Sepuluh tahun kemudian.
Bintang dan Mentari kini tinggal di kota yang jauh lebih kejam dari kota asalnya. Di kota itu selalu terjadi pembunuhan, pemerkosaan, pencurian, dan bentuk kejahatan lainnya.Kota di mana polisi tidak bisa tidur dengan tenang, bahkan masyarakat di sana sama sekali tidak takut dengan yang namanya polisi.Balapan liar, turnamen beladiri liar, panjat tebing tanpa pengaman, perkelahian antar warga merupakan hal yang wajar di kota itu. Bagi mereka nyawa bukanlah sesuatu yang berharga.Kota itu terkenal dengan kehidupan mereka yang tidak takut akan hukum, hingga membuat pendatang berpikir dua kali untuk menetap.Namun, berbeda dengan Bintang dan Mentari, mereka justru menyukai tempat itu. Apalagi setelah Mentari tahu kalau orangtuanya telah tiada.Sejak memilih untuk menetap di kota kecil itu, Bintang mengutamakan sekolah Mentari. Dia menyekolahkan Mentari dari hasil ikutan balapan liar, turnamen beladiri liar, bahkan panjat tebing tanpa pengaman dijalani Bintang tanpa sepengetahuan sang adik.Kehidupan inilah yang kemudian membentuk karakter Bintang.Mentari sama sekali tidak tahu kalau kakaknya mengerjakan pekerjaan seperti itu hanya untuk menyekolahkan dirinya. Mentari hanya tahu kakaknya bekerja di sebuah pabrik kecil.Meskipun Bintang menyembunyikan pekerjaannya dari sang adik, bukan berarti Mentari tumbuh menjadi gadis yang kalem dan feminim. Bintang rutin mengajarinya beladiri, demi keselamatan adik kecilnya.Walaupun usia Mentari sudah limabelas tahun, tapi bagi Bintang, Mentari tetaplah adik kecilnya.“Kalau kuliah nanti, Mentari akan ambil jurusan apa?” tanya Bintang menatap sang adik.“Mentari tidak akan kuliah, kak. Mentari akan bekerja, membantu kakak.” Jawab Mentari tersenyum.“Harapan kakak hanya satu, berdiri disampingmu saat kamu memegang ijazah S1. Soal keuangan kamu jangan khawatir, kakak sudah memikirkan itu sejak lama. Jadi kuliah jurusan apapun itu, kakak setuju. Kedokteran sekalipun, uangnya cukup kok.”“Kalau begitu Mentari mau mengambil jurusan hukum, kak.” Jawab Mentari, ketika melihat keseriusan dari pancaran mata Bintang.Bintang menatap adiknya, kebingungan.Ya! Selama ini tidak pernah sekalipun Mentari menyinggung soal hukum, apalagi membaca buku tentang pasal-pasal.“Apa kamu yakin, Dik?” tanya Bintang meyakinkan pendengarannya.“Aku yakin, kak.”“Kenapa jurusan hukum?”“Mentari ingin menjadi pengacara. Mentari ingin mengungkap kematian mami dan papi.” Jawab Mentari menundukkan kepalanya dalam-dalam.Mendengar jawaban Mentari sontak saja membuat Bintang terkejut. Dia memang ingin melihat sang adik sukses, tapi bukan sebagai pengacara.“Apa? Pengacara? Tidak, Mentari! Kakak adalah orang pertama yang menentang kamu kuliah jurusan hukum, apalagi dengan cita-citamu menjadi pengacara.” Protes Bintang keras.Bintang memang ingin membalas dendam atas kematian orangtuanya, tapi dia ingin melihat adiknya sukses dulu, kemudian menghilang dari hadapan adiknya. Dia ingin membalaskan kematian orangtuanya sendiri, tanpa melibatkan sang adik.Namun, harapan itu pupus ketika mendengar cita-cita sang adik. Walaupun Mentari tidak mengatakan secara langsung, tapi Bintang dapat merasakan satu-satunya harapan Mentari ingin menjadi pengacara pasti karena insiden yang menimpah kedua orangtuanya.“Mentari tahu betul apa yang ada dipikiran, kakak! Bukankah kakak ingin membalaskan dendam atas kematian mami dan papi? Kalau kakak mau membalas dendam, terus siapa pengacara yang akan membela kakak? Mentari yakin pembunuh papi dan mami, bukanlah orang biasa, mereka bisa membayar pengacara dan membungkam mulut mereka!” Mentari menatap mata sang kakak tanpa berkedip, bahkan terkesan menantang.Bintang terdiam, walaupun masih berusia limabelas tahun, tapi kepintaran Mentari juga tidak main-main. Dia selalu menjadi juara umum di sekolahnya, karena itu juga Mentari disegani teman-temannya.Bukan karena mereka takut, tapi mereka sering meminta bantuan Mentari dalam menyelesaikan suatu tugas. Dan Mentari dengan sabar menjelaskan caranya.Tidak ada yang tahu kalau Bintang adalah juara balapan, turnamen beladiri liar, bahkan panjat tebing tanpa pengaman. Karena selama ini warga hanya tahu kalau Bintang adalah sosok yang kalem dan sayang pada adiknya.Sedangkan Mentari tidak ada satupun sahabatnya yang tahu kalau wanita yang terlihat lemah itu sebenarnya memiliki keahlian beladiri yang kuat.Bintang dan Mentari sepakat menyembunyikan keahlian mereka dalam beladiri, dan memilih menjadi lelaki dan gadis lemah dihadapan masyarakat. Apalagi kehidupan kota kecil itu kejam dan tidak ingin ada saingan.Hari terus berganti, tanpa terasa kini waktunya Mentari harus meninggalkan masa-masa indahnya selama SMA. Dia harus melanjutkan kuliah jurusan hukum.Walaupun berat, tapi Bintang mengikhlaskan sang adik menempuh Pendidikan S1 nya diluar negeri.Bagi Bintang uang bukanlah masalah, karena dia sudah menabung sejak adiknya masih sekolah SD.Apalagi sang adik sama sekali tidak mempermasalahkan makanan apa yang di makan, yang penting ada nasi itu sudah lebih dari cukup. Walaupun sesekali Bintang membeli makanan kesukaan Mentari.Setelah lama menunggu, akhirnya kabar bahagia itu datang. Mentari menyelesaikan pendidikannya lebih cepat dari dugaan. Tekad Mentari sudah bulat, membantu sang kakak dalam membalaskan dendam.Namun, Mentari harus menerima dengan ikhlas, ketika sang kakak sama sekali tidak mengizinkannya masuk secara langsung. Mentari hanya akan berdiri sebagai pengacara, dan mereka tidak akan saling mengenal satu sama lain.Saat Wisuda sang adik, Bintang hanya dapat melihatnya dari jauh. Semua demi memuluskan rencana balas dendam, karena mulai hari ini mereka tidak akan saling mengenal satu sama lain. Hanya ponsel yang akan menjadi satu-satunya penghubung antar keduanya.Setelah menerima ijazah S1, Mentari dan Bintang kembali ke Indonesia dengan menaiki pesawat berbeda.Di Indonesia.Mentari menatap Gedung Pendidikan Khusus Profesi Advokat. Dengan langkah pasti dia memasuki Gedung itu dengan senyuman.Mentari memasukkan formulir pendaftaran, menyerahkan fotocopi ijazah sarjana hukum yang sudah dilegalisir, menyerahkan 3 lembar foto berwarna ukuran 4x6. Setelah diterima, Mentari langsung membayar dan menunjukkan bukti pembayaran pada pihak yang bersangkutan.Ponsel Mentari berbunyi, ada pesan aplikasi hijau masuk.[Sukses selalu, adikku sayang.]Mentari tersenyum membaca pesan singkat dari sang kakak dan berguman di dalam hati, ‘Kak, aku berjanji tidak akan pernah mengecewakan kamu. Aku akan menjadi sosok adik yang dapat dibanggakan. Aku juga tidak akan terlibat secara langsung ke dalam masalah balas dendam. Aku tahu, bagi kakak kehilangan aku itu artinya hidup kakak juga berakhir.’[Siap, kakak bos tersayang.] balas Mentari.Membaca pesan balasan dari Mentari, membuat Bintang tambah yakin kalau dia tidak perlu mengkhawatirkan tentang adiknya itu. Bintang senyum-senyum sendiri.Namun, senyuman Bintang hilang dalam sekejap ketika mendengar suara gaduh dari jalanan yang selalu sepi.Rasa penasaran membuat Bintang mendatangi sumber keributan, Dia sama sekali tidak terkejut melihat pemandangan yang berada tepat didepannya. Karena di kota tempat tinggalnya perkelahian seperti itu tidak ada apa-apanya."Maaf, kalau guru muncul terlambat." "Bagaimana guru tahu keberadaan kami?" tanya Mentari bingung. "Sebenarnya guru tidak akan pernah tahu keberadaan kalian. Hanya saja pas kemarin di bandara, kakek mendengar bisikan-bisik anak buah pria ini yang berencana menyerang kalian. Jadi kakek terpaksa mengikuti mereka diam-diam. Alhasil ketemu di sini deh,'" ujar sang kakek tersenyum. "Aku akan membunuh kalian semua. Tanpa terkecuali!" teriak Ekaputra murka. Dia langsung saja mengatur posisi. Bintang dapat menebak, kalau sekarang Ekaputra menggunakan tenaga anginnya secara penuh. "Semuanya minggir!" teriak Bintang memperingatkan. Dirty langsung saja menarik rekan lainnya ke pinggir. Dia tahu inilah pertarungan yang sebenarnya. Tubuh Ekaputra kini dikelilingi angin kencang. Hal yang sama juga terjadi pada Bintang. "Sepertinya mereka sama-sama menggunakan tenaga angin," ujar Kumbara khawatir. Kumbara memilih ikut serta dengan alasan, jika terjadi sesuatu maka dia bisa Langsung mengadak
Dibawah ancaman Eka, Kumbara mempercepat proses penyembuhannya. Dia tidak mau melakukan kesalahan yang sama, hingga membuat cucu kesayangannya kembali berada dalam bahaya. Bintang, aku yakin kau akan sembuh lebih cepat dari perkiraan ku. Sama cepatnya kau mengeluarkan racun dari dalam tubuhmu. Apa yang di yakini Kumbara memang tak salah, karena pada kenyataannya hanya butuh beberapa hari saja bagi Bintang untuk mengembalikan kondisinya seperti semula. --- Waktu terus berlalu. Kalau Ekaputra sembuh dibawah pengawasan Kumbara, berbanding terbalik dengan Dirty dan kawan-kawan. Mereka sembuh dibawah pengawasan Bintang. "Apa kakak sudah gila, ha? Kenapa kakak menyembunyikan kondisi kakak dariku dan istrimu sendiri? Aku hanya punya kakak, aku tak punya siapa-siapa lagi, Kak. Kenapa kau lakukan ini padaku?" tangis Mentari pecah ketika tiba di markas baru Fierce Spider dan melihat sang kakak. Bintang terkejut melihat kedatangan adik dan sang istri yang mendadak. "Dari mana ka
Ya! Edy membawa Kumbara ke hutan. Hutan di mana Devano Willow harus meregang nyawa, karena perbuatan murid kesayangannya sendiri. Di mana juga Devano Willow menolak keras untuk disembuhkan dan memilih mati. Edy menatap Kumbara dan tersenyum sinis, "Bagaimana? Apa kau suka kejutan ku? Bukankah kau tak menyangka kalau aku akan membawa mu ke sini? Kumbara ... Kumbara ... apa kau pikir aku tak bisa membaca pikiran mu? Tidak, Kumbara! Bukankah Kau ingin memperlambat proses kesembuhan bos ku, kan? Lebih baik pikirkan baik-baik setelah melihat ini." Setelah mengakhiri kalimatnya. Edy mengeluarkan ponsel dari saku jasnya dan melakukan panggilan video call. Melihat Austin yang terbaring di atas ranjang, membuat jantung Kumbara berdetak lebih cepat dari biasanya. Dia ketakutan. "Edy, aku mohon lepaskan cucuku," pinta Kumbara berlutut di kaki Edy. "Nyawa cucu mu, bergantung padamu. Kalau kau mau memperlambat proses pengobatan bos ku, maka ku pastikan Austin akan kehilangan fungsi organ
"Bagaimana Edy, apakah kau sudah mengirim orang untuk mengawasi Austin Maverick? Cucu kesayangannya?" tanya Ekaputra santai. Dan Kumbara tahu artinya. Itu ancaman tak langsung untuknya."Kau mau membunuh cucu ku? Silahkan! Maka kau tak akan pernah mendapatkan pengobatan apapun dariku. Kau hanya akan menemukan tubuhku mati kaku," ancam Kumbara. Ya! Selain Kumbara maka tak akan ada seorangpun yang dapat mengobati Ekaputra. Jadi Kumbara tahu persis, Ekaputra tak akan berani bertindak bodoh. Karena membunuh Austin Maverick, itu sama saja bunuh diri. "Apa bos memerintahkan untuk membunuh cucu mu? Bukankah tidak? Bos meminta ku mengawasinya. Itu artinya ...," Edy tak meneruskan kalimatnya, dia justru tersenyum menatap Kumbara."Artinya apa, Brengsek!" teriak Kumbara emosi."Itu artinya setiap kesalahan dalam pengobatan yang kau lakukan, maka cucu mu yang akan kena dampaknya. Tapi tenang saja, kami tak akan langsung membunuhnya. Kami akan menerornya terlebih dahulu. Kalau kau bisa memperce
"Sejak kapan kau terluka, Ekaputra? Apa kau menggunakan tenaga angin?" tanya Kumbara memastikan kalau dugaannya tak meleset."Aku terluka sejak tujuh bulan lalu, tepatnya tanggal 3 Desember 2023. Btw dari mana kau tahu kalau aku menggunakan tenaga angin?" tanya Ekaputra curiga."Mengingat kau adalah murid Devano Willow, sangat mustahil ada orang mengalahkan mu. Apalagi membuat kondisi mu seperti ini. Jadi hanya ada satu kemungkinan, kau menggunakan tenaga angin. Apa kau menemukan seseorang yang kuat, hingga kau harus menggunakan tenaga dalam yang selama ini tak pernah kau publikasikan?" Kumbara menatap Ekaputra, seolah-olah tak tahu apa yang sedang terjadi.Ekaputra diam seribu bahasa. Dia tahu berbohong juga percuma. Kumbara tahu betul masa lalunya. Mulai dari Devano Willow yang memilihnya menjadi murid, bagaimana juga dia mengkhianati gurunya sendiri."Kenapa kau diam saja? Apakah tebakanku benar? Apa mungkin dia adik seperguruan mu yang menghilang?" tanya Kumbara pura-pura tak tahu
[Bos Edy, seperti dugaan mu. Kumbara secara sukarela ikut bersama kami. Kami sedang dalam perjalanan. Sekitar lima belas menit lagi kami sampai markas.]Edy mengucek matanya sendiri, tak percaya dengan pesan yang baru saja dibacanya, "Ini bukan mimpi, kan, Bos? Ini nyata, kan? Mereka berhasil menemukan Kumbara, kan, Bos?"Ekaputra Lee tak menjawab, dia langsung saja menarik ponsel yang ada dalam genggaman Edy. Dia penasaran."Apakah benar Kumbara sedang dalam perjalanan ke sini?" tanya Ekaputra tak percaya."Sepertinya rencana ku berhasil, Bos," kata Edy penuh semangat.Benar saja tak sampai lima belas menit. Anak buah Edy telah sampai di markas."Kalau kau ingin membunuhku, silahkan! Tapi jangan pernah menyakiti cucuku, Brengsek!" cetus Kumbara dengan wajah merah padam. Berusaha mengendalikan amarahnya.Ya! Ketika mengetahui orang yang menghadang jalannya adalah anak buah Ekaputra, Kumbara berusaha melarikan diri.Namun, semua berubah ketika anak buah Ekaputra mengatakan kalau sampai