MasukBAB 5
“Ini ujian terakhirmu malam ini, Pewarisku.” Suaranya berat dan dalam. “Kau akan menghadapi Tangan Kanan Raja Jin. Ini bukan sekadar pertarungan fisik tapi juga pertarungan batin. Fokuslah pada kekuatan leluhurmu.” Ratna mengangguk. Ia tahu, malam ini akan menentukan seberapa jauh ia mampu mengendalikan gelang pusaka. Dari balik kabut, muncullah sosok tinggi berjubah hitam. Matanya merah membara, dan aura gelap yang menyelimutinya membuat udara terasa berat. “Kau pewaris yang ditakuti itu? Menarik. Tapi malam ini, cahaya akan padam di hadapanku.” Suara itu menggema, membuat bulu kuduk berdiri. Ratna menggenggam pedangnya lebih erat. “Aku tidak akan mundur. Aku pewaris leluhur, dan aku akan menuntaskan sumpah darah ini.” Seketika, Tangan Kanan Raja Jin melesat cepat. Serangan gaibnya menghantam udara. DUAKK! Benturan keras memecah keheningan. Ratna menangkis dengan pedang cahaya, tapi tubuhnya terpental, hampir jatuh. “Fokus, Ratna! Jangan biarkan amarah menguasaimu!” seru Singa Putih. Ratna memejamkan mata. Ia menarik napas dalam, memusatkan batin pada gelang pusaka. Denyut energi leluhur mengalir ke seluruh tubuhnya. Cahaya pedang memancar, membentuk pelindung bercahaya yang menangkis serangan berikutnya. Makhluk bayangan di sekitar mereka menjerit kesakitan, berubah menjadi asap hitam sebelum lenyap ke udara. Namun Tangan Kanan tak menyerah. Ia menyerang batin Ratna, menembus pikirannya dengan bisikan-bisikan gelap. “Kau lemah, Ratna. Darah leluhurmu hanyalah kutukan.” Ratna menggertakkan gigi, melawan ketakutan yang berusaha merasuki pikirannya. Ia mengingat doa Kiai Agung, mengucapkannya dalam hati. Cahaya dari gelangnya memancar lebih kuat, membentuk perisai spiritual yang menahan serangan batin itu. “Gunakan darah leluhurmu, Pewarisku,” bisik Singa Putih lembut. Ratna membuka mata auranya kini memancar. Dengan seruan lantang, ia menebas ke arah musuh. Pedang cahayanya menembus aura hitam, membuat Tangan Kanan mundur beberapa langkah sambil mengerang kesakitan. Sementara itu, Arga, Nanda, dan Rani melawan pasukan bayangan yang tersisa. Arga dengan tombak bercahaya, Nanda membentuk penghalang mantra, dan Rani menolong warga yang terjebak. Saat bayangan hitam nyaris menelan Rani, Ratna muncul dan menebas makhluk itu dalam satu gerakan cepat. “Kau memang pewaris sejati, Ratna,” ucap Arga, tersenyum di tengah napas beratnya. Pertarungan mencapai puncak. Ratna nyaris kehabisan tenaga, tapi cahaya gelangnya memancar makin kuat. Leluhur seakan menyalurkan tenaga terakhirnya. Tangan Kanan terhuyung. “Kau menang malam ini... tapi ingat, Raja Jin yang sejati akan segera bangkit!” Dalam ledakan asap hitam, sosok itu menghilang. Ratna menatap langit malam yang kembali diselimuti kabut. “Jika itu benar... maka aku akan siap menyambutnya.” Setelah pertempuran usai, mereka membantu warga yang selamat. Ratna duduk di tangga perguruan, memandangi gelangnya yang berdenyut lembut. “Aku bisa merasakan darah leluhurku, tapi kekuatannya masih samar.” Singa Putih menepuk bahunya. “Kekuatan itu tumbuh bersama niatmu. Gelang pusaka ini bukan senjata biasa, melainkan perjanjian jiwa dengan para leluhur.” Ratna memejamkan mata. Dalam ketenangan, ia mulai memahami potongan demi potongan kekuatannya. refleks cepat, insting membaca serangan, dan kendali cahaya yang bisa berubah menjadi perisai. Singa Putih tersenyum puas. “Kau baru memulai, Ratna. Setiap pertarungan akan membuka kunci kekuatan berikutnya. Tapi hati-hati setiap kemenangan juga memanggil musuh yang lebih kuat.” Malam itu berakhir dengan ketenangan semu. Arga, Nanda, dan Rani duduk bersama Ratna di halaman perguruan. “Kita harus siap,” ujar Arga pelan. Ratna menatap gelangnya, cahaya hangat memancar di kulitnya. “Aku siap. Ini baru permulaan.” Namun di puncak bukit keramat, sosok berjubah gelap menatap dari kejauhan. Matanya merah menyala, suaranya berbisik lirih ke dalam kegelapan. “Raja Jin akan bangkit... dan darah pewaris akan jadi persembahan pertama.”BAB 9 “Kutukan ini akan mengikatmu, pewaris... sampai darahmu sendiri menolakmu.”Ratna meringis. Lengan kanannya berdenyut, tepat di bawah gelang pusaka. Luka hitam di sana membara, seolah ada ular berbisa yang menggeliat di bawah kulit, menyuntikkan racun ke dalam darahnya.“Kak... apa lagi ini?” suara Rani bergetar, panik.Gadis itu menggenggam tangan kakaknya erat-erat, wajahnya pucat.“Kenapa lukanya makin hitam? Kak, ini menakutkan...”Ratna mencoba tersenyum, meski wajahnya menahan sakit.“Kakak baik-baik saja. Jangan khawatir, Ran.”Arga dan Nanda saling berpandangan. Keduanya tahu, ini bukan sakit biasa. Udara di kamar pondok mendadak dingin, hawa tak kasatmata terasa menyelusup.Tok... tok... tok...Arga segera membuka pintu. Sosok berwibawa dengan sorban putih berdiri di sana. Wajahnya teduh, namun auranya begitu kuat. Dialah Kiai Karim, guru besar pondok itu orang yang jarang muncul kecuali untuk urusan luar biasa.“Assalamualaikum,” suaranya dalam dan tenang.“Wa’alaiku
BAB 9 “Alhamdulillah... kalian kembali,” ujarnya lirih, lalu menuntun mereka masuk ke ruang pengobatan sederhana.Namun ketika hendak memeriksa, Ratna meringis kesakitan.Dari lengannya, tepat di bawah gelang pusaka, tampak sebuah tanda hitam berputar seperti bara api merayap di kulit. Aroma belerang bercampur darah menguar.“Subhanallah…” desah Kiai Jalal.“Ini bukan luka biasa. Ini kutukan gaib... balasan dari Ki Sura sebelum ajalnya.”Rani menahan tangis, menggenggam tangan kakaknya erat.“Tidak, Kak... jangan-jangan itu bisa membunuhmu?”Ratna tersenyum samar walau wajahnya menahan sakit.“Aku masih bisa menahannya. Selama gelang ini bersinar, aku belum kalah.”Namun jauh di dalam hati, Ratna tahu rasa sakit itu bukan sekadar luka.Ada tangan-tangan gaib yang perlahan mencoba menarik jiwanya ke kegelapan.Di luar pondok, warga yang selamat berkumpul. Tangisan terdengar di mana-mana.Ada yang kehilangan ayah, ada yang kehilangan anak, ada yang kehilangan dirinya sendiri karena ker
BAB 7Di sisinya, Arga memeriksa ujung tombaknya yang retak.“Pedangmu masih menyala, Ratna. Tapi cahayanya... sedikit redup.”Ratna menatap gelang pusaka di pergelangannya. Cahaya itu berdenyut pelan, seolah ikut merasakan lelahnya sang pewaris.“Aku bisa merasakannya. Energi gelang ini seperti menunggu sesuatu... mungkin ujian baru.”Singa Putih muncul dari kabut dalam wujud manusia tegap.Aura suci di sekitarnya bergetar lembut, membuat angin berhenti sejenak.“Pewarisku,” ujarnya pelan, “malam ini bukan tentang pertempuran. Ini tentang keseimbangan batin. Kau harus memurnikan hatimu, atau gelang itu akan menolakmu.”Ratna menarik napas panjang.Ia tahu maksudnya bukan sekadar meditasi. Ini ujian spiritual antara terang dan bayangan di dalam dirinya sendiri.Beberapa jam kemudian, di aula utama perguruan yang kini sepi, Ratna duduk bersila di tengah lingkaran simbol leluhur.Lilin-lilin menyala di sekelilingnya, menebarkan cahaya lembut.Singa Putih berdiri menjaga di sisi, sementa
BAB 6“Kau tidak tidur semalaman lagi?” suara Arga terdengar dari belakang, lembut namun penuh khawatir.Ratna menoleh, menatap sahabatnya itu sambil tersenyum tipis.“Aku tidak bisa tidur. Setiap kali memejamkan mata, aku mendengar langkah-langkah... seperti seseorang berjalan di sekeliling pondok.”Arga menghela napas, lalu duduk di sampingnya. “Mungkin hanya perasaanmu. Setelah apa yang terjadi, wajar kalau kau masih gelisah.”Ratna tidak menjawab. Ia tahu suara itu nyata langkah yang berat, berirama, seperti milik prajurit yang sedang berbaris.Siang itu, Kiai Jalal memanggil mereka ke balai tengah. Beberapa murid perguruan lain sudah berkumpul, wajah mereka masih dipenuhi kelelahan dan sisa takut dari malam-malam sebelumnya.Di hadapan mereka, Kiai Jalal menancapkan sebatang tongkat kayu ke tanah. Ujungnya bergetar, lalu muncul cahaya samar dari tanah membentuk pola lingkaran yang bercahaya biru.“Anak-anakku... pertempuran belum selesai. Apa yang terjadi malam itu hanyalah awal.
BAB 5 “Ini ujian terakhirmu malam ini, Pewarisku.” Suaranya berat dan dalam. “Kau akan menghadapi Tangan Kanan Raja Jin. Ini bukan sekadar pertarungan fisik tapi juga pertarungan batin. Fokuslah pada kekuatan leluhurmu.”Ratna mengangguk. Ia tahu, malam ini akan menentukan seberapa jauh ia mampu mengendalikan gelang pusaka.Dari balik kabut, muncullah sosok tinggi berjubah hitam. Matanya merah membara, dan aura gelap yang menyelimutinya membuat udara terasa berat.“Kau pewaris yang ditakuti itu? Menarik. Tapi malam ini, cahaya akan padam di hadapanku.”Suara itu menggema, membuat bulu kuduk berdiri.Ratna menggenggam pedangnya lebih erat. “Aku tidak akan mundur. Aku pewaris leluhur, dan aku akan menuntaskan sumpah darah ini.”Seketika, Tangan Kanan Raja Jin melesat cepat. Serangan gaibnya menghantam udara.DUAKK!Benturan keras memecah keheningan. Ratna menangkis dengan pedang cahaya, tapi tubuhnya terpental, hampir jatuh.“Fokus, Ratna! Jangan biarkan amarah menguasaimu!” seru Sing
BAB 4 “Ini baru permulaan,” bisik Ratna pelan. “Musuh belum menunjukkan kekuatannya.” Ia menarik napas panjang, memejamkan mata, lalu melafalkan doa ringan. Dalam sekejap, Singa Putih muncul dalam wujud manusia tegap dengan mata tajam dan aura kepemimpinan yang kuat. “Kalian harus fokus,” ujarnya tenang. “Pasukan bayangan akan menyerang kota malam ini. Aku akan membimbing Ratna, tapi kalian semua harus siap.” Ratna mengangguk. Mereka duduk bersila, menyusun strategi. Ratna memimpin di garis depan, Arga dan Nanda menjaga sayap kiri-kanan, sementara Rani bertugas melindungi warga dan memulihkan energi jika diperlukan. Singa Putih menatap langit malam. “Jangan anggap remeh. Ini hanya ujian kecil. Tapi aku bisa merasakan mereka terhubung dengan dalang besar di balik tirai kegelapan. Kalian harus bertahan sampai fajar.” Suara gemuruh tiba-tiba terdengar dari kejauhan. Bayangan-bayangan gelap meluncur di antara jalan, menyerupai sosok humanoid dengan mata merah menyala. Mereka men







