LOGIN
BAB 1
Angin sore berhembus dingin saat kereta berhenti di stasiun kecil. Ratna turun, membawa koper dan ransel, menatap jalan menuju kampung yang sudah lama tak ia pijak. Tapi jalan itu kini terasa asing sunyi, seolah menyimpan sesuatu yang menunggunya disana. Setelah lama berjalan Ia memesan ojek dan melaju melewati pepohonan bambu. Angin berdesir membawa suara lirih seperti bisikan. “Mungkin cuma angin,” gumamnya pelan. Namun dadanya terasa berat, firasat buruk mulai bergetar di hati. Tak lama ketika gerbang kampung terlihat, langkahnya terhenti. Rumah-rumah gelap, tak ada cahaya, tak ada suara manusia. “Kenapa sepi begini, ya...” bisiknya. Ia berlari menuju rumahnya dan ketika ia sampai Ratna terdiam kaku. Pintu rumahnya terbuka lebar. Di lantai, banyak noda merah mengering. “Darah?” Ratna menelan ludah. Ia segera masuk perlahan, lalu menjerit. “Ibu! Ayah!” Ratna kaget melihat kedua orang tuanya tergeletak di ruang tengah, tubuh penuh luka, badannya kaku. Ratna tak tahan ia jatuh berlutut, tangisnya pecah. “Kenapa... siapa yang melakukan ini...” Ratna menangis, tak lama terdengar suara lirih dari kamar belakang yang membuatnya menoleh. lalu Ia berlari, menuju kamar adiknya ia membuka pintu, dan menemukan adiknya meringkuk di bawah meja. “Rani!” Ratna memeluknya erat. Rani menangis, tubuhnya gemetar. “Mereka membunuh semua orang, Kak... orang-orang berjubah hitam itu mencari kakak...” “Mencari aku?” Ratna mematung. Tiba-tiba Tok! tok! tok! Suara keras dari depan rumah membuat darahnya membeku. Ratna menutup mulut adiknya dan menariknya ke bawah ranjang. Dari celah lantai, terlihat bayangan hitam memasuki rumah. Lima sosok berjubah hitam dengan topeng aneh, membawa pedang pendek berukir. “Gadis itu harus ditemukan,” bisik salah satu. “Darahnya adalah kunci.” Ratna menahan napas. “Apa maksud mereka?” batinnya. Salah satu dari mereka berhenti tepat di depan kamar Ratna. Kakinya berbalik, hendak masuk. Namun seketika GRAAAARR! suara keras dari auman singa mengguncang rumah. Dinding bergetar, udara berubah panas. Para lelaki itu panik. “Penjaga itu bangkit! Mundur!” Bayangan-bayangan hitam lenyap, meninggalkan bau belerang menyengat. Ratna membuka mata. Di ruang tengah terlihat berdiri seekor singa putih besar bermata emas. Auranya memancarkan cahaya suci. “A... apa kau?” suaranya bergetar. Singa itu bersinar, lalu menjelma menjadi seorang pria gagah berzirah putih. “Aku Singa Putih, khodam leluhurmu,” ucapnya dalam. “Dan kau, Ratna... kau adalah pewaris yang telah lama dinanti.” Ratna mundur selangkah. “Aku tidak mengerti… apa maksudmu?” “Darahmu membawa warisan Sang Pemusnah Jin. Gelang di tanganmu bukan perhiasan biasa itu adalah pusaka yang menyegel kekuatan leluhurmu.” Ratna menatap gelang perak di pergelangan tangannya. Benda itu berdenyut hangat. “Ini... gelang ibu?” “Ya. Dan malam ini kekuatannya bangkit. Sekte yang menyerang keluargamu adalah pengikut Raja Rekhsa. Mereka ingin darahmu untuk membuka gerbang kegelapan.” Ratna menatap jasad orang tuanya. Matanya basah, tapi suaranya tegas. “Kalau begitu, aku akan membalas mereka. Aku akan menuntut darah dengan darah.” Singa Putih menunduk hormat. “Mulai malam ini, engkau adalah pewarisku, dan aku jenderalmu. Bersiaplah perang baru saja dimulai.” Kilatan petir menyambar jauh di langit meski malam tenang. Ratna memeluk adiknya, menggenggam gelang yang kini bersinar samar. Di luar, angin berdesir membawa bisikan gaib. Dan jauh di alam lain, Raja Rekhsa membuka matanya. “Pewaris telah bangkit,” suaranya bergaung dari kegelapan.BAB 9 “Kutukan ini akan mengikatmu, pewaris... sampai darahmu sendiri menolakmu.”Ratna meringis. Lengan kanannya berdenyut, tepat di bawah gelang pusaka. Luka hitam di sana membara, seolah ada ular berbisa yang menggeliat di bawah kulit, menyuntikkan racun ke dalam darahnya.“Kak... apa lagi ini?” suara Rani bergetar, panik.Gadis itu menggenggam tangan kakaknya erat-erat, wajahnya pucat.“Kenapa lukanya makin hitam? Kak, ini menakutkan...”Ratna mencoba tersenyum, meski wajahnya menahan sakit.“Kakak baik-baik saja. Jangan khawatir, Ran.”Arga dan Nanda saling berpandangan. Keduanya tahu, ini bukan sakit biasa. Udara di kamar pondok mendadak dingin, hawa tak kasatmata terasa menyelusup.Tok... tok... tok...Arga segera membuka pintu. Sosok berwibawa dengan sorban putih berdiri di sana. Wajahnya teduh, namun auranya begitu kuat. Dialah Kiai Karim, guru besar pondok itu orang yang jarang muncul kecuali untuk urusan luar biasa.“Assalamualaikum,” suaranya dalam dan tenang.“Wa’alaiku
BAB 9 “Alhamdulillah... kalian kembali,” ujarnya lirih, lalu menuntun mereka masuk ke ruang pengobatan sederhana.Namun ketika hendak memeriksa, Ratna meringis kesakitan.Dari lengannya, tepat di bawah gelang pusaka, tampak sebuah tanda hitam berputar seperti bara api merayap di kulit. Aroma belerang bercampur darah menguar.“Subhanallah…” desah Kiai Jalal.“Ini bukan luka biasa. Ini kutukan gaib... balasan dari Ki Sura sebelum ajalnya.”Rani menahan tangis, menggenggam tangan kakaknya erat.“Tidak, Kak... jangan-jangan itu bisa membunuhmu?”Ratna tersenyum samar walau wajahnya menahan sakit.“Aku masih bisa menahannya. Selama gelang ini bersinar, aku belum kalah.”Namun jauh di dalam hati, Ratna tahu rasa sakit itu bukan sekadar luka.Ada tangan-tangan gaib yang perlahan mencoba menarik jiwanya ke kegelapan.Di luar pondok, warga yang selamat berkumpul. Tangisan terdengar di mana-mana.Ada yang kehilangan ayah, ada yang kehilangan anak, ada yang kehilangan dirinya sendiri karena ker
BAB 7Di sisinya, Arga memeriksa ujung tombaknya yang retak.“Pedangmu masih menyala, Ratna. Tapi cahayanya... sedikit redup.”Ratna menatap gelang pusaka di pergelangannya. Cahaya itu berdenyut pelan, seolah ikut merasakan lelahnya sang pewaris.“Aku bisa merasakannya. Energi gelang ini seperti menunggu sesuatu... mungkin ujian baru.”Singa Putih muncul dari kabut dalam wujud manusia tegap.Aura suci di sekitarnya bergetar lembut, membuat angin berhenti sejenak.“Pewarisku,” ujarnya pelan, “malam ini bukan tentang pertempuran. Ini tentang keseimbangan batin. Kau harus memurnikan hatimu, atau gelang itu akan menolakmu.”Ratna menarik napas panjang.Ia tahu maksudnya bukan sekadar meditasi. Ini ujian spiritual antara terang dan bayangan di dalam dirinya sendiri.Beberapa jam kemudian, di aula utama perguruan yang kini sepi, Ratna duduk bersila di tengah lingkaran simbol leluhur.Lilin-lilin menyala di sekelilingnya, menebarkan cahaya lembut.Singa Putih berdiri menjaga di sisi, sementa
BAB 6“Kau tidak tidur semalaman lagi?” suara Arga terdengar dari belakang, lembut namun penuh khawatir.Ratna menoleh, menatap sahabatnya itu sambil tersenyum tipis.“Aku tidak bisa tidur. Setiap kali memejamkan mata, aku mendengar langkah-langkah... seperti seseorang berjalan di sekeliling pondok.”Arga menghela napas, lalu duduk di sampingnya. “Mungkin hanya perasaanmu. Setelah apa yang terjadi, wajar kalau kau masih gelisah.”Ratna tidak menjawab. Ia tahu suara itu nyata langkah yang berat, berirama, seperti milik prajurit yang sedang berbaris.Siang itu, Kiai Jalal memanggil mereka ke balai tengah. Beberapa murid perguruan lain sudah berkumpul, wajah mereka masih dipenuhi kelelahan dan sisa takut dari malam-malam sebelumnya.Di hadapan mereka, Kiai Jalal menancapkan sebatang tongkat kayu ke tanah. Ujungnya bergetar, lalu muncul cahaya samar dari tanah membentuk pola lingkaran yang bercahaya biru.“Anak-anakku... pertempuran belum selesai. Apa yang terjadi malam itu hanyalah awal.
BAB 5 “Ini ujian terakhirmu malam ini, Pewarisku.” Suaranya berat dan dalam. “Kau akan menghadapi Tangan Kanan Raja Jin. Ini bukan sekadar pertarungan fisik tapi juga pertarungan batin. Fokuslah pada kekuatan leluhurmu.”Ratna mengangguk. Ia tahu, malam ini akan menentukan seberapa jauh ia mampu mengendalikan gelang pusaka.Dari balik kabut, muncullah sosok tinggi berjubah hitam. Matanya merah membara, dan aura gelap yang menyelimutinya membuat udara terasa berat.“Kau pewaris yang ditakuti itu? Menarik. Tapi malam ini, cahaya akan padam di hadapanku.”Suara itu menggema, membuat bulu kuduk berdiri.Ratna menggenggam pedangnya lebih erat. “Aku tidak akan mundur. Aku pewaris leluhur, dan aku akan menuntaskan sumpah darah ini.”Seketika, Tangan Kanan Raja Jin melesat cepat. Serangan gaibnya menghantam udara.DUAKK!Benturan keras memecah keheningan. Ratna menangkis dengan pedang cahaya, tapi tubuhnya terpental, hampir jatuh.“Fokus, Ratna! Jangan biarkan amarah menguasaimu!” seru Sing
BAB 4 “Ini baru permulaan,” bisik Ratna pelan. “Musuh belum menunjukkan kekuatannya.” Ia menarik napas panjang, memejamkan mata, lalu melafalkan doa ringan. Dalam sekejap, Singa Putih muncul dalam wujud manusia tegap dengan mata tajam dan aura kepemimpinan yang kuat. “Kalian harus fokus,” ujarnya tenang. “Pasukan bayangan akan menyerang kota malam ini. Aku akan membimbing Ratna, tapi kalian semua harus siap.” Ratna mengangguk. Mereka duduk bersila, menyusun strategi. Ratna memimpin di garis depan, Arga dan Nanda menjaga sayap kiri-kanan, sementara Rani bertugas melindungi warga dan memulihkan energi jika diperlukan. Singa Putih menatap langit malam. “Jangan anggap remeh. Ini hanya ujian kecil. Tapi aku bisa merasakan mereka terhubung dengan dalang besar di balik tirai kegelapan. Kalian harus bertahan sampai fajar.” Suara gemuruh tiba-tiba terdengar dari kejauhan. Bayangan-bayangan gelap meluncur di antara jalan, menyerupai sosok humanoid dengan mata merah menyala. Mereka men







