Share

6. Lari

Penulis: imam Bustomi
last update Terakhir Diperbarui: 2022-08-18 12:05:49

Mata Aldan membelalak sempurna, jantungnya memompa begitu cepat. Sementara pria bersepatu tersenyum penuh arti bersitatap dengan mangsanya.

“Kita bertemu lagi, nak.”

Tak menunggu lama, Aldan memutar badan dan berlari sekencang mungkin. Pria bersepatu pun tak tinggal diam, dia mengejar anak itu.

Aldan berlari dengan napas yang tersengal-sengal. Rasa sedih, takut, serta panik menjadi satu dalam hatinya. Yang ada di pikirannya hanya berlari dan berlari meloloskan diri dari kejaran pria bersepatu.

“Tolong!” sambil berlari kencang, Aldan berteriak. Namun suaranya seperti tertahan, tak terdengar nyaring karena napas dan jantungnya ikut berlari. Rasa takut sangat jelas menyelimuti anak itu.

Bagai seekor kucing yang mengejar tikus, mereka berlari adu kecepatan dengan tujuan masing-masing. Di sekolah itu sangat luas, Aldan terus menyusuri lantai dua hingga akhirnya dia menuruni tangga.

Aldan memenangkan adu lari. Selepas dari tangga, ada sebuah lorong yang mengarah ke kanan dan ke kiri. Anak itu mengelabuhi pria bersepatu dengan tidak langsung turun ke bawah, tetapi memilih berlari ke arah kiri lantai dua dan masuk ke dalam kelas yang tak terkunci.

Awalnya berhasil, pria bertopeng terus menuruni anak tangga. Namun, sialnya Aldan tak sengaja menyenggol kursi yang membuat pemangsanya berhenti dan memutar badan kembali ke lantai dua.

“Sial,” umpat Aldan dalam hatinya. Lalu dia keluar kelas dan berlari ke arah lain karena kelas itu tidak bisa dikunci dari dalam.

Pengejaran pun terulang, Aldan menyusuri lorong lantai dua. Anak itu memasuki ruangan lab sains yang ada di pojok. Dengan napas tersengal-sengal, dia mengunci pintu lab dari dalam.

Aldan mengatur napas sejenak sembari berpikir keras meloloskan diri. Dia harus mencari jalan keluar dari lab sains karena pria bersepatu pasti dengan mudah bisa mendobrak pintu itu.

Brak!

Pria bersepatu mulai mendobrak pintu, “Nak, kamu tak ‘kan bisa lari dariku.”

“Aku harus selamat,” gumam Aldan di tengah kepanikan. Lalu dia berlari mengambil sebuah botol berisi cairan yang berada di meja ruangan lab. 

Aldan bersembunyi di tempat yang kekurangan cahaya. Salah satu alasan yang mendasari ingin tetap hidup, dia ingin balas dendam pada pria bersepatu karena sudah membunuh kedua orang tuanya.

BRAK!

Akhirnya pintu lab sains berhasil di dobrak. Pria bersepatu melangkah santai menoleh ke berbagai arah mencari keberadaan Aldan, “Nak, kemarilah. Jangan bersembunyi dariku.”

Pria bersepatu berhenti di depan salah satu meja. Dia berjongkok dengan pelan-pelan untuk mengecek keberadaan Aldan, “Nak?”

Aldan tidak ada di bawah meja itu, pria bersepatu kembali berdiri. Namun, baru saja tubuh pria itu tegak dengan sempurna, tiba-tiba seorang anak yang dicarinya muncul dari arah tempat yang gelap.

SUARRR!

Aldan menyiramkan sebuah cairan kimia ke arah mata pria bersepatu.

“Akhhhh.” Pria bersepatu menjerit kesakitan dan spontan menutupi mata dengan kedua tangan. Sangat perih, cairan kimia itu lumayan keras. Bahkan di area wajah pria itu terlihat asap yang sedikit mengepul.

Pria bersepatu berulang kali menjerit kesakitan, hingga dia sempoyongan dan akhirnya terjatuh sambil kedua tangan tetap menutupi mata. Bukan hanya perih, cairan itu benar-benar menyiksanya.

Sementara Aldan berdiri di ambang pintu memperhatikan pria bersepatu. Dia melihat di leher sang pembunuh ada bekas luka bakar. Setelah mengamati ciri-ciri pria bersepatu, anak itu pergi meninggalkan ruangan lab sains sebelum penglihatan pemangsa kembali normal.

Awalnya Aldan merasa cukup aman, tetapi nyatanya tidak demikian. Di lantai bawah, dia sudah ditunggu polisi itu.

“Dimana kalung itu? Berikan padaku,” pinta ramah polisi yang bernama Hendrawan. 

Aldan takut dan gusar karena dia yakin polisi di depannya sudah bekerja sama dengan pria bersepatu. Buktinya setelah dia menghubungi Hendrawan, justru pria pembunuh itu datang ke sekolah untuk membunuhnya.

Tanpa pikir panjang lagi, Aldan berlari ke arah gerbang sekolah. Kecurigaan anak itu terbukti benar, Hendrawan terlihat marah dan mengejarnya.

“Tunggu! Jangan lari anak kecil!” raung Hendrawan sambil berlari mengejar mangsanya. “Aku akan membunuhmu!”

Jantung Aldan berdetak cepat melebihi kecepatan larinya. Lari, lari, dan lari selamatkan diri! Hanya itu yang ada dipikiran anak itu. Jelas sekali wajahnya penuh keringat dingin, aura ketakutan tampak kuat menyelimutinya.

“Tolong!” teriak Aldan ketika hampir mencapai pintu gerbang. “Tolong!”

DERR! BREKK!

Baru saja Aldan berhasil ke luar dari pintu gerbang, tubuhnya disambut oleh mobil avansa berwarna hitam. 

“Akkkhhhhhhh!”

Tubuh Aldan terpental, cairan merah seketika menyuar dari dalam mulutnya. Dia melihat samar-samar orang yang telah menabraknya.

Orang itu ke luar dari dalam mobil. Dia seorang wanita yang memakai topi, wajahnya samar-samar karena Aldan tak mampu menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya hingga akhirnya dia menutup mata.

Beberapa menit kemudian.

“Nak, bangunlah,” pinta seorang pria dengan ramah. 

Anak  tampan yang terikat di kursi itu perlahan mengerjap. Butuh beberapa waktu untuk mengembalikan penglihatan ke keadaan normal, apalagi tabrakan itu masih membuat tubuhnya merasakan kesakitan. Ketika penglihatannya benar-benar terbuka, dia melihat jelas seorang pria gagah berdiri di depannya dengan gaya khas yang terlihat santai tapi menakutkan. Siapa lagi kalau bukan pria bersepatu!

“Lepaskan aku,” pinta Aldan memelas di tengah rasa takutnya. Dia sebenarnya penasaran kenapa pria bersepatu masih belum membunuhnya.

“berikan kalungnya padaku, nak. Baru aku akan memikirkan permintaanmu,” pinta pria bersepatu menatap Aldan dengan seulas senyuman licik. Lalu dia sejenak memejamkan mata karena efek cairan kimia itu masih terasa perih.

“Ambil kalungnya,  lepaskan aku. Aku mohon, om. Jangan bunuh aku.” Aldan merengek mengharap belas kasihan pria bersepatu.

Masih dengan gaya khasnya, pria bersepatu masih murah senyum dan santai, “Dimana kalungnya, nak?”

“Lepaskan tali ini dulu,” pinta Aldan setengah mencoba mengelabuhi pria bersepatu.

Pria bersepatu tersenyum penuh arti, “Kamu anak yang pintar, nak. Kamu mau berbuat curang? Emmm ... Cepat beritahu dimana kau sembunyikan kalungnya?”

Dirasa usahanya sia-sia, Aldan menunduk sedih lebih ke arah takut. Dia terlihat pasrah.

“Dimana, nak?” tanya pria bersepatu sekali lagi.

“Di saku bajuku.”

“Jangan bodohi aku. Kalungnya gak ada, nak. Dimana kamu sembunyikan kalung itu?” tanya pria bersepatu, masih dengan gaya khasnya. Tidak ada emosi sedikitpun di wajahnya.

Aldan mendongak, dia baru sadar bahwa dia tidak merasakan sebuah kalung di saku baju maupun celananya. Lalu terlintas dibenaknya, ‘Jadi ini alasan dia belum membunuhku?’

Sejujurnya Aldan tidak tahu kalung lliontin itu ada dimana, kemungkinan besar jatuh di area sekolah saat kejar-kejaran dengan pria bersepatu. Namun, hal ini justru membuat Aldan mempunyai ide untuk meloloskan diri dari pria bersepatu, “Aku baru ingat dimana kalung itu berada.”

“Dimana?”

“Tapi Om janji dulu. Lepaskan aku.”

“Hem baiklah,” kata pria bersepatu dengan mengulas senyuman licik.

“Aku menjatuhkannya di ruang kelas Delapan A, lantai dua,” kilah Aldan dengan wajah yang terlihat meyakinkan. “sekarang tepati janji Om. Lepaskan aku.”

Mendengar itu, pria bersepatu tersenyum penuh arti. Lalu dia melepaskan tali yang mengikat tubuh Aldan. 

“Sekarang izinkan aku pergi,” kata Aldan sambil berjalan, tapi pria bersepatu menghentikan langkahnya dengan mencengkram sebelah tangannya.

“Jangan buru-buru, nak. Ikuti aku dulu,” ucap pria bersepatu diiringin senyuman tipis, lalu menarik Aldan dan membawanya ke suatu tempat di belakang rumah.

“Om mau bawa Aldan kemana?” tanya Aldan curiga lebih ke arah takut.

“Bermain-main,” jawab pria bersepatu sambil tetap berjalan menarik tangan Aldan.

Aldan cemas. Dia mempunyai firasat buruk, “Om aku mau pulang.”

Pria bersepatu tidak merespon hingga akhirnya sampai di belakang rumah. Ada sebuah kandang besi berukuran besar dan luas, membuat Aldan semakin gusar dan ketakutan. Apalagi di depan kandang ada Hendrawan yang menunggu dengan tatapan seringai iblis.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dendam Membara Sang Pewaris!   113. Dhea Belum Siap

    Di ruang tengah, Faizal dan Adelia tampak semangat mengerjakan tugasnya masing-masing. Faizal membuat beberapa akun berbagai media sosial untuk memanas-manasi perusahaan media agar meliput berita lama kasus Joshua Suherman yang masa tahanannya kurang dari 1 tahun.Sementara Adelia, dia mencari jenis-jenis kalung liontin di google. Meski matanya memerah efek tidak tdur semalaman, dia tetap semangat mencari sebuah petunjuk.“Faizal bagaimana? Sudah selesai?” tanya Adelia. Lalu dia menyruput kopi untuk memghilangkan rasa kantuk.“Sudah selesai. Tinggal menunggu respon. Semoga cepat trending. Semoga cepat dilihat dan dikomentari banyak netisen, biar seluruh media di Indonesia bakalan berlomba-lomba meliput kasus Joshua Suherman yang trending di medsos,” jawab Faizal sembari tetap bercelancar di dunia maya.“Sip. Kebobrokan hukum di Negara ini harus segera dibongkar.” Adelia mengerjap berulang kali untuk menghilangkan rasa kantuk yang semakin menyerang, dan akhirnya dia menggerakkan kedua

  • Dendam Membara Sang Pewaris!   112. Bukan Malaikat Penolong

    Verra dan Rangga sudah ada di depan pintu ruangan ceo.“Selamat pagi, bu Dhea.” Verra mengetuk pintu dengan sopan.“masuk,” sahut Dhea dari dalam.Verra dan Rangga masuk ke dalam. Mereka melirik ke arah Aldan yang sudah ada di sana. Seketika mereka bernapas lega melihat asisten manager keuangan itu tampak dalam keadaan sehat.“Duduklah,” kata Dhea.“Baik, Bu.” Verra dan Rangga memilih duduk di samping Aldan.“Ada keperluan apa kalian datang kesini?” tanya Dhea.“Barusan kami melihat pak Lukman dibawa polisi. Beliau katanya ditangkap karena terbukti menyuruh karyawan lainnya untuk mencelakai Putra. Jadi kami kesini untuk memastikan kalau Putra baik-baik saja.” Verra menjawab dengan sesekali menoleh ke arah Aldan yang duduk di sampingnya.Aldan melebarkan senyuman, “Saya baik-baik saja. Tuhan menolong saya dari kecelakaan.” Aldan memposisikan diri sebagai karyawan, bicaranya lebih sopan dan formal.Verra lagi-lagi bernapas lega. Dia benar-benar mengkhawatirkan Aldan. Padahal pria yang d

  • Dendam Membara Sang Pewaris!   111. Dhea Justru Ketakutan

    Aldan mengulurkan tangan, tetapi langsung ditepis oleh Lukman. “Jangan banyak gaya. Hadapi aku kalau berani!” raung Lukman penuh emosi. “Baiklah.” Aldan malah tersenyum santai. “Bapak tinggal pilih para napi mana yang ingin Bapak ajak berduel di dalam penjara.” Setelah mengatakan itu, Aldan tertawa lepas dengan mata menghina. Bahkan Dhea dan 3 orang polisi juga melemparkan tawa penuh ejekan. Tentu saja Lukman merasa terhina, tetapi keberaniannya justru semakin menciut. Tubuhnya gemetaran dengan detakan jantung yang berbunyi kencang. “Seret Pak Lukman,” titah Dhea menahan tawa. “Baik, Bu.” Ketiga orang polisi mengangguk dan melangkah mendekati Lukman. “Mau apa kalian, hah?!” bentak Lukman ketika 3 orang polisi mulai bekerja sama meringkus dirinya. “Bapak jangan melawan.” Salah satu polisi memasang borgol di tangan Lukman. “Lepaskan saya! Aku tidak bersalah!” teriak Lukman ketika 3 orang polisi mulai menyeretnya ke luar. Namun, tenaganya tak cukup untuk melawan. “Bapak ikut sa

  • Dendam Membara Sang Pewaris!   110. Deal?

    “Kurang ajar! Beraninya kamu menjebakku!” teriak Lukman menatap Aldan dengan mata melotot. “Kamu tukang fitnah! Pasti kamu bersekongkol dengan Santoso 'kan? Cepat ngaku!”Aldan hanya tersenyum kecut sembari menggelengkan kepala ke arah Lukman yang tengah menatapnya dengan wajah merah padam. “Bangsat! Tukang fitnah!” raung Lukman sembari menunjuk kasar pada Aldan. Lalu dia menoleh ke arah Dhea dengan memasang wajah serius. “Saya harap Ibu tidak percaya dengan fitnahnya. Tidak mungkin saya melakukan perbuatan sekeji itu. Ini pasti jebakan untuk menyingkirkan saya. Putra dan Santoso pasti bersekongkol menjebak saya. Dari awal saya sudah curiga kalau Putra bukan orang baik-baik. Putra selalu berusaha menyingkirkan saya dari perusahaan. Putra punya ambisi untuk menjadi sekretaris di perusahaan cosmo indofood.”“Sudah selesai mengoceh?” sindir Dhea dengan senyuman kecut.Dhea memutar video rekaman itu kembali yang menunjukkan Santoso sedang menghubungi Lukman. Di sana diperdengarkan sang

  • Dendam Membara Sang Pewaris!   109. Temuilah Akhir Riwayatmu!

    Pagi hari ini, Adelia membuat sarapan roti canai untuk Aldan dan Faizal. Mereka makan bersama-sama di ruang tengah.“Ow ya aku baru nyadar, kemarin kamu kok naik gojek? Kemana motormu?” tanya Adelia sembari menuangkan susu tambahan di roti canai.“Ow motorku rusak. Kemarin ditinggal di kantor,” jawab Aldan berbohong. Lalu dia menguyah roti canai miliknya.Sementara Faizal hanya fokus menyantap makanan di depannya, meskipun dalam benaknya sangat yakin motor Aldan rusak karena ada tangan jahil.“Eh aku berangkat ngantor dulu ya. Tukang gojeknya udah nungguin di depan.” Aldan bangkit dari duduknya sembari jari-jemarinya mengetik pesan di ponsel.“Iya, semangat. Fokus kerjanya. Urusan kalung liontin biar aku dan Faizal yang nyari,” ucap Adelia dengan senyuman kecil.“Aku juga akan mengompori beberapa media buat mengangkat kasus Joshua. Jadi Bos nikmati saja kehidupan di kantor, hehe,” sambung Faizal. Aldan tersenyum pada Faizal dan Adelia, “Thanks, aku bersyukur bisa mengenal kalian berd

  • Dendam Membara Sang Pewaris!   108. Aldan Melihat Kalung Liontin

    Pada saat Adelia menuruni anak tangga pertama, dia menghentikan langkah ketika melihat di bawah sana kekasihnya sedang tidur pulas.“Nanti aja deh. Kasian aku,” gumamnya sembari memutar badan dan kembali melangkah ke dalam kamarnya.Adelia duduk di tepi ranjang dan mengamati kalung liontin berwarna putih yang ada di genggaman tangan.“Mungkinkah ini alasannya kenapa kalung ini seakan-akan menolak jika setiap kali aku ingin menguploadnya di medsos? Kalung ini ingin aku menjaganya agar gak jatuh ke tangan Hendrawan dan komplotannya, karena kalung ini bisa menjawab teka-teki siapa orang yang telah menyuruh mereka untuk membunuh orang tua Aldan,” ucap Adelia sembari membolak-balikkan benda berharga itu. “Jangan-jangan sebelum terjadinya insiden pembunuhan, pemilik kalung ini datang menemui Mamanya Aldan di rumahnya,” Adelia berhenti sejenak. Tatapannya menerawang jauh, mencoba menebak-nebak kejadian di rumah Aldan 10 tahun silam.“Dia ingin memberikan kalung ini pada Mamanya Aldan sebaga

  • Dendam Membara Sang Pewaris!   107. Rencana Adelia

    “Itu artinya oknum-oknum aparat penegak hukum main belakang dengan Joshua. Mereka menyuruh Joshua pergi ke luar negeri untuk menghindari hukuman. Dan ketika masa tahanannya sudah jatuh tempo, Joshua akan kembali ke Indonesia dan menampakkan batang hidungnya ke publik. Dengan begitu publik akan percaya kalau selama 12 tahun Joshua ada di balik jeruji besi sesuai dengan masa tahanan. Dan jelas sekali bau bangkai di tubuh kepolisian akan tercium harum.” Adelia melanjutkan penjelasannya dengan mengekspresikan melalui gerakan tangan. Tatapan matanya menunjukkan bahwa dirinya sangat geram dengan permainan hukum yang dimainkan aparat penegak hukum di Negaranya.“Wahh sungguh hebat oknum-oknum di tubuh Pemerintah melakukan acara jual beli hukum,” lanjut Adelia sembari menggeleng-gelengkan kepala. Selain merasa geram, tatapannya juga penuh kekecewaan pada hukum di Negeri ini.“Lalu apa yang kamu dapatkan? Apa kamu punya rencana?” tanya Aldan berpura-pura penasaran. Sebenarnya ini hanya pancin

  • Dendam Membara Sang Pewaris!   106. Dilema

    Adelia berhenti mengingat masa kecilnya. Saat ini dia lebih memikirkan perasaan Aldan.Adelia ikut merasakan apa yang dirasakan Aldan. Dia yakin kekasihnya mengalami kepedihan hidup dalam bayang-bayang pembunuhan tragis orang tuanya di depan matanya sendiri. Dia paham pria tampan itu tak mudah menjalani hidup yang dibenci kerabat-kerabatnya sendiri akibat korban fitnah, apalagi penjahat-penjahat itu masih berkeliaran menghirup udara bebas.Adelia menggeleng-gelengkan kepala dengan tatapan menerawang jauh, “Ternyata Hendrawan lebih jahat dari apa yang kubayangkan. Dia bukan hanya benalu yang suka mempermainkan hukum, ternyata dia juga seorang pembunuh yang sangat kejam.”“Hendrawan, Wahyu, dan pria bersepatu bukan seorang manusia. Mereka seorang iblis yang menyamar. Dan seorang iblis harus dimusnahkan,” sahut Faizal sembari mengepalkan tangan dengan tatapan penuh amarah.“Biar Tuhan yang menghukumnya,” tanggap Adelia sembari menatap Aldan yang tengah terlihat bersedih dan marah.Adelia

  • Dendam Membara Sang Pewaris!   105. Mimpi Buruk Itu Gambaran Masa Lalunya

    “Aku akan bunuh kalian!” seru Aldan dengan suara meninggi di bawah alam sadarnya. Wajahnya semakin memerah, air mulai ke luar dari matanya. Tangannya juga terkepal sempurna.Adelia yang duduk di sampingnya semakin penasaran dengan mimpi buruk yang dialami kekasihnya. Awalnya dia mengira mimpi kekasihnya hanya sebatas bunga tidur, tetapi melihat reakasi yang ditunjukkan kekasihnya seperti memimpikan kejadian kelam di masa lalu.Di titik ini, Faizal yang tidur di kasur lipat sebelah Aldan, terbangun dan mendapati Adelia yang duduk di samping tubuh sang Bos yang tengah beraksi akibat mimpi buruk.“Putra kenapa?” tanya Adelia pelan pada Faizal.“Gak tau. Mungkin hanya mimpi buruk,” jawab Faizal sembari mengedikkan bahu. Dia berbohong, sebenarnya diirinya tahu kalau Aldan bukan hanya sebatas mimpi buruk.“Putra.” Adelia memanggil dengan lembut sembari mengusap keringat dan air mata Aldan. “Kamu mimpi apa sih.”“Papa! Mama!” Aldan berteriak sembari membuka matanya lebar-lebar. Dia terbangun

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status