Share

3. Tinggal di Kota terkejam

Sepuluh tahun kemudian.

Bintang dan Mentari kini tinggal di kota yang jauh lebih kejam dari kota asalnya. Di kota itu selalu terjadi pembunuhan, pemerkosaan, pencurian, dan bentuk kejahatan lainnya.

Kota di mana polisi tidak bisa tidur dengan tenang, bahkan masyarakat di sana sama sekali tidak takut dengan yang namanya polisi.

Balapan liar, turnamen beladiri liar, panjat tebing tanpa pengaman, perkelahian antar warga merupakan hal yang wajar di kota itu. Bagi mereka nyawa bukanlah sesuatu yang berharga.

Kota itu terkenal dengan kehidupan mereka yang tidak takut akan hukum, hingga membuat pendatang berpikir dua kali untuk menetap.

Namun, berbeda dengan Bintang dan Mentari, mereka justru menyukai tempat itu. Apalagi setelah Mentari tahu kalau orangtuanya telah tiada.

Sejak memilih untuk menetap di kota kecil itu, Bintang mengutamakan sekolah Mentari. Dia menyekolahkan Mentari dari hasil ikutan balapan liar, turnamen beladiri liar, bahkan panjat tebing tanpa pengaman dijalani Bintang tanpa sepengetahuan sang adik.

Kehidupan inilah yang kemudian membentuk karakter Bintang.

Mentari sama sekali tidak tahu kalau kakaknya mengerjakan pekerjaan seperti itu hanya untuk menyekolahkan dirinya. Mentari hanya tahu kakaknya bekerja di sebuah pabrik kecil.

Meskipun Bintang menyembunyikan pekerjaannya dari sang adik, bukan berarti Mentari tumbuh menjadi gadis yang kalem dan feminim. Bintang rutin mengajarinya beladiri, demi keselamatan adik kecilnya.

Walaupun usia Mentari sudah limabelas tahun, tapi bagi Bintang, Mentari tetaplah adik kecilnya.

“Kalau kuliah nanti, Mentari akan ambil jurusan apa?” tanya Bintang menatap sang adik.

“Mentari tidak akan kuliah, kak. Mentari akan bekerja, membantu kakak.” Jawab Mentari tersenyum.

“Harapan kakak hanya satu, berdiri disampingmu saat kamu memegang ijazah S1. Soal keuangan kamu jangan khawatir, kakak sudah memikirkan itu sejak lama. Jadi kuliah jurusan apapun itu, kakak setuju. Kedokteran sekalipun, uangnya cukup kok.”

“Kalau begitu Mentari mau mengambil jurusan hukum, kak.” Jawab Mentari, ketika melihat keseriusan dari pancaran mata Bintang.

Bintang menatap adiknya, kebingungan.

Ya! Selama ini tidak pernah sekalipun Mentari menyinggung soal hukum, apalagi membaca buku tentang pasal-pasal.

“Apa kamu yakin, Dik?” tanya Bintang meyakinkan pendengarannya.

“Aku yakin, kak.”

“Kenapa jurusan hukum?”

“Mentari ingin menjadi pengacara. Mentari ingin mengungkap kematian mami dan papi.” Jawab Mentari menundukkan kepalanya dalam-dalam.

Mendengar jawaban Mentari sontak saja membuat Bintang terkejut. Dia memang ingin melihat sang adik sukses, tapi bukan sebagai pengacara.

“Apa? Pengacara? Tidak, Mentari! Kakak adalah orang pertama yang menentang kamu kuliah jurusan hukum, apalagi dengan cita-citamu menjadi pengacara.” Protes Bintang keras.

Bintang memang ingin membalas dendam atas kematian orangtuanya, tapi dia ingin melihat adiknya sukses dulu, kemudian menghilang dari hadapan adiknya. Dia ingin membalaskan kematian orangtuanya sendiri, tanpa melibatkan sang adik.

Namun, harapan itu pupus ketika mendengar cita-cita sang adik. Walaupun Mentari tidak mengatakan secara langsung, tapi Bintang dapat merasakan satu-satunya harapan Mentari ingin menjadi pengacara pasti karena insiden yang menimpah kedua orangtuanya.

“Mentari tahu betul apa yang ada dipikiran, kakak! Bukankah kakak ingin membalaskan dendam atas kematian mami dan papi? Kalau kakak mau membalas dendam, terus siapa pengacara yang akan membela kakak? Mentari yakin pembunuh papi dan mami, bukanlah orang biasa, mereka bisa membayar pengacara dan membungkam mulut mereka!” Mentari menatap mata sang kakak tanpa berkedip, bahkan terkesan menantang.

Bintang terdiam, walaupun masih berusia limabelas tahun, tapi kepintaran Mentari juga tidak main-main. Dia selalu menjadi juara umum di sekolahnya, karena itu juga Mentari disegani teman-temannya.

Bukan karena mereka takut, tapi mereka sering meminta bantuan Mentari dalam menyelesaikan suatu tugas. Dan Mentari dengan sabar menjelaskan caranya.

Tidak ada yang tahu kalau Bintang adalah juara balapan, turnamen beladiri liar, bahkan panjat tebing tanpa pengaman. Karena selama ini warga hanya tahu kalau Bintang adalah sosok yang kalem dan sayang pada adiknya.

Sedangkan Mentari tidak ada satupun sahabatnya yang tahu kalau wanita yang terlihat lemah itu sebenarnya memiliki keahlian beladiri yang kuat.

Bintang dan Mentari sepakat menyembunyikan keahlian mereka dalam beladiri, dan memilih menjadi lelaki dan gadis lemah dihadapan masyarakat. Apalagi kehidupan kota kecil itu kejam dan tidak ingin ada saingan.

Hari terus berganti, tanpa terasa kini waktunya Mentari harus meninggalkan masa-masa indahnya selama SMA. Dia harus melanjutkan kuliah jurusan hukum.

Walaupun berat, tapi Bintang mengikhlaskan sang adik menempuh Pendidikan S1 nya diluar negeri.

Bagi Bintang uang bukanlah masalah, karena dia sudah menabung sejak adiknya masih sekolah SD.

Apalagi sang adik sama sekali tidak mempermasalahkan makanan apa yang di makan, yang penting ada nasi itu sudah lebih dari cukup. Walaupun sesekali Bintang membeli makanan kesukaan Mentari.

Setelah lama menunggu, akhirnya kabar bahagia itu datang. Mentari menyelesaikan pendidikannya lebih cepat dari dugaan. Tekad Mentari sudah bulat, membantu sang kakak dalam membalaskan dendam.

Namun, Mentari harus menerima dengan ikhlas, ketika sang kakak sama sekali tidak mengizinkannya masuk secara langsung. Mentari hanya akan berdiri sebagai pengacara, dan mereka tidak akan saling mengenal satu sama lain.

Saat Wisuda sang adik, Bintang hanya dapat melihatnya dari jauh. Semua demi memuluskan rencana balas dendam, karena mulai hari ini mereka tidak akan saling mengenal satu sama lain. Hanya ponsel yang akan menjadi satu-satunya penghubung antar keduanya.

Setelah menerima ijazah S1, Mentari dan Bintang kembali ke Indonesia dengan menaiki pesawat berbeda.

Di Indonesia.

Mentari menatap Gedung Pendidikan Khusus Profesi Advokat. Dengan langkah pasti dia memasuki Gedung itu dengan senyuman.

Mentari memasukkan formulir pendaftaran, menyerahkan fotocopi ijazah sarjana hukum yang sudah dilegalisir, menyerahkan 3 lembar foto berwarna ukuran 4x6. Setelah diterima, Mentari langsung membayar dan menunjukkan bukti pembayaran pada pihak yang bersangkutan.

Ponsel Mentari berbunyi, ada pesan aplikasi hijau masuk.

[Sukses selalu, adikku sayang.]

Mentari tersenyum membaca pesan singkat dari sang kakak dan berguman di dalam hati, ‘Kak, aku berjanji tidak akan pernah mengecewakan kamu. Aku akan menjadi sosok adik yang dapat dibanggakan. Aku juga tidak akan terlibat secara langsung ke dalam masalah balas dendam. Aku tahu, bagi kakak kehilangan aku itu artinya hidup kakak juga berakhir.’

[Siap, kakak bos tersayang.] balas Mentari.

Membaca pesan balasan dari Mentari, membuat Bintang tambah yakin kalau dia tidak perlu mengkhawatirkan tentang adiknya itu. Bintang senyum-senyum sendiri.

Namun, senyuman Bintang hilang dalam sekejap ketika mendengar suara gaduh dari jalanan yang selalu sepi.

Rasa penasaran membuat Bintang mendatangi sumber keributan, Dia sama sekali tidak terkejut melihat pemandangan yang berada tepat didepannya. Karena di kota tempat tinggalnya perkelahian seperti itu tidak ada apa-apanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status