Walau pernikahan itu dilaksanakan secara sederhana — menurut ukuran Mama Girish — Bahram merasakan kalau pernikahan ini diadakan bahkan lebih heboh daripada miliknya dulu. Karena kedua mempelai hanya berjarak sekitar dua ratus meter satu sama lain, para tetangga nyaris tidak butuh kendaraan. Mereka berlalu-lalang dari satu rumah ke rumah lain hanya dengan berjalan kaki. Anak-anak berlari-lari kecil mengitari teras rumah-rumah yang didekorasi seadanya, sementara para ibu menyusun hantaran.Ia bisa merasakan seluruh euforia dan antusiasme lingkungan ini terhadap pernikahan Anael dan Fayla. Akhirnya, keluarga Girish mewujudkan mimpi lama mereka — mimpi yang sempat terasa mustahil saat Fayla memilih merantau ke Ibu Kota. Untuk menjadikan Fayla Lachlan menantu keluarga mereka.Kata orang, seseorang yang akan menikah akan tampak lebih cantik. Itu tidak terkecuali bagi Fayla. Bahkan seluruh teman sepermainan mereka dulu mengakuinya, meski dalam bentuk candaan khas para lelaki yang sedang ber
Suasana rumah Girish mencekam setelah kepulangan mereka dari pengepasan terakhir pakaian seragam pernikahan Anael dan Fayla. Cain merasakan suasana itu lebih dari siapapun di sana. Lebih dari pria yang baru saja pulang dari mengantar tunangannya untuk membagikan undangan.Cain tidak yakin apakah ia bisa dianggap beruntung apa tidak menjadi yang mendengar dengan cukup jelas apa yang dipertengkarkan oleh Jaibah dan Fayla di ruang ganti wanita tadi. Menjadi anak terakhir membuatnya telinganya menjadi sangat tajam untuk mendengarkan setiap teriakan paling keras ataupun bisikan paling lembut. Apalagi ditambah dengan kelebihannya untuk membaca situasi dan bertingkah sesuai dengan kebutuhan situasi tersebut.Suasana menegang, tentu saja. Namun Bunda Lachlan menjadi yang paling aktif untuk berusaha mencairkan suasana. Jaibah sudah menyentak pakaiannya, namun apapun yang pikirkan setelahnya ia urungkan karena Mama dan Papa Girish datang bersama Bahram tidak berapa lama kemudian.Dan wanita itu
"Bagaimana rasanya ketika seluruh orang sepertinya tidak punya hal jelek untuk diceritakan tentangmu?” Itu Jaibah dari ruang ganti di sebelahnya. “Maaf?” Fayla yang masih berkutat dengan resleting belakang gaunnya itu tiba-tiba berhenti. “Apakah kau tidak menyadarinya? Atau kau sudah terbiasa dengan perhatian macam itu?”Fayla akhirnya berhasil dengan resleting. Menyentak tangannya turun dengan kepala mendongak ke arah asal suara. “Mbak Jaibah, aku...”“Tidak. Panggil nama saja. Toh, kau juga seperti itu dengan Mas Anael. Jadi bagaimana rasanya? Karena aku tidak pernah, selama ini.”Fayla mengerjap. Ia membuka pintu ruang gantinya untuk berdiri di depan ruang ganti Jaibah “Dengar, aku sama sekali tidak tahu apa yang kau bicarakan...”Hening sebelum Jaibah keluar dari ruangannya. Rambutnya disanggul ketat di tengkuk. Kebayanya tampak melekat sempurna di tubuhnya yang berisi. “Dan bisa-bisanya kau masih berlagak lugu seperti itu!” Lamunan Fayla memudar dengan Anael yang menginjak ped
"Tolong hapus seringai itu dari wajahmu, Anael. Kau membuat para karyawanku takut," ujar Lauvi sambil mengerutkan wajahnya jijik. Ruang rapat kecil itu hanya menyisakan mereka berdua setelah pertemuan harian selesai. Anael baru saja membagikan undangan pernikahan kepada para mandor dan Lauvi, membuat suasana kantor mendadak lebih ramai dari biasanya."Kenapa tidak? Senyuman ini diperlukan untuk membuat seluruh ruangan tahu aku sangat senang dengan apa yang akan terjadi di masa depan," jawab Anael santai, menyugar rambutnya dengan jemari bercincin.Lauvi mendengus dan mencibir. "Aku jadi ingin tahu apa saja yang sudah kau katakan pada wanita malang itu."Anael hanya mengedikkan bahu. "Ia berkali-kali berkata kalau aku tampan dan aku bisa saja memilih siapa pun yang aku mau. Tapi aku memilih dia. Dan ia sepertinya menghargai itu.""Dan setelah semua alasanmu yang menyedihkan itu? Dia masih mau menerimamu?" Lauvi memutar mata, lalu menirukan gestur muntah sambil memegang perut, membuat A
“Apapun yang diperlukan untuk membalas dendam menahun...”Karena benar seperti itu. Tanpa sadar pengalaman yang ia lalui akibat semua rumor itu membuat Fayla tidak percaya diri untuk menyukai seseorang yang menurut orang lainnya sangat tampan. Namun bukan berarti Anael tidak tampan. Ia bahkan sampai bertanya-tanya kenapa orang setampan Anael bisa memilih dia menjadi calon istrinya.Bukannya Fayla tidak mencoba membuka diri. Ia pernah menyukai seseorang yang menurutnya setara tampannya dengan Anael ketika ia kuliah. Namun hubungan itu berhenti ketika ia tahu pria itu ternyata menggunakannya hanya untuk menyelesaikan tugas-tugas kuliahnya. Ternyata sudah sedalam itu pengalaman itu melukai dirinya.Jadi jika sesuatu terjadi Fayla sudah bisa mempersiapkan diri untuk hal yang terburuk.Merasakan sesak yang amat sangat berada di dalam mobil setelah ciuman dadakan mereka. Fayla mengajak Anael untuk duduk di salah satu bangku terbuat dari beton dingin yang ada di alun-alun menghadap laut itu.
“Kalian berdua pergilah. Ke mana, begitu. Untuk “pemanasan” sebelum hari H.” Bunda Lachlan ketika mereka berada di parkiran. Menolak ajakan Anael untuk mengantarnya pulang. “Tapi ingat. Sudah sampai rumah jam 11 malam, oke?”Anael tertawa sopan sebelum mengangguk. Fayla tidak memberi tanggapan apapun. Sikap tubuhnya tegang, pandangan matanya jauh. Kakinya mengetuk-ngetuk beton sebelum mencium pipi Bunda Lachlan lalu masuk ke mobil tanpa mengucap sepatah katapun lagi. Membuat Anael dan Bunda Lachlan bertukar pandang penuh arti.Mereka menjadi yang terakhir meninggalkan parkiran. Bunda Lachlan sendiri masuk ke mobil Cain dan mereka berpisah jalan. Anael membalas lambaian kelewat antusias dari Cain dan mengawasi kepergian mobil adiknya itu melalui kaca spion tengah.“Jadi kita “pemanasan” ke mana ini?” tanya Anael setelah kedua mobil rombongan lain berada cukup jauh.Fayla menghela napas panjang. Salah satu lengannya bertopang di pintu mobil sebelum menyebutkan nama pantai pinggir kota y