Bayukana tak dapat menutupi tingkatnya. Awalnya Abinaya Bayukana takut dengan latar belakang yang dia punya, tapi melihat bakat pemuda itu, di hatinya tumbuh rasa iri dan ketidaksenangan. "Jika ingin menyingkirkan anak ini. Aku perlu mendekati orang terdekatnya," pikir Abinaya dan matanya beralih pada Arkadewi. "Gadis ini memiliki tubuh yang bagus. Aku jadi penasaran kecantikan seperti apa yang ada di balik penutup wajahnya.