Share

Dendam Membara Mas Tetangga
Dendam Membara Mas Tetangga
Author: Miss Abbas

Bab 1

Author: Miss Abbas
last update Last Updated: 2025-05-12 23:13:15

Fayla Lachlan dengan keadaan yang sayu dan pakaian berantakan baru saja keluar dari pintu kedatangan bandar udara kota tempat kelahirannya. Dirinya langsung diterpa udara pengap, ciri khas kota yang berada di pinggir laut. Suara riuh para sopir taksi gelap terus saja berteriak ke arahnya yang membuatnya risih, namun berusaha keras untuk tidak tampak di wajahnya.

Karena Fayla tahu ia harus kembali membiasakan diri dengan keadaan yang berbanding terbalik dengan ibukota. Baik seluruh tubuh dan perasaannya.

Mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru untuk mencari wajah familiar yang seharusnya datang untuk menjemputnya. Namun ia malah mendapati wajah lain yang saat ini memberinya isyarat untuk mendekat menggunakan lambaian tangan. Fayla menghela napas lega, namun bukan berarti kekhawatirannya belum sirna.

“Om Ian sendirian?” Fayla mengerutkan dahi. Masih berharap bundanya muncul di balik tubuh Om Ian. Seorang pemilik rental mobil yang menjadi langganan keluarganya yang seluruhnya perantauan itu.

“Iya, Bunda-mu memilih untuk tinggal di rumah menunggumu.” Om Ian dengan cekatan mengambil-alih koper dan tas kecil yang ditenteng Fayla. Berbalik badan dan membuka jalan untuk Fayla dari para sopir taksi gelap yang berkerubun. Fayla kesusahan untuk mengikuti cepatnya jalan Om Ian sambil memeluk tas selempangnya erat-erat.

Om Ian berhenti pada Daihatsu Xenia berwarna perak dengan bumper belakang yang penyok. Padahal kalau dilihat dari pelat mobilnya. Usia mobil ini belum genap setahun. Fayla terhuyung ke belakang ketika Om Ian membuka pintu bagasi mobil untuk memasukkan barang-barangnya.

“Seorang preman menabraknya. Anehnya lagi dia yang minta pertanggung-jawaban,” jelasnya tanpa menunggu Fayla mengutarakan pikiran. Ia kemudian menarik lepas tas ransel Fayla tanpa ampun. Membuat Fayla terhuyung lagi.

Jatlag, kebingungan, dan sekarang ia harus menghadapi Om Ian seorang diri. Yang benar saja.

Begitu duduk di kursi penumpang dengan pengharum beraroma mint yang menyengat. Fayla melepas sepatunya dan menyandarkan diri di mobil. Matanya pedas karena bisa dikatakan ia tidak bisa tidur sama sekali di atas pesawat. Suara tangis bayi yang saling bersahutan dalam 1 jam terakhir perjalanannya menambah keadaan babak-belurnya pagi ini.

Bunda memintanya kembali, namun beliau tidak ada untuk menjemputnya. Apalagi setelah mengeluarkan seluruh jurus memelas agar putrinya agar segera menurutinya. Fayla sudah berkata ia memang akan berhenti bekerja dan akan melanjutkan usaha rumah makan ibunya. Namun ia tidak pernah menyangka akan ia lakukan dalam waktu dekat ini.

Setelah kerja di bidang yang didominasi oleh lelaki selama separuh kehidupan dewasanya membuat pulang adalah hal yang benar untuk segera dilakukan. Mengingat betapa nikmatnya ia bisa tidur nyenyak tanpa ponsel terus mengganggu di tengah malam buta. Dan melihat bagaimana untuk pertama kalinya Manager Operasional-nya nyaris menangis begitu ia menyerahkan surat one month notice tanpa angin – tanpa hujan. Di saat mereka tengah menyiapkan tender yang bernilai puluhan milyar.

Dan ketika bunda tidak ada untuk ikut menjemputnya pagi ini membuat Fayla bertanya-tanya apakah penyakit yang disampaikan bunda memang separah yang beliau katakan. Bunda tidak pernah menyebutkan nama penyakitnya secara gamblang. Tapi Fayla tahu dalam pekan ini ia harus menemani bunda ke rumah sakit untuk meneruskan surat rujukan yang baru saja diterimanya.

Rasa kantuk yang sangat berat membuatnya nyaris menutup mata, tapi Fayla sekuat tenaga menahan diri. Om Ian membawa kendaraannya sangat cepat sehingga tanpa sadar ia sudah berada di depan pintu gerbang perumahan nasional yang berjarak kurang dari sepuluh kilometer dari bandara. Ia duduk tegak dan mencoba melihat sekeliling. Perumahan nasional tersebut sekarang tengah ramai dengan para penduduknya yang tumpah keluar untuk bekerja dengan berbagai jenis kendaraan. Di bagian depan terdapat jajaran rumah mewah yang makin masuk ke belakang makin diisi dengan tipe rumah yang lebih rendah.

Rumah Fayla adalah rumah tipe menengah. Mendiang ayahnya membangun ulang dan mendesain sedemikian rupa hingga bisa membuatnya menjadi tiga kamar dan dua kamar mandi. Rumah yang sekarang terasa sangat sepi karena ia dan kakak perempuannya (yang sudah berkeluarga dan dibawa pergi oleh suaminya) sudah tidak tinggal di sana lagi.

Om Ian memutar roda kemudi untuk memasuki blok rumah mereka. Membuat Fayla saat itu juga menegakkan duduk, mengantisipasi. Dari kejauhan ia menyadari cat rumahnya berubah lagi setelah setahun ia tinggalkan. Sebuah dengus geli lolos begitu saja dari mulutnya.

“Bunda-mu adalah orang yang paling sibuk satu blok.” Om Ian terkekeh lalu berdecak. Sekali lagi mengutarakan isi kepala Fayla.

Dan satu hal lagi yang membuat Fayla terheran-heran. Pintu pagar rumahnya terbuka dan tampaknya ada banyak orang berada di dalam. Membuatnya menjulurkan leher ke depan. Seakan-akan dengan seperti itu ia bisa melihat lebih baik. Om Ian bahkan berhenti dua rumah dari seharusnya ia berhenti. Membuat Fayla langsung meloncat keluar dengan mobil yang masih bergerak-gerak untuk parkir.

Fayla berusaha menepis pikiran aneh yang berusaha masuk ke otaknya hingga membuat jantungnya berdebar memekakkan telinga. Tanpa sadar wanita itu berlari masuk. Menginjak sepatu dan sendal yang terlalu formal untuk dipakai menjenguk seseorang yang sakit. Tapi Fayla tetap menghambur masuk. Berteriak memanggil bundanya dengan suara panik....   

Namun langkahnya harus berhenti mendadak ketika mendapati ada orang-orang berada di ruang tamunya – berpakaian sangat formal  - dan mendongak memandanginya dengan senyum mengembang dan tampak puas. Sedangkan Bunda Lachlan yang saat ini tengah berada di sofa tunggal. Menatap Fayla dengan bibir membentuk senyuman yang tidak sampai ke matanya. Cukup sehat dan segar untuk menerima tamu dengan dandanan spektakuler yang hanya Fayla lihat ketika ia menghadiri acara resmi.

Fayla yang masih kebingungan itu hanya bisa berdiri kikuk di tengah-tengah ruangan. Saat ini mengusap tengkuknya yang tiba-tiba terasa gatal. Dengan perlahan ia berjalan ke arah bundanya. Butuh waktu cukup lama untuk otaknya memberinya informasi mengenai tamu-tamu bundanya itu.

“Ya ampun, Kapan terakhir kali Tante lihat Fayla, ya?” Itu Tante Girish menatapnya dengan senyum cerah. Fayla mendapati ada banyak kerut dan rambut putih sejak  terakhir kali ia melihat wanita itu.

Sesuatu yang menyenangkan selalu menguar dari tubuh Tante Girish. Guru Bahasa Inggris Fayla di SMA. Salah satu sahabat dekat bunda. Dan ibu dari Girish Bersaudara.

Di sana juga ada suami Tante Girish, Om Girish dengan kulit kecokelatan dan rambut hitam yang dipenuhi uban di sana-sini. Namun kumis hitam dipangkas rapi spektakulernya masih berada di sana. Ia juga tersenyum kepada Fayla. Matanya tampak berbinar. Seakan amat senang dengan apa yang sedang ia lihat saat ini. Pria yang bertugas menggantikan mendiang ayahnya menjadi RT blok selama beberapa tahun lalu.

Tapi yang membuat Fayla makin bingung adalah keberadaan putra sulung mereka - Anael Girish di sofa ruang tamunya. Duduk tenang berdampingan bersama sang ayah. Saat ini ia juga mendongak menatap Fayla. Terang-terangan mengamati Fayla dari ujung kaki hingga puncak kepala. Perlahan wanita itu melangkah mendur untuk duduk di lengan sofa bundanya. Seakan mencari perlindungan untuk apapun yang sedang terjadi.

“Nah, karena Fayla sudah ada di sini. Bagaimana kalau kita tanyakan kepada anaknya langsung...” Itu Om Girish yang disambar oleh Anael dengan,

“Kita akan menikah bulan depan.”

Fayla terperanjat. Tapi karena Om Ian masuk menaruh kopernya di teras dengan suara keras. Semua orang melirik keluar sebentar sebelum kembali padanya yang saat ini tengah menggeleng-geleng tidak percaya. “Maaf? Apa itu adalah hal yang bisa kau katakan...”  Fayla berhenti karena mengaduh akibat bunda yang baru saja mencubit pahanya sangat keras.

Mas Anael, Fayla. Iya, ia baru saja memberitahumu kalau ia akan menikahimu.”

Memberitahu?” Fayla membeo masih dengan wajah mengernyit. Kali ini memandang Anael tepat di wajah. “Ada apa dengan bertanya dulu? Ada apa dengan memberiku konteks lebih dulu?”

“Mereka sudah bertanya pada Bunda dan Bunda mengiyakan. Jadi mereka memang tinggal memberitahumu saja.”

Fayla yang baru saja merasa lega karena ternyata bundanya baik-baik saja itu sekarang dibuat terkaget-kaget lagi. Ia mengguncang lengan bundanya seakan itu bisa mengembalikan pikiran masuk akal yang tadi entah terlempar ke mana. “Bun, aku datang ke sini untuk menjaga Bunda!”

Bulan depan, Fay. Ayo kita segera mewujudkan mimpi Tante untuk menjadi besan bundamu sedari dulu. Kau bersedia, kan?”

Mendengar kalimat itu lagi membuat Fayla membeku. Memori masa kecil yang tidak menyenangkan memaksa menyeruak. Olok-olokan teman-teman sepermainannya. Pandangan penuh penilaian yang diberikan oleh para pemuja Girish Bersaudara ketika mereka berada di sekolah yang sama. Namun ia tekan jauh-jauh ke balik rasa rasional di dalam otaknya. “Seingat Fayla. Anak Tante yang dulu mau dijodohkan denganku itu sekarang sudah menikah dan punya anak? Bukan yang ini?”

Dan seketika itu juga Fayla mendapatkan cubitan yang lebih keras dan membuatnya mengaduh. Membuat Om Ian yang masih sibuk dengan barang-barangnya di luar tertawa sangat keras...

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Noa
semangat nulisnya ...
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Dendam Membara Mas Tetangga   Bab 16

    Walau pernikahan itu dilaksanakan secara sederhana — menurut ukuran Mama Girish — Bahram merasakan kalau pernikahan ini diadakan bahkan lebih heboh daripada miliknya dulu. Karena kedua mempelai hanya berjarak sekitar dua ratus meter satu sama lain, para tetangga nyaris tidak butuh kendaraan. Mereka berlalu-lalang dari satu rumah ke rumah lain hanya dengan berjalan kaki. Anak-anak berlari-lari kecil mengitari teras rumah-rumah yang didekorasi seadanya, sementara para ibu menyusun hantaran.Ia bisa merasakan seluruh euforia dan antusiasme lingkungan ini terhadap pernikahan Anael dan Fayla. Akhirnya, keluarga Girish mewujudkan mimpi lama mereka — mimpi yang sempat terasa mustahil saat Fayla memilih merantau ke Ibu Kota. Untuk menjadikan Fayla Lachlan menantu keluarga mereka.Kata orang, seseorang yang akan menikah akan tampak lebih cantik. Itu tidak terkecuali bagi Fayla. Bahkan seluruh teman sepermainan mereka dulu mengakuinya, meski dalam bentuk candaan khas para lelaki yang sedang ber

  • Dendam Membara Mas Tetangga   Bab 15

    Suasana rumah Girish mencekam setelah kepulangan mereka dari pengepasan terakhir pakaian seragam pernikahan Anael dan Fayla. Cain merasakan suasana itu lebih dari siapapun di sana. Lebih dari pria yang baru saja pulang dari mengantar tunangannya untuk membagikan undangan.Cain tidak yakin apakah ia bisa dianggap beruntung apa tidak menjadi yang mendengar dengan cukup jelas apa yang dipertengkarkan oleh Jaibah dan Fayla di ruang ganti wanita tadi. Menjadi anak terakhir membuatnya telinganya menjadi sangat tajam untuk mendengarkan setiap teriakan paling keras ataupun bisikan paling lembut. Apalagi ditambah dengan kelebihannya untuk membaca situasi dan bertingkah sesuai dengan kebutuhan situasi tersebut.Suasana menegang, tentu saja. Namun Bunda Lachlan menjadi yang paling aktif untuk berusaha mencairkan suasana. Jaibah sudah menyentak pakaiannya, namun apapun yang pikirkan setelahnya ia urungkan karena Mama dan Papa Girish datang bersama Bahram tidak berapa lama kemudian.Dan wanita itu

  • Dendam Membara Mas Tetangga   Bab 14

    "Bagaimana rasanya ketika seluruh orang sepertinya tidak punya hal jelek untuk diceritakan tentangmu?” Itu Jaibah dari ruang ganti di sebelahnya. “Maaf?” Fayla yang masih berkutat dengan resleting belakang gaunnya itu tiba-tiba berhenti. “Apakah kau tidak menyadarinya? Atau kau sudah terbiasa dengan perhatian macam itu?”Fayla akhirnya berhasil dengan resleting. Menyentak tangannya turun dengan kepala mendongak ke arah asal suara. “Mbak Jaibah, aku...”“Tidak. Panggil nama saja. Toh, kau juga seperti itu dengan Mas Anael. Jadi bagaimana rasanya? Karena aku tidak pernah, selama ini.”Fayla mengerjap. Ia membuka pintu ruang gantinya untuk berdiri di depan ruang ganti Jaibah “Dengar, aku sama sekali tidak tahu apa yang kau bicarakan...”Hening sebelum Jaibah keluar dari ruangannya. Rambutnya disanggul ketat di tengkuk. Kebayanya tampak melekat sempurna di tubuhnya yang berisi. “Dan bisa-bisanya kau masih berlagak lugu seperti itu!” Lamunan Fayla memudar dengan Anael yang menginjak ped

  • Dendam Membara Mas Tetangga   Bab 13

    "Tolong hapus seringai itu dari wajahmu, Anael. Kau membuat para karyawanku takut," ujar Lauvi sambil mengerutkan wajahnya jijik. Ruang rapat kecil itu hanya menyisakan mereka berdua setelah pertemuan harian selesai. Anael baru saja membagikan undangan pernikahan kepada para mandor dan Lauvi, membuat suasana kantor mendadak lebih ramai dari biasanya."Kenapa tidak? Senyuman ini diperlukan untuk membuat seluruh ruangan tahu aku sangat senang dengan apa yang akan terjadi di masa depan," jawab Anael santai, menyugar rambutnya dengan jemari bercincin.Lauvi mendengus dan mencibir. "Aku jadi ingin tahu apa saja yang sudah kau katakan pada wanita malang itu."Anael hanya mengedikkan bahu. "Ia berkali-kali berkata kalau aku tampan dan aku bisa saja memilih siapa pun yang aku mau. Tapi aku memilih dia. Dan ia sepertinya menghargai itu.""Dan setelah semua alasanmu yang menyedihkan itu? Dia masih mau menerimamu?" Lauvi memutar mata, lalu menirukan gestur muntah sambil memegang perut, membuat A

  • Dendam Membara Mas Tetangga   Bab 12

    “Apapun yang diperlukan untuk membalas dendam menahun...”Karena benar seperti itu. Tanpa sadar pengalaman yang ia lalui akibat semua rumor itu membuat Fayla tidak percaya diri untuk menyukai seseorang yang menurut orang lainnya sangat tampan. Namun bukan berarti Anael tidak tampan. Ia bahkan sampai bertanya-tanya kenapa orang setampan Anael bisa memilih dia menjadi calon istrinya.Bukannya Fayla tidak mencoba membuka diri. Ia pernah menyukai seseorang yang menurutnya setara tampannya dengan Anael ketika ia kuliah. Namun hubungan itu berhenti ketika ia tahu pria itu ternyata menggunakannya hanya untuk menyelesaikan tugas-tugas kuliahnya. Ternyata sudah sedalam itu pengalaman itu melukai dirinya.Jadi jika sesuatu terjadi Fayla sudah bisa mempersiapkan diri untuk hal yang terburuk.Merasakan sesak yang amat sangat berada di dalam mobil setelah ciuman dadakan mereka. Fayla mengajak Anael untuk duduk di salah satu bangku terbuat dari beton dingin yang ada di alun-alun menghadap laut itu.

  • Dendam Membara Mas Tetangga   Bab 11

    “Kalian berdua pergilah. Ke mana, begitu. Untuk “pemanasan” sebelum hari H.” Bunda Lachlan ketika mereka berada di parkiran. Menolak ajakan Anael untuk mengantarnya pulang. “Tapi ingat. Sudah sampai rumah jam 11 malam, oke?”Anael tertawa sopan sebelum mengangguk. Fayla tidak memberi tanggapan apapun. Sikap tubuhnya tegang, pandangan matanya jauh. Kakinya mengetuk-ngetuk beton sebelum mencium pipi Bunda Lachlan lalu masuk ke mobil tanpa mengucap sepatah katapun lagi. Membuat Anael dan Bunda Lachlan bertukar pandang penuh arti.Mereka menjadi yang terakhir meninggalkan parkiran. Bunda Lachlan sendiri masuk ke mobil Cain dan mereka berpisah jalan. Anael membalas lambaian kelewat antusias dari Cain dan mengawasi kepergian mobil adiknya itu melalui kaca spion tengah.“Jadi kita “pemanasan” ke mana ini?” tanya Anael setelah kedua mobil rombongan lain berada cukup jauh.Fayla menghela napas panjang. Salah satu lengannya bertopang di pintu mobil sebelum menyebutkan nama pantai pinggir kota y

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status