Dua menit lamanya, lakban yang membekap mulut Wahyu baru di lepas. Dia pun langsung memuntahkan semua kotoran manusia barusan dia makan. Sementara Hendrawan dan anak buahnya menjauh untuk menghindari muntahan itu.Setelah merasa cukup menunggu, anak buah Hendrawan menggunakan air kran yang ada di sana untuk menyemprot tubuh Wahyu.Hendrawan tersenyum penuh kemenangan. Wajahnya begitu semringah melihat Wahyu begitu tersiksa.“Ada apa denganmu, Wahyu? Mana kesombonganmu? Katanya mau membunuhku?” sorak Hendrawan dengan tatapan mengejek sembari mendekat dengan jarak 2 meter dari Wahyu. Lalu dia membusungkan dan menepuk dadanya. “Apakah kamu lupa berhadapan dengan siapa?”“Maafkan aku, Hendrawan. Aku menyesal sudah menantangmu. Tolong lepaskan aku. Aku janji akan melakukan semua perintahmu, termasuk memberikan rekaman itu padamu.” Wahyu terpaksa memohon semelas-melasnya agar Hendrawan punya belas kasihan sedikit saja. Meskipun dibilang mustahil, yang penting berusaha dulu.Hendrawan tersen
Hendrawan menghentikan langkahnya dan kembali mundur ke belakang, membuat wajah wahyu semringah.“Kamu gak bisa membunuhku, Hendrawan. Kartua As-mu berada di tanganku.” seru Wahyu, tetapi dia tak berani tertawa karena takut Hendrawan menyiksanya lagi.“Mari berdamai, Hendrawan. Mari bekerja sama seperti biasanya. Kita partner, sahabat, saudara. Kita harus saling menjaga. Ingatlah persahabatan kita sudah puluhan tahun,” susul Wahyu kemudian. Dia berusaha menyadarkan Hendrawan, meski tujuan utamanya adalah menyelamatkan diri dari kematian.Hendrawan mendadak tertawa renyah, dan berganti dengan tatapan sorot mata merendahkan, “Siapa bilang aku gak akan membunuhmu? Gertakanmu gak berarti. Aku barusan mundur karena aku jijik melihat tubuhmu tercampur dengan berak.”Wahyu kembali panik, apalagi Hendrawan memberi isyarat pada kedua anak buahnya untuk melakukan sesuatu yang mengerikan.“Jangan bunuh aku! Rekaman itu hanya aku dan seseorang yang tau ada dimana. Jika dia tau aku mati, rekamanny
Aldan dan Faizal bersitatap dengan tatapan penuh arti. Lalu mereka turun dari mobil untuk menghadapi seseorang yang diduga anak buah Hendrawan.“Ya, Pak? Ada apa menyuruh kami turun?” tanya Aldan berpura-pura penasaran.“Kalian mau kemana?” tanya orang itu penuh selidik.“Kami mau ke Menteng, Pak. Memangnya ada apa ya, Pak?” Aldan merespon dengan ramah.“Baiklah, pergilah. Hati-hati di jalan. Aku petugas keamanan hanya mau memastikan gak ada penjahat yang lewat sini,” kata orang itu.Alasan yang diberikan orang itu terlalu mengada-ngada, membuat Aldan dan Faizal terkekeh geli dalam hati.“Ya, Pak. Terima kasih. Selamat bertugas,” ucap Aldan.“Mari, pak. Kami pergi dulu,” sambung Faizal.“Ya, silahkan.” Aldan dan Faizal kembali naik mobil. Faizal segera melajukan mobilnya sebelum orang itu berubah pikiran dan memeriksa lebih dalam. Setelah menjauh, pasukan white master itu tertawa terbahak-bahak.“Bodoh sekali! Petugas keamanan katanya,” kekeh Faizal.“Huhhh beruntung sekali dia gak m
“Akhhhh ....” Wahyu menjerit kesakitan ketika sebuah peluru menyapa telapak tangan kirinya hingga berlubang, darah segar pun mengalir deras.Wahyu merasa hidupnya benar-benar sudah tamat. Hendrawan pasti akan membunuhnya setelah flashdisk berisi rekaman pembunuhan itu sudah diserahkan.Sementara Hendrawan begitu lihai memainkan pistol di tangan dengan tatapan mata berkilat iblis. Baginya, Senjata adalah mainan. Sudah banyak korban berjatuhan di tangannya.“Malam ini adalah malam yang spesial bagiku, karena orang yang aku bunuh adalah sahabatku sendiri,” seru Hendrawan sembari mengarahkan pistol ke arah Wahyu. Namun, di detik berikutnya dia menurunkan pistol itu lagi, perlahan senyuman licik terbit di bibirnya. “Tapi aku mau kasih kesempatan hidup untukmu. Jarang-jarang loh aku berbaik hati pada musuhku. Aku akan membiarkanmu tetap hidup asal kamu mengatakan siapa yang menyuruhmu? Siapa orang yang menginginkan kematianku?”Wahyu terengah dengan wajah memerah, giginya bergemelatuk menah
Aldan dan Faizal berangkat menuju kawasan kantor polisi tempat Hendrawan bertugas. Mereka harus sampai terlebih dahulu di sana.Di tengah perjalanan tiba-tiba ponsel Aldan berdering. Nama Adelia terpampang di layar.Aldan berpikir sejenak sebelum akhirnya mengangkat telepon itu, “Ya hallo, sayang.”“Ada dimana? Lama banget,” keluh Adelia terdengar cemberut.“Servicenya ngantri, sayang,” kilah Aldan.“Sekarang udah pulang?” “Belum, sayang.”“Lah itu suara mobil.” Adelia mulai curiga.“Hehe mau cari baju dulu. Sabar ya sayang, bentar lagi aku pulang kok,” kilah Aldan dengan suara lemah lembut agar Adelia mempercayainya.“Yaudah cepetan, jangan lama-lama,” pinta Adelia kesal.“Oke, daaahhh,” kata Aldan, lalu dia mematikan sambungan telepon setelah ada jawaban serupa dari Adelia.Setelah itu, Faizal mempercepat laju mobil. Kurang lebih dari 15 menit akhirnya tiba di daerah kantor polisi.“Sekarang apa rencana Bos?” tanya Faizal penasaran sembari meminggirkan mobil ke pinggir jalan.“Sebe
Aldan berlari super kilat meninggalkan jauh para polisi yang mengejarnya. Di perempatan jalan, dia berbelok ke arah kiri sembari melepas rambut palsunya. Dia menuju mobil Faizal di depan sana dan masuk ke dalam sebelum ada polisi yang melihatnya.Aldan bersembunyi di bawah kursi belakang kemudi. Di bawah sana, dia melepas pakaian dan menggantinya dengan pakaian lain. Bukan hanya itu, dia mengganti aksesoris penyamaran lainnya yang melekat di tubuh.Sementara Faizal tidak langsung cabut. Dia justru turun dari mobil dan berpura-pura mengecek ban mobil.Di titik ini, beberapa polisi sudah sampai di perempat jalan dan menuju ke arah mobil Faizal berada.“Apa kalian melihat pemulung berambut keriting pakek baju warna merah?” tanya salah satu polisi pada pejalan kaki.“Gak lihat, Pak,” jawab pejalan kaki jujur.Beberapa polisi lainnya menghampiri Faizal yang sedang mengecek ban belakang mobil.“Selamat malam, maaf mengganggu,” sapa salah satu polisi, sementara teman-temannya mengecek mobil
Wajah Aldan dan Faizal begitu semringah ketika Flashdisk terhubung dan terbaca di layar ponsel.Di flashdisk hanya ada 3 folder, tentu itu mempermudahkan Aldan mencari rekaman yang berkaitan dengan peristiwa pembunuhan 10 tahun silam.“Mungkin ini,” Aldan memencet salah satu folder tak berjudul. Hanya berisi foto-foto pemandangan.Aldan memeriksa folder lainnya, dan hanya berisi foto-foto masa lalu Wahyu. “Tampan juga ternyata bajingan itu,” ucap Faizal tersenyum kecut menatap foto Wahyu kecil. “Tapi sayang tuanya jadi iblis.”“Persetan dengannya.” Aldan tidak peduli dengan foto masa kecil Wahyu. Dia lebih mementingkan sebuah rekaman yang bisa mengungkap kasus pembunuhan orang tuanya yang terkubur selama 10 tahun“Berarti yang ini.” Aldan membuka folder terakhir. Perlahan senyuman seringai terbit di bibirnya ketika isi folder itu ada sebuah rekaman berbentuk 1 audio dan 1 video. “Ini dia yang kucari-cari.”Aldan mulai memutar rekaman video berdurasi 3 menit 38 detik terlebih dahulu.
“Apa?!” pekik keras Hendrawan saat dia mendengar kabar teman-teman kepolisian gagal menangkap pemulung yang mencuri flashdisk miliknya.“Cari sampek ketangkap! Flashdisk itu sangat penting!” titah Hendrawan meninggikan suara. “Libatkan tim IT untuk melacak jejaknya. Jangan biarkan dia lolos.”Ketika sambungan telepon terputus, Hendrawan langsung melemparkan ponsel ke tumpukan dokumen yang ada di atas meja kerjanya.“Ahhhhhh ....” Hendrawan menggebrak meja dengan penuh emosi. Lalu dia mengibaskan beberapa kertas dokumen yang ada di atas meja hingga jatuh berserakan ke lantai. “Siapa dia? Gak mungkin seorang pemulung mencuri sebua flashdisk, kecuali dia tau apa isi flashdisknya. Aku sangat yakin dia orang-orangnya Wahyu.”Hendrawan mendaratkan tubuh ke sandaran kursi, dengan kedua siku tangan bertumpu pada pegangan kursi kebesarannya. Sesekali dia putarkan kursi seirama dengan rasa cemas dalam hatinya.“Tapi bagaimana jika dia bukan orang-orangnya Wahyu? Bagaimana jika dia orang lain ya