Ayla Reynard memandang cermin dengan tatapan kosong. Rambut coklat gelapnya tergerai dengan sempurna, dibingkai dengan rapi oleh gaun hitam elegan yang dipilih Leon untuk makan malam mereka. Malam ini terasa istimewa, meski ia tak tahu bahwa itu akan menjadi malam yang mengubah segalanya.
Senyum Ayla terlukis di wajahnya, namun matanya menyembunyikan kegelisahan yang semakin membesar. Setiap detik yang berlalu seperti sebuah persiapan untuk sesuatu yang tak bisa ia hindari, sebuah keputusan yang tak terelakkan. Di luar jendela kamar tidurnya, suasana malam Velmont City terasa begitu damai, gemerlapnya lampu-lampu kota menciptakan kesan sempurna tentang dunia yang mereka huni. Sebuah dunia yang Ayla kenal terlalu baik—dunia penuh harapan, keinginan, dan impian.
Namun, hidupnya tak pernah sesempurna seperti yang terlihat di permukaan.
“Segera datang, sayang. Aku akan menjemputmu,” suara Leon dari telepon memecah keheningan. Ayla mengangguk meski tahu Leon tidak bisa melihatnya. Telepon dimatikan, dan untuk sesaat, Ayla merasakan ketenangan yang terlepas begitu saja.
Ayla mengambil napas dalam-dalam, menenangkan dirinya. Ia tahu malam ini akan berbeda, tapi dia tak bisa membayangkan betapa buruknya kenyataan yang akan dihadapinya.
Di luar, deru mobil Leon semakin mendekat. Ayla memandangi dirinya sekali lagi di cermin. Ia melihat seorang wanita yang seharusnya bahagia. Seharusnya.
Di ruang makan yang megah, Ayla duduk berhadapan dengan Leon, pria yang telah mengisi sebagian besar hidupnya selama dua tahun terakhir. Leon, dengan rambut hitam terurai rapi dan mata biru tajam, memandangnya dengan senyuman yang seakan-akan menggambarkan dunia yang hanya milik mereka berdua. Namun, ada sesuatu yang berbeda pada malam itu. Sesuatu yang terasa seperti ancaman.
"Ayla," kata Leon pelan, memulai pembicaraan yang sudah dipersiapkan jauh-jauh hari. "Aku rasa kita perlu bicara serius."
Ayla menundukkan kepala, tidak tahu apa yang sedang mengintai dalam kata-kata itu. Rasa takut perlahan menyusup dalam dadanya. Meskipun mereka berdua telah bersama, meskipun Leon adalah lelaki yang tampaknya sempurna, Ayla selalu merasakan adanya jurang yang tidak pernah bisa ia jembatani. Jurang yang menghalangi mereka untuk benar-benar satu.
"Ada apa, Leon?" tanya Ayla, suaranya nyaris tak terdengar.
Leon menatapnya, seakan mencoba menilai reaksi Ayla. “Ayla, aku tidak bisa melanjutkan hubungan kita,” ucapnya perlahan. Kalimat itu datang dengan begitu tenang, namun menampar Ayla seperti pukulan keras.
Ayla merasa seperti dunia di sekitarnya berhenti berputar. Bibirnya kering, dan dadanya terasa sesak. “Apa maksudmu?”
Leon mengalihkan pandangannya, berusaha mencari kata-kata yang tepat. “Kamu tahu aku sangat mencintaimu, Ayla. Tapi kenyataannya, kita tak bisa bersama.”
Ayla merasa ada sesuatu yang menusuk jantungnya. “Kenapa?” tanya Ayla, mencoba menahan air mata yang mulai mengancam.
Leon menggigit bibir bawahnya dan akhirnya berkata dengan suara yang lebih berat, “Kamu berasal dari keluarga yang... berbeda, Ayla. Aku tidak bisa terus seperti ini. Keluargaku sudah memberikan tekanan yang besar. Mereka... mereka tidak menganggapmu sebanding denganku.”
Ayla tak bisa mengucapkan sepatah kata pun. Segala sesuatunya berputar begitu cepat dalam pikirannya, tidak ada yang bisa ia katakan untuk membenarkan dirinya. Ia merasa begitu kecil, begitu tidak berarti. Ada sesuatu yang pecah dalam dirinya saat itu, suara hatinya berteriak, “Jangan tinggalkan aku. Jangan tinggalkan aku begitu saja hanya karena siapa aku.” Namun, kata-kata itu tak pernah keluar. Ia hanya menatap Leon dengan mata yang dipenuhi rasa sakit.
Leon melanjutkan, “Aku harap kamu bisa mengerti. Ini bukan berarti aku tidak mencintaimu. Tapi aku harus mengikuti apa yang keluarga inginkan. Aku sudah berusaha, Ayla.”
Ayla terdiam. Kenyataan ini menyakitkan lebih dari apapun yang bisa ia bayangkan. Leon, pria yang begitu ia cintai, ternyata bukanlah siapa-siapa dalam pandangan dunia yang lebih besar. Sementara ia hanya bisa mengandalkan hati yang penuh harapan, Leon berada di dunia yang lebih tinggi, dunia yang membuatnya merasa tak pantas.
Tapi, di tengah kepedihan itu, muncul sebuah perasaan lain yang mulai tumbuh dalam dirinya—rasa marah yang menggeram di dasar hatinya. Ia tahu ini bukan akhir dari segalanya. Ini hanya permulaan.
Setelah Leon pergi, Ayla duduk terdiam di ruang makan yang kini terasa begitu sepi. Ia meraih gelas anggur yang ada di meja, tetapi tangannya terasa gemetar. Semua kenangan bersama Leon—semua impian yang mereka bangun—hancur seketika.
Namun, yang lebih mengejutkan dari segalanya adalah perasaan yang mulai tumbuh dalam dirinya. Bukan kesedihan, tetapi amarah yang membara. Dia merasa dihina, dijatuhkan hanya karena status sosial yang bukan pilihannya.
Tak lama setelah Leon meninggalkan rumahnya, Ayla berdiri, berjalan menuju meja kerja di sudut ruangan. Di sana, terdapat sebuah laptop dan berkas-berkas yang ia siapkan untuk pertemuan besar yang tak kunjung datang. Semua ini terasa sia-sia. Namun, di tengah perasaan hancur itu, Ayla mendapatkan sebuah pencerahan—dia tidak akan berdiam diri. Dia akan membalas dendam.
Pikiran itu datang begitu saja. Leon tak tahu betapa Ayla akan menghancurkannya. Semua yang telah dia anggap enteng akan dihancurkan dengan cara yang lebih kuat dari apa yang Leon bayangkan. Ayla akan mengubah nasibnya sendiri.
Dia akan menunjukkan pada Leon, pada keluarganya, bahwa dia bukanlah wanita yang bisa dianggap remeh begitu saja. Ada dunia lain yang bisa dia masuki, dunia yang tidak pernah Leon atau keluarganya pahami. Dunia yang lebih gelap, lebih keras. Dunia yang akan membuatnya kuat.
Dalam pikiran Ayla, nama Dimitri Velasquez muncul. CEO dari Velasquez Corporation, penguasa dunia bisnis dan dunia gelap yang tak kenal ampun. Nama yang selalu terdengar dalam bisikan-bisikan bisnis besar. Ayla tahu itu. Dimitri adalah orang yang bisa memberinya kekuatan.
“Ini baru awal,” gumam Ayla pada dirinya sendiri, sebuah senyum tipis terukir di wajahnya. Meskipun hatinya masih terasa sakit, rasa dendamnya telah menyala.
Ayla menatap layar laptopnya. Setiap klik, setiap informasi yang ia gali mengenai Dimitri dan dunia bisnisnya semakin menguatkan tekadnya. Dia tidak hanya akan menghancurkan Leon, dia akan menjadi wanita yang lebih dari sekadar korban. Ia akan menjadi penguasa dunia ini, dengan cara yang paling brutal sekalipun.
"Aku akan membuatmu menyesal," ucap Ayla pelan, tanpa ada yang mendengar.
Layar laptop terus menyala, dan di balik itu, dunia baru terbuka lebar—sebuah dunia yang gelap dan berbahaya.
Sore itu langit Velmont City seakan tahu apa yang terjadi. Matahari mulai tenggelam, tetapi cahayanya masih menyentuh jendela kaca Reynard Holdings. Ayla berdiri di ruang kantornya, memandangi siluet kota yang pernah membuatnya merasa kecil dan tak berarti. Tapi kali ini berbeda—kali ini, kota itu berdiri di bawah kakinya.Pintu diketuk pelan.Victor menyembul dengan ekspresi serius. “Dimitri mengirim pesan. Ada sesuatu yang harus kau lihat.”Ayla mengangguk. Dalam balutan blazer hitam dan rok pensil senada, dia berjalan keluar, langkahnya tegap. Sekretaris-sekretaris yang biasanya menunduk kini menatapnya dengan hormat. Bahkan eksekutif level atas tahu: wanita itu bukan sekadar pemilik perusahaan. Dia simbol dari kemenangan yang dibangun dengan luka, tekad, dan strategi.Di lobi bawah, sebuah mobil hitam menunggu. Victor membuka pintu untuknya.“Dimitri tidak bilang apa-apa?” tanya Ayla sambil masuk.“Hanya bilang kau akan mengerti setelah tiba di sana.”Ayla menatap keluar jendela.
Ayla menatap langit pagi dari jendela rumah mungil mereka di Ravenhurst. Udara masih segar, embun menempel di daun, dan suara burung menggema dari kejauhan. Di dalam perutnya, kehidupan kecil tengah tumbuh—mengubah segalanya. Ia tidak lagi sekadar seorang wanita yang ingin membalas dunia, tapi seorang ibu yang ingin menciptakan dunia yang lebih baik.Dimitri muncul dari dapur, mengenakan apron berwarna krem, membawa dua cangkir teh hangat. Pandangannya jatuh pada Ayla yang sedang mengusap perutnya dengan lembut."Kau bangun lebih pagi dari biasanya," ujarnya sambil duduk di sampingnya.Ayla tersenyum. “Aku tidak bisa tidur. Mimpi tentang masa lalu... tapi kali ini, aku tidak merasa takut lagi.”Dimitri mengangguk pelan. Tangannya menyentuh tangan Ayla. Tak ada kata yang bisa menggambarkan bagaimana perasaan mereka sekarang. Tenang. Stabil. Seperti langit yang baru saja berhenti hujan.Beberapa hari kemudian, Ayla kembali ke pusat rehabilitasi. Di ruang konseling, seorang gadis berusia
Langit Ravenhurst menggantung kelabu saat pesawat yang ditumpangi Ayla mendarat di bandara kecil kota itu. Jauh dari hiruk-pikuk Velmont, dari bayang-bayang masa lalu dan dendam yang telah ia kubur. Tak ada penyambutan mewah, tak ada keramaian. Hanya suara roda pesawat yang menyentuh landasan dan napas panjang yang Ayla embuskan dari dadanya.Ia melangkah keluar dengan hanya satu koper kecil dan sebuah tas di bahunya. Seperti awal yang baru. Seperti hidup yang ia bentuk dengan tangannya sendiri.Di luar terminal, seorang wanita berambut perak dengan kacamata bundar sudah menunggu. Senyumnya hangat, matanya penuh kebijaksanaan."Ayla Reynard?" sapanya pelan.Ayla mengangguk. "Dr. Mira Levin?"“Selamat datang di Ravenhurst. Aku dengar kau ingin belajar kembali tentang manusia. Tentang luka. Tentang penyembuhan,” ucap Mira sambil meraih koper Ayla.Ayla tersenyum kecil. "Lebih dari itu. Aku ingin tahu apakah hati yang dipenuhi dendam masih bisa
Kilatan cahaya dari lampu kota menyinari kaca jendela ruang kerja Dimitri saat Ayla berdiri menatap malam, tubuhnya tegak namun napasnya berat. Di belakangnya, Dimitri masih duduk di kursi, berdiam dengan tatapan kosong ke layar komputer yang menyala redup.“Kau yakin ingin melakukan ini sendiri?” tanya Dimitri akhirnya, suaranya serak karena terlalu lama menahan kata-kata yang mengendap di dada.Ayla menoleh perlahan, matanya tajam namun penuh ketenangan. “Ini jalanku. Dendam ini milikku sejak awal, Dimitri. Aku harus menyelesaikannya.”Dimitri berdiri, mendekat, lalu menggenggam tangannya. “Kalau ada satu hal dalam hidupku yang ingin kuubah, itu adalah hari ketika aku pertama kali membiarkanmu berjalan sendirian.”Ayla menarik napas panjang, lalu membalas genggamannya. “Kau tidak pernah benar-benar membiarkanku sendiri. Tapi aku juga harus belajar melepaskan—terutama rasa takutku sendiri.”Mereka saling menatap dalam diam. Tidak ada janji. Tidak
Ayla berdiri membeku. Suara Ivy barusan seakan membelah udara malam yang dingin. Ruangan itu mendadak terlalu sunyi, terlalu sempit, terlalu penuh kenangan yang tidak diundang."Apa maksudmu?" tanya Ayla perlahan, suaranya nyaris tak terdengar.Ivy menyilangkan kaki, menyender santai di kursi, seolah pernyataannya tadi hanyalah pembuka percakapan biasa. "Aku yang menyuruh Leon untuk meninggalkanmu. Dengan cara yang membuatmu membencinya seumur hidupmu."Ayla mengepalkan tangan. "Kau sedang bermain-main.""Sayangnya, aku tidak sedang bercanda." Ivy mencondongkan tubuh ke depan, suaranya melembut namun menusuk. "Leon... dia mencintaimu. Sangat. Bahkan terlalu dalam untuk pria sekelas dia. Tapi cinta seperti itu bisa jadi kelemahan."Ayla tertawa getir. "Kelemahan bagi siapa? Untukmu?"Ivy tak langsung menjawab. Dia membuka dompet kecil, mengeluarkan sebuah foto tua. Ia meletakkannya di meja di antara mereka. Perlahan, Ayla menunduk dan menatap
Darah mengalir di sudut bibir Alexander saat dua orang anak buah Dimitri memaksanya berlutut di tengah ruang kantornya sendiri. Namun sorot matanya belum pudar. Tatapan itu masih menyimpan kebanggaan seorang pria yang merasa dirinya tak bisa dijatuhkan.Dimitri berdiri di depannya, mengenakan setelan hitam khasnya, kancing jas dibuka separuh dan dasi sedikit longgar. Wajahnya dingin, tetapi rahangnya mengeras—tanda bahwa amarah sedang ditekan kuat-kuat di balik ketenangan yang dibuat-buat."Berapa lama kau menanamkan pengaruhmu di dalam perusahaanku?" tanya Dimitri datar, nyaris tanpa nada.Alexander menyeringai meski darah masih menetes dari sudut bibirnya. "Cukup lama untuk tahu titik lemahmu. Dan ternyata benar—perempuan ini."Matanya melirik ke arah Ayla, yang berdiri beberapa langkah di samping Dimitri. Ekspresinya tidak lagi meremehkan, tapi menilai.Ayla menatapnya balik tanpa gentar. Ia tidak perlu menyembunyikan siapa dirinya sekarang. Sem
Ayla berjalan menyusuri koridor mansion Alexander dengan langkah mantap. Setiap detail di tempat ini telah ia hafalkan, dari posisi kamera pengawas hingga cara para penjaga bergerak. Ia harus berhati-hati—kesalahan sekecil apa pun bisa berarti kematian.Alexander memimpin di depan, membawa Ayla ke ruang pribadinya. Begitu mereka masuk, ia menutup pintu dan menoleh dengan senyum puas."Aku tahu kau akan membuat keputusan yang benar," katanya, menuangkan anggur merah ke dalam dua gelas kristal.Ayla menerima gelasnya, tapi hanya memutarnya di tangannya. "Aku hanya memilih pihak yang lebih kuat."Alexander tertawa kecil. "Bijaksana."Ia berjalan ke mejanya, menekan tombol di bawah laci. Sebuah layar muncul dari dinding, memperlihatkan data transaksi dan rencana rahasia untuk menghancurkan Dimitri.Ayla menelan ludahnya. Ini adalah informasi berharga yang Dimitri butuhkan, tapi bagaimana ia bisa mendapatkannya tanpa menimbulkan kecurigaan?
Dimitri berjalan mondar-mandir di ruang kerjanya di The Elysian Tower. Rahangnya mengeras, matanya dipenuhi kemarahan yang nyaris tak terbendung. Ayla duduk di sofa, mengamati ekspresi pria itu."Ini berarti seseorang di dalam sistemku telah bekerja untuk Alexander," gumam Dimitri, suaranya lebih seperti geraman.Ayla menyandarkan punggungnya, menyilangkan kaki dengan tenang. "Kita hanya perlu mencari tahu siapa dia sebelum semuanya terlambat."Victor, yang berdiri di dekat pintu, menyela, "Aku bisa mulai menyelidiki dari dalam. Aku punya daftar orang-orang yang paling mungkin berkhianat."Dimitri mengangguk, tetapi ekspresinya tetap gelap. "Kita tidak bisa gegabah. Jika kita menuduh orang yang salah, Alexander akan tahu bahwa kita mencurigainya."Ayla menatap Victor. "Ada cara lain. Biarkan aku yang memancing pengkhianat itu keluar."Dimitri langsung menoleh padanya, matanya berkilat tajam. "Tidak."Ayla mengangkat alis. "Dimitri, ak
Ayla tersenyum tipis, menyembunyikan keterkejutannya di balik ekspresi percaya diri. Alexander Vasiliev memang licik, tetapi ia sudah menduganya sejak awal.“Meninggalkan Dimitri?” ulang Ayla, nadanya ringan namun penuh tantangan. “Dan sebagai gantinya, aku akan memiliki seluruh kota ini di kakiku?”Alexander tersenyum, menyusuri wajah Ayla dengan tatapan yang tajam dan penuh perhitungan. “Kau cerdas, Ayla. Kau tahu bagaimana dunia ini bekerja. Dimitri mungkin kuat, tetapi dia memiliki terlalu banyak musuh. Terlalu banyak beban. Bersamaku, kau tidak akan perlu bersembunyi dalam bayang-bayangnya.”Ayla menahan napasnya sejenak, memikirkan bagaimana cara terbaik untuk memainkan kartu ini. Ia bisa melihat bagaimana Alexander mencoba memecah belahnya dan Dimitri, mencoba menanamkan benih keraguan.Tapi Ayla bukan wanita bodoh.Ia mengangkat gelas anggur di tangannya, mengaduk-aduk cairan merah di dalamnya sebelum menatap Alexander dengan sorot mata pen