LOGINBAB 2
“Kak... apa kita benar-benar harus pergi?” suara Rani lirih, nyaris seperti bisikan. Ratna menarik napas dalam. “Iya, Rani. Kalau kita bertahan, mereka akan datang lagi. Kita tidak boleh jadi korban berikutnya.” Di samping mereka, Singa Putih berjalan dalam wujud manusia berzirah putih. Hanya Ratna yang bisa melihatnya bagi Rani, kehadirannya hanyalah hembusan angin dingin yang mengikuti sepanjang jalan. Matahari mulai merangkak naik. Jalan menuju kota sepi, hanya ditemani suara burung hutan dan desir dedaunan. Namun, sesekali Ratna merasakan bulu kuduknya meremang. Ada sesuatu yang mengikuti dari kejauhan. Ia berhenti sejenak, menoleh ke arah pepohonan. “Tidak... tidak apa-apa,” katanya cepat ketika Rani bertanya. Tapi hatinya gelisah. Singa Putih mendekat, suaranya rendah dan dalam. “Mereka mulai bergerak. Sekte itu tidak akan tinggal diam setelah gagal mendapatkanmu.” Ratna mengepalkan tangan. “Kalau begitu, biar mereka tahu… aku tidak akan mundur.” Perjalanan panjang akhirnya membawa mereka ke pinggiran kota. Suara kendaraan, hiruk-pikuk manusia, dan aroma makanan jalanan seolah menjadi dunia lain yang sama sekali tidak tahu tragedi berdarah di kampung mereka. “Kak, kita benar-benar sampai...” ucap Rani pelan. Ratna mengangguk. “Sekarang kita harus menemukan sahabat ayah.” Singa Putih menatap lurus ke depan. “Namanya Surya. Ia pemilik perguruan kecil di kota ini. Orang yang bisa dipercaya.” Tak lama, mereka tiba di depan sebuah bangunan sederhana bercat putih kusam. Di papan kayu tertulis Perguruan Surya Dharma. Suara bambu beradu dan teriakan orang berlatih terdengar dari dalam. Ratna mengetuk pintu. Seorang lelaki berusia separuh baya muncul tubuh tegap, mata tajam namun hangat. “Ratna...? Kau anaknya Arman, bukan?” suaranya bergetar. Ratna menunduk. “Iya, Pak. Saya Ratna. Ini adik saya, Rani.” Pak Surya menatap mereka lama, lalu menghela napas berat. “Astaga... wajahmu mirip sekali dengan ayahmu. Masuklah.” Di ruang dalam perguruan, Ratna menceritakan semuanya pembantaian di kampung, sekte berjubah hitam, dan sosok Singa Putih yang kini menjadi penuntunnya. Rani sesekali menangis di sampingnya. Pak Surya terdiam lama, lalu menatap gelang perak di tangan Ratna. Matanya membelalak. “Jadi benar... pusaka itu jatuh padamu.” “Pak, apa Bapak tahu tentang gelang ini?” tanya Ratna bingung. Pak Surya menatap gelang itu lama, seolah menatap masa lalu. “Itu Gelang Wira Pradana pusaka leluhurmu. Di dalamnya bersemayam khodam Singa Putih, jenderal gaib yang dulu memimpin perang melawan Raja Jin.” Ratna tercekat. Kata-kata itu seperti membuka pintu dunia baru yang tak pernah ia bayangkan. “Jadi semua ini... benar?” “Benar, Ratna. Dan kau, kau adalah pewarisnya. Takdir itu tak bisa kau hindari.” Langkah kaki terdengar dari luar. Seorang pemuda masuk, keringat membasahi wajahnya. Tubuh tegap, mata tajam, tapi senyum ramah. “Pak, ada tamu?” “Arga, kemari. Ini Ratna dan Rani anak sahabat lamaku.” Pemuda itu tersenyum, menunduk sopan. “Saya Arga. Senang bertemu kalian.” Rani menunduk malu, sementara Ratna hanya mengangguk singkat. Duka di dadanya masih terlalu pekat untuk banyak bicara. Pak Surya berkata, “Mereka akan tinggal di sini untuk sementara. Mulai besok, bantu mereka berlatih. Dunia gaib yang dulu hanya legenda kini nyata kembali.” Arga menatap Ratna serius, seolah bisa membaca luka di matanya. “Baik, Pak. Saya akan membantu.” Malam menjelang. Ratna duduk di beranda perguruan, menatap langit bertabur bintang. Udara kota tak sepekat kabut kampung, tapi kekosongan di hatinya tetap sama. Singa Putih berdiri di sampingnya, wujudnya samar disinari bulan. “Bagaimana rasanya, pewarisku?” Ratna terdiam. “Seperti... dilempar ke dunia yang bukan milikku. Aku hanya ingin bekerja, membantu orang tua, membiayai Rani. Tapi sekarang...” “Sekarang kau ditakdirkan untuk lebih dari itu,” potong Singa Putih tenang. “Takdir seorang pewaris bukan untuk lari, tapi untuk berdiri.” Ratna menatap gelang di tangannya. Cahaya samar berdenyut lembut, seolah merespons kata-kata itu. Api kecil mulai menyala dalam hatinya. Pagi berikutnya, halaman perguruan dipenuhi suara hentakan kaki. “Hari ini latihan pertama,” ujar Arga dengan senyum tipis. “Kalian harus siap menghadapi apa pun.” Ratna dan Rani mengikuti gerakannya. Nafas mereka berat, tubuh lelah, tapi semangatnya membara. Di sela latihan, Ratna mendengar suara Singa Putih di benaknya. “Rasakan aliran energimu. Gelang itu hidup. Kendalikan dengan hatimu.” Saat ia memusatkan konsentrasi, gelang di tangannya tiba-tiba berpendar terang. Suara lirih menggema di telinganya. “Bangkitkan kekuatanmu, pewaris... ujianmu baru dimulai.” Tubuh Ratna bergetar. Ia tahu ini bukan sekadar latihan biasa. Ada sesuatu yang lebih besar sedang bangkit. Usai latihan, Pak Surya membawa mereka ke ruangan tersembunyi di balik rak kayu. Di dalamnya tersimpan naskah kuno, senjata, dan lukisan peperangan gaib masa lalu. “Ratna, semua ini warisan leluhurmu. Sekarang tanggung jawab itu di pundakmu.” Ratna menatap pedang dan naskah di depannya. Rasa takut, sedih, dan tekad bercampur jadi satu. “Bagaimana aku bisa menguasainya, Pak?” “Dengan disiplin dan doa,” jawab Pak Surya. “Gelangmu akan menuntun, khodammu akan membimbing. Tapi arah tetap ditentukan hatimu.” Singa Putih menambahkan dengan nada tegas, “Setiap langkahmu membentuk takdir. Sekali lengah, sekte itu akan menuntut darah lagi.” Ratna menunduk, matanya berkilat tekad. Ia tahu, jalan ini tak bisa diputar balik. Malam itu, Ratna bermimpi. Ia berdiri di tengah hutan berkabut, dan di hadapannya muncul sosok leluhur berzirah putih dengan mata menyala lembut. “Pewarisku, darahmu membawa garis kami. Jangan biarkan ketakutan menguasai. Kekuatanmu lahir dari keberanian dan cinta.” Ratna menatapnya penuh air mata. “Aku takut tidak cukup kuat.” “Kekuatan bukan otot atau pedang, tapi hatimu sendiri. Bangkitlah, pewaris kami.” Energi hangat mengalir melalui tubuh Ratna. Ia terbangun dengan napas terengah, gelangnya berpendar lembut. Singa Putih berdiri di sisinya. “Sekarang kau mulai mengerti,” ucapnya. “Kekuatanmu bangkit, dan musuhmu pun demikian. Bersiaplah.” Di atas atap kota, bayangan berjubah hitam berdiri menatap ke arah perguruan. Matanya menyala merah. “Pewarisku sudah berada di kota,” bisiknya pelan.BAB 9 “Kutukan ini akan mengikatmu, pewaris... sampai darahmu sendiri menolakmu.”Ratna meringis. Lengan kanannya berdenyut, tepat di bawah gelang pusaka. Luka hitam di sana membara, seolah ada ular berbisa yang menggeliat di bawah kulit, menyuntikkan racun ke dalam darahnya.“Kak... apa lagi ini?” suara Rani bergetar, panik.Gadis itu menggenggam tangan kakaknya erat-erat, wajahnya pucat.“Kenapa lukanya makin hitam? Kak, ini menakutkan...”Ratna mencoba tersenyum, meski wajahnya menahan sakit.“Kakak baik-baik saja. Jangan khawatir, Ran.”Arga dan Nanda saling berpandangan. Keduanya tahu, ini bukan sakit biasa. Udara di kamar pondok mendadak dingin, hawa tak kasatmata terasa menyelusup.Tok... tok... tok...Arga segera membuka pintu. Sosok berwibawa dengan sorban putih berdiri di sana. Wajahnya teduh, namun auranya begitu kuat. Dialah Kiai Karim, guru besar pondok itu orang yang jarang muncul kecuali untuk urusan luar biasa.“Assalamualaikum,” suaranya dalam dan tenang.“Wa’alaiku
BAB 9 “Alhamdulillah... kalian kembali,” ujarnya lirih, lalu menuntun mereka masuk ke ruang pengobatan sederhana.Namun ketika hendak memeriksa, Ratna meringis kesakitan.Dari lengannya, tepat di bawah gelang pusaka, tampak sebuah tanda hitam berputar seperti bara api merayap di kulit. Aroma belerang bercampur darah menguar.“Subhanallah…” desah Kiai Jalal.“Ini bukan luka biasa. Ini kutukan gaib... balasan dari Ki Sura sebelum ajalnya.”Rani menahan tangis, menggenggam tangan kakaknya erat.“Tidak, Kak... jangan-jangan itu bisa membunuhmu?”Ratna tersenyum samar walau wajahnya menahan sakit.“Aku masih bisa menahannya. Selama gelang ini bersinar, aku belum kalah.”Namun jauh di dalam hati, Ratna tahu rasa sakit itu bukan sekadar luka.Ada tangan-tangan gaib yang perlahan mencoba menarik jiwanya ke kegelapan.Di luar pondok, warga yang selamat berkumpul. Tangisan terdengar di mana-mana.Ada yang kehilangan ayah, ada yang kehilangan anak, ada yang kehilangan dirinya sendiri karena ker
BAB 7Di sisinya, Arga memeriksa ujung tombaknya yang retak.“Pedangmu masih menyala, Ratna. Tapi cahayanya... sedikit redup.”Ratna menatap gelang pusaka di pergelangannya. Cahaya itu berdenyut pelan, seolah ikut merasakan lelahnya sang pewaris.“Aku bisa merasakannya. Energi gelang ini seperti menunggu sesuatu... mungkin ujian baru.”Singa Putih muncul dari kabut dalam wujud manusia tegap.Aura suci di sekitarnya bergetar lembut, membuat angin berhenti sejenak.“Pewarisku,” ujarnya pelan, “malam ini bukan tentang pertempuran. Ini tentang keseimbangan batin. Kau harus memurnikan hatimu, atau gelang itu akan menolakmu.”Ratna menarik napas panjang.Ia tahu maksudnya bukan sekadar meditasi. Ini ujian spiritual antara terang dan bayangan di dalam dirinya sendiri.Beberapa jam kemudian, di aula utama perguruan yang kini sepi, Ratna duduk bersila di tengah lingkaran simbol leluhur.Lilin-lilin menyala di sekelilingnya, menebarkan cahaya lembut.Singa Putih berdiri menjaga di sisi, sementa
BAB 6“Kau tidak tidur semalaman lagi?” suara Arga terdengar dari belakang, lembut namun penuh khawatir.Ratna menoleh, menatap sahabatnya itu sambil tersenyum tipis.“Aku tidak bisa tidur. Setiap kali memejamkan mata, aku mendengar langkah-langkah... seperti seseorang berjalan di sekeliling pondok.”Arga menghela napas, lalu duduk di sampingnya. “Mungkin hanya perasaanmu. Setelah apa yang terjadi, wajar kalau kau masih gelisah.”Ratna tidak menjawab. Ia tahu suara itu nyata langkah yang berat, berirama, seperti milik prajurit yang sedang berbaris.Siang itu, Kiai Jalal memanggil mereka ke balai tengah. Beberapa murid perguruan lain sudah berkumpul, wajah mereka masih dipenuhi kelelahan dan sisa takut dari malam-malam sebelumnya.Di hadapan mereka, Kiai Jalal menancapkan sebatang tongkat kayu ke tanah. Ujungnya bergetar, lalu muncul cahaya samar dari tanah membentuk pola lingkaran yang bercahaya biru.“Anak-anakku... pertempuran belum selesai. Apa yang terjadi malam itu hanyalah awal.
BAB 5 “Ini ujian terakhirmu malam ini, Pewarisku.” Suaranya berat dan dalam. “Kau akan menghadapi Tangan Kanan Raja Jin. Ini bukan sekadar pertarungan fisik tapi juga pertarungan batin. Fokuslah pada kekuatan leluhurmu.”Ratna mengangguk. Ia tahu, malam ini akan menentukan seberapa jauh ia mampu mengendalikan gelang pusaka.Dari balik kabut, muncullah sosok tinggi berjubah hitam. Matanya merah membara, dan aura gelap yang menyelimutinya membuat udara terasa berat.“Kau pewaris yang ditakuti itu? Menarik. Tapi malam ini, cahaya akan padam di hadapanku.”Suara itu menggema, membuat bulu kuduk berdiri.Ratna menggenggam pedangnya lebih erat. “Aku tidak akan mundur. Aku pewaris leluhur, dan aku akan menuntaskan sumpah darah ini.”Seketika, Tangan Kanan Raja Jin melesat cepat. Serangan gaibnya menghantam udara.DUAKK!Benturan keras memecah keheningan. Ratna menangkis dengan pedang cahaya, tapi tubuhnya terpental, hampir jatuh.“Fokus, Ratna! Jangan biarkan amarah menguasaimu!” seru Sing
BAB 4 “Ini baru permulaan,” bisik Ratna pelan. “Musuh belum menunjukkan kekuatannya.” Ia menarik napas panjang, memejamkan mata, lalu melafalkan doa ringan. Dalam sekejap, Singa Putih muncul dalam wujud manusia tegap dengan mata tajam dan aura kepemimpinan yang kuat. “Kalian harus fokus,” ujarnya tenang. “Pasukan bayangan akan menyerang kota malam ini. Aku akan membimbing Ratna, tapi kalian semua harus siap.” Ratna mengangguk. Mereka duduk bersila, menyusun strategi. Ratna memimpin di garis depan, Arga dan Nanda menjaga sayap kiri-kanan, sementara Rani bertugas melindungi warga dan memulihkan energi jika diperlukan. Singa Putih menatap langit malam. “Jangan anggap remeh. Ini hanya ujian kecil. Tapi aku bisa merasakan mereka terhubung dengan dalang besar di balik tirai kegelapan. Kalian harus bertahan sampai fajar.” Suara gemuruh tiba-tiba terdengar dari kejauhan. Bayangan-bayangan gelap meluncur di antara jalan, menyerupai sosok humanoid dengan mata merah menyala. Mereka men







