Beranda / Lainnya / Dendam Sang Bintang / 2. Melarikan diri

Share

2. Melarikan diri

Penulis: Yully Kawasa
last update Terakhir Diperbarui: 2023-08-14 18:34:38

Bagi Bintang memutuskan aliran listrik seperti itu, bukanlah hal yang sulit. Ibunya yang seorang pengusaha dan bergerak dibidang listrik sering mengajaknya ke kantor.

Di sana Bintang banyak bertanya kepada karyawan yang sedang melakukan uji coba tentang listrik. Karena itulah Bintang tahu bagaimana cara membuat kebakaran melalui jaringan listrik, mengatur jarak, hingga tidak menimbulkan korban.

“Kak, apa kita sudah menang? Mami dan Papi mana?”

“Pertandingan belum berakhir, masih ada yang harus kita lakukan. Ikuti kakak ya?”

Bintang membawa Mentari ke dalam kerumunan orang-orang dan menghilang di antara gang sempit.

Melihat segerombolan laki-laki yang mengenakan jas hitam menatap sekeliling, seperti sedang mencari sesuatu. Bintang segera menarik sang adik ke dalam persembunyian dan membungkam mulut sang adik.

Walaupun tidak yakin kalau segerombolan lelaki berjas itu adalah penjahat, tapi bagi Bintang sekarang waktunya untuk waspada.

Begitu ada kesempatan Bintang langsung mengajak adiknya bersembunyi di dalam mobil pick up yang isinya spring bed.

Bintang dapat bernafas lega ketika mobil itu mulai melaju meninggalkan kota.

“Kak, kita mau ke mana? Kenapa mami dan papi tidak ada?” bisik Mentari di telinga Bintang.

Haruskah aku terus berbohong? Tapi Mentari terlalu kecil untuk tahu kalau sekarang mami dan papi sudah tiada! Apa yang harus aku lakukan sekarang? Kenapa Tuhan mengambil mami dan papi secara bersamaan? Kenapa juga dengan cara sekeji ini?

Kata orang hidup dan mati seseorang ditentukan oleh sang pencipta, tapi apakah ini takdir orangtuaku? Kenapa? Mentari masih kecil! Mentari tidak tahu apa-apa, Dia masih butuh kasih sayang orangtuanya! Kenapa Engkau mengambil mami dan papi dari kehidupan kami? Kenapa?!

Adilkah hidup ini? Ada yang hidupnya sampai sembilan puluhan tahun, tapi kenapa ada juga yang masih kecil sudah meninggal? Orangtuaku masih tigapuluh tahunan, kenapa Engkau memanggil mereka secepat itu? Dengan cara yang mengenaskan pula?! Tidak! Ini bukan takdirmu, manusia kejam itulah yang membuat aku dan adikku harus kehilangan orangtua. Aku akan membalaskan kematian mami dan papi!

“Kenapa kakak menangis? Apa Mentari salah?”

Pertanyaan sang adik menambah rasa sakit di hatinya.

“Kakak tidak akan nangis lagi, tapi Mentari harus janji tidak akan menyebut nama mami dan papi kepada siapapun mulai sekarang, walaupun itu teman baik Mentari. Mami dan papi pesannya gitu,” bisik Bintang sambil memeluk sang adik.

“Maksudnya?” tanya Mentari bingung.

“Jangan menyebut nama mami dan papi lagi. Setelah usia Mentari sepuluh tahun, kakak janji akan memberitahukan apa yang sebenarnya terjadi.” Jelas Bintang.

“Apa Mentari sayang sama mami dan papi?”

“Sayang.”

“Kalau sayang … ikuti saja perintah kakak ya? Karena mami dan papi menginginkan Mentari baik-baik saja. Janji sama kakak. Mentari tidak akan pernah mengatakan kalau kita adalah keluarga Morales.” Kata Bintang, jari kelingkingnya diangkat keatas.

“Janji.” Mentari menyilangkan jari kelingkingnya dan disatukan dengan jari kelingking sang kakak.

Setelah hampir dua jam perjalanan, mobil berhenti disebuah restoran kecil, di tempat terpencil.

Bintang menatap dua orang yang turun dari mobil, memasuki restoran.

‘Pembunuh mami dan papi bukan orang biasa, kalau aku dan adikku hanya menggunakan mobil ini tentu saja bisa dilacak lewat CCTV. Aku yakin cepat atau lambat mereka pasti akan menemukan kenyataan, kalau anak keluarga Morales belum meninggal.’ Batin Bintang yakin.

Walaupun bingung, tapi Mentari hanya mengikuti ketika Bintang memberi komando padanya untuk ikut turun.

Berlahan keduanya melangkah, menerobos dinginnya malam.

Walaupun dingin menyengat, tapi itu sama sekali tidak dirasakan Bintang. Ingatannya kembali kepada lelaki yang membunuh orangtuanya secara tragis.

“Kak, Mentari kedinginan.”

Bintang menarik nafas panjang, tidak ada yang dapat dilakukannya selain memeluk sang adik dengan erat, “Bertahanlah, Dik.”

Merasakan tubuh sang adik agak hangat, membuat Bintang gemetaran.

‘Tidak! Mentari tidak boleh demam, di sini tidak ada siapapun, di sini juga tidak ada dokter!’ batin Bintang khawatir.

Namun, harapan Bintang sia-sia. Tubuh adiknya mengigil, sedangkan suhu badannya panas.

Tidak mau terjadi sesuatu dengan Mentari, Bintang berusaha menghentikan mobil yang lewat di jalanan sepi itu.

Bukannya berhenti, mobil justru semakin melaju. Seperti baru melihat hantu.

Sampai akhirnya tidak ada pilihan lain bagi Bintang selain mempertaruhkan nyawanya demi sang adik.

Saat ada mobil lewat, Dia dengan berani langsung berdiri menghadang di tengah. Matanya terpejam, tangannya gemetar.

“Apa kamu gila, ha? Kalau mau mati jangan di sini! Lompat dari Gedung atau terjun di sungai atau apalah, yang penting tidak merugikan orang lain!” gerutu lelaki muda yang keluar dari mobil dengan penuh amarah.

“Maaf, kak. Adikku demam, aku tidak tahu harus minta tolong siapa lagi.” Kata Bintang pasrah, jari telunjuknya menunjuk Mentari yang duduk dipinggir jalan dengan tubuh mengigil.

Lelaki itu langsung saja mendekati Mentari dan memeriksa suhu tubuhnya. “Kenapa kalian berdua sendirian di sini? Mana ayah dan ibumu?”

“Maaf, kak, Kami hanyalah gelandangan, kami terbiasa hidup berpindah-pindah. Kami tadi mengikuti mobil pick up, tapi saat mobil berhenti kami ikutan turun untuk melihat-lihat. Saat kami balik mobil itu sudah pergi.” Kata Bintang berbohong.

“Kamu jangan coba berbohong, pakaian yang kalian kenakan jelas sekali merek mahal, atau ….” Lelaki itu menatap Bintang.

Bintang tercekat mendengar hal itu, dia sama sekali tidak memikirkan kalau pakaian yang dikenakannya dan sang adik merupakan barang brend ternama.

“Cepat naik ke mobil kakak.” Perintah lelaki itu dan membantu Mentari berjalan.

Lelaki tidak dikenal itu langsung menghidupkan pemanas mobil dan memberikan pakaian ganti kepada Bintang. “Ini pakaikan kepada adikmu, juga kamu. Maaf kakak hanya punya kaos itu. Tapi tak apalah, nanti kalau sampai di toko pertama, kakak belikan pakaian untuk kalian berdua. Dan ingat … jangan mencuri lagi.”

Tidak lama setelah berganti pakaian dan minum obat, Mentari terlelap dalam pangkuan sang kakak.

Hampir satu jam perjalanan, mobil berhenti disebuah toko dipinggiran kota. “Kalian berdua tunggu di sini saja, nanti kakak balik lagi.”

Tidak sampai sepuluh menit lelaki itu telah kembali. “Ini pakaian untuk kalian.”

Bintang menerima pemberian lelaki itu dan mengucapkan terima kasih.

Walaupun bingung, tapi lelaki itu tidak dapat berbuat apa-apa ketika Bintang dan sang adik bersikeras menolak untuk tinggal di rumahnya.

“Ya sudah, ini uang untuk kalian. Jika suatu saat kalian membutuhkan bantuan, ini kartu nama kakak. Simpan baik-baik.” Kata lelaki itu sambil memberikan kartu nama kepada Bintang.

“Terima kasih, kakak ganteng.” Kata Mentari tersenyum.

Mobil lelaki itu meluncur dengan kecepatan sedang meninggalkan Bintang dan Mentari.

"Kenapa kita tidak ikut kakak ganteng itu saja, kak?" tanya Mentari bingung.

‘Maaf, Dik. Kakak tidak mau menyeret orang lain ke dalam masalah kita.’ Batin Bintang.

Ya! Bintang tidak mau kalau lelaki itu ikutan meninggal di tangan pembunuh orangtuanya.

Uang yang diberikan lelaki itu, digunakan Bintang untuk naik bus tiga kali, kemudian naik kereta api.

Bintang memilih meninggalkan tempat asalnya, dan pergi sejauh mungkin. Walaupun dia sendiri tidak punya tempat tujuan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dendam Sang Bintang    121. Tamat

    "Maaf, kalau guru muncul terlambat." "Bagaimana guru tahu keberadaan kami?" tanya Mentari bingung. "Sebenarnya guru tidak akan pernah tahu keberadaan kalian. Hanya saja pas kemarin di bandara, kakek mendengar bisikan-bisik anak buah pria ini yang berencana menyerang kalian. Jadi kakek terpaksa mengikuti mereka diam-diam. Alhasil ketemu di sini deh,'" ujar sang kakek tersenyum. "Aku akan membunuh kalian semua. Tanpa terkecuali!" teriak Ekaputra murka. Dia langsung saja mengatur posisi. Bintang dapat menebak, kalau sekarang Ekaputra menggunakan tenaga anginnya secara penuh. "Semuanya minggir!" teriak Bintang memperingatkan. Dirty langsung saja menarik rekan lainnya ke pinggir. Dia tahu inilah pertarungan yang sebenarnya. Tubuh Ekaputra kini dikelilingi angin kencang. Hal yang sama juga terjadi pada Bintang. "Sepertinya mereka sama-sama menggunakan tenaga angin," ujar Kumbara khawatir. Kumbara memilih ikut serta dengan alasan, jika terjadi sesuatu maka dia bisa Langsung mengadak

  • Dendam Sang Bintang    120. Ternyata Mentari bisa beladiri

    Dibawah ancaman Eka, Kumbara mempercepat proses penyembuhannya. Dia tidak mau melakukan kesalahan yang sama, hingga membuat cucu kesayangannya kembali berada dalam bahaya. Bintang, aku yakin kau akan sembuh lebih cepat dari perkiraan ku. Sama cepatnya kau mengeluarkan racun dari dalam tubuhmu. Apa yang di yakini Kumbara memang tak salah, karena pada kenyataannya hanya butuh beberapa hari saja bagi Bintang untuk mengembalikan kondisinya seperti semula. --- Waktu terus berlalu. Kalau Ekaputra sembuh dibawah pengawasan Kumbara, berbanding terbalik dengan Dirty dan kawan-kawan. Mereka sembuh dibawah pengawasan Bintang. "Apa kakak sudah gila, ha? Kenapa kakak menyembunyikan kondisi kakak dariku dan istrimu sendiri? Aku hanya punya kakak, aku tak punya siapa-siapa lagi, Kak. Kenapa kau lakukan ini padaku?" tangis Mentari pecah ketika tiba di markas baru Fierce Spider dan melihat sang kakak. Bintang terkejut melihat kedatangan adik dan sang istri yang mendadak. "Dari mana ka

  • Dendam Sang Bintang    119. Di sinilah Devano Willow meninggal

    Ya! Edy membawa Kumbara ke hutan. Hutan di mana Devano Willow harus meregang nyawa, karena perbuatan murid kesayangannya sendiri. Di mana juga Devano Willow menolak keras untuk disembuhkan dan memilih mati. Edy menatap Kumbara dan tersenyum sinis, "Bagaimana? Apa kau suka kejutan ku? Bukankah kau tak menyangka kalau aku akan membawa mu ke sini? Kumbara ... Kumbara ... apa kau pikir aku tak bisa membaca pikiran mu? Tidak, Kumbara! Bukankah Kau ingin memperlambat proses kesembuhan bos ku, kan? Lebih baik pikirkan baik-baik setelah melihat ini." Setelah mengakhiri kalimatnya. Edy mengeluarkan ponsel dari saku jasnya dan melakukan panggilan video call. Melihat Austin yang terbaring di atas ranjang, membuat jantung Kumbara berdetak lebih cepat dari biasanya. Dia ketakutan. "Edy, aku mohon lepaskan cucuku," pinta Kumbara berlutut di kaki Edy. "Nyawa cucu mu, bergantung padamu. Kalau kau mau memperlambat proses pengobatan bos ku, maka ku pastikan Austin akan kehilangan fungsi organ

  • Dendam Sang Bintang    118. Hutan ini?

    "Bagaimana Edy, apakah kau sudah mengirim orang untuk mengawasi Austin Maverick? Cucu kesayangannya?" tanya Ekaputra santai. Dan Kumbara tahu artinya. Itu ancaman tak langsung untuknya."Kau mau membunuh cucu ku? Silahkan! Maka kau tak akan pernah mendapatkan pengobatan apapun dariku. Kau hanya akan menemukan tubuhku mati kaku," ancam Kumbara. Ya! Selain Kumbara maka tak akan ada seorangpun yang dapat mengobati Ekaputra. Jadi Kumbara tahu persis, Ekaputra tak akan berani bertindak bodoh. Karena membunuh Austin Maverick, itu sama saja bunuh diri. "Apa bos memerintahkan untuk membunuh cucu mu? Bukankah tidak? Bos meminta ku mengawasinya. Itu artinya ...," Edy tak meneruskan kalimatnya, dia justru tersenyum menatap Kumbara."Artinya apa, Brengsek!" teriak Kumbara emosi."Itu artinya setiap kesalahan dalam pengobatan yang kau lakukan, maka cucu mu yang akan kena dampaknya. Tapi tenang saja, kami tak akan langsung membunuhnya. Kami akan menerornya terlebih dahulu. Kalau kau bisa memperce

  • Dendam Sang Bintang    117. Sejak kapan kau terluka, Eka?

    "Sejak kapan kau terluka, Ekaputra? Apa kau menggunakan tenaga angin?" tanya Kumbara memastikan kalau dugaannya tak meleset."Aku terluka sejak tujuh bulan lalu, tepatnya tanggal 3 Desember 2023. Btw dari mana kau tahu kalau aku menggunakan tenaga angin?" tanya Ekaputra curiga."Mengingat kau adalah murid Devano Willow, sangat mustahil ada orang mengalahkan mu. Apalagi membuat kondisi mu seperti ini. Jadi hanya ada satu kemungkinan, kau menggunakan tenaga angin. Apa kau menemukan seseorang yang kuat, hingga kau harus menggunakan tenaga dalam yang selama ini tak pernah kau publikasikan?" Kumbara menatap Ekaputra, seolah-olah tak tahu apa yang sedang terjadi.Ekaputra diam seribu bahasa. Dia tahu berbohong juga percuma. Kumbara tahu betul masa lalunya. Mulai dari Devano Willow yang memilihnya menjadi murid, bagaimana juga dia mengkhianati gurunya sendiri."Kenapa kau diam saja? Apakah tebakanku benar? Apa mungkin dia adik seperguruan mu yang menghilang?" tanya Kumbara pura-pura tak tahu

  • Dendam Sang Bintang    116. Kita bertemu lagi, Kumbara.

    [Bos Edy, seperti dugaan mu. Kumbara secara sukarela ikut bersama kami. Kami sedang dalam perjalanan. Sekitar lima belas menit lagi kami sampai markas.]Edy mengucek matanya sendiri, tak percaya dengan pesan yang baru saja dibacanya, "Ini bukan mimpi, kan, Bos? Ini nyata, kan? Mereka berhasil menemukan Kumbara, kan, Bos?"Ekaputra Lee tak menjawab, dia langsung saja menarik ponsel yang ada dalam genggaman Edy. Dia penasaran."Apakah benar Kumbara sedang dalam perjalanan ke sini?" tanya Ekaputra tak percaya."Sepertinya rencana ku berhasil, Bos," kata Edy penuh semangat.Benar saja tak sampai lima belas menit. Anak buah Edy telah sampai di markas."Kalau kau ingin membunuhku, silahkan! Tapi jangan pernah menyakiti cucuku, Brengsek!" cetus Kumbara dengan wajah merah padam. Berusaha mengendalikan amarahnya.Ya! Ketika mengetahui orang yang menghadang jalannya adalah anak buah Ekaputra, Kumbara berusaha melarikan diri.Namun, semua berubah ketika anak buah Ekaputra mengatakan kalau sampai

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status